Penelusuran alamat wajib pajak tetap akan dilakukan meski pengajuan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) kini dapat dilakukan melalui Coretax DJP. Sesuai PER-7/PJ/2025 Pasal 56, pengusaha yang baru memulai kewajibannya sebagai PKP akan diuji pemenuhan kewajiban subjektif dan objektifnya dengan penelitian lapangan di alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha PKP. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi pengukuhan PKP melalui Coretax yang telah disetujui. Berdasarkan PER-7/PJ/2025, PKP merupakan pelaku usaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN. Pelaku usaha yang melakukan penyerahan dan/atau ekspor yang dikenai PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Kewajiban ini tidak berlaku bagi pelaku usaha kecil, yakni pelaku usaha dengan omzet tahunan sampai dengan Rp4,8 miliar. Namun, pelaku usaha kecil dapat memilih untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali yang wajib dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengusaha yang semula bermaksud melakukan penyerahan dan/atau ekspor sebagaimana diatur dalam UU PPN dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Selanjutnya, kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK mengenai kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penyempurnaan basis data PKP dengan melakukan pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP. Pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan pada alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha PKP.
Penyesuaian Ketentuan Penelitian Validasi SSP PPh PHTB
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyesuaikan ketentuan penelitian bukti pemberian kewajiban penyetoran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PHTB) dan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) atas tanah dan/atau bangunan. Topik ini menjadi salah satu pembahasan media nasional hari ini, Senin (9/6/2025). Penyesuaian ketentuan tersebut dilakukan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 116 ayat (1) PER-08/PJ/2022, penelitian pembuktian bukti kewajiban penyetoran PPh PHTB atau PPJB termasuk penelitian formil. “Penelitian formal…dilaksanakan oleh kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan,” demikian bunyi Pasal 116 ayat (2) PER-8/PJ/2025. Wajib pajak perlu menyampaikan permohonan penelitian formal untuk setiap PHTB atau PPJB. Permohonan penelitian formal sebagai bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh PHTB atau PPJB ini biasa disebut juga dengan pengesahan Surat Setoran Pajak (SSP) PPh PHTB atau PPJB. Seiring dengan penerapan sistem administrasi coretax, pengajuan pengesahan SSP PPh PHTB atau PPJB dilakukan secara elektronik melalui coretax. Wajib pajak dapat memilih 2 cara pengajuan permohonan penelitian formal SSP PPh PHTB atau PPJB melalui coretax. Pertama, wajib pajak menyampaikannya secara mandiri. Kedua, wajib pajak menyampaikan permohonan penelitian formal melalui notaris dan/atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Perlu diketahui, notaris atau PPAT yang dapat mengajukan permohonan adalah notaris atau PPAT yang terdaftar dalam sistem Kementerian Hukum dan HAM dan/atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Jika wajib pajak tidak dapat mengajukan permohonan penelitian formal secara elektronik, wajib pajak dapat mengajukannya secara offline. Pengajuan permohonan penelitian formal secara offline dapat dilakukan secara langsung ke KPP atau KP2KP atau melalui pos/ekspedisi/kurir. Dalam hal permohonan penelitian formal diajukan secara elektronik melalui notaris/PPAT, wajib pajak harus membuat surat kuasa. Begitu pula permohonan penelitian formal yang diajukan secara langsung melalui surat kuasa harus disertai surat kuasa khusus. Atas permohonan tersebut, Kepala KPP akan menerbitkan surat keterangan penelitian formal sebagai bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh PHTB atau PPJB paling lama 3 hari kerja sejak tanggal permohonan penelitian diterima secara lengkap. Surat keterangan penelitian formal diterbitkan sepanjang permohonan wajib pajak sinkron dengan 3 data. Pertama, identitas orang pribadi atau badan dalam bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh dengan data dari sistem administrasi DJP. Kedua, jumlah PPh yang telah dibayarkan orang pribadi atau badan beserta PPh terutang yang disebutkan orang pribadi atau badan. Ketiga, kode rekening pajak, kode jenis penyetoran, dan jumlah PPh yang dibayarkan orang pribadi atau badan, beserta data penerimaan pajak pada modul penerimaan negara. Sebagai informasi, ketentuan penelitian formil bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh PHTB atau PPJB sebelumnya telah diatur dalam PER-8/PJ/2022. Namun, dengan berlakunya PER-8/PJ/2025 per 21 Mei 2025, sekaligus mencabut dan menggantikan PER-8/PJ/2022.
Kriteria Pengusaha PPN Risiko Rendah yang Dapat Mengajukan Permohonan Percepatan Restitusi Pajak
Pemerintah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/Pj/2025 tentang Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif Sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah (PER-6/2025). Peraturan yang mulai berlaku pada 21 Mei 2025 ini menambahkan kriteria Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah yang dapat mengajukan pengembalian pendahuluan atau restitusi pajak dipercepat. PER-6/2025 menegaskan bahwa peraturan tersebut diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum dalam penetapan PKP berisiko rendah dan kemudahan dalam pelaksanaan restitusi pajak dipercepat. “Bahwa PER-04/PJ/2021 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif Sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah belum menampung kebutuhan penyesuaian….sehingga perlu diganti,” demikian tertulis pada bagian Pertimbangan PER-6/2025. Pasal 3 PER-6/2025 menetapkan kriteria PKP berisiko rendah sebagai berikut: 1. PKP yang perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; 2. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMN dan BUMD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. PKP yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama (MITA) Kepabeanan; 4. PKP yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat atau Authorized Economic Operator (AEO); 5. Pabrikan atau produsen selain PKP yang dimaksud pada poin 1 – 4: Dalam kegiatan usahanya menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP); dan Memiliki tempat untuk melakukan kegiatan produksi; 6. PKP yang memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) huruf f Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2018. Adapun Wajib Pajak persyaratan tertentu itu adalah: Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) lebih bayar restitusi; Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp100 juta; Wajib Pajak badan yang menyampaikan SPT Tahunan PPh lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1 miliar; atau PKP menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp1 miliar. 7. Pedagang besar farmasi yang memiliki: Sertifikat distribusi farmasi atau izin pedagang besar farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang besar farmasi; dan Sertifikat cara distribusi obat yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi obat yang baik; 8. Distributor alat kesehatan yang memiliki: Sertifikat distribusi alat kesehatan atau izin penyalur alat kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyalur alat kesehatan; dan Sertifikat cara distribusi alat kesehatan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi alat kesehatan yang baik; atau 9. Perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh BUMN dengan kepemilikan saham lebih dari 50 persen yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan BUMN induk sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Adapun lepemilikan saham lebih dari 50 persen itu merupakan persentase kepemilikan saham yang tercantum pada […]