Pajak Masukan Dengan Kode 08 Tidak Dapat Dikreditkan

Kring Pajak mengingatkan pembeli bahwa faktur pajak masukan dengan kode 08 yang digunakan untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dibebaskan dari PPN tidak dapat dikreditkan. Pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa jika wajib pajak menerima faktur pajak dengan kode 08 karena dibebaskan dari PPN, faktur pajak masukan tersebut tetap harus dilaporkan dalam SPT. “Silakan pilih faktur pajak masukan dan klik tidak dikreditkan [pada aplikasi coretax] untuk memasukkannya ke dalam SPT. Setelah itu, periksa lampiran B3 di SPT Masa PPN,” demikian pernyataan Kring Pajak di media sosial. Perlu diketahui, kode 08 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang dibebaskan dari PPN atau PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) berdasarkan ketentuan khusus yang berlaku. ketentuan yang mengatur pembebasan PPN atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu dan/atau pemanfaatan jasa tertentu dari luar daerah pabean. ketentuan yang mengatur perlakuan PPN atas pemberian jasa kebandarudaraan tertentu kepada badan usaha angkutan udara niaga untuk pengoperasian pesawat udara yang melayani penerbangan internasional. ketentuan yang mengatur perlakuan PPN atas pemberian jasa kepelabuhanan tertentu kepada badan usaha pelayaran yang melakukan kegiatan angkutan laut internasional. ketentuan yang mengatur tata cara pemberian pembebasan PPN, atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kepada perwakilan negara asing dan badan internasional beserta pejabatnya.

Tata Cara Pencabutan Status PKP

Pencabutan Pengukuhan PKP Secara Jabatan PKP adalah pengusaha yang menyerahkan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) yang dikenakan pajak menurut UU PPN. Dengan kata lain, pengusaha yang sudah berstatus PKP wajib untuk melakukan pemungutan, penyetoran, serta pelaporan PPN atau PPnBM atas penyerahan BKP/JKP. Perihal pencabutan PKP telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 s.t.d.t.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024). Berdasarkan PMK 81/2024, pencabutan pengukuhan PKP dapat dilakukan berdasarkan permohonan atau secara jabatan. PKP yang tidak lagi memenuhi syarat dapat dicabut statusnya secara jabatan. Pencabutan secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan maupun penelitian administrasi. Prosedur pencabutan dengan penelitian administrasi dilakukan terhadap PKP dengan ketentuan: PKP dengan status wajib pajak nonaktif; PKP telah dinonaktifkan akses pembuatan faktur pajak dan tidak melakukan klarifikasi dalam jangka waktu 30 hari sejak penonaktifan atau klarifikasinya ditolak; PKP menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; PKP orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; PKP BUT telah menghentikan kegiatan usaha di Indonesia; dan/atau PKP dengan keadaan tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Pencabutan Pengukuhan PKP Melalui Permohonan Dalam hal pencabutan status PKP dilakukan melalui permohonan PKP, maka PKP wajib menyampaikan permohonan dengan melampirkan dokumen yang menunjukkan bahwa PKP tidak lagi memenuhi kriteria. Lebih lanjut, setelah permohonan diterima kemudian DJP akan melakukan pemeriksaan. Keputusan atas permohonan tersebut harus diterbitkan dalam jangka waktu 6 bulan. Apabila melewati jangka waktu tersebut, permohonan dianggap diterima dan keputusan pencabutan wajib diterbitkan paling lama 1 bulan. Pengajuan Permohonan Pencabutan PKP di Coretax Mula-mula login Coretax. Lakukan impersonating jika PKP yang mengajukan permohonan pencabutan adalah Badan Usaha. Klik Menu Portal Saya → Penghapusan & Pencabutan. Selanjutnya, pada Formulir Manajemen Kasus → Jenis Pembatalan (penghapusan NPWP atau pencabutan/pengukuhan PKP/SKT PBB). Setelah memilih Jenis Pembatalan, lanjutkan dengan memastikan bahwa Identitas Kuasa Wajib Pajak serta Identitas Wajib Pajak telah sesuai, kemudian unggah dokumen pendukung Penghapusan Pendaftaran. Setelah dokumen pendukung Penghapusan Pendaftaran selesai diunggah, lanjutkan dengan mencentang Pernyataan Wajib Pajak. Kemudian klik Simpan.

Apa itu PPN atas Jasa Luar Negeri (JLN)?

Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak atas konsumsi dalam negeri, juga dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPN. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean wajib memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang atas jasa tersebut. Kewajiban ini lazim disebut sebagai PPN Luar Negeri. Lalu, apa yang dimaksud dengan pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan PPN Luar Negeri? Ketentuan pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean diatur dalam Undang-Undang PPN dan PMK 40/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang PPN, pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean adalah setiap kegiatan yang memanfaatkan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Dengan kata lain, jasa yang berasal dari luar daerah pabean dimanfaatkan oleh setiap orang di dalam daerah pabean. Sebagai contoh, Pengusaha Kena Pajak (PKP) C di Surabaya memanfaatkan JKP dari Pengusaha B yang berdomisili di Singapura. Atas pemanfaatan JKP di luar negeri ini, terutang PPN, yang biasa disebut PPN atas Jasa Luar Negeri (JLN). Pelajari Cara Membuat Kode Tagihan PPN Secara Mandiri untuk Jasa Luar Negeri. Dengan demikian, PPN JLN adalah PPN yang dikenakan atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Pasal 3A ayat (3) Undang-Undang PPN mengatur bahwa PPN yang terutang atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean wajib dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan JKP. Rincian tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas barang luar negeri diatur dalam PMK 40/2010 hingga PMK 81/2024. Lebih lanjut, ketentuan mengenai PPN atas barang luar negeri juga dimuat dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-147/PJ/2010. Surat edaran ini antara lain merinci ruang lingkup definisi Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan di dalam daerah pabean. Merujuk pada Poin 3 SE-14/PJ/2010, Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan di dalam daerah pabean adalah: 1. Jasa Kena Pajak tersebut diberikan oleh orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berdomisili di luar daerah pabean; 2. Penyediaan Jasa Kena Pajak dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar daerah pabean sepanjang penyediaan Jasa Kena Pajak tersebut tidak mengakibatkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berdomisili di luar daerah pabean menjadi wajib pajak dalam negeri; 3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean dilakukan di dalam daerah pabean; dan 4. Barang Kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean dimanfaatkan oleh setiap orang di dalam daerah pabean. Kriteria yang diterapkan pada Poin 3 SE-147/2010 bersifat kumulatif, sehingga untuk memenuhi definisi Barang Kena Pajak yang berasal dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan di dalam daerah pabean, keempat kriteria tersebut harus dipenuhi. Sebagai contoh, PT ABC, yang berdomisili di Jakarta, menyewa konsultan hukum Y Pte Ltd, yang berdomisili di Singapura, untuk memberikan nasihat […]

Terdapat Update Template Excel Faktur Pajak Keluaran

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memperbarui templat Excel untuk faktur pajak keluaran ke versi v.1.6. Meskipun templat Excel telah diperbarui, konverter XML-nya masih menggunakan versi v1.5. Berkas templat Excel untuk faktur pajak keluaran digunakan untuk mengimpor faktur dengan satu jumlah pajak. Sebagaimana diketahui, Coretax mengadopsi skema impor menggunakan berkas Extensible Markup Language (XML). “Berkas tersebut berformat Microsoft Excel (*.xlsx) dan dapat diisi oleh wajib pajak, serta data yang dimasukkan dapat diekspor ke format berkas XML Coretax,” jelas DJP dalam Panduan Cara Memilih XML, dikutip Rabu (24 September 2025). Pembaruan templat Excel mencakup penambahan kode TD.00513 dan TD.00524 pada kolom informasi tambahan. Kolom informasi tambahan ini wajib diisi saat membuat faktur pajak dengan kode transaksi 07. Kode TD.00513 digunakan untuk pengalihan rumah tapak dan satuan rumah susun ditanggung pemerintah pada tahun anggaran 2025. Sementara itu, kode TD.00524 digunakan untuk PPN ditanggung pemerintah. Pembaruan templat Excel ini juga bertujuan untuk mengakomodasi stempel fasilitas dengan kode TD.01113. TD.01113 digunakan untuk menambahkan stempel PPN “PEMERIKSAAN DITANGGUNG PEMERINTAH” pada PMK NOMOR 13 TAHUN 2025. Selain itu, versi terbaru templat Excel faktur pajak (v1.6) telah menambahkan beberapa satuan ukuran. Satuan baru ini meliputi: UM.0034 – Meter Kubik; UM.0035 – Sentimeter Persegi; UM.0036 – Drum; UM.0037 – Karton; UM.0038 – Kwh; dan UM.0039 – Rol. Penambahan ini mengharuskan wajib pajak untuk mengunduh versi terbaru jika memerlukan informasi ini. Wajib pajak dapat menggunakan templat Excel faktur pajak terbaru di https://www.pajak.go.id/reformdjp/coretax/templatexml-dan-converter-excel ke-xml. Seperti diketahui, metode impor data merupakan cara paling efektif untuk membuat faktur pajak atau laporan dalam jumlah besar secara bersamaan. Sebelumnya, impor data pada aplikasi sebelumnya menggunakan berkas Comma-Separated Values ​​(CSV). Namun, Coretax mengadopsi skema impor yang berbeda, menggunakan berkas dalam Extensible Markup Language (XML). Untuk menyederhanakan Pengusaha Kena Pajak (PKP), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyediakan dua berkas templat XML. Yang pertama adalah templat XML. Berkas ini dapat digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memiliki keterampilan pemrograman atau oleh pengguna sistem Perencanaan Sumber Daya Perusahaan (ERP). Yang kedua adalah konverter berkas yang mengonversi MS Excel ke XML. Berkas ini dapat digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terbiasa dengan aplikasi perkantoran (seperti Microsoft Excel, Open Office, dan sejenisnya) maupun yang tidak terbiasa dengan pemrograman.

Amnesti Pajak, Bentuk Amnesti Pajak di Tingkat Daerah

Isu amnesti pajak kembali mengemuka setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Amnesti Pajak dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyatakan bahwa pencantuman Rancangan Undang-Undang (RUU) Amnesti Pajak dalam Prolegnas 2025 merupakan proses administrasi yang wajar dalam penyusunan Prolegnas oleh DPR. Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berpendapat bahwa kebijakan amnesti pajak sebaiknya tidak diberikan berulang kali karena berpotensi merusak kredibilitas program tersebut. Tahukah Anda bahwa amnesti pajak tidak hanya diberikan oleh pemerintah pusat? Pemerintah daerah juga kerap menggelar program serupa—yang dikenal dengan istilah amnesti pajak. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) merupakan salah satu sektor pajak daerah yang kerap mendapatkan amnesti. Pemerintah daerah yang masih menerapkan program PKB antara lain Sumatera Barat, Jayapura, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara (khusus pelajar), Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Lampung, Jawa Timur, Papua Barat, Kepulauan Riau, dan Banten. Sejumlah daerah ini bahkan menawarkan pembebasan PKB hingga Desember 2025. Selain PKB, pembebasan pajak juga kerap diberikan untuk sektor pajak lainnya, seperti Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Pemerintah daerah yang saat ini menerapkan pembebasan PBB-P2 antara lain Kota Bandung, Kota Tarakan, Kota Yogyakarta, Kabupaten Jepara, Kabupaten Nganjuk, Kota Serang, Kabupaten Majalengka, Kota Pakangka Raya, dan Kabupaten Kudus. Secara regulasi, ketentuan pembebasan pajak dapat mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, konsep pelaksanaan pembebasan pajak dapat ditemukan dalam Pasal 96 UU HKPD. Pasal ini mengatur bahwa kepala daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran pokok dan/atau denda pajak dan retribusi daerah. Meskipun sering terdengar dan beredar di berbagai publikasi, istilah “pengampunan pajak” sebenarnya tidak tercantum dalam Undang-Undang Pajak Daerah (HKPD). Pengampunan pajak merupakan istilah yang lebih populer untuk memberikan keringanan, terutama dalam bentuk penghapusan pokok dan/atau denda administrasi pajak daerah. Pelajari lebih lanjut tentang “Apa itu Pengampunan Pajak?” Dalam beberapa diskusi, istilah “pengampunan pajak” terkadang digunakan secara bergantian dengan “pengampunan pajak”, “pengampunan pajak daerah”, “pengampunan pajak pemerintah daerah”, atau “pengampunan pajak kota”. Jadi, apakah pengampunan pajak sama dengan pengampunan pajak? Definisi pengampunan pajak tercantum dalam Undang-Undang No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut, amnesti pajak adalah: “Penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tanpa dikenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan.” Definisi serupa tentang amnesti pajak terdapat dalam Glosarium Pajak Internasional IBFD, yang mendefinisikan amnesti pajak sebagai: “Kesempatan yang diberikan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan penghasilan atau hartanya dan membayar pajak yang sebelumnya belum dibayar. Amnesti pajak biasanya juga memberikan pengurangan atau penghapusan bunga/denda dan pembebasan dari tuntutan pidana.” Sementara itu, Borgne dan Baer (2008) mendefinisikan amnesti pajak sebagai kesempatan dari pemerintah, dalam jangka waktu tertentu, bagi wajib pajak tertentu untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan atas penghapusan kewajiban perpajakan (termasuk bunga dan denda) dan pembebasan dari tuntutan pidana. Penghapusan kewajiban ini berkaitan dengan masa pajak sebelumnya. Di sisi lain, Alm dan Beck (1991) mendefinisikan amnesti pajak sebagai kesempatan yang diberikan kepada masyarakat […]

DJP Tengah Mengkaji Pengenaan PPh Final Atas Penjualan Emas Melalui Platform Digital

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang melakukan kajian mendalam mengenai kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Final atas keuntungan penjualan emas. Kajian ini disampaikan oleh Joko Galungan, Kepala Subdirektorat Pajak Penghasilan Badan pada Direktorat PP2 (Pajak Penghasilan Daerah) DJP, dalam seminar dalam rangka Pajak Goes To Campus yang digelar Tax Centre FIA Universitas Indonesia (Kamis, 18/09/2025). Joko menjelaskan bahwa kajian ini merupakan hasil observasi terhadap potensi monetisasi emas. Berdasarkan data yang diperoleh Joko, diketahui terdapat sekitar 1.800 ton emas yang tersimpan “di bawah bantal” di masyarakat, dengan estimasi nilai mencapai Rp3.700 triliun. Dari jumlah tersebut, kurang dari 10% yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), yaitu sekitar 126 ton atau setara dengan Rp260 triliun. Lebih lanjut, Joko menyatakan bahwa Indonesia, sebagai produsen emas utama, hanya menyimpan 78,6 ton emas di Bank Indonesia. Angka ini jauh di bawah Singapura yang menyimpan 204 ton, meskipun bukan produsen emas. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar emas di Indonesia tidak dimonetisasi di dalam negeri. Joko juga menyoroti pasar informal yang sangat dominan, di mana transaksi jual beli tidak tercatat, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kesulitan memungut pajak atas keuntungan modal. “Selama informal, pajak tidak akan dipungut,” tegasnya. Pertumbuhan transaksi emas digital juga meningkat pesat, diperkirakan mencapai Rp50 triliun pada tahun 2024, namun masih belum dilaporkan. Mengingat situasi ini, kebijakan Pajak Penghasilan Final dianggap sebagai solusi ideal untuk pendapatan tidak teratur atau terkait perdagangan, karena menyederhanakan proses perpajakan. Saat ini, banyak investor emas mengeluhkan rumitnya penghitungan pajak keuntungan modal, seperti kesulitan mengingat tanggal pembelian, jumlah, dan tarif yang berlaku, yang pada akhirnya membuat mereka enggan melaporkan emas mereka dalam SPT. Selain itu, regulasi yang belum lengkap dan kurangnya otomatisasi juga menjadi kendala. Skema perpajakan yang saat ini sedang dikaji oleh DJP mencakup pemungutan Pajak Penghasilan Final atas platform perdagangan emas terdaftar. Dengan tarif yang lebih sesuai dan proses yang lebih sederhana, DJP berharap masyarakat yang saat ini bertransaksi di pasar informal akan beralih ke pasar formal. Kebijakan ini juga diharapkan dapat mendorong masuknya emas batangan bank dan dimonetisasi untuk mendukung berbagai kegiatan ekonomi, seperti pembelian properti atau kendaraan, yang pada akhirnya akan dicatat oleh Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan simulasi awal, Joko memperkirakan potensi penerimaan pajak dari emas yang belum berada di pasar formal sebesar Rp4,63 triliun hingga Rp55,62 triliun. Angka ini bergantung pada seberapa besar pasar emas informal yang bertransisi menjadi pasar formal. Joko juga menyatakan bahwa penetapan tarif merupakan faktor krusial, mengingat imbal hasil setelah pajak dapat memengaruhi keputusan investor dalam memilih instrumen investasi. Kajian ini merupakan langkah strategis untuk menangkap potensi pajak dari sektor emas, seiring dengan perubahan lanskap bisnis dan perilaku konsumen yang kini lebih mengutamakan transaksi praktis dan digital. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkomitmen untuk menyeimbangkan kebutuhan negara dan kepentingan para pemangku kepentingan, dengan harapan kebijakan ini akan membawa terobosan dalam penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi.

Prabowo dan Menkeu Purbaya Siapkan Insentif Menarik untuk Tarik Dolar WNI dari Luar Negeri

Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sedang mempersiapkan insentif menarik untuk menarik dolar dari warga negara Indonesia di luar negeri. Purbaya optimistis insentif yang sedang difinalisasi ini akan memperkuat cadangan devisa, meningkatkan pasokan dolar di perbankan nasional, dan mendukung pembiayaan proyek-proyek strategis pemerintah. “Rencana bagaimana menarik uang-uang dolar yang orang Indonesia suka taruh di luar balik ke sini. Tadi masih belum matang, masih kita matangkan lagi. Tapi kalau saya lihat rencananya cukup bagus sekali,” ujar Purbaya dalam usai bertemu dengan Prabowo, di Istana Merdeka, Jakarta, dikutip Pajak.com (22/9/25). Menurut Purbaya, skema insentif berbasis pasar ini akan mendorong warga negara Indonesia untuk lebih memilih menyimpan uang dalam dolar di dalam negeri. Insentif ini akan membantu menekan arus keluar dana valuta asing yang rutin dialami sebagian warga negara Indonesia, sehingga meningkatkan cadangan devisa dan memperkuat pasokan dolar di perbankan domestik. “Saya baru tahu juga bahwa ternyata setiap bulan banyak juga yang kirim [dolar] ke luar negara orang Indonesia. Uang-uangnya utamanya ke beberapa negara di kawasan sini. Jadi, kita akan menjaga itu dengan memberikan insentif yang menarik, sehingga mereka enggak usah capek-capek kirim dolarnya ke luar,” ungkap Purbaya. Ia menekankan pentingnya menjaga agar aliran dana yang masuk ke dalam negeri tidak keluar kembali. Langkah ini dapat memperkuat cadangan devisa nasional dan meningkatkan pasokan dolar bagi perbankan domestik. Secara simultan, kebutuhan pembiayaan dalam dolar untuk berbagai proyek ke depan dapat dipenuhi dari dalam negeri dengan tingkat bunga yang kompetitif. “Kalau kita bisa jaga masuk ke sini, nggak keluar, cadangan kita akan lebih besar lagi, dan perbankan kita punya suplai dolar lebih banyak lagi,” tandas Purbaya Menurut Purbaya, insentif bisa dijalankan segera dalam waktu singkat. Ia optimistis, insentif yang menarik membuat pemilik dana akan lebih memilih menempatkan dananya di dalam negeri sehingga memperkuat cadangan devisa sekaligus menambah likuiditas dolar di sistem perbankan nasional.

Perbedaan Registrasi NIK, Aktivasi NIK, dan Aktivasi Rekening Wajib Pajak

Registrasi NIK merupakan tahap awal pencatatan identitas seseorang dalam sistem perpajakan. Proses ini memastikan NIK warga negara diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui basis data kependudukan. Namun, registrasi ini belum menjadikan seseorang sebagai wajib pajak, karena pada tahap ini belum memiliki hak dan kewajiban perpajakan yang melekat. Tahap ini dapat diibaratkan seperti dunia perbankan. Bayangkan seorang calon nasabah mengunjungi bank untuk pertama kalinya. Petugas meminta kartu identitas mereka, lalu memasukkan data pribadi mereka ke dalam sistem. Identitas nasabah memang sudah teridentifikasi oleh sistem perbankan, tetapi mereka belum memiliki rekening. Artinya, mereka tidak dapat menabung, mentransfer uang, atau bertransaksi. Demikian pula, registrasi NIK hanyalah proses registrasi awal agar sistem perpajakan dapat mengenali identitas mereka, tanpa dikenakan kewajiban perpajakan apa pun. Tahap selanjutnya adalah aktivasi NIK, yaitu tahap di mana NIK yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai nomor induk kependudukan (NIK) diubah menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pada tahap ini, hak dan kewajiban perpajakan resmi berlaku. Dengan NPWP, seseorang secara hukum diakui sebagai wajib pajak dan dapat melakukan berbagai kegiatan perpajakan, mulai dari pelaporan hingga pembayaran. Dengan kata lain, tidak semua orang perlu mengaktifkan NIK; hanya mereka yang membutuhkan NPWP yang perlu melalui proses aktivasi ini. Dalam analogi perbankan, tahap ini mirip dengan proses pembukaan rekening. Setelah calon nasabah mengisi formulir dan melengkapi dokumen yang diperlukan, bank akan memberikan nomor rekening resmi. Nomor ini berfungsi sebagai pengenal transaksi dan memungkinkan nasabah untuk mulai menabung atau menarik uang. Demikian pula, aktivasi NIK mengubah status NIK mereka menjadi NPWP, yang secara resmi memungkinkan seseorang memasuki dunia perpajakan. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) saja tidak cukup. Untuk menggunakan layanan pajak online, wajib pajak perlu mengaktifkan akun mereka di sistem Coretax. Aktivasi ini memberikan akses masuk, yang memungkinkan wajib pajak untuk membuat kode tagihan, melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), atau memantau kewajiban pajak mereka secara online. Tanpa aktivasi akun, akses ke layanan digital tetap terblokir, meskipun mereka memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Analogi perbankan relevan di sini. Memiliki nomor rekening saja tidak praktis jika nasabah harus mengunjungi kantor cabang setiap kali ingin memeriksa saldo atau melakukan transfer. Oleh karena itu, bank menyediakan layanan perbankan seluler atau kartu ATM untuk mempermudah transaksi. Demikian pula, aktivasi akun Coretax berfungsi seperti perbankan seluler: memudahkan akses, mempercepat layanan, dan memungkinkan wajib pajak untuk mengelola kewajiban mereka kapan saja tanpa harus datang langsung ke kantor pajak.

DJP Siapkan Template Impor XML Untuk Lapor SPT Tahunan Melalui Coretax

Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) mulai tahun pajak 2025 akan disampaikan melalui aplikasi Coretax. Saat pelaporan, selain dengan key-in, beberapa data yang diperlukan dapat diimpor menggunakan format XML. Di situs web resminya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyiapkan beberapa templat XML atau berkas konverter XML dalam format Excel untuk digunakan wajib pajak. Untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (SPT PPh Orang Pribadi), wajib pajak dapat menggunakan berkas XML untuk mengimpor data terkait: biaya promosi (Lampiran 3D); biaya entertainment (Lampiran 3D); piutang tak tertagih (Lampiran 3D); dan penyusutan dan amortisasi (Lampiran 3C). Sementara itu, untuk wajib pajak badan, data yang dapat diimpor dengan file XML adalah: piutang tak tertagih (Lampiran 11A); biaya promosi (Lampiran 11A); daftar debitur non-performing loan (NPL) (Lampiran 11A); biaya entertainment (Lampiran 11A); pernyataan transaksi hubungan istimewa (Lampiran 10A); dan penyusutan dan amortisasi (Lampiran 9). Untuk membuat berkas XML dengan Excel, wajib pajak cukup memasukkan data ke dalam konverter berkas yang disediakan, lalu mengekspornya sebagai XML. Saat menyiapkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), beberapa data juga telah diisi sebelumnya. Misalnya, data pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, yang akan digunakan sebagai kredit pajak, atau data laporan laba rugi bagi wajib pajak badan yang diwajibkan menyampaikan laporan keuangan dalam format XBRL. Coretax mentransformasi proses bisnis pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh), baik untuk orang pribadi maupun badan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan beberapa panduan pengisian yang dapat dijadikan acuan wajib pajak dalam persiapan.

Tidak Dapat Mencetak SPT Bulanan Dan Hanya Menerima Notifikasi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan bahwa bukti pemotongan pajak bulanan (Bupot SPT Bulanan/BPMP) pegawai tetap tidak perlu dicetak. Hal ini menghilangkan fitur unduh PDF untuk BPMP. Oleh karena itu, pegawai tetap hanya akan menerima notifikasi di akun Coretax mereka dan tidak dapat mencetak BPMP, karena dirancang untuk tidak dicetak. “Proses bisnis BPMP di Coretax DJP berbeda dengan sistem e-Bupot 21 (DJP Online) yang lama. Penerima penghasilan yang dipotong akan menerima notifikasi di akun wajib pajak mereka setelah pemotongan dilakukan oleh pemberi kerja,” jelas DJP melalui Pusat Informasi Coretax, dikutip pada Jumat (19 September 2025). Sebagai informasi, terdapat dua jenis Bupot PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap. Pertama, Bukti Pemotongan Pajak Bulanan Pegawai Tetap, yang biasa disebut BPMP. Bukti pemotongan pajak ini digunakan sebagai bukti pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulan. Wajib pajak wajib membuat BPMB untuk setiap Masa Pajak selain Masa Pajak Final. BPMB ini mengakomodasi pemotongan PPh Pasal 21 di luar Masa Pajak Final, yang dihitung menggunakan tarif efektif rata-rata (TER). Sebelumnya, BPMB disebut Bupot PPh Pasal 21 Formulir 1721-A3. Kedua, Bupot PPh Pasal 21/26 Formulir BPA1. Berbeda dengan BPMP, Bupot PPh Pasal 21 BPA1 dibuat hanya untuk Masa Pajak Final. Perlu dicatat bahwa Masa Pajak Final tidak hanya mengacu pada Masa Pajak Desember. Masa Pajak Final mengacu pada Desember, yaitu Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja, atau Masa Pajak di mana pensiunan berhenti menerima manfaat pensiun. Sebelumnya, Bupot Formulir BPA1 disebut Bupot PPh Pasal 21 Formulir 1721-A1. Saat ini, PPh Bupot dibuat melalui modul coretax e-bupot.