Sejak diluncurkan awal tahun 2025 lalu, sistem administrasi perpajakan Coretax milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membawa banyak perubahan mendasar, salah satunya adalah hadirnya fitur Person In Charge (PIC). Fitur ini memungkinkan wajib pajak badan untuk menunjuk perwakilan, seperti karyawan atau staf pajak internal, untuk membantu mengelola kewajiban perpajakan secara langsung tanpa harus menggunakan akun pimpinan perusahaan. Sebelum Coretax diimplementasikan, seluruh aktivitas perpajakan, mulai dari pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), pembuatan kode billing, hingga input dokumen di kanal digital seperti E-Billing dan E-Bupot, hanya dapat dilakukan oleh pimpinan dengan menggunakan akun pribadinya. Kini, melalui Coretax, hal tersebut dapat dilakukan oleh PIC yang ditunjuk, tentunya dengan akses yang terbatas dan terkendali. Meskipun PIC diberikan kemudahan dalam mengakses dan mengelola kewajiban perpajakan, namun penunjukannya tetap harus dilakukan langsung oleh pimpinan perusahaan. Proses Pengajuan hanya dapat dilakukan secara langsung di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Pimpinan cukup membawa identitas PIC yang akan ditunjuk, seperti KTP untuk ditunjukkan sebagai pengguna yang sah di Coretax DJP. PIC yang disetujui selanjutnya dapat membuat akun sendiri dan memperoleh kredensial login secara terpisah, tanpa harus menggunakan data pribadi pimpinan. Dengan begitu, setiap aktivitas dapat terlacak secara transparan dan tidak melanggar prinsip keamanan data. Cara Membuat Akun PIC di Coretax DJP Proses pembuatan akun PIC di Coretax DJP tergolong mudah dan mirip dengan proses pembuatan akun pengguna pada umumnya. Berikut langkah-langkahnya: Login ke situs Coretax DJP, lalu pilih opsi registrasi pengguna baru. Isi data diri, seperti nomor KTP/NIK, nomor ponsel yang masih aktif, dan alamat email yang terdaftar. Lakukan verifikasi wajah melalui fitur pemindai langsung pada platform. Setelah verifikasi berhasil, sistem akan mengirimkan notifikasi ke email Anda yang berisi tautan untuk membuat kata sandi. Kemudian PIC dapat login ke Coretax DJP menggunakan NIK dan kata sandi yang telah dibuat. Setelah berhasil login, Pimpinan dapat mengecek apakah nama Wajib Pajak badan yang dilingkarinya sudah muncul di dashboard. Jika sudah, maka proses penunjukan dan aktivasi berhasil. Meskipun Pimpinan diberikan akses untuk melakukan berbagai tugas perpajakan, seperti melakukan penagihan, pengisian SPT, dan pengunggahan dokumen, namun kewenangan utama tetap berada di tangan direktur. Penandatanganan dokumen penting seperti SPT tahunan dan faktur pajak tetap hanya dapat dilakukan oleh direktur. Hal ini bertujuan untuk menjaga integritas dan keamanan data perusahaan. Dengan hadirnya fitur Pimpinan, para direktur tidak perlu lagi berbagi akses pribadi dengan staf, dan pekerjaan administratif dapat dibagi secara efisien. Selain meningkatkan akurasi pelaporan, sistem ini juga menyediakan verifikasi dua lapis sebelum data resmi terkirim ke DJP. Coretax DGT dengan fitur PIC membuka era baru dalam penyelenggaraan administrasi perpajakan Wajib Pajak badan. Manajemen dapat lebih kolaboratif antara pimpinan dan staf, tanpa mengorbankan aspek keamanan dan legalitas. Inovasi ini sejalan dengan upaya DJP dalam meningkatkan kepatuhan perpajakan berbasis sistem digital yang efisien dan akuntabel. Dengan memahami cara kerja fitur PIC, perusahaan dapat memanfaatkan sistem Coretax secara maksimal, sekaligus memastikan seluruh kewajiban perpajakan dilaksanakan tepat waktu dan sesuai ketentuan yang berlaku.
Terkait Perpanjangan PPh Final Bagi UMKM, Revisi PP 55/2022 Masih Disusun
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan pemerintah tetap memberikan perpanjangan masa PPh final dengan tarif 0,5% bagi UMKM orang pribadi meski PP 55/2022 belum direvisi. Pemerintah masih menyiapkan revisi PP 55/2022. Kementerian Keuangan juga masih menunggu pembahasan revisi PP tersebut di Kementerian Sekretariat Negara. Status PP saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antar kementerian dari Kementerian Sekretariat Negara. PP 55/2022 pasal 59 mengatur masa pajak penghasilan final bagi UMKM paling lama 7 tahun pajak bagi orang pribadi; 4 tahun pajak bagi koperasi, persekutuan komanditer, firma, BUMDes/BUMDesma, atau perusahaan orang pribadi yang didirikan oleh 1 orang; dan 3 tahun pajak bagi perseroan terbatas. Khusus masa pengenaan pajak penghasilan final tersebut melanjutkan masa berdasarkan PP 23/2018 atau tidak diulang dari awal. Apabila orang pribadi terdaftar setelah PP 23/2018 mulai berlaku pada tahun 2018, berarti pemanfaatan pajak penghasilan final tersebut paling lama sampai dengan tahun pajak 2024. Namun, pada Desember 2024, pemerintah menyatakan akan memperpanjang masa pemanfaatan rezim pajak penghasilan final sebesar 0,5% bagi UMKM orang pribadi melalui revisi PP tersebut. Meski PP 55/2022 belum direvisi, UMKM perorangan tetap bisa memanfaatkan skema PPh final. UMKM perorangan memang sudah kehabisan waktu 7 tahun untuk memanfaatkan PPh final 0,5% pada 2024, tetapi mereka tetap bisa membayar PPh final 0,5% pada 2025. Sebagai informasi, pemerintah telah menyampaikan rencana revisi PP 55/2022 untuk memperpanjang jangka waktu pemanfaatan PPh final 0,5% bagi UMKM perorangan sejak Desember 2024.
Berdasarkan PER-11/2025, PKP Pedagang Eceran Tidak Berdasarkan KLU
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025) menegaskan bahwa PKP pedagang eceran tidak ditetapkan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha (KLU). Pasal 51 ayat (4) PER-11/2025 menyatakan bahwa: “Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ditentukan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, tetapi berdasarkan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2).” Dengan demikian, meskipun wajib pajak memiliki KLU selain pengecer, sepanjang terjadi pengalihan BKP dan/atau JKP kepada pembeli atau penerima yang merupakan konsumen akhir, wajib pajak dapat membuat faktur pajak pedagang eceran. Perlu diketahui, ketentuan ini sebelumnya telah diatur dalam Pasal 25 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 (PER-03/2022). Ciri konsumen akhir menurut Pasal 52 ayat (2) PER-11/2025 adalah pembeli barang dan/atau penerima jasa mengonsumsi secara langsung barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima, dan pembeli barang dan/atau penerima jasa tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima untuk kegiatan usaha. Pedagang eceran PKP dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli BKP dan/atau penerima JKP, serta nama dan tanda tangan yang berwenang menandatangani faktur pajak. Namun, faktur pajak harus dibuat dengan memuat paling sedikit informasi sebagai berikut: nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP; jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut; dan kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak.