PER-11/2025: Ketentuan Pembulatan Angka dalam Dasar Pengenaan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/Pj/2025 (PER-11/2025) menetapkan ketentuan pembulatan angka dalam Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Sebagaimana diketahui, DPP merupakan nilai yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang dipotong dan/atau dipungut pihak lain atau dibayar atau disetor sendiri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. So, bagaimana ketentuan pembulatan angka dalam DPP? Mari simak ulasan Pajak.com berikut ini. Ketentuan Pembulatan Angka Merujuk Pasal 129 PER-11/PJ/2025, pembulatan ke dalam rupiah penuh dilakukan untuk: 1. Nilai DPP dan Pajak Penghasilan (PPh) pada: Bukti potong PPh Pasal 21/26; Bukti potong unifikasi; Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21/26, dan SPT Masa PPh Unifikasi. 2. Nilai DPP, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada: Faktur pajak; Dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak; dan SPT Masa PPN Pasal 129 ayat (3). Pembulatan ke dalam rupiah penuh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: Kurang dari 0,50, maka bilangan tersebut dibulatkan ke bawah; atau Sama dengan atau lebih dari 0,50, maka bilangan tersebut dibulatkan ke atas. Khusus untuk pengisian SPT tahunan badan dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS), jumlah penghasilan kena pajak PPh dalam SPT tahunan dimaksud dibulatkan hingga 2 digit nilai desimal. Merujuk Pasal 129 ayat (5) PER-11/2025, pembulatan hingga 2 digit nilai desimal dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: Kurang dari 0,005, maka bilangan tersebut dibulatkan ke bawah; atau Sama dengan atau lebih dari 0,005, maka bilangan tersebut dibulatkan ke atas. Terkait dengan pengisian SPT tahunan orang pribadi dan SPT tahunan badan yang menggunakan mata uang rupiah, UU PPh telah mengatur penghasilan kena pajak dalam SPT Tahunan dibulatkan ke bawah dalam ribuan penuh. Contoh Pembulatan Angka Berikut ini dua contoh pembulatan angka sesuai dengan PER-11/2025: Contoh I: Seorang pegawai tetap menerima penghasilan bruto senilai Rp10.500.100,49. Dalam kasus ini, penghasilan bruto selaku DPP dalam bukti potong PPh Pasal 21/26 dibulatkan menjadi senilai Rp10.500.100,00. Contoh II Bila penghasilan bruto yang diterima pegawai adalah senilai Rp10.500,100,50, maka penghasilan bruto tersebut dibulatkan menjadi senilai Rp10.500.101,00 dan diisikan sebagai dasar pengenaan pajak dalam bukti potong PPh Pasal 21/26.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/per-11-2025-ketentuan-pembulatan-angka-dalam-dasar-pengenaan-pajak/

Kode Billing PPh Final UMKM Pakai 411128-420, Tak Perlu NPWP Lawan

Wajib pajak pelaku UMKM bisa melakukan penyetoran PPh final senilai 0,5% dari penghasilan bruto tiap bulan melalui coretax system. Jika sudah setor PPh final maka UMKM dianggap sudah lapor pajak. Pembuatan kode billing PPh final UMKM 0,5% untuk setor sendiri dibuat pada coretax system melalui menu pembayaran, lalu masuk ke layanan mandiri kode billing. Kode akun pajak (KAP) yang dipakai adalah 411128 dan kode jenis setoran (KJS) 420 untuk PPh final UMKM setor sendiri. Tidak diperlukan NPWP lawan transaksi pada saat pembuatan kode billing. Ingat, wajib pajak orang pribadi UMKM yang menjalankan kewajiban perpajakannya dengan tarif PPh final 0,5% tidak perlu lagi melaporkan SPT Masa setiap bulannya. Wajib pajak yang sudah menyetorkan pajaknya dengan mekanisme setor sendiri dianggap sudah menyampaikan SPT PPh sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) yang tercantum pada surat setoran pajak (SSP). Terkait SPT Masa, apabila termasuk UMKM maka jika sudah bayar PPh 0,5% tidak perlu pelaporan lagi. Cukup laporkan SPT Tahunannya saja berdasarkan pencatatan peredaran bruto. Meski tidak perlu lapor SPT Masa, pelaku UMKM tetap diimbau menjalankan pencatatan omzet bulanan. Pencatatan itulah yang bisa menjadi dasar pelaporan SPT Tahunannya nanti. Selanjutnya, soal pencatatan oleh wajib pajak orang pribadi UMKM ini, tidak ada format khususnya. Pelaku UMKM dibebaskan menggunakan format yang diinginkan.

Puncak Musim Haji 2025 Telah Tiba, Bagaimana Aspek Perpajakannya?

Jakarta – Puncak musim haji tahun 2025 telah tiba. Ribuan jemaah haji Indonesia memadati Tanah Suci untuk menjalankan rukun Islam kelima yang hanya diwajibkan bagi umat Islam yang mampu secara fisik dan finansial. Bersamaan dengan itu, banyak masyarakat yang mempertanyakan bagaimana aspek perpajakan dalam pelaksanaan ibadah haji ini. Berikut ini penjelasan lengkapnya. Pemerintah melalui Kementerian Agama telah menetapkan total kuota haji Indonesia tahun ini sebanyak 221.000 orang, terdiri dari 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus. Sejak 1 Mei 2025, pemberangkatan jemaah dari 14 embarkasi nasional telah dilakukan secara bertahap. Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1446 Hijriah/2025 Masehi (Keppres 6/2025) yang menjadi dasar bagi pembiayaan perjalanan ibadah haji tahun ini. Sebagai contoh, biaya perjalanan ibadah haji (bipih) untuk embarkasi Jakarta ditetapkan sebesar Rp58.875.751,00 yang mencakup biaya penerbangan, sebagian akomodasi di Makkah dan Madinah, serta biaya hidup (living cost). Perjalanan Ibadah Haji Kena PPN? Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.03/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Jasa Keagamaan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai/PPN (PMK 92/2020). Dalam aturan tersebut, jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan oleh pemerintah maupun biro perjalanan wisata termasuk jasa yang tidak dikenai PPN. Ini artinya, biaya perjalanan ibadah haji yang dibayarkan oleh jemaah, baik haji reguler maupun haji khusus, tidak dikenakan PPN. Kebijakan ini memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi jemaah, karena tidak ada tambahan beban PPN pada biaya perjalanan ibadah haji. Namun, jika biro perjalanan wisata juga menawarkan paket perjalanan ke tempat lain selain ibadah haji dalam satu paket perjalanan, maka biaya perjalanan ke tempat lain tersebut dapat dikenakan PPN. Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PMK 11/2025), jika tagihan paket perjalanan dirinci, maka tarif PPN untuk perjalanan ke tempat lain adalah 1,1 persen dari harga jual paket perjalanan ke tempat lain. Namun, apabila tagihan tidak dirinci, maka tarif PPN terutang sebesar 0,55 persen dari harga jual keseluruhan paket perjalanan. Sebagai ilustrasi, biro perjalanan wisata Ar Rahman menawarkan paket umrah dan perjalanan wisata ke Turki selama 10 hari. Perincian biaya untuk perjalanan umrah Rp30.000.000, sedangkan perjalanan ke Turki Rp20.000.000. Dalam hal ini, perjalanan umrah senilai Rp30.000.000 tidak dikenakan PPN, sedangkan perjalanan wisata ke Turki dikenakan PPN sebesar 1,1 persen atau Rp220.000. Dengan demikian, penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan pemerintah atau biro perjalanan wisata tidak dikenakan PPN, sehingga biaya perjalanan haji bagi jemaah tetap lebih terjangkau. Hal ini diharapkan dapat membantu masyarakat melaksanakan ibadah haji dengan lebih ringan, sekaligus menjadi stimulus bagi pertumbuhan bisnis biro perjalanan ibadah dan wisata yang sehat dan tertib administrasi perpajakan.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/puncak-musim-haji-2025-telah-tiba-bagaimana-aspek-perpajakannya/