DJP Perketat Penggunaan Virtual Office sebagai Tempat Pengukuhan PKP

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 telah memperketat syarat penggunaan kantor virtual sebagai tempat pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP). Merujuk pada Pasal 51 ayat (1) PER-7/PJ/2025, pengusaha badan dapat menggunakan kantor virtual sebagai tempat pengukuhan PKP sepanjang pengusaha memiliki tempat kedudukan di kantor virtual dan hanya memiliki 1 tempat kegiatan usaha di kantor virtual tersebut; atau bila pengusaha memiliki tempat kedudukan di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB). “… kantor virtual adalah suatu kantor yang memiliki ruang fisik dan dilengkapi dengan layanan pendukung kantor yang disediakan oleh pengusaha jasa kantor virtual untuk dapat digunakan sebagai tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 atau lebih pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office), bunyi penggalan Pasal 1 angka 48 PER-7/PJ/2025. Dalam hal pengusaha yang memiliki tempat kedudukan di kantor virtual dan hanya memiliki 1 tempat kegiatan usaha di kantor virtual tersebut hendak menggunakan kantor virtual tersebut sebagai tempat pengukuhan PKP, terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi. Memiliki klasifikasi lapangan usaha utama di bidang jasa yang kegiatan usahanya dapat dilakukan di kantor virtual. Memiliki kontrak, perjanjian, atau dokumen antara pengusaha dan penyedia jasa kantor virtual dengan durasi kontrak penggunaan kantor virtual minimal 1 tahun terhitung sejak pengajuan permohonan PKP diajukan. Tidak menggunakan kantor virtual semata-mata sebagai tempat korespondensi. Bila pengusaha bertempat kedudukan di kantor virtual dan memiliki lebih dari 1 tempat kegiatan usaha, tempat pengukuhan PKP harus berada di tempat kegiatan usaha lain selain kantor virtual tersebut. Dalam hal pengusaha badan yang memiliki tempat kedudukan di KPBPB hendak menggunakan kantor virtual sebagai tempat pengukuhan PKP, 3 syarat yang harus dipenuhi yakni: Tidak memiliki tempat kegiatan usaha lain di luar KPBPB yang berada selain di kantor virtual. Memiliki kontrak, perjanjian, atau dokumen antara pengusaha dan penyedia jasa kantor virtual dengan durasi kontrak penggunaan kantor virtual minimal 1 tahun terhitung sejak pengajuan permohonan PKP diajukan. Tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha yang berada di KPBPB telah diuji dan dibuktikan secara nyata memiliki kegiatan usaha. Lebih lanjut, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pengusaha penyedia jasa kantor virtual agar kantor virtual miliknya bisa digunakan sebagai tempat pengukuhan PKP, yaitu: Pengusaha penyedia jasa kantor virtual harus sudah dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha penyedia jasa kantor virtual harus menyediakan ruang fisik untuk melakukan kegiatan usaha bagi pengusaha yang dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha penyedia jasa kantor virtual harus secara nyata menyediakan layanan pendukung kantor. Tak hanya itu, pengusaha penyedia jasa kantor virtual harus memiliki kontrak penyediaan jasa kantor virtual dengan pengusaha dan memiliki izin berupa nomor induk berusaha (NIB) atau dokumen sejenisnya. PER-7/PJ/2025 telah ditetapkan dan dinyatakan mulai berlaku pada 21 Mei 2025

Ingat! Relaksasi Penerbitan Faktur Pajak di Coretax Sudah Tak Ada

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan pelaku usaha bahwa relaksasi penerbitan Faktur Pajak akibat penyesuaian implementasi Coretax sudah tidak ada. Pasalnya, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025, masa transisi diberikan selama tiga bulan, yaitu sejak 1 Januari 2025 hingga 31 Maret 2025. “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha terkait penyesuaian sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak, pemerintah telah menerbitkan PER-1/PJ/2025 pada tanggal 3 Januari 2025. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi relaksasi terkait penerbitan Faktur Pajak, pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan pembayaran pajak,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti kepada Pajak.com, (12/6/25). Sebelumnya, isi pokok dari PER-01/PJ/2025 tentang Petunjuk Teknis Pembuatan Faktur Pajak Dalam Rangka Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean adalah sebagai berikut: Faktur Pajak yang diterbitkan atas penyerahan, selain barang mewah, dengan mencantumkan nilai PPN terutang sebesar: Tarif PPN 11 persen dikali dengan harga jual (seharusnya 12 persen x 11/12 x harga jual); atau Tarif PPN 12 persen dikali dengan harga jual (seharusnya 12 persen x 11/12 x harga jual), dianggap benar dan tidak dikenakan sanksi. Adapun Faktur Pajak yang selama ini berlaku untuk tarif umum adalah faktur dengan kode transaksi 01. Namun, dengan mulai berlakunya PMK Nomor 131 Tahun 2024, digunakan khusus untuk barang mewah yang terkena tarif PPN 12 persen. Sedangkan, barang-barang nonmewah yang kini tarif PPN efektifnya menjadi 11 persen—karena adanya ketentuan DPP menggunakan nilai lain (11/12), harus menggunakan Faktur Pajak dengan kode transaksi 04. Sebagai aturan turunan dari PMK Nomor 131 Tahun 2024, ketentuan penerbitan Faktur Pajak dan pelaporan SPT Masa PPN dituangkan dalam PER-11/Pj/2025 tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/ingat-relaksasi-penerbitan-faktur-pajak-di-coretax-sudah-tak-ada/

PER-7/2025 Terbit: Coretax Kini Gunakan Identitas Pajak Selain NPWP!

Jakarta – Pemerintah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/Pj/2025  tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Serta Perincian Jenis, Dokumen, dan Saluran Untuk Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (PER-7/2025). Salah satu isi dari aturan yang berlaku mulai 21 Mei 2025 ini adalah mengenai ketentuan penggunaan Nomor Identitas Perpajakan yang digunakan dalam Coretax, selain Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). “Bahwa untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, dan meningkatkan pelayanan serta sehubungan dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan PMK tentang Ketentuan Pelaksanaan Bea Meterai, perlu dilakukan penyesuaian dan penyederhanaan ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan administrasi,” tulis bagian Pertimbangan PER-7/2025, dikutip Pajak.com, (11/6/25). Penggunaan Nomor Identitas Perpajakan  Pada Pasal 7 PER-7/2025 dikatakan bahwa selain NPWP,  direktur jenderal (dirjen) pajak menerbitkan Nomor Identitas Perpajakan berdasarkan permohonan atau secara jabatan. Adapun Nomor Identitas Perpajakan berupa: Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi orang pribadi yang merupakan penduduk; dan Nomor dengan format 16 digit yang dihasilkan oleh sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bagi orang pribadi bukan penduduk dan badan. Kriteria yang dapat Menggunakan Nomor Identitas Perpajakan Berikut kriteria orang pribadi atau badan yang dapat menggunakan Nomor Identitas Perpajakan: Subjek pajak luar negeri yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh menteri untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; Perwakilan negara asing, badan atau organisasi internasional, beserta pejabatnya yang bukan merupakan subjek pajak namun membutuhkan identitas perpajakan untuk kepentingan administrasi perpajakan; Subjek pajak luar negeri yang berada di Indonesia dan sedang dilakukan penagihan pajak oleh dirjen pajak berdasarkan permohonan negara mitra atau yurisdiksi mitra; Orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan menerima atau memperoleh akumulasi penghasilan pada tahun pajak berjalan belum melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP); Wanita kawin yang menghendaki pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan digabung dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami, sepanjang NIK wanita kawin dimaksud telah tercantum sebagai bagian dari data unit keluarga (DUK) dalam sistem administrasi DJP; Anak yang belum dewasa, yaitu anak yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah menikah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan (PPh), sepanjang NIK anak dimaksud telah tercantum sebagai bagian dari DUK dalam sistem administrasi DJP; dan Orang pribadi atau badan lainnya yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif atau bukan merupakan subjek pajak sesuai ketentuan dalam Pasal 16 ayat (6) dan Pasal 39 ayat (4) PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Nomor Identitas Perpajakan berupa NIK dapat digunakan secara langsung tanpa harus melalui permohonan atau secara jabatan sepanjang memenuhi ketentuan: Dapat divalidasi sistem administrasi DJP; dan Belum diaktivasi sebagai NPWP. Fungsi Nomor Identitas Perpajakan  Nomor Identitas Perpajakan orang pribadi atau badan berfungsi sebagai: Pemberian Akun Wajib Pajak; Penyetoran dan/atau pelaporan pajak; Pencantuman identitas pihak yang dilakukan pemotongan atau pemungutan; Pencantuman identitas pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak dalam […]