Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, kini diterbitkan oleh Ditjen Pajak (DJP) secara elektronik. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak PER-04/PJ/2020. Sejalan dengan ketentuan tersebut, wajib pajak orang pribadi yang membutuhkan kartu fisik NPWP perlu mengajukan permintaan kembali melalui kantor pelayanan pajak (KPP) terdekat. Wajib pajak dapat mengajukan permintaan kembali atas kartu NPWP, SKT, dan/atau SPPKP karena hilang, rusak, atau alasan lain dengan menyampaikan formulir permintaan kembali pada KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha. Berdasarkan PER-04/PJ/2020, wajib pajak perlu menyampaikan formulir permintaan kembali dengan melampirkan dokumen persyaratan sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran. Dokumen tersebut antara lain berupa identitas diri seperti fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), fotokopi kartu keluarga, serta akta perkawinan bagi yang sudah menikah. Meski demikian, wajib pajak juga dapat mencetak NPWP-nya secara mandiri. Pencetakan NPWP secara mandiri dilakukan dengan mengunduh terlebih dulu NPWP elektronik yang tersedia dalam akun DJP Online atau coretax administration system setiap wajib pajak. Untuk diketahui, wajib pajak orang pribadi yang baru saja membuat NPWP secara online akan mendapatkan kartu dokumen elektronik, baik pembuatan melalui sistem administrasi perpajakan yang lama, yakni DJP Online, ataupun coretax system.
4 Jenis Perhitungan Pajak yang Wajib Pakai Kurs Pajak
Dalam kegiatan usaha yang melibatkan transaksi internasional, nilai tukar mata uang asing menjadi aspek penting dalam perhitungan pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menetapkan bahwa ada beberapa jenis kewajiban perpajakan yang secara khusus harus menggunakan kurs pajak resmi. Kurs pajak ini ditetapkan setiap minggu oleh Menteri Keuangan dan dipublikasikan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Lalu, apa saja jenis perhitungan pajak yang wajib menggunakan kurs pajak? 1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor Barang Kena Pajak Setiap kegiatan impor barang dari luar negeri yang dikenakan PPN, wajib menggunakan kurs pajak yang berlaku saat terjadi transaksi impor. Kurs ini akan menentukan besarnya nilai impor yang menjadi dasar penghitungan PPN terutang. Saat Anda mengimpor barang dari luar negeri, PPN dihitung berdasarkan nilai impor dalam Rupiah yang dikonversi menggunakan kurs pajak. Contoh: PT Maju Jaya mengimpor barang dari Jerman senilai EUR 10.000. Kurs pajak minggu ini adalah Rp17.000/EUR. Perhitungan: Nilai dalam Rupiah: 10.000 x 17.000 = Rp170.000.000 PPN 11%: 11% x 170.000.000 = Rp18.700.000 2. Pajak Penghasilan (PPh) atas Pembayaran ke Luar Negeri Jika Wajib Pajak melakukan pembayaran royalti, jasa teknik, dividen, bunga, atau lainnya ke pihak luar negeri, maka penghitungan PPh Pasal 26 harus menggunakan kurs pajak. Ini memastikan bahwa jumlah PPh yang dipotong benar-benar mencerminkan nilai transaksi yang setara dalam rupiah. Jika Anda melakukan pembayaran ke pihak luar negeri (misalnya royalti, jasa teknis), maka penghasilan tersebut dipotong PPh 26 dan dikonversi dengan kurs pajak. Contoh: PT Solusi Digital membayar royalti sebesar USD 5.000 ke perusahaan asing. Kurs pajak berlaku: Rp15.500/USD. Perhitungan: Nilai dalam Rupiah: 5.000 x 15.500 = Rp77.500.000 PPh 26 (20%): 20% x 77.500.000 = Rp15.500.000 3. Pelaporan SPT Masa dan SPT Tahunan dalam Mata Uang Asing Wajib Pajak yang menerima penghasilan dalam mata uang asing tetap harus melaporkan nilai dalam rupiah saat menyampaikan SPT. Oleh karena itu, konversi penghasilan atau biaya dalam mata uang asing ke rupiah harus menggunakan kurs pajak pada saat transaksi terjadi. Penghasilan, biaya, atau transaksi dalam mata uang asing dalam laporan SPT harus dikonversi ke Rupiah menggunakan kurs pajak saat transaksi dilakukan. Contoh: PT Cemerlang menerima pembayaran jasa senilai USD 20.000. Kurs pajak saat itu: Rp15.800/USD Perhitungan: Nilai dalam Rupiah: 20.000 x 15.800 = Rp316.000.000 Nilai ini yang dicatat dalam SPT Tahunan Badan. 4. Transaksi Ekspor Jasa Kena Pajak Meskipun ekspor barang tidak dikenakan PPN (dikenakan tarif 0%), ekspor jasa tetap membutuhkan dokumentasi nilai transaksi. Kurs pajak digunakan untuk mengonversi nilai jasa yang dijual ke luar negeri agar pengusaha bisa mengkreditkan Pajak Masukan dengan benar. Untuk ekspor jasa, nilai ekspor juga perlu dikonversi dengan kurs pajak untuk keperluan pengisian dokumen dan pelaporan PPN. Contoh: PT Lintas Data mengekspor jasa IT ke Singapura senilai SGD 8.000. Kurs pajak berlaku: Rp11.400/SGD Perhitungan: Nilai ekspor: 8.000 x 11.400 = Rp91.200.000 Nilai ini digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Pentingnya Mengikuti Kurs Pajak Resmi Kegagalan menggunakan kurs pajak yang ditetapkan dapat menyebabkan koreksi fiskal, denda administrasi, bahkan risiko pemeriksaan. Oleh karena itu, penting bagi pengusaha, perusahaan perorangan, maupun badan usaha di INDONESIA untuk memperhatikan kurs pajak terbaru setiap minggunya. Informasi kurs pajak mingguan […]
Perusahaan Masih Bingung Pakai Tarif Pajak 22 Persen atau PPh Final? Perhatikan Penjelasan DJP Ini
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kring Pajak memberi penjelasan mengenai penentuan penggunaan tarif Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak badan, yang terdiri dari tarif normal 22 persen dan PPh final. Penjelasan ini disampaikan untuk merespons pertanyaan salah satu warganet X yang mengaku baru saja mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan melalui mekanisme pendaftaran via Coretax. “Bagaimana caranya tau Wajib Pajak badan yang baru berdiri pakai tarif umum atau final? Lalu, apakah misal dengan mengajukan pertama kali, misal 2025 baru berdiri, bisa pake-nya tarif umumnya di 2025?,” tulis warganet tersebut, dikutip Pajak.com, (16/5/25). DJP menjelaskan bahwa sejatinya saat mendaftarkan NPWP badan melalui Coretax, Wajib Pajak akan memilih checklist untuk memilih menggunakan tarif umum atau tarif PPh final. “Pada saat daftar NPWP badan Kakak memilih yang mana? Jika tidak memilih tarif umum dan pemberitahuan menggunakan tarif umum juga tidak disampaikan sebelum tahun pajak dimulai, maka mulai tahun Wajib Pajak badan tersebut terdaftar (2025) langsung menggunakan tarif final final usaha mikro kecil menengah (UMKM) 0,5 persen sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022,” jelas DJP. Kendati demikian, PP Nomor 55 Tahun 2022 menegaskan bahwa tarif PPh final 0,5 persen diberikan kepada UMKM yang beromzet kurang dari Rp4,8 miliar. Sementara itu, NPWP badan tersebut terdaftar dan memilih untuk menggunakan tarif umum dan dilakukan pemberitahuan sebelum tahun pajak dimulai, maka sudah berlaku ketentuan mengenai tarif PPh 22 persen. Tarif tersebut diatur pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang (UU) PPh s.t.d.t.d. UU Nomor 6 Tahun 2023. Regulasi itu menetapkan tarif PPh yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT sebesar 22 persen. Namun, bagi Wajib Pajak dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka, jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40 persen, dan memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif sebesar 3 persen lebih rendah dari tarif 22 persen. “Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50 persen dari tarif PPh badan yang dikenakan atas PKP dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar,” pungkas DJP. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/perusahaan-masih-bingung-pakai-tarif-pajak-22-persen-atau-pph-final-perhatikan-penjelasan-djp-ini/