Wacana penerapan tax amnesty kembali mencuat seiring dengan masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld berharap program tax amnesty bukan sekadar alat untuk mengejar penerimaan negara dalam jangka pendek, tetapi harus menjadi landasan bagi reformasi sistem perpajakan Indonesia yang menyeluruh dan berkelanjutan. Untuk itu, IKPI mengusulkan enam rekomendasi strategis. Hal tersebut disampaikan Vaudy dalam Diskusi Panel IKPI bertajuk Tax Amnesty: Efektifkah dalam Mempercepat dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?, di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, (13/6/25). Dengan demikian, ia berpandangan Indonesia tidak bisa terus menerus menjadikan tax amnesty sebagai solusi tambal sulam. 6 Rekomendasi Strategis IKPI Ia menyebutkan enam rekomendasi utama IKPI agar tax amnesty tidak hanya menjadi obral amnesty, tetapi menjadi alat reformasi sistemik. Pertama, dorong kepatuhan sukarela melalui pemeriksaan yang jelas. Kedua, pembenahan kelembagaan, termasuk mendorong pembentukan Badan Pendapatan Negara (BPN). Ketiga, perkuat infrastruktur kepatuhan dan sistem pelaporan aset. Keempat, jangan sampai tax amnesty terulang dalam waktu dekat untuk menjaga kredibilitas sistem. Kelima, jadikan tax amnesty sebagai fondasi reformasi perpajakan. Keenam, perkuat sanksi dan pemeriksaan pascaprogram. Menurut Vaudy, program amnesti pajak berpotensi menggeser ekonomi bawah tanah ke sektor formal. Hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan rasio pajak dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata. “Jika rasio pajak sudah tinggi dan kepatuhan sudah terbangun dengan baik, tentu kita tidak lagi membutuhkan amnesti pajak di masa mendatang. Namun kini, ini bisa menjadi alat transisi menuju sistem perpajakan yang lebih sehat dan strategis,” kata Vaudy. Dengan semangat perbaikan struktural dan integritas sistem, IKPI berharap pemerintah tidak melihat amnesti pajak hanya sebagai solusi jangka pendek, tetapi sebagai momentum untuk membangun arsitektur kepatuhan jangka panjang. Hal senada juga diutarakan oleh Sekretaris Jenderal IKPI Lektor Kepala Edy Gunawan. Ia mengatakan, amnesti pajak yang pernah dilaksanakan di era Presiden Soekarno (1964), Presiden Soeharto (1984), hingga Presiden Joko Widodo (2016), sejatinya memiliki tujuan jangka panjang yang lebih penting dari sekadar angka penerimaan. “Pengampunan pajak bukan sekadar menambah penerimaan. Itu efek jangka pendek. Yang terpenting adalah perbaikan tata kelola data perpajakan,” jelas Edy. Ia juga menyoroti keberhasilan pengampunan pajak 2016 yang mampu mengungkap aset senilai Rp4.884 triliun. Karena itu, program pengampunan pajak membantu negara menyaring dan mendeteksi potensi pajak yang selama ini tersembunyi. “Ada tiga penyebab aset baru terungkap, yakni karena belum dilaporkan, karena pelaporan sebelumnya tidak lengkap, atau karena faktor lainnya. Nah, dengan data yang terkelola, sistem perpajakan menjadi lebih akurat dan adil,” imbuh Edy. Oleh karena itu, ia mengingatkan perlunya momentum yang tepat untuk pelaksanaan pengampunan pajak. Menurut Edy, jika program ini terlalu sering digelar dalam waktu yang singkat, efektivitasnya akan menurun. “Literatur dan pengalaman menunjukkan bahwa jika terlalu dekat dengan program sebelumnya, hasilnya akan minimal. Namun jika diberi jeda 10 hingga 15 tahun, dampaknya akan lebih kuat – baik terhadap pendapatan maupun kepatuhan wajib pajak,” katanya.
Faktur Pajak Gabungan Memberikan Kemudahan Dan Efisiensi Bagi PKP
Baru-baru ini, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam Rangka Penerapan Sistem Administrasi Inti. Salah satu aspek penting yang diatur dalam peraturan ini adalah mengenai Faktur Pajak Gabungan. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan efisiensi administratif bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), khususnya dalam transaksi yang berulang dengan pembeli atau penerima jasa yang sama. Apa Itu Faktur Pajak Gabungan? Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) PER-11/PJ/2025, Faktur Pajak Gabungan adalah satu Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. Syarat dan Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Gabungan: Dibuat Paling Lambat pada Akhir Bulan Penyerahan: Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP. Dalam hal terjadi pembayaran sebagian atau seluruhnya sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP diterima pada bulan penyerahan, Faktur Pajak Gabungan tetap harus dibuat paling lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP. Faktur Pajak dengan Kode Transaksi yang Berbeda: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang harus dilakukan dengan menggunakan lebih dari 1 (satu) kode transaksi, Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Gabungan untuk penyerahan kode transaksi yang sama untuk setiap kode transaksi yang dimaksud. Tidak Berlaku untuk Fasilitas PPN dan/atau PPnBM Tidak Dipungut: Faktur Pajak Gabungan tidak dapat dibuat atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN dan/atau PPnBM tidak dipungut sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan BKP dan/atau JKP ke dan/atau dari daerah atau tempat tertentu. Manfaat Pengaturan Faktur Pajak Gabungan: Dengan adanya Pengaturan Faktur Pajak Gabungan ini diharapkan dapat menyederhanakan administrasi Wajib Pajak, yaitu dengan mengurangi jumlah Faktur Pajak yang harus dibuat oleh PKP, terutama bagi PKP yang memiliki banyak transaksi berulang dengan satu pelanggan. Dengan peraturan ini, pemerintah berupaya menciptakan lingkungan perpajakan yang lebih bersahabat dan efisien, yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mendorong pertumbuhan ekonomi.