Pemanfaatan Nilai Buku dalam Pengalihan Harta Kini Diajukan melalui Coretax

Pengajuan permohonan pemanfaatan nilai buku untuk pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan suatu badan usaha kini diajukan melalui coretax. Hal ini telah diatur dalam Pasal 44 ayat (3) Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER8/PJ/2025. Jika ditelusuri, permohonan tersebut dapat diajukan melalui modul Layanan Wajib Pajak, menu Layanan Administrasi, dan submenu Buat Aplikasi Layanan Administrasi. Aplikasi tersebut memiliki kode kategori sublayanan AS.13-01. “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) [permohonan pemanfaatan nilai buku] diajukan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak [coretax],” demikian bunyi Pasal 44 ayat (3) PER8/PJ/2025, dikutip pada Senin (23/6/2025). Sesuai ketentuan, wajib pajak harus menggunakan nilai pasar untuk pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha. Namun, dalam kondisi tertentu, wajib pajak diperbolehkan menggunakan nilai buku. Untuk dapat menggunakan nilai buku, wajib pajak harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. PER-8/PJ/2025 juga telah mengatur kriteria dan ketentuan agar wajib pajak dapat menggunakan nilai buku. Misalnya, terdapat 6 kriteria wajib pajak yang dapat melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku. Pertama, wajib pajak yang belum go public yang bermaksud melakukan penawaran umum perdana saham. Kedua, wajib pajak yang telah go public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana saham. Ketiga, wajib pajak badan yang memisahkan unit usaha syariah dalam rangka melaksanakan kewajiban pemisahan usaha berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Keempat, wajib pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil pemekaran tersebut menerima tambahan modal dari penanam modal asing paling sedikit Rp500 miliar. Kelima, Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang memperoleh tambahan penyertaan modal sepanjang pemekaran usaha dilakukan dalam rangka pembentukan perusahaan induk badan usaha milik negara, dengan cara: mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut tanpa melikuidasi badan usaha lama; mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva, yang dilakukan tanpa membentuk badan usaha baru dan tanpa melikuidasi badan usaha lama, dan merupakan pemecahan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN; atau mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva 2 atau lebih Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang usahanya dipisahkan dan menggabungkan usaha yang dipisahkan tersebut menjadi 1 badan usaha tanpa melikuidasi badan usaha lama yang dilakukan dalam serangkaian tindakan; atau Keenam, Wajib Pajak badan yang melakukan pemecahan usaha dalam rangka restrukturisasi badan usaha milik negara dengan cara: mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva, yang dilakukan tanpa membentuk badan usaha baru dan tanpa melikuidasi badan usaha lama, dan merupakan pemecahan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN; atau mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva 2 atau lebih Wajib Pajak badan yang usahanya dipisahkan dan menggabungkan usaha yang dipisahkan tersebut menjadi 1 badan usaha tanpa melikuidasi badan usaha lama yang dilakukan dalam serangkaian tindakan. Selain memenuhi ketentuan yang ditetapkan, ada 3 syarat yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk dapat mengajukan permohonan penggunaan nilai buku. Pertama, melampirkan surat pernyataan yang memuat alasan dan tujuan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha. Wajib Pajak juga harus melengkapi surat pernyataan tersebut dengan dokumen pendukung. Kedua, melampirkan surat pernyataan yang menerangkan bahwa penggabungan, peleburan, […]

PER-11/PJ/2025 Alasan Terperinci Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 turut memerinci sebab-sebab pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21. Merujuk pada Lampiran A PER-11/PJ/2025, pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dilakukan setelah pemotong pajak membetulkan bukti potong yang salah diisi, membatalkan bukti potong atas transaksi yang dibatalkan, atau membuat bukti potong atas pemotongan yang belum dilaporkan. Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21/26 tidak dapat dilakukan apabila telah disampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan atau surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan bunyi Lampiran A PER-11/PJ/2025. Bila pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dilakukan karena adanya kesalahan dalam pengisian dalam bukti potong, pemotong PPh Pasal 21 harus terlebih dahulu melakukan pembetulan atas bukti potong PPh Pasal 21 yang telah dibuat. Secara umum, pembetulan bukti potong PPh Pasal 21 dapat dilakukan atas setiap kesalahan pada bukti potong, kecuali salah nomor, salah masa pajak, dan salah identitas penerima penghasilan. Dalam hal pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 disebabkan oleh pembatalan transaksi, pemotong PPh Pasal 21 perlu terlebih dahulu membatalkan bukti potong PPh Pasal 21 yang sudah dibuat. Pembatalan bukti pemotongan PPh Pasal 21/26 dapat dilakukan dalam hal transaksi yang terutang PPh Pasal 21/26 telah dibatalkan, bunyi Lampiran A PER-11/PJ/2025. Sementara bila pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dilakukan karena adanya pemotongan PPh Pasal 21 yang belum dilaporkan, pemotong harus membuat bukti potong PPh Pasal 21 terlebih dahulu melalui mekanisme penambahan bukti potong. Ketika melakukan penambahan bukti potong, masa pajak yang dicantumkan dalam bukti potong PPh Pasal 21 adalah masa pajak terjadinya transaksi yang terutang pajak. Adapun tanggal yang dicantumkan dalam bukti potong PPh Pasal 21 adalah tanggal penerbitan bukti potong. Misal, PT DEF belum membuat bukti potong atas pembayaran imbalan kepada Tuan LL. Pembayaran imbalan dilakukan pada 12 Februari 2025. Namun, PT DEF baru membuat bukti potong atas pembayaran imbalan tersebut pada 2 Agustus 2025. Dalam kasus ini, masa pajak yang dicantumkan dalam bukti potong PPh Pasal 21 adalah Februari 2025, sedangkan tanggal yang dicantumkan adalah 2 Agustus 2025. Jika pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 mengakibatkan kekurangan pemotongan PPh Pasal 21, kekurangan tersebut harus dilunasi. Sedangkan jika pembetulan SPT menimbulkan kelebihan pemotongan, kelebihan dimaksud bisa dikompensasikan oleh pemotong ke masa pajak berikutnya tanpa harus berurutan.

Ingat, Ada 3 Jenis SPT Masa PPN untuk Pemungut PPN PMSE

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merinci jenis Surat Pemberitahuan Masa PPN yang digunakan oleh pelaku usaha yang menyelenggarakan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Rinciannya tercantum dalam Perdirjen Pajak No.PER-12/PJ/2025. Kebijakan yang berlaku mulai 22 Mei 2025 itu menegaskan pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pihak lain wajib melaporkan PPN yang telah dipungut dan disetor. Pelaporan tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN. “Pihak lain… wajib melaporkan PPN yang telah dipungut… dan disetor,… paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN, sesuai PER-12/PJ/2025 bunyi Pasal 13 ayat (1). Terdapat 3 jenis SPT Masa PPN yang digunakan oleh pelaku usaha PMSE sebagai pihak lain. Pertama, SPT Masa PPN bagi pengusaha kena pajak (PKP). Jenis SPT Masa PPN bagi PKP ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE dalam negeri yang merupakan PKP dan ditunjuk sebagai pihak lain. Kedua, SPT Masa PPN bagi pemungut PPN dan pihak lain yang bukan PKP. Jenis SPT Masa PPN ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE dalam negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain, tetapi bukan PKP. Ketiga, SPT Masa PPN bagi pemungut PPN PMSE. Jenis SPT Masa PPN ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain. Khusus bagi pelaku usaha PMSE luar negeri, SPT Masa PPN-nya dapat menggunakan Bahasa Indonesia dan/atau Bahasa Inggris. Adapun kewajiban pelaporan SPT Masa PPN tetap berlaku meski tidak terdapat pemungutan dan penyetoran PPN dalam suatu masa pajak. Seiring dengan berlakunya coretax, pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pihak lain harus melaporkan SPT Masa PPN tersebut via coretax. Selain berisi data-data yang diwajibkan, SPT Masa PPN tersebut harus memuat 4 data. Pertama, jumlah pemanfaat barang dan/atau pemanfaat jasa. Kedua, jumlah pembayaran transaksi, tidak termasuk PPN yang dipungut. Ketiga, jumlah PPN yang dipungut. Keempat, rincian transaksi PPN yang dipungut.

Orang Pribadi Akan Otomatis Punya NITKU, Setelah Terdaftar Sebagai Wajib Pajak

Contact Center Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak menyatakan seseorang yang telah terdaftar sebagai wajib pajak akan otomatis memiliki Nomor Induk Kependudukan (NITKU) NITKU merupakan nomor identitas yang diberikan kepada setiap tempat kegiatan usaha wajib pajak, termasuk tempat tinggal atau domisili wajib pajak. Ketentuan terkait NITKU juga diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-7/PJ/2025. Wajib pajak dapat mengecek NITKU secara mandiri melalui akun DJP Coretax masing-masing. NITKU dapat dicek dengan menekan menu Portal Saya, lalu klik menu Lokasi Kegiatan Usaha. Selain NITKU, Anda juga dapat melihat nama, alamat, dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 33 PER-7/PJ/2025, wajib pajak memerlukan NITKU untuk keperluan administrasi perpajakan terkait 6 hal. Pertama, mengidentifikasi lokasi tempat masing-masing pegawai bekerja dalam pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21. Kedua, memberikan akses kepada pengurus, pegawai di kantor cabang, atau pegawai di subunit organisasi wajib pajak untuk dapat membuat atau menandatangani bukti pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) dan faktur pajak. Ketiga, mengidentifikasi lokasi tempat tinggal, tempat kedudukan, dan cabang tempat kegiatan usaha wajib pajak orang pribadi tertentu (OPPT) dan wajib pajak badan yang dikenai PPh final untuk melaporkan peredaran usaha di setiap tempat dalam SPT Tahunan PPh. Keempat, mengidentifikasi alamat PKP, baik penjual barang kena pajak (BKP) atau penyedia jasa kena pajak (JKP) maupun pembeli BKP dan/atau penerima JKP. Identifikasi alamat ini untuk keperluan pembuatan faktur pajak. Selain itu, NITKU juga digunakan untuk mengidentifikasi alamat pembeli BKP dan/atau penerima JKP yang menerima penyerahan atau penyerahan BKP dan/atau JKP, guna pembuatan faktur pajak. Kelima, identifikasi lokasi objek PBB untuk pelaporan objek PBB. Keenam, administrasi perpajakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Rincian ketentuan NITKU dapat dilihat pada PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023 dan PER-7/PJ/2025.