Pajak.com, Jakarta – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 mengatur adanya pembahasan temuan sementara dalam proses pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan. Apa itu pembahasan temuan sementara? Dan, bagaimana ketentuannya? Berikut Pajak.com telah merangkumnya untuk Anda. Definisi Pembahasan Temuan Sementara Pembahasan temuan sementara adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan sementara pemeriksaan. Pembahasan dilakukan untuk memberikan keyakinan bahwa temuan telah didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Sebagai informasi, pembahasan temuan sementara tidak diatur dalam regulasi sebelumnya. Ketentuan Pembahasan Temuan Sementara Pada Pasal 17 PMK Nomor 15 Tahun 2015, ketentuan pembahasan temuan sementara adalah sebagai berikut: Pembahasan temuan sementara dilakukan melalui penyampaian panggilan kepada Wajib Pajak dilampiri dengan daftar temuan sementara; Pembahasan temuan sementara dilakukan paling lambat satu bulan sebelum jangka waktu pengujian berakhir; Dalam pelaksanaan pembahasan temuan sementara, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk: Memberikan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (12); Memperlihatkan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk data elektronik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); Memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen termasuk, data elektronik, yang dipinjam atau diminta berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) yang berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (11); dan/atau; Menghadirkan saksi, ahli, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh Wajib Pajak. Adapun buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan dan/atau ditambahkan dan hasil pembahasan temuan sementara dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pemeriksa pajak dan Wajib Pajak/wakil/kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa yang menghadiri pembahasan temuan sementara. Dalam hal Wajib Pajak/wakil/kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa menolak menandatangani berita acara, pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan tersebut pada berita acara. Dalam hal Wajib Pajak/wakil/kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak menghadiri panggilan pembahasan temuan sementara sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, pemeriksa membuat catatan mengenai ketidakhadiran tersebut pada berita acara pembahasan temuan sementara. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/pmk-15-2025-atur-pembahasan-temuan-sementara-ini-definisi-dan-ketentuannya/
Begini Cara Kerja Deposit Pajak di Sistem Coretax
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperbarui sistem layanan perpajakan demi menyederhanakan administrasi dan meningkatkan kepatuhan. Salah satu terobosan terbaru dari sistem Coretax adalah fitur deposit pajak. Deposit pajak sendiri adalah mekanisme penyetoran dana terlebih dahulu oleh Wajib Pajak ke sistem Coretax, yang kemudian bisa digunakan untuk membayar tagihan pajak (billing) saat melaporkan SPT Masa atau SPT Tahunan. Fitur ini diharapkan mempermudah pengelolaan arus kas dan menghindari keterlambatan pelaporan hanya karena kendala teknis seperti belum bisa membuat billing. Begini Cara Kerja Deposit Pajak Agar bisa menggunakan fitur ini, Wajib Pajak terlebih dahulu membuat billing menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) 411168 dan Kode Jenis Setoran (KJS) 100, dua kode baru yang sebelumnya tidak ada di sistem Billing DJP lama. Pilihan Masa Pajaknya otomatis terisi Januari–Desember 2025, yang berarti saldo deposit bisa digunakan sepanjang tahun. Pembuatan billing dilakukan langsung melalui akun Coretax DJP di menu Pembayaran lalu Layanan Mandiri Kode Billing. Namun perlu dicatat, masa aktif billing ini hanya satu minggu sejak dibuat. Artinya, jika tidak segera disetorkan dalam jangka waktu tersebut, billing akan kedaluwarsa dan Wajib Pajak harus membuat ulang. Bila mengalami kendala, Wajib Pajak juga bisa datang langsung ke kantor pajak untuk dibantu. Setelah billing dibuat, pembayaran dilakukan melalui kantor pos, bank, atau m–banking. Bukti bayar yang divalidasi dengan NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) akan secara otomatis masuk ke akun Coretax dan tercatat sebagai saldo di akun deposit. Untuk memeriksa apakah dana sudah masuk, Wajib Pajak cukup membuka menu Buku Besar di akun Coretax dan mengecek akun Kredit Pajak Tersisa. Nominal yang muncul adalah dana deposit yang siap digunakan untuk membayar pajak di kemudian hari. Sebelumnya, proses pelaporan pajak harus dilakukan dengan pembuatan billing setelah mengetahui nominal kurang bayar. Kini, dengan saldo yang sudah ada, pelaporan jadi lebih cepat dan ringkas. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/begini-cara-kerja-deposit-pajak-di-sistem-coretax/
Revisi PMK, Kantor Konsultan Pajak Bakal Diwajibkan Punya Izin
Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) akan mewajibkan kantor konsultan pajak untuk memiliki izin kantor. PPPK dalam sosialisasi yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengatakan kewajiban untuk memiliki izin kantor sudah berlaku atas profesi keuangan lainnya. Oleh karena itu, kewajiban yang sama juga akan diberlakukan atas konsultan pajak. Kewajiban untuk memiliki izin kantor akan diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK) baru yang merevisi PMK 111/2014 s.t.d.d PMK 175/2022 tentang Konsultan Pajak. Perlu dicatat, kewajiban untuk memiliki izin kantor timbul bila konsultan pajak memberikan jasa konsultasi perpajakan melalui kantor. Bila seorang konsultan pajak memberikan jasa kepada wajib pajak secara perorangan tanpa melalui kantor, konsultan tersebut hanya memerlukan izin profesi saja. Kalau izin profesi itu melekat kepada dirinya sendiri. Ada yang perorangan tanpa melalui kantor, itu diperkenankan. Lalu, ada yang memberikan jasa melalui kantor, itu izinnya ada 2 yakni izin yang melekat pada diri dan izin untuk kantornya. Sebagai informasi, saat ini kewajiban bagi konsultan pajak untuk memiliki izin praktik sebelum memberikan jasa konsultasi perpajakan telah diatur dalam PMK 111/2014 s.t.d.d PMK 175/2022. Izin praktik terdiri dari 3 tingkat, yakni A, B, dan C. Izin praktik tingkat A diberikan bila konsultan sudah lulus ujian sertifikasi konsultan pajak (USKP) A dan memperoleh sertifikat konsultan pajak tingkat A. Sertifikat tingkat A menunjukkan bahwa konsultan pajak memiliki keahlian untuk memberikan jasa kepada wajib pajak orang pribadi, kecuali wajib pajak yang berdomisili di negara yang memiliki persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia. Selanjutnya, izin praktik tingkat B diberikan kepada konsultan yang sudah lulus USKP B dan memiliki sertifikat konsultan pajak tingkat B. Dengan sertifikat ini, konsultan pajak dapat memberikan jasanya kepada wajib pajak orang pribadi dan badan selain wajib pajak penanaman modal asing (PMA), bentuk usaha tetap (BUT), dan wajib pajak yang berdomisili di negara yang memiliki P3B dengan Indonesia. Adapun izin praktik tingkat C diberikan kepada konsultan pajak yang sudah lulus USKP C dan memiliki sertifikat konsultan pajak tingkat C. Bila sudah memiliki sertifikat tingkat C, konsultan pajak dianggap memiliki keahlian untuk memberikan jasa kepada semua wajib pajak tanpa terkecuali.