DJP melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025) memperkenalkan Formulir C sebagai bagian dari pembaruan dalam pelaporan SPT Masa PPN. Formulir ini digunakan untuk melaporkan PPN dan/atau PPnBM yang dipungut oleh PKP yang bertindak sebagai pihak lain (Pasal 32A UU KUP). Adapun aturan ini mencabut PER-29/PJ/2015 tentang bentuk dan tata cara penyampaian SPT Masa PPN (PER-29/2015) dan menghapus Formulir 1111 AB dari daftar lampiran SPT Masa PPN yang sebelumnya digunakan untuk merekap penyerahan, perolehan, dan penghitungan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Merujuk Lampiran E PER-11/2025, Formulir C wajib diisi oleh PKP yang memfasilitasi transaksi penjualan BKP berwujud maupun tidak berwujud serta JKP, yang dipungut atas nama penjual dan dicantumkan dalam faktur pajak atau dokumen yang dipersamakan sebagai faktur pajak. Formulir ini memuat informasi penting seperti: NPWP/NIK atau identitas penjual dan pembeli; nama penjual dan pembeli; nomor seri faktur pajak (NSFP); tipe transaksi yang dipungut PPN; nilai dasar pengenaan pajak; jumlah PPN/PPnBM; dan keterangan tambahan lainnya. Selain itu, ditentukan juga kode tipe transaksi, meliputi: 001: transaksi pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar negeri melalui PMSE 002: pengadaan barang/jasa lewat sistem informasi pengadaan pemerintah 003: transaksi perdagangan aset kripto 100: transaksi lainnya, kecuali ditentukan berbeda dalam user manual portal wajib pajak Sebagai catatan, pihak lain dalam ketentuan ini adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh menteri keuangan untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A UU KUP. Sumber: https://ortax.org/per-11-2025-memperkenalkan-formulirc-pada-spt-masa-ppn
Pengusaha Minta DJP Tetap Optimalkan Layanan 3C meski sudah ada Sistem Coretax
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyarankan Ditjen Pajak (DJP) tetap mengoptimalkan layanan perpajakan click, call, and counter (3C), meski kini sudah ada coretax administration system. Ketua Komite Perpajakan Bidang Perbankan dan Jasa Keuangan Apindo Siddhi Widyaprathama menilai layanan 3C justru menjadi kurang optimal setelah penerapan coretax system. Padahal, layanan 3C selama ini mampu meningkatkan kemudahan bagi wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. “Kita mendukung coretax karena tanpa digitalisasi dan integrasi itu tidak mudah, tapi ada tantangan dan hambatan, dan tentu bagaimana [cara DJP] untuk mengatasinya,” ujarnya, dikutip pada Sabtu (31/5/2025). Siddhi mencontohkan layanan ‘call’ melalui contact center Kring Pajak pada nomor telepon 1500200 yang menjadi kurang memberikan solusi ketika wajib pajak bertanya mengenai administrasi pajak. Dalam beberapa kasus, wajib pajak justru disarankan supaya mendatangi kantor pelayanan pajak (KPP) agar memperoleh solusi. “Kring Pajak itu cukup profesional dan bagus, tetapi belakangan ini sejak ada coretax, fungsinya agak menurun,” kata Siddhi. Sejalan dengan itu, Siddhi menyampaikan agar otoritas pajak tetap menjaga pelayanan melalui program 3C walapun sudah ada coretax system. Menurutnya, harus ada timbal balik positif yang dirasakan masyarakat, salah satunya layanan administrasi yang memadai. Sebagai informasi, program 3C digunakan untuk untuk melayani kebutuhan wajib pajak melalui 3 prioritas kanal utama. Pertama, kanal daring melalui situs web atau aplikasi mobile (click). Kedua, menghubungi (call) contact center melalui kanal telepon, live chat, atau kanal lain sesuai perkembangan teknologi contact center. Ketiga, kanal terakhir yang diprioritaskan, wajib pajak dapat menemui petugas pajak secara tatap muka di kantor pajak (counter).
Dirjen Pajak Bimo Bicara Coretax, Sebut Sedang One-on-One
Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto menyebut tengah melakukan pembahasan dengan anak buahnya tentang sistem inti administrasi perpajakan atau coretax. Sebagai konteks, dirjen sebelumnya Suryo Utomo saat ditanya wartawan menyebut penyelesaian error coretaxrampung pada Juli 2025. Meski demikian, Suryo kini telah digeser oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani ke pos baru, Kepala Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan. “Belum [tahu], saya one-on-one [dengan pemangku kepentingan di DJP] belum selesai. Itu butuh seminggu lah one-on-one untuk Coretax,” ujarnya di kompleks Parlemen, Selasa (27/6/2025). Dirinya juga mengungkapkan saat ini fokus masih memperdalam fungsi Coretax. Dirjen yang baru menjabat 5 hati itu menyebut pembahasan belum sampai pada penyelesaian error maupun bugs yang masih menjadi masalah dalam implementasi sistem baru tersebut. Bimo menyebut agenda yang akan dilakukan dalam waktu satu bulan ke depan adalah memetakan pekerjaan yang tertunda (pending matters) dan sejumlah isu strategis untuk membenahi Coretax. “Jadi sementara itu nanti tunggu, mudah-mudahan kurang dari satu bulan saya akan update ke teman-teman sekalian. Mohon dukungan ya,” tuturnya. Sejak efektif digunakan per 1 Januari 2025, Coretax banjir keluhan karena penggunaannya yang kerap bermasalah. Mulai dari tidak bisa login hingga pengoperasian sistem yang berbeda dengan sistem lama. Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Rivqy Abdul Halim melihat keberadaan Coretax yang awalnya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pajak, justru masih banyak ditemukan kendala dan permasalahan. “Secara khusus PKB mendesak pemerintah untuk segera membenahi implementasi reformasi administrasi perpajakan [Coretax],” ungkapnya dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan III Tahun 2024/2025 yang juga dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Selasa (27/5/2025). Terlebih, Coretax juga diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun memberikan ruang bagi Bimo untuk mempelajari hal tersebut dalam waktu satu bulan Sri Mulyani tidak menampik bahwa banyak awak media yang penasaran dengan pandangan Bimo terkait Coretax. Kendati demikian, dia merasa tak adil apabila Bimo yang baru dilantik langsung menjelaskan permasalahan Coretax. “Mungkin untuk fair-nya [adilnya] kita akan meminta nanti Pak Dirjen baru, Pak Bimo untuk melihat dulu ke dalam. Berikanlah satu bulan beliau untuk melihat semuanya, melihat data, fakta, realita dengan fresh perspective [perspektif baru] dari dirjen pajak yang baru,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Jumat (23/5/2025). Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250527/259/1880517/dirjen-pajak-bimo-bicara-coretax-sebut-sedang-one-on-one
Beri Opini WTP Laporan Keuangan Pemerintah 2024, BPK Temukan Masalah Data Setoran Pajak
JAKARTA – Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) untuk Tahun Anggaran 2024 kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meski demikian, BPK menyoroti beberapa temuan penting yang perlu menjadi perhatian pemerintah untuk perbaikan di masa mendatang. Ketua BPK Isma Yatun mengungkapkan salah satu masalah krusial adalah perbedaan data penyetoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) dengan data wajib pajak dan wajib pungut. “Temuan pemeriksaan di antaranya perbedaan data penyetoran PPN dan PPh dengan data wajib pajak dan wajib pungut yang tidak dapat terdeteksi secara langsung oleh sistem perpajakan,” kata Isma Yatun dalam sidang paripurna DPR di Jakarta, Selasa (27/5/2025). Selain masalah sistem perpajakan yang belum kuat dalam pendataan jenis PPN dan PPh, BPK juga menemukan adanya masalah pada pengendalian belanja pegawai yang belum sepenuhnya memadai. Tak hanya itu, pengendalian sisa dana transfer ke daerah yang ditentukan penggunaannya juga dinilai belum sepenuhnya memadai. “Serta kebijakan penyajian belanja dibayar di muka belum sepenuhnya memadai dan penyelesaian pertanggung jawabannya berlarut-larut,” ungkap Isma Yatun. Isma Yatun menekankan pentingnya tindak lanjut atas temuan-temuan ini. Menurutnya, optimalisasi pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah upaya krusial untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. “Selaras dengan amanat konstitusi di mana Dewan Perwakilan Rakyat memegang peranan fundamental dalam mengawasi dan memastikan akuntabilitas penggunaan APBN demi kepentingan nasional,” tuturnya. Di samping itu, BPK juga mencatat adanya masalah pelaporan kinerja yang terintegrasi ke dalam Catatan atas LKPP (CAL) 2024. Pelaporan ini masih memerlukan penguatan dari segi sumber daya, metodologi, dan pedoman penyusunan. Meski demikian, Isma Yatun berharap kerangka regulasi Laporan Kinerja Pemerintah Pusat (LKJPP) dapat terus diperkuat untuk menyajikan informasi yang lebih komprehensif mengenai penggunaan anggaran negara sesuai sasaran. “Informasi ini akan menjadi fondasi esensial dalam merumuskan langkah-langkah strategis kebijakan pemerintah di masa mendatang,” ungkap Isma Yatun. Sumber: https://economy.okezone.com/read/2025/05/27/320/3142347/beri-opini-wtp-laporan-keuangan-pemerintah-2024-bpk-temukan-masalah-data-setoran-pajak?page=2
PMK 131/2024: Nilai PPN Terutang Tetap Sama, TaxPrime Simulasikan Contoh Penghitungannya
Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pernah mengkhawatirkan adanya kompleksitas yang tinggi terhadap perubahan mekanisme penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Media sosial juga sempat diramaikan dengan isu bahwa perubahan skema penghitungan PPN tersebut membuat jumlah pajak terutang yang harus dibayarkan konsumen mengalami kenaikan. Menepis rumor itu, Partner TaxPrime Aries Prasetyo akan menjelaskannya untuk Sobat Pak Jaka. Tanya: Kami merupakan perusahaan di bidang ritel dan sudah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kami ingin memastikan bahwa skema perubahan mekanisme penghitungan PPN saat ini tidak mempengaruhi kenaikan jumlah PPN terutang tahun 2025. Hal ini kami pastikan mengingat banyak isu yang mengatakan bahwa skema DPP 11/12 sama saja dengan menaikkan tarif PPN 12 persen kepada konsumen. Kemudian, apa yang perlu PKP pahami terkait perubahan mekanisme PPN dalam aturan terbaru? Jawab: Terima kasih atas pertanyaannya. Saya memaklumi adanya polemik yang beredar di masyarakat mengenai penerapan skema DPP untuk menghitung PPN terutang. Kekisruhan ini wajar terjadi karena penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 terbit di akhir tahun (31 Desember 2024) dan berlaku 1 hari setelahnya, di mana sebelumnya perusahaan atau dunia usaha sudah menyiapkan sistem penyesuaian kenaikan tarif PPN dari 11 ke 12 persen. Namun, perlu digarisbawahi nilai PPN terutang PPN tetap sama di tahun 2025. Meskipun mekanisme penghitungannya berbeda dengan sebelumnya. Perubahan mekanisme dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024 ini ditetapkan untuk mewujudkan aspek keadilan kepada masyarakat, tanpa melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengamanatkan kenaikan tarif PPN dari 11 ke 12 persen. Secara garis besar ada dua skema mekanisme penghitungan dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024. Pertama, barang mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dihitung dari DPP berupa harga jual atau nilai impor dengan rumus 12 persen x harga jual atau nilai impor. Kedua, barang dan jasa selain barang mewah dihitung dari DPP berupa nilai lain, yaitu sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, dan penggantiannya. Rumusnya adalah 12 persen x 11/12 x harga jual, nilai impor, atau penggantian. Mari kita buktikan bahwa besaran PPN terutang tahun 2025 tetap sama dari tahun sebelumnya. Misalnya, harga sepeda seharga Rp1 juta. Di tahun 2024 atau sebelum PMK Nomor 131 Tahun berlaku, PPN yang harus dibayar adalah 11 % x Rp1 juta = Rp110 ribu. Sementara, pembelian sepeda di tahun 2025 dikenakan PPN sebesar 12 % x 11/12 x Rp1 juta= Rp110 ribu. Dengan demikian, PPN yang harus dibayar konsumen Anda tidak berbeda dari tahun 2024 dan 2025, tetap Rp110 ribu. Bagi PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir, maka berlaku dua ketentuan. Pertama, transaksi periode 1-31 Januari 2025 PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. Kedua, mulai 1 Februari, PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen x harga jual atau impor. Kemudian, yang perlu juga dipahami adalah PKP yang menggunakan DPP berupa nilai lain dan besaran tertentu telah diatur dalam PMK Nomor 131 Tahun 2025. Sumber: PMK 131/2024: Nilai PPN Terutang Tetap […]
Jika Orang Tua Tidak Memiliki NPWP, Apakah Hibah ke Anaknya Tetap Tidak Kena Pajak?
Hibah dapat dikecualikan dari pengenaan pajak apabila memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 PMK 90/2020 yaitu apabila hibah diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat seperti dari orang tua ke anak kandung. Lantas apakah dalam pengecualian pajak atas harta hibah ini diwajibkan pula untuk memiliki NPWP? Bagaimana jika orang tua tidak memiliki NPWP? Apakah hibah tetap dikecualikan dari pajak penghasilan (PPh)? “Sebenarnya untuk pemberi hibah tidak ada persyaratan untuk memiliki NPWP. Selama pemberi dan penerima hibah tersebut merupakan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat [orang tua kandung dan anak kandung] dan tidak ada hubungan usaha, pekerjaa, kepemilikan, atau penguasaan maka dikecualikan dari objek PPh,” tulis contact center Ditjen Pajak (DJP) saat menjawab pertanyaan netizen, Kamis (29/5/2025). Sesuai dengan Pasal 2 PMK 90/2020, hibah, bantuan, atau sumbangan dikecualikan sebagai objek PPh apabila diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil. Syarat lainnya, tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Karenanya, apabila prosesi hibah tidak memenuhi ketentuan di atas maka penghasilan atas hibah menjadi objek PPh. Ketika harta hibah jadi objek PPh maka penerima hibah harus melaporkan penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan sebagai penghasilan dalam negeri lainnya, dengan dikenakan tarif sesuai dengan Pasal 17 UU PPh. Harta hibah itu juga dilaporkan sebagai harta di daftar harta dalam SPT Tahunan. Perlukan Dokumen untuk Membuktikan Hibah? Merujuk pada ketentuan perpajakan yang berlaku, tidak disebutkan dokumen khusus tertentu terkait dengan hibah. Karenanya, wajib pajak yang menerima hibah cukup mengikuti ketentuan terkait hibah. DJP menegaskan bahwa selama ada dokumen yang memang menunjukkan keabsahan hibah dari orang tua ke anak dan sah secara hukum, maka dokumen tersebut dapat digunakan.
Usulan: Pengenaan Pajak Kekayaan, Pemerintah Tak Akan Buru-Buru
Pemerintah menyatakan tidak akan terburu-buru menerapkan pajak atas kekayaan (wealth tax). Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemerintah sebetulnya sudah memiliki gagasan untuk mengenakan pajak kekayaan. Namun, wacana kebijakan tersebut masih memerlukan proses pembahasan yang panjang sebelum diimplementasikan di Indonesia. Pengenalan jenis pajak baru tidak sederhana. Ada tahapan tahapan, ada riset, public hearing, dan harus dibawa ke DPR. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kerap terlibat dalam forum-forum internasional untuk mendiskusikan pajak kekayaan. Bahkan, topik itu juga menjadi perbincangan di antara negara anggota G-20. Kendati demikian, ia berpandangan pemerintah tetap perlu mengkaji dan mempertimbangkan banyak aspek sebelum menyusun dan menerapkan kebijakan pajak kekayaan. Untuk diketahui, pajak kekayaan adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan terhadap suatu kekayaan. Pendekatan dalam menentukan objek pajak kekayaan terbagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan nilai harta tersebut (asset base), transfer kekayaan (asset transfer) dan kenaikan nilai suatu aset (capital gains). Pada kesempatan yang sama, The Prakarsa dan Forum Pajak Berkeadilan Indonesia (FPBI) berpandangan pengenaan pajak kekayaan dapat menjadi salah satu upaya perluasan basis pajak atau melakukan ekstensifikasi pajak. Melalui pengenaan pajak kekayaan, anggota FPBI dari Pusat Kajian Hukum dan Anggaran Indonesia Yenti Nurhidayat menilai pemerintah tidak perlu terus-terusan menaikkan tarif pajak untuk meningkatkan penerimaan negara. Perluasan umumnya tidak terfokus pada peningkatan tarif pajak, melainkan penambahan jenis pajak baru. Menurut FPBI yang bisa dilakukan bahwa pemerintah perlu menerapkan pajak kekayaan.
Ajukan Lewat Coretax DJP, Surat Keterangan Fiskal Terbit Otomatis
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak sudah bisa mengajukan permohonan Surat Keterangan Fiskal (SKF) sepenuhnya secara online melalui Portal Wajib Pajak seiring dengan diimplementasikannya coretax administration system. Nanti, Ditjen Pajak (DJP) akan menerbitkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) secara otomatis yang bisa dilihat di laman Coretax DJP. Ketentuan ini diatur dalam Bagian Kesatu Peraturan Dirjen Pajak No. PER-8/PJ/2025. “Terhadap pengajuan permohonan SKF secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak…dirjen pajak menerbitkan SKF secara otomatis setelah bukti penerimaan elektronik diterbitkan dalam hal wajib pajak memenuhi ketentuan…,” bunyi pasal 5 ayat (1) huruf a, dikutip pada Selasa (27/5/2025). Berdasarkan PER-8/PJ/2025, DJP akan menerbitkan SKF secara otomatis setelah bukti penerimaan elektronik (BPE) diterbitkan. Bukti ini menandakan bahwa wajib pajak sekaligus pemohon sudah memenuhi 3 butir persyaratan. Pertama, wajib pajak sudah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk 2 tahun pajak terakhir, dan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir. Kedua, wajib pajak tidak mempunyai utang pajak atau punya utang pajak tetapi sudah dapat izin untuk menunda atau mengangsur. Ketiga, tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan. Apabila wajib pajak selaku pemohon tidak memenuhi ketentuan tersebut maka sistem coretax akan menampilkan notifikasi bahwa permohonan pengajuan SKF tidak dapat diproses. Sebagai informasi, wajib pajak memerlukan SKF untuk mendapatkan fasilitas atau pelayanan tertentu. Dokumen ini juga dibutuhkan ketika wajib pajak akan mengikuti tender pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah. Selain itu, wajib pajak yang akan mencalonkan diri sebagai pejabat publik juga membutuhkan SKF. Kini, wajib pajak bisa mengajukan permohonan SKF lewat coretax. Apabila berhasil, BPE akan terbentuk otomatis. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1811039/ajukan-lewat-coretax-djp-surat-keterangan-fiskal-terbit-otomatis
Intip Isi Pokok PER-11/2025 tentang Cara Pelaporan SPT dan Pembuatan Faktur Pajak di Coretax
Jakarta – Pemerintah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/Pj/2025 (PER-11/2025) untuk memperjelas tata cara pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dan pembuatan faktur pajak di Coretax. Aturan yang berisi 119 halaman ini ditetapkan dan berlaku mulai 22 Mei 2025. Pemerintah menegaskan bahwa PER-11/2025 diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, meningkatkan pelayanan dan melaksanakan pembaruan Coretax. Hal tersebut tertulis pada bagian Pertimbangan dalam PER-11/Pj/2025 tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Bea Meterai dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. “Ketentuan teknis mengenai pelaporan PPh, PPN, PPnBM, dan bea meterai yang saat ini berlaku, belum cukup menampung kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sehingga perlu diganti,” tulis Pertimbangan dalam PER-11/Pj/2025, dikutip Pajak.com, (27/5/25). Intip Isi Pokok PER-11/2025 tentang Cara Pelaporan SPT Berikut ini isi pokok PER-11/2025: 1. Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPT Masa Penghasilan: SPT Masa PPh Pasal 21/26; SPT Masa PPh Unifikasi; dan Laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi. 2. Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPT Masa PPN: SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP); SPT Masa PPN bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan; dan SPT Masa PPN bagi pemungut PPN dan pihak lain, yang bukan merupakan PKP. 3. Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPT Masa Meterai; 4. Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPT Tahunan PPh: SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi; dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan: – SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan dalam mata uang rupiah; – SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS); – SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang rupiah; dan – SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan/atau gas bumi dalam mata uang dolar AS; 5. Bentuk, isi, tata cara pengisian, dan penyampaian laporan penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bagi bank, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Wajib Pajak masuk bursa, serta Wajib Pajak lainnya; 6. Keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT serta format dan sarana penyampaian keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT; dan 7. Tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan Surat Pemberitahuan. Adapun seluruh SPT paling sedikit berisi: Jenis pajak; Nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); Masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang bersangkutan; dan Tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak. Intip Isi Pokok PER-11/2025 tentang Cara Pembuatan Faktur Pajak Pada Pasal 40 dijelaskan bahwa faktur pajak berbentuk dokumen elektronik sebagaimana Pasal 30 ayat (3) dibuat menggunakan modul dalam: Portal Wajib Pajak; atau Laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP, dan dicantumkan tanda tangan berbentuk tanda tangan elektronik. Kemudian, dalam Pasal 44 b diatur bahwa “e-Faktur wajib diunggah (di-upload) ke DJP menggunakan modul e-Faktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dan memperoleh persetujuan dari DJP, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah tanggal […]
WP Harus Tahu! Poin Penting di Perdirjen Baru Soal SPT, Bupot, Faktur
Guna menyesuaikan aspek administratif perpajakan dengan implementasi coretax system, Ditjen Pajak menerbitkan ketentuan baru, Perdirjen PER-11/PJ/2025, yang mengatur perincian pelaporan PPh, PPN, PPnBM, hingga bea meterai. Topik ini menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Senin (27/5/2025). Beleid yang berlaku per 22 Mei 2025 ini memuat ketentuan terperinci soal format dan pengisian SPT, bukti potong, hingga faktur pajak sesuai dengan coretax system. Sebagai informasi awal, PER-11/PJ/2025 merupakan tindak lanjut dari Pasal 465 huruf o, huruf p, huruf q, huruf r, huruf s, huruf t, dan huruf x PMK 81/2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan Pasal 25 ayat (6) UU PPh. “Perlu menetapkan perdirjen pajak tentang ketentuan pelaporan PPh, PPN, PPnBM, dan bea meterai dalam rangka pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan,” bunyi bagian pertimbangan PER11/PJ/2025. Ada banyak hal yang diatur di dalam dokumen yang lampirannya setebal lebih dari 1.000 halaman ini. Namun, secara umum PER-11/PJ/2025 memuat bentuk, isi, dan tata cara pengisian dan format dari beragam SPT seperti SPT Masa PPh, SPT Masa PPN, SPT Masa Bea Meterai, dan SPT Tahunan PPh. Berikut beberapa poin penting yang diatur di dalam PER-11/PJ/2025: PER-11/PJ/2025 juga memuat tata cara pengisian bukti potong PPh Pasal 21, bukti potong unifikasi, hingga faktur pajak. Perincian mekanisme penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bagi bank, BUMN, BUMD, wajib pajak masuk bursa, dan wajib pajak wajib pajak lainnya. Keterangan dan dokumen apa saja yang harus dilampirkan dalam SPT serta format dan sarana penyampaiannya. Tata cara penyampaian, penerimaan, dan pengolahan SPT serta mekanisme pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan juga diatur dalam PER-11/PJ/2025. PER-11/PJ/2025 juga memuat kriteria wajib pajak PPh tertentu yang dikecualikan dari kewajiban melaporkan SPT. Wajib pajak dimaksud antara lain wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Wajib pajak yang penghasilannya di bawah PTKP dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan, sedangkan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25. Keenam, PER-11/PJ/2025 juga memerinci ketentuan penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu sesuai dengan Pasal 25 ayat (6) UU PPh. Hal-hal tertentu yang membuat dirjen pajak berwenang menghitung kembali PPh Pasal 25 antara lain: – Wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian;Wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur; – SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan; – Wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh; – Wajib pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan wajib pajak.