DJP Revisi Aturan Terkait Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan peraturan baru, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2025, tentang Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak. Peraturan baru ini diterbitkan sebagai pedoman pelaksanaan penonaktifan akses pembuatan faktur pajak dalam rangka penanganan penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak yang tidak sah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah dan memulihkan kerugian penerimaan negara. Berdasarkan PER-9/PJ/2025 Pasal 2 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak untuk: (i) Wajib pajak terindikasi penerbit; (ii) Wajib pajak terindikasi pengguna. Untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak bagi wajib pajak yang diduga sebagai penerbit, Direktur Jenderal Pajak akan mengembangkan dan menganalisis kriterianya: (i) keberadaan dan kewajaran lokasi usaha wajib pajak; (ii) kesesuaian kegiatan usaha wajib pajak. Sementara itu, wajib pajak yang terindikasi sebagai pengguna adalah PKP yang terindikasi menggunakan faktur pajak tidak sah yang diterbitkan oleh wajib pajak yang terindikasi sebagai penerbit dan/atau wajib pajak yang menerbitkan faktur pajak tidak sah. Untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak bagi wajib pajak yang terindikasi sebagai pengguna, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan pengembangan dan analisis terhadap indikasi kredit pajak masukan yang tercantum dalam faktur pajak tidak sah pada SPT Masa PPN. Sebagai informasi, faktur pajak tidak sah adalah faktur pajak yang diterbitkan dan/atau digunakan tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan/atau diterbitkan oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP.

Konsultan Pajak yang Ingin Jadi Orang Berwenang Harus Tambah Status Lewat Coretax

JAKARTA, DDTCNews – Konsultan pajak dan pihak lainnya perlu mengajukan permohonan status sebagai pihak yang dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak ke kantor pajak sebelum menjadi kuasa wajib pajak. Permohonan tersebut dapat dilakukan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak (sistem coretax) atau langsung ke KPP apabila wajib pajak tidak dapat mendaftar secara elektronik. Permohonan tersebut juga harus disertai dengan dokumen yang dipersyaratkan. “Dokumen yang dipersyaratkan adalah: bagi pihak yang dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d berupa surat izin praktik bagi konsultan pajak atau surat keterangan terdaftar bagi pihak lainnya,” bunyi Pasal 62 ayat (7) PER-7/PJ/2025, dikutip pada Kamis (12/6/2025). Apabila permohonan penambahan status telah memenuhi persyaratan pengisian formulir secara lengkap dan memenuhi persyaratan, DJP akan menerbitkan bukti penerimaan (BPE) atau bukti penerimaan surat (BPS) secara elektronik kepada wajib pajak. Setelah menerbitkan BPE atau BPS, KPP tempat wajib pajak terdaftar akan melakukan pemeriksaan administratif atas permohonan penambahan status wajib pajak. Berdasarkan hasil penelitian, KPP akan menerbitkan keputusan berupa surat keterangan pengangkatan sebagai kuasa wajib pajak. Format surat keterangan pengangkatan sebagai kuasa wajib pajak tersedia pada Lampiran II Surat X PER-7/PJ/2025. Setelah memperoleh penetapan status wajib pajak sebagai pihak yang dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak, konsultan pajak dan pihak lain dapat melakukan perubahan data status sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1). Perubahan data status wajib pajak bagi konsultan pajak dan pihak lain yang dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak meliputi perubahan izin praktik konsultan pajak dan perubahan surat keterangan terdaftar bagi pihak lain. Permohonan perubahan data status wajib pajak diajukan secara elektronik atau langsung kepada KPP. Permohonan perubahan data status wajib pajak juga harus disertai dengan dokumen pendukung. “Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa fotokopi surat izin praktik bagi konsultan pajak atau fotokopi surat tanda terdaftar bagi pihak lain,” bunyi Pasal 66 ayat (5) PER-7/PJ/2025. Selanjutnya, dalam hal konsultan pajak atau pihak lain dicabut izin praktik atau surat tanda terdaftarnya oleh Kementerian Keuangan, KPP berdasarkan permohonan atau karena jabatan dapat mencabut status wajib pajak sebagai pihak yang dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak. Pencabutan status wajib pajak sebagai pihak yang dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak dilakukan dengan menerbitkan keputusan berupa surat pencabutan pernyataan dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak. Format surat pencabutan pernyataan dapat ditunjuk sebagai kuasa wajib pajak dapat dilihat pada Lampiran II Surat GG PER-7/PJ/2025.

Ketentuan Faktur Pajak Gabungan Sesuai PER-11/2025

Salah satu kewajiban bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) adalah membuat faktur pajak. Dalam ketentuan perpajakan Indonesia, terdapat beberapa jenis faktur pajak, salah satunya adalah faktur pajak gabungan. Apa yang dimaksud dengan faktur pajak gabungan? Apa saja ketentuan pembuatan faktur pajak gabungan? Faktur Pajak Gabungan Pembuatan faktur pajak gabungan telah diatur kembali melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER 11/2025). Faktur pajak gabungan merupakan faktur pajak yang memuat seluruh penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP yang sama selama satu bulan kalender. Kemudahan ini dapat dimanfaatkan khususnya bagi PKP yang melakukan penyerahan lebih dari satu kali dalam satu bulan kepada pembeli atau pelanggan yang sama. Faktur pajak gabungan berbeda dengan faktur pajak pedagang eceran (faktur pajak terlampir). Setiap PKP dapat membuat faktur pajak gabungan tanpa harus melihat apakah pembeli merupakan konsumen akhir atau bukan konsumen akhir. Ketentuan mengenai faktur pajak pedagang eceran dapat Anda lihat pada artikel berikut: Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Pedagang Eceran Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Gabungan Faktur Pajak Gabungan Dibuat untuk Satu Pembeli yang Sama Misalnya, PT A menyerahkan BKP kepada PT B pada tanggal 10 April 2025. Kemudian, pada tanggal 20 April 2025, PT A menyerahkan JKP kepada PT B. Atas penyerahan BKP dan JKP tersebut, PT A dapat membuat satu faktur pajak berupa gabungan faktur pajak yang memuat penyerahan BKP dan JKP kepada PT B. Informasi yang Dicantumkan pada Faktur Pajak Gabungan Informasi yang harus dicantumkan dalam faktur pajak gabungan tidak jauh berbeda dengan faktur pajak umum. Informasi yang dimaksud adalah: nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP; identitas pembeli BKP atau penerima JKP; jenis barang atau jasa, besaran harga jual atau penggantian, dan potongan harga; PPN yang dipungut; PPnBM yang dipungut; kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak. Perbedaan antara faktur pajak gabungan hanya terletak pada rinciannya yang memuat beberapa transaksi pada pihak yang sama. Faktur Pajak Gabungan Dibuat untuk Transaksi dengan Kode yang Sama Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemindahtanganan BKP dan/atau JKP dengan menggunakan lebih dari satu kode transaksi, Pengusaha Kena Pajak dapat membuat faktur pajak gabungan atas pemindahtanganan tersebut dengan kode transaksi yang sama, untuk setiap kode transaksi. Misalnya, PT A melakukan pemindahtanganan BKP dengan kode transaksi 04 kepada PT B pada tanggal 1, 10, dan 20 Maret 2025. Pada tanggal 11, 15, dan 20 Maret 2025, PT A melakukan pemindahtanganan barang mewah yang transaksinya dicatat dengan kode transaksi 01. PT A dapat membuat dua faktur pajak gabungan, yaitu satu faktur dengan kode transaksi 04 dan satu faktur dengan kode transaksi 01. Penyerahan BKP/JKP yang Tidak Dapat Menggunakan Faktur Pajak Gabungan Tidak semua penyerahan dapat menggunakan Faktur Pajak Gabungan. Faktur Pajak Gabungan tidak dapat dibuat untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapatkan fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan BKP dan/atau JKP ke dan/atau dari daerah atau tempat tertentu. Batas Waktu Pembuatan Faktur […]