Peraturan Terkait Pembebasan POT/PUT Bagi Wajib Pajak Yang Mengalami Rugi Fiskal

Wajib Pajak yang pada tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan (PPh) karena mengalami rugi fiskal dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER8/PJ/2025. Untuk memperoleh pembebasan pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, wajib pajak yang mengalami rugi fiskal harus memiliki surat keterangan bebas (SKB). Secara lebih rinci, berdasarkan Pasal 71 ayat (1) PER-8/PJ/2025, SKB diberikan kepada wajib pajak yang pada tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang PPh karena mengalami rugi fiskal apabila memenuhi salah satu dari 3 syarat. Pertama, wajib pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap penanaman modal. Kedua, wajib pajak yang belum sampai pada tahap produksi komersial. Ketiga, wajib pajak mengalami suatu kejadian di luar kekuasaannya (force majeure). Seiring dengan berlakunya coretax, permohonan pembebasan pemotongan dan/atau pemungutan PPh pihak lain (permohonan SKB) dilakukan secara elektronik melalui coretax. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 72 ayat (1) PER-8/PJ/2025. Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) PER-8/PJ/2025, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKB atau surat penolakan SKB dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerja sejak bukti penerimaan diterbitkan.  

DJP Dapat Melakukan Pemeriksaan Serentak dengan Negara Lain

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pemeriksaan serentak dengan negara/yurisdiksi mitra. Pemeriksaan serentak tersebut disebut sebagai pemeriksaan pajak serentak. Ketentuan mengenai pemeriksaan pajak serentak diatur dalam PMK 39/2017 dan Perdirjen Pajak No. PER-10/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 2 ayat (2) PMK 39/2017, DJP berwenang melakukan pemeriksaan pajak serentak dalam rangka pertukaran informasi perpajakan. “Pemeriksaan pajak serentak… dilaksanakan melalui kegiatan pemeriksaan yang dilakukan di Indonesia dan di satu atau lebih negara mitra atau yurisdiksi mitra secara serentak dan mandiri, berdasarkan kesepakatan antara pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk memperoleh dan bertukar informasi yang relevan,” bunyi Pasal 9 ayat (1) PMK 39/2017, dikutip Sabtu (28/6/2025). PER-10/PJ/2025 juga telah merinci ketentuan mengenai pemeriksaan pajak secara serentak. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PER-10/PJ/2025, pemeriksaan pajak secara serentak dapat dilakukan berdasarkan permintaan Direktur Jenderal Pajak atau berdasarkan permintaan pejabat yang berwenang di negara/yurisdiksi mitra. Secara lebih rinci, terdapat 3 alasan mengapa Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat yang berwenang di negara/yurisdiksi mitra melakukan pemeriksaan pajak secara serentak. Pertama, adanya keterkaitan permasalahan perpajakan antara wajib pajak di negara mitra atau yurisdiksi mitra dengan wajib pajak Indonesia. Kedua, adanya kesamaan kepentingan antara satu atau lebih otoritas pajak di negara mitra atau yurisdiksi mitra dengan Direktorat Jenderal Pajak terkait permasalahan perpajakan sebagaimana dimaksud pada poin pertama. Ketiga, adanya dugaan bahwa transaksi dan/atau kegiatan dilakukan untuk menghindari pajak dan/atau penggelapan pajak. Selain itu, PER-10/PJ/2025 juga mengatur tentang pendelegasian kewenangan untuk melaksanakan pemeriksaan pajak secara serentak. Berdasarkan Pasal 12 PER-10/PJ/2025, Direktur Jenderal Pajak mendelegasikan kewenangan untuk melaksanakan pemeriksaan pajak secara serentak kepada 2 pihak. Pertama, direktur perpajakan internasional. Kedua, pejabat unit eselon II di lingkungan DJP yang memiliki tugas dan fungsi di bidang perpajakan internasional.

Cara Ajukan Perubahan KPP Lewat Coretax Karena Perubahaan Alamat Kantor

Perusahaan yang melakukan perubahan alamat kantor harus mengajukan perubahan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar sesuai wilayah baru. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan agar perusahaan dapat mengajukan perubahan melalui Coretax. Lalu, bagaimana cara mengajukannya? Simak penjelasan DJP melalui akun resminya X (@kring_pajak). “Bagaimana prosedur untuk pindah alamat NPWP [Nomor Pokok Wajib Pajak] perusahaan? Misalnya, alamat sekarang ada di Jakarta Barat, namun akan pindah ke Jakarta Utara @kring_pajak. Saya sudah sempat telepon [Kring Pajak 1500200], namun saat tax agent bicara tiba-tiba terputus,” tanya salah satu warganet X Cara Ajukan Perubahan KPP melalui Coretax  Melalui akun resminya X, DJP memberikan penjelasan terkait tata cara pemindahan KPP melalui Coretax bagi Wajib Pajak yang melakukan pemindahan alamat kantor ke wilayah kerja KPP lain. “Hai, Kak. Apabila terdapat perubahan alamat yang berbeda wilayah kerja KPP, Wajib Pajak dapat mengajukan pemindahan Wajib Pajak melalui Coretax,” jelas DJP. Secara rinci, berikut cara pengajuannya: Masuk sistem Coretax https://coretaxdjp.pajak.go.id/; Pilih menu “Portal Saya”; Klik “Perubahan Data” ; Pilih “Perubahan Alamat Utama”; dan Klik “Perubahan alamat untuk Badan”. Pastikan menggunakan akun Person In Charge (PIC), kemudian impersonate Wajib Pajak badan. Dalam hal perusahaan tidak melaksanakan melalui Coretax, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan mutasi secara langsung; atau melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP/Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Pajak (KP2KP)/tempat lain yang ditentukan oleh direktur jenderal (dirjen) pajak. DJP juga menegaskan bahwa pemindahan alamat perusahaan berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat dilakukan tanpa harus mencabut status PKP-nya. Selain itu, pemindahan alamat perusahaan terdaftar hanya dapat dilakukan bagi Wajib Pajak dengan NPWP pusat. Bagi perusahaan dengan NPWP cabang, perusahaan harus terlebih dahulu mengajukan permohonan penghapusan NPWP pada KPP lama, kemudian mengajukan kembali pendaftaran NPWP cabang pada KPP baru.

Pemerintah Diminta Berikan Insentif Pajak bagi Sektor Padat Karya Untuk Cegah PHK

Saan Mustopa selaku Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan meminta pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk mencegah PHK massal. Saan mengatakan, pemerintah antara lain perlu menyiapkan peta jalan mitigasi PHK, yang meliputi insentif pajak bagi industri padat karya. Selain itu, pemerintah dapat memberikan stimulus pelatihan ulang bagi tenaga kerja, serta perlindungan sosial yang menyeluruh bagi pekerja terdampak. Saan kemudian menyoroti pentingnya keterlibatan Badan Anggaran (Banggar) dan komisi terkait di DPR untuk mengatasi fenomena PHK massal secara sistematis dan terukur. Menurutnya, pemerintah dan DPR dapat bekerja sama mencari solusi terbaik untuk mencegah PHK massal. Mengutip data Kementerian Ketenagakerjaan, hingga triwulan I 2025, lebih dari 38.000 pekerja telah di-PHK, dengan sektor manufaktur dan tekstil menjadi penyumbang terbesar. Terkait insentif pajak yang diajukan Saan, sejatinya terdapat fasilitas tax holiday bagi industri padat karya berdasarkan PMK 16/2020. Kebijakan ini menyebutkan wajib pajak yang melakukan penanaman modal pada industri padat karya tertentu dapat memperoleh fasilitas pajak penghasilan. Fasilitas pajak penghasilan yang diberikan berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud, termasuk tanah. Pengurangan penghasilan neto tersebut dibebankan selama 6 tahun sejak dimulainya produksi komersial atau sebesar 10% per tahun. Seluruh aktiva tetap yang diperhitungkan dalam pengurangan tersebut wajib digunakan untuk kegiatan usaha utama. Kegiatan usaha utama yang dimaksud adalah bidang usaha dan jenis produksi yang tercantum dalam izin usaha. Terdapat 3 persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh industri padat karya agar dapat memanfaatkan fasilitas ini, yaitu menjadi wajib pajak badan dalam negeri; menjalankan kegiatan usaha utama yang tercakup dalam 45 sektor industri padat karya sebagaimana diatur dalam lampiran PMK 16/2020; dan mempekerjakan paling sedikit 300 orang tenaga kerja Indonesia dalam satu tahun pajak. Fasilitas PPh yang diberikan berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 60% dari jumlah penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud, termasuk tanah. Pengurangan penghasilan neto tersebut dibebankan selama 6 tahun sejak dimulainya produksi komersial atau sebesar 10% per tahun. Semua aktiva tetap yang diperhitungkan dalam pengurangan tersebut wajib digunakan untuk kegiatan usaha utama. Kegiatan usaha utama yang dimaksud adalah bidang usaha dan jenis produksi yang tercantum dalam izin usaha. Terdapat 3 persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh industri padat karya agar dapat memanfaatkan fasilitas ini, yaitu menjadi wajib pajak badan dalam negeri; melaksanakan kegiatan usaha utama yang termasuk dalam 45 bidang industri padat karya sebagaimana diatur dalam lampiran PMK 16/2020; dan mempekerjakan paling sedikit 300 orang tenaga kerja Indonesia dalam satu tahun pajak. Di sisi lain, pemerintah juga memberikan insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) bagi pekerja di sektor padat karya berdasarkan PMK 10/2025. Melalui kebijakan ini, pemerintah mengatur pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember 2025. Insentif ini diberikan kepada pekerja yang bekerja di industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit, dan barang dari kulit. Insentif ini hanya diberikan kepada pekerja yang memperoleh penghasilan bruto paling tinggi Rp10 juta per bulan atau Rp500.000 per hari.

Toko Online yang Akan Dikenakan Pajak 0,5 Persen, Pemerintah Pastikan Bukan Pungutan Baru

Pemerintah akan memungut pajak dari penjualan toko daring pada e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, Lazada, Blibli hingga Bukalapak. Mengutip Reuters, Rabu (25/6/2025), nantinya platform e-commerce wajib memungut pajak penghasilan (PPh) sebesar 0,5 persen kepada toko daring yang memiliki omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Lebih lanjut, e-commerce juga wajib menyampaikan pemungutan PPh tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebagai informasi, pajak serupa sebelumnya telah diberlakukan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berjualan secara luring dan memiliki omzet lebih dari Rp500 juta, yakni PPh Final sebesar 0,5 persen. Bukan pajak baru Menanggapi kabar tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan aturan pajak toko daring bukanlah jenis pajak baru. Aturan ini hanya mengubah tata cara pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dalam transaksi e-commerce. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Rosmauli mengatakan, dalam aturan terbaru, marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut pajak dari para penjual di platformnya. Sebelumnya, para pedagang daring membayar pajak secara mandiri. “Rencana ketentuan ini bukanlah pengenaan pajak baru,” ujar Rosmauli dalam keterangan tertulis, Kamis (26/6/2025). Rosmauli mengatakan, tujuan penunjukan marketplace ini adalah untuk menyederhanakan proses. Sebab, sistem pengumpulannya dibuat lebih terpadu dan lebih mudah dijalankan oleh para pedagang. “Tujuan utama ketentuan ini adalah untuk menciptakan keadilan dan kemudahan,” katanya. “Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antarpelaku usaha.” Pemerintah juga melibatkan pelaku industri e-commerce serta kementerian dan lembaga lain dalam proses perumusannya. “Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aturan ini telah resmi ditetapkan, kami akan menyampaikannya secara terbuka, lengkap, dan transparan kepada publik,” kata Rosmauli.

Ini Akibat Dari Pembetulan SPT Masa PPh 21 atau Unifikasi Yang Timbulkan LB

Wajib pajak perlu memahami implikasi pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan SPT Masa PPh Unifikasi yang mengakibatkan kelebihan pembayaran. Apabila pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 mengakibatkan kelebihan pembayaran, maka Pasal 13 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 mengatur bahwa kelebihan pembayaran tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya tanpa harus berurutan. “…maka kelebihan pembayaran pajak yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 21/26 dapat dikompensasikan dengan pemotongan pajak PPh Pasal 21/26 ke masa pajak berikutnya tanpa harus berurutan,” demikian petikan Pasal 13 huruf b. Misalnya, PT ABC telah melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 masa pajak Januari 2025 karena kelebihan pembayaran sebesar Rp250.000. Pada tanggal 2 Mei 2025, PT ABC menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 masa pajak April 2025 dengan PPh Pasal 21 yang dipotong sebesar Rp5 juta. Dalam hal ini, PT ABC dapat mengompensasi kelebihan pembayaran pada masa pajak Januari 2025 ke masa pajak berikutnya tanpa harus berurutan, yaitu ke masa pajak April 2025. Berlaku aturan yang berbeda terhadap pembetulan SPT Masa PPh Terpadu yang mengakibatkan kelebihan pembayaran. Apabila kelebihan pembayaran terjadi akibat pembetulan SPT Masa PPh Terpadu, maka kelebihan pembayaran tersebut dapat diminta kembali dengan mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. “Dalam hal pembetulan SPT Masa PPh Terpadu mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat diminta kembali oleh pemotong dan/atau pemungut PPh Terpadu dengan mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang,” demikian bunyi Lampiran PER-11/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 122 PMK 81/2024, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal: terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak atau yang seharusnya tidak terutang; terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh wajib pajak terkait PDRI; terdapat kekeliruan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut menjadi lebih besar dari pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut; terdapat kekeliruan pemotongan atau pemungutan yang: – bukan merupakan objek pajak; atau – objek kena pajak dan/atau subjek pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan; atau terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan PPh terkait penerapan P3B bagi subjek pajak luar negeri.

DJP Berencana Minta Marketplace Pungut Pajak Merchant

Rencana pemerintah untuk menerapkan aturan baru yang mengharuskan platform e-commerce untuk memungut pajak atas pendapatan penjualan penjual saat ini tengah menimbulkan kehebohan. Informasi ini dimuat dalam laporan Reuters berjudul “Indonesia to make e-commerce firms collect tax on sellers’ sales”. Reuters mengabarkan, platform e-commerce akan diwajibkan memotong dan menyetorkan pajak ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebesar 0,5% dari omzet penjualan penjual dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Tarif tersebut serupa dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 sebesar 0,5% dari omzet penjualan. Disebutkan pula bahwa Kementerian Keuangan telah mengeluarkan aturan serupa pada akhir tahun 2018, yang mewajibkan semua operator e-commerce untuk membagikan data penjual dan meminta mereka untuk membayar pajak atas penghasilan penjual. Namun, ketentuan tersebut akhirnya dicabut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tiga bulan setelah menuai reaksi keras dari industri. Ketentuan saat itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK Elektronik) yang telah dicabut melalui PMK Nomor 31/PMK.010/2019. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto saat sesi tanya jawab pada Konferensi Pers realisasi APBN edisi Mei 2025 pada 17 Juni 2025 lalu sempat menyinggung soal penyelesaian ketentuan baru terkait perpajakan transaksi digital. Namun, ia tidak memberikan penjelasan lebih rinci terkait hal tersebut. “Beberapa kerangka regulasi yang terkait dengan pemajakan transaksi digital itu sudah kami selesaikan dan nanti akan kami sampaikan lebih detail,” ucap Bimo kala itu. Ia hanya menegaskan ketentuan baru terkait perpajakan tersebut ditujukan untuk meningkatkan tax ratio seperti menjawab pertanyaan terkait upaya apa saja yang akan dilakukannya setelah mendapatkan peran baru sebagai Dirjen Pajak untuk meningkatkan tax ratio di luar dari sisi Coretax. “Tentu ada guidance yang sudah kami komitmen kan dalam UU APBN, jadi bagaimana kita akan meningkatkan ekstensifikasi dan intensifikasi,” tegasnya

SPT Era Coretax Standarisasi Lampiran Perhitungan Fasilitas Pasal 31E

Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 juga menyeragamkan lampiran SPT Tahunan yang digunakan dalam hal wajib pajak memanfaatkan fasilitas pengurangan tarif PPh badan berdasarkan Pasal 31E UU PPh. Lampiran SPT Tahunan yang perlu diisi untuk melaporkan perhitungan fasilitas pengurangan tarif PPh Pasal 31E UU PPh adalah Lampiran 8 – Perhitungan Fasilitas Pengurangan Tarif PPh Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) UU PPh. “Wajib diisi dan disampaikan apabila wajib pajak berhak memperoleh pengurangan tarif PPh berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) UU PPh,” demikian bunyi Lampiran PER-11/PJ/2025, dikutip Rabu (25/6/2025). Sebagaimana diatur dalam Pasal 31E UU PPh, pengurangan tarif PPh badan sebesar 50% berlaku bagi wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran usaha paling banyak Rp50 miliar. Pengurangan tarif tersebut berlaku atas penghasilan kena pajak bagian peredaran usaha sampai dengan Rp4,8 miliar. Secara umum, ada 3 informasi yang perlu dicantumkan dalam Lampiran 8, yaitu peredaran bruto, penghasilan kena pajak yang menerima dan tidak menerima fasilitas, dan PPh terutang. Angka 1 – Peredaran Bruto pada Lampiran 8 diisi dengan seluruh penghasilan dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha setelah dikurangi retur/potongan penjualan/diskon tunai sebelum dikurangi biaya-biaya untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan. Penghasilan yang tercantum pada Angka 1 – Peredaran Bruto merupakan penghasilan yang dikenakan PPh final, PPh tidak final, dan yang dikecualikan dari objek pajak. Pada Angka 2 – Penghasilan Kena Pajak terdapat 2 bagian yang harus diisi, yaitu Angka 2 Huruf a – Penghasilan Kena Pajak dari Bagian Peredaran Bruto yang Mendapatkan Fasilitas dan Angka 2 Huruf b – Penghasilan Kena Pajak dari Bagian Peredaran Bruto yang Tidak Mendapatkan Fasilitas. Rumus untuk penghasilan kena pajak yang mendapatkan fasilitas adalah: Sebagai informasi, penghasilan kena pajak yang tidak mendapatkan fasilitas adalah penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan penghasilan kena pajak yang mendapatkan fasilitas. Pada Nomor 3 – PPh Terutang terdapat 2 bagian yang harus diisi, yaitu Nomor 3 Huruf a – PPh Terutang atas Penghasilan Kena Pajak dari Bagian Peredaran Bruto yang Mendapatkan Fasilitas dan Nomor 3 Huruf b – PPh Terutang atas Penghasilan Kena Pajak dari Bagian Peredaran Bruto yang Tidak Mendapatkan Fasilitas. Perlu diketahui, PPh yang terutang atas penghasilan kena pajak yang tidak mendapatkan fasilitas adalah tarif PPh badan Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh (22%) dikalikan dengan penghasilan kena pajak yang tidak mendapatkan fasilitas. Besarnya PPh yang terutang yang wajib dicantumkan pada Angka 4 – Jumlah PPh yang terutang dan dipindahbukukan ke SPT induk adalah hasil penjumlahan Angka 3 Huruf a – PPh yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dari Bagian Peredaran Bruto yang Mendapatkan Fasilitas dan Angka 3 Huruf b – PPh yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dari Bagian Peredaran Bruto yang Tidak Mendapatkan Fasilitas.

Koreksi Fiskal Harus Dilengkapi Kode Khusus di Era Coretax

Koreksi fiskal dalam SPT Tahunan di era Sistem Administrasi Coretax perlu dilakukan dengan mencantumkan kode penyesuaian fiskal. Merujuk pada Lampiran PER-11/PJ/2025, terdapat 11 kode penyesuaian fiskal positif dan 4 penyesuaian fiskal negatif yang perlu diperhatikan oleh wajib pajak orang pribadi dan badan. Kode penyesuaian fiskal tercantum pada kolom kode penyesuaian fiskal pada lampiran rekonsiliasi laporan keuangan dalam SPT Tahunan orang pribadi atau badan. “Kolom ini diisi dengan kode penyesuaian fiskal sesuai pilihan yang tersedia,” demikian bunyi Lampiran PER-11/PJ/2025. Kode penyesuaian fiskal positif yang tersedia dalam PER-11/PJ/2025 meliputi: FPO-01 – biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau tanggungannya; FPO-02 – premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayarkan oleh wajib pajak; FPO-04 – jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak terkait sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; FPO-05 – aset yang disumbangkan, bantuan atau sumbangan; FPO-06 – Pajak Penghasilan; FPO-07 – gaji yang dibayarkan kepada pemilik/tanggungan; FPO-08 – sanksi administratif; FPO-09 – selisih antara penyusutan komersial dan penyusutan fiskal; FPO-10 – selisih antara amortisasi komersial dan amortisasi fiskal; FPO-11 – biaya untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final dan penghasilan yang tidak termasuk dalam objek kena pajak; FPO-12 – penyesuaian fiskal positif lainnya. Sementara itu, kode penyesuaian fiskal negatif yang terdapat dalam PER-11/PJ/2025 antara lain: FNE-01 – penghasilan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang tidak termasuk objek kena pajak tetapi termasuk dalam peredaran usaha; FNE-02 – selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal FNE-03 – selisih amortisasi komersial di bawah amortisasi fiskal FNE-04 – penyesuaian fiskal negatif lainnya. Apabila terdapat lebih dari satu jenis koreksi fiskal dalam satu akun laporan laba rugi, wajib pajak dapat mencantumkan lebih dari 1 kode penyesuaian fiskal. Sebagai informasi, koreksi fiskal positif dan negatif dalam SPT Tahunan dilakukan langsung pada bagian laporan keuangan pada Lampiran 3A-1 sampai dengan 3A-3 dalam SPT Tahunan Orang Pribadi dan Lampiran 1A sampai dengan 1L dalam SPT Tahunan Badan. Koreksi fiskal positif dan negatif wajib dirinci pada kolom penyesuaian fiskal positif dan kolom penyesuaian fiskal negatif untuk masing-masing akun laporan laba rugi. Koreksi fiskal positif adalah penyesuaian terhadap pendapatan komersial bersih yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan komersial atau mengurangi biaya komersial. Sementara itu, koreksi fiskal negatif adalah penyesuaian yang dimaksudkan untuk mengurangi pendapatan komersial atau meningkatkan biaya komersial.

PER-11/PJ/2025 Ubah Mekanisme Pembetulan SPT Tahunan di Era Coretax

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 turut mengubah mekanisme pembetulan SPT Tahunan. Jika Wajib Pajak Orang Pribadi melakukan pembetulan SPT Tahunan, wajib mengisi Bagian F – Pembetulan pada SPT induk. Jika Wajib Pajak Badan melakukan pembetulan, wajib mengisi Bagian F Nomor 18 – Pembetulan pada SPT induk. Bagian ini diisi jika Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang dibetulkan, baik pembetulan pertama, kedua, maupun pembetulan selanjutnya. Dalam hal SPT Tahunan PPh yang disampaikan berstatus normal, bagian ini tidak perlu diisi. Untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan, wajib pajak perlu mencantumkan jumlah PPh kurang bayar, lebih bayar, atau nihil pada SPT Tahunan pembetulan. Pada SPT Tahunan orang pribadi, nilai PPh pada SPT tahun sebelumnya tercantum pada Bagian F Angka 12 Huruf a – PPh Kurang Bayar/Lebih Bayar pada SPT Tahunan Pembetulan. Pada SPT Tahunan badan usaha, nilai PPh pada SPT tahun sebelumnya tercantum pada Bagian F Angka 18 Huruf a – PPh Kurang Bayar/Lebih Bayar pada SPT Tahunan Pembetulan. Setelah itu, wajib pajak perlu menghitung PPh kurang bayar/lebih bayar akibat pembetulan. Nilai PPh kurang bayar/lebih bayar akibat pembetulan adalah jumlah PPh kurang bayar/lebih bayar dikurangi dengan jumlah PPh kurang bayar/lebih bayar pada SPT Tahunan pembetulan. Dalam SPT Tahunan orang pribadi, PPh kurang/lebih bayar karena pembetulan dicantumkan pada Bagian F Angka 12 Huruf b – PPh Kurang/Lebih Bayar Karena Pembetulan. Dalam SPT Tahunan badan, PPh kurang/lebih bayar karena pembetulan dicantumkan pada Bagian F Angka 18 Huruf b – PPh Kurang/Lebih Bayar Karena Pembetulan. Misalnya, wajib pajak orang pribadi menyampaikan SPT Tahunan tahun 2025 dengan jumlah kurang bayar sebesar Rp1,1 juta. Pada bulan Mei tahun 2026, wajib pajak yang bersangkutan melakukan pembetulan sehingga jumlah kurang bayarnya menjadi Rp1 juta. Dalam hal ini, PPh kurang bayar berdasarkan pembetulan dicantumkan pada Bagian E Angka 11 Huruf a – PPh Kurang/Lebih Bayar, sedangkan PPh kurang bayar pada SPT lama, yaitu yang dibetulkan, dicantumkan pada Bagian F Angka 12 Huruf a – PPh Kurang/Lebih Bayar pada SPT yang Dibetulkan. Nilai yang tercantum pada Bagian F Angka 12 Huruf b – Kurang Bayar/Lebih Bayar PPh yang Dikenakan Pembetulan adalah Rp1 juta – Rp1,1 juta = (Rp100.000). Kelebihan bayar sebesar Rp100.000 diajukan untuk pengembalian dengan mengisi Bagian G – Permohonan Pengembalian Kelebihan Bayar PPh. Pengisian SPT Tahunan pembetulan sesuai contoh di atas adalah sebagai berikut: Perlu dicatat, terdapat opsi khusus dalam hal wajib pajak: 1. menyampaikan SPT normal berstatus lebih bayar; 2. nilai lebih bayar pada SPT pembetulan menjadi lebih kecil, menjadi nihil, atau menjadi kurang bayar; dan 3. nilai lebih bayar pada SPT yang dibetulkan tidak pernah diajukan pengembalian pendahuluan. Wajib pajak yang memenuhi 3 kriteria di atas dapat mencentang kotak Ganti SPT Sebelumnya dan mengisi angka 0 pada Bagian F Angka 12 Huruf a – PPh Kurang/Lebih Bayar Pada SPT yang Dibetulkan dari SPT Tahunan orang pribadi atau pada Bagian F Angka 18 Huruf a – PPh yang Kurang/Lebih Bayar pada SPT yang Dibetulkan dari SPT Tahunan badan. Contoh, wajib pajak badan menyampaikan SPT dengan nilai lebih bayar senilai Rp200 juta. Wajib pajak lalu mengajukan restitusi berdasarkan pemeriksaan. […]