Deductible Expense: Antara Aturan dan Realita Pemeriksaan
Pemeriksaan pajak sering kali dimulai dengan pertanyaan mendasar: apakah suatu biaya layak untuk dikurangkan sebagai pengurang penghasilan atau tidak? Walaupun Undang-Undang Pajak Penghasilan memberikan pedoman yang jelas, kenyataannya, penilaian terhadap biaya yang dapat dikurangkan tidak selalu berjalan mulus antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Dalam praktiknya, banyak pengeluaran yang dianggap merupakan pengeluaran dalam rangka 3M (memelihara, menagih, mendapatkan penghasilan) oleh wajib pajak, tetapi terkadang dipertanyakan atau ditolak oleh fiskus. Hal ini membuka ruang untuk interpretasi, dan oleh karena itu, pendekatan yang proporsional dan konstruktif sangat dibutuhkan dalam pemeriksaan pajak.
Konsep Deductible Expense dalam Ketentuan Perpajakan
Menurut Pasal 6 ayat (1) UU PPh, biaya yang dapat dikurangkan adalah biaya yang digunakan untuk 3M. Aturan ini memberikan landasan utama bagi siapa saja yang ingin mengajukan biaya sebagai pengurang penghasilan. Namun, Pasal 9 UU PPh juga mengatur jenis biaya yang tidak dapat dikurangkan, seperti:
- Pembagian laba kepada pemegang saham;
- Biaya pribadi pemilik atau pihak yang berkepentingan;
- Pembentukan dana cadangan kecuali yang memenuhi persyaratan tertentu;
- Pajak penghasilan, denda dan sanksi administratif.
Meskipun aturan ini jelas, dalam praktiknya, interpretasi terhadap pengeluaran yang boleh dikurangkan sering kali berbeda antara fiskus dan wajib pajak.
Pengalaman Lapangan: Tantangan dalam Penentuan Deductible Expense
Beberapa jenis pengeluaran yang sering menjadi sorotan dalam pemeriksaan pajak antara lain:
1. Biaya Promosi dan Sponsorship
Biaya ini umumnya dikeluarkan untuk mendukung strategi pemasaran dan perluasan pasar. Wajib pajak diharuskan dapat menunjukkan keterkaitan biaya promosi dengan kegiatan usaha serta dampaknya terhadap penghasilan.
Diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010. Untuk dapat dikurangkan, pengeluaran ini harus dicatat dalam Daftar Nominatif yang dilampirkan saat pelaporan SPT Tahunan. Jika tidak dipenuhi, biaya ini tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
2. Biaya Entertain, Representasi, dan Relasi Bisnis
Pengeluaran untuk menjamu klien atau melakukan perjalanan dinas guna membangun relasi bisnis merupakan bagian dari aktivitas komersial bagi sebuah perusahaan. Namun, biaya seperti ini hanya dapat dikurangkan jika memenuhi prinsip kewajaran dan dibatasi oleh ketentuan tertentu.
Mengacu pada Surat Edaran Nomor SE-27/PJ.22/1986. Pengeluaran ini harus dibuktikan secara formal dan materil serta dilaporkan dalam bentuk daftar nominatif dalam SPT Tahunan, mencakup informasi seperti tanggal, tempat, jenis pengeluaran, serta pihak relasi usaha terkait.
3.Biaya Corporate Social Responsibility (CSR)
Kegiatan CSR sering menjadi bagian dari strategi jangka panjang perusahaan dalam menjaga hubungan dengan masyarakat dan menjaga citra baik perusahaan. Namun, dalam konteks perpajakan, hanya CSR yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan atau yang terkait langsung dengan kegiatan usaha yang dapat diakui sebagai biaya yang dapat dikurangkan. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 mengatur batasan atas CSR yang berkaitan dengan sumbangan untuk penanggulangan bencana, penelitian, pendidikan, pembinaan olahraga, dan pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan, dengan syarat sesuai peraturan perundang-undangan. Pengeluaran CSR yang bersifat sukarela dan tidak didasarkan pada kewajiban regulasi biasanya tidak memenuhi kriteria deductible expense.
Keseimbangan antara Administrasi dan Substansi
Pemeriksaan terhadap deductible expense adalah proses yang memerlukan pemahaman mendalam atas konteks kegiatan usaha wajib pajak dan kebijakan fiskal. Dengan mengedepankan prinsip proporsionalitas dan keterbukaan, proses ini bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas kepatuhan dan hubungan antara wajib pajak dan fiskus. Dibutuhkan komunikasi yang terbuka antara fiskus dan wajib pajak untuk memahami latar belakang pengeluaran dan memastikan pemenuhan ketentuan yang berlaku.
Kualitas pemeriksaan yang baik dapat mendorong: kepastian hukum bagi wajib pajak, peningkatan kualitas pelaporan dan dokumentasi, serta meningkatkan kepercayaan antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Dengan pendekatan pemeriksaan yang mengedepankan keseimbangan antara aturan dan realita, pemeriksaan pajak dapat dijalankan secara lebih adil, transparan, dan mendukung ekosistem kepatuhan yang sehat dan berkelanjutan.
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
- Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 02/PMK.03/2010 tentang Biaya Promosi yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tentang Biaya Representasi dan Sejenisnya.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.