Beli Emas Batangan, Konsumen Akhir Tak Kena PPh Pasal 22 dan PPN

Pembelian emas batangan oleh masyarakat atau konsumen akhir terbebas dari pengenaan PPh Pasal 22 dan PPN. Ketentuan PPh Pasal 22 tidak dipungut atas emas batangan yang dijual kepada konsumen akhir itu tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/2023. Konsumen akhir adalah pembeli yang mengonsumsi secara langsung barang yang dibeli. Pembeli tidak menggunakan barang yang dibeli dimaksud untuk kegiatan usaha. Konsumen akhir tidak perlu menunjukan surat keterangan bebas (SKB) agar terbebas dari pemungut PPh Pasal 22. Terkait dengan PPN, penyerahan emas batangan juga tidak dipungut PPN sesuai Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) 49/2022. PP dimaksud menegaskan bahwa penyerahan emas batangan selain untuk kepentingan cadangan devisa negara tidak dipungut PPN. Sementara itu, yang dimaksud dengan emas batangan dalam PP 49/2022 ialah emas yang berbentuk batangan dengan kadar emas minimal 99,99%. Adapun kadar emas batangan tersebut dibuktikan dengan sertifikat. Untuk diperhatikan, penerima emas batangan tidak perlu memiliki surat keterangan tidak dipungut (SKTD) untuk memperoleh fasilitas PPN tidak dipungut. Sebagai informasi, harga emas global dan emas Antam tercatat melonjak dalam beberapa hari terakhir. Banyak masyarakat yang mengantre di Butik Antam guna membeli emas batangan. Per hari ini, harga emas Antam sudah mencapai 1,97 juta per gram

Harga Emas Meroket, Kantor Pajak Ini Edukasi Kewajiban Perpajakan Pengusaha Emas

Denpasar – Harga emas kian meroket di tengah ketidakpastian perekonomian global. Kondisi ini juga diikuti dengan tingginya penjualan emas, baik perhiasan maupun logam mulia. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Denpasar Barat menggelar acara edukasi perpajakan kepada puluhan pengusaha emas, di KPP Pratama Denpasar Barat. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2023. Kepala KPP Pratama Denpasar Barat Aris Riantori Faisal mengucapkan terima kasih kepada puluhan pengusaha emas yang menghadiri undangan ini. Ia menyebut bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari edukasi yang telah di gelar KPP Pratama Denpasar Barat sebelumnya. “Saya sangat senang dapat berdiskusi bersama-sama untuk membahas kewajiban perpajakan bagi pengusaha emas,” ungkap Aris dalam keterangan tertulis, dikutip Pajak.com, (16/5). Ia mengingatkan bahwa kewajiban perpajakan pengusaha emas telah diatur dalam PMK Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pajak Penghasilan dan/atau Pajak Pertambahan Nilai atas Penjualan/Penyerahan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, serta Jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, dan/atau Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, yang Dilakukan oleh Pabrikan Emas Perhiasan, Pedagang Emas Perhiasan, dan/atau Pengusaha Emas Batangan. Dengan demikian, Aris berharap, edukasi ini dapat memberi pengetahuan secara lebih komprehensif dan intensif mengenai aturan yang berlaku sejak 28 April 2023 itu. “Aturan baru ini mewajibkan pedagang emas perhiasan dan atau emas batangan menjadi pengusaha kena pajak atau PKP. Kewajiban yang sama berlaku bagi pabrikan emas perhiasan. Secara teknis, disampaikan oleh para narasumber kami,” jelasnya. Teknis mengenai PMK Nomor 48 Tahun 2023 disampaikan oleh Penyuluh Pajak KPP Pratama Denpasar Barat Dikyasis Rachman; Kepala Seksi Pengawasan II I Gede Jana; dan Pemeriksa Pajak Umar Sahdat Hikmatullah. Narasumber menjelaskan secara detail mengenai kewajiban perpajakan bagi pengusaha emas, mulai dari penghitungan pajak hingga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan. Narasumber juga membeberkan proses bisnis pengawasan bagi PKP pengusaha emas, termasuk perihal pemeriksaan pajak. Kewajiban Pajak bagi Pengusaha Emas Berdasarkan catatan Pajak.com yang dihimpun dari penjelasan resmi DJP, isi pokok PMK Nomor 48 Tahun 2023 adalah sebagai berikut: PKP pabrikan emas perhiasan wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan besaran tertentu sebesar 1,1 persen dari harga jual untuk penyerahan kepada pabrikan emas perhiasan lainnya dan pedagang emas perhiasan, atau 1,65 persen dari harga jual untuk penyerahan kepada konsumen akhir; PKP pedagang emas perhiasan wajib memungut PPN dengan besaran tertentu sebesar 1,1 persen dari harga jual dalam hal PKP memiliki faktur pajak/dokumen tertentu lengkap atas perolehan/impor emas perhiasan, atau 1,65 persen dari harga jual dalam hal tidak memilikinya; dan Pengusaha emas batangan wajib memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,25 persen dari harga jual, kecuali penjualan emas batangan kepada konsumen akhir. Tarif ini turun jika dibandingkan pengaturan sebelumnya dalam PMK Nomor 34 Tahun 2017. Pada aturan terdahulu itu, penjualan emas batangan dipungut PPh Pasal 22 sebesar 0,45 persen dari harga jual.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/harga-emas-meroket-kantor-pajak-ini-edukasi-kewajiban-perpajakan-pengusaha-emas/

Mau Lapor SPT Tahunan Badan, Tapi Belum Aktivasi EFIN? Ini Solusinya

Pajak.com, Jakarta – Batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) badan tahun pajak 2024 semakin dekat (30 April 2025).  Namun, beberapa warganet masih mengeluhkan kendala pelaporan, salah satunya mengenai aktivasi Electronic Filing Identification Number (EFIN) badan. Bagaimana solusinya? Simak solusi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berikut ini. “Selamat pagi @kring_pajak, tanggal 27 Maret [2025], saya sudah ke KPP [Kantor Pelayanan Pajak] untuk aktivasi EFIN badan. Hari ini saya mau daftar DJPOnline gagal dan muncul seperti ini, ’EFIN belum diaktivasi’. Mohon bantuannya, terima kasih,” tulis salah satu warganet X ke akun resmi X DJP (@kring_pajak), dikutip Pajak.com, (16/4). Menjawab pertanyaan tersebut, DJP menegaskan bahwa aktivasi EFIN badan maupun orang pribadi harus dilakukan secara langsung ke KPP atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor (PER)-06/PJ/2019. Solusi Aktivasi EFIN Badan  Merujuk PER -06/PJ/2019, DJP menguraikan prosedur permohonan aktivasi EFIN badan sebagai berikut: Permohonan pengajuan EFIN dilakukan oleh pengurus yang ditunjuk untuk mewakili badan dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Berikut link Formulir Permohonan EFIN https://pajak.go.id/id/formulir-pajak/formulir-permohonan-efin; Pengurus mengisi Formulir Permohonan EFIN dan mendatangi secara langsung KPP/KP2KP terdaftar; Pengurus harus menunjukkan dokumen asli dan menyerahkan fotokopi dari dokumen berikut ini: Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari pimpinan tertinggi Wajib Pajak badan, dalam hal pengurus yang mengajukan permohonan EFIN tidak tercantum dalam akta pendirian atau dokumen pendirian, namun pengurus dimaksud memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan atau keputusan; dan Lampirkan dokumen berupa: Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengurus atau paspor jika pengurus merupakan Warga Negara Asing (WNA); KTP kuasa Wajib Pajak dalam hal permohonan disampaikan oleh selain pengurus; Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau SKT atas nama yang bersangkutan; NPWP atau SKT atas nama Wajib Pajak badan; Surat Kuasa Penyampaikan Formulir Permohonan EFIN dan Menerima EFIN, dalam hal permohonan EFIN disampaikan oleh selain pengurus; dan Alamat e-mail aktif yang digunakan sebagai sarana komunikasi terkait pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. DJP menambahkan, permohonan Lupa EFIN badan dapat diajukan melalui telepon Kring Pajak 1500200 atau livechat di http://pajak.go.id.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/mau-lapor-spt-tahunan-badan-tapi-belum-aktivasi-efin-ini-solusinya/

Syarat dan Cara Bikin Surat Keterangan Bebas Pajak Rumah Warisan

KOMPAS.com – Ahli waris bakal dikenai pajak rumah warisan apabila tidak bisa menunjukkan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 4 ayat (2) ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat melakukan proses balik nama sertifikat. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Dwi Astuti, mengatakan besaran pajak rumah warisan adalah 2,5 persen. Hal itu didasari oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya. Serta, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2009 tentang Tata Cara Pemberian Pengecualian dari Kewajiban Pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan. Sebaliknya, ahli waris yang menyertakan SKB PPh atas pengalihan tanah dan atau bangunan saat proses balik nama, maka yang bersangkutan akan dibebaskan pajak. Hal itu diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d PER-8/PJ/2023, pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan karena waris dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh). “Pengecualian dari kewajiban tersebut diberikan dengan penerbitan SKB PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan atau bangunan beserta perubahannya,” terang Dwi, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (15/4/2025).   Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2025/04/16/080000165/syarat-dan-cara-bikin-surat-keterangan-bebas-pajak-rumah-warisan

Praktisi Sebut Percepatan Restitusi Pajak Bantu Perputaran Modal Pengusaha di Tengah Perang Dagang

Jakarta – Sejumlah praktisi pajak menyambut positif kebijakan pemerintah untuk mempercepat pengembalian pajak (restitusi) di tengah penetapan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld berpandangan, restitusi pajak dapat membantu perputaran modal bagi pengusaha di tengah perang dagang saat ini. “Begitu ada restitusi, ada dana masuk yang cepat dari hasil restitusi, maka ada fresh money untuk melakukan perputaran modal. Restitusi pajak ini tentu sangat positif karena adanya suatu kepastian hukum bagi pengusaha,” ujar Vaudy kepada Pajak.com, usai acara Halalbihalal Nasional 2025 bertajuk ‘Wujudkan Semangat Kebersamaan dalam Keberagaman’, di Aston Kartika Grogol Hotel & Conference Center, Jakarta, dikutip (15/4). Ia mengungkapkan bahwa selama ini mayoritas restitusi pajak dilakukan melalui prosedur pemeriksaan yang memakan waktu maksimal 12 bulan. Proses itu dapat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. “Percepatan restitusi pajak ini kebijakan yang diharapkan oleh pengusaha,” imbuhnya. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Ketua Departemen Humas IKPI Jemmi Sutiono. Ia mengatakan, percepatan restitusi pajak membuat perusahaan memiliki dana produktif yang bermanfaat bagi kelangsungan bisnis. “Proses pemeriksaan pajak yang panjang, sehingga proses lebih bayar pajak tidak cepat cair. Semoga pemeriksaan yang cepat membuat kesadaran pajak semakin meningkat,” ujar Jemmi. Payung Hukum Percepatan Restitusi Pajak Pemerintah sejatinya telah mengeluarkan kebijakan percepatan restitusi pajak melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-5/PJ/2023 tentang Percepatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. Melalui aturan yang mulai berlaku mulai 9 Mei 2023 ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempercepat proses permohonan restitusi pajak dari menjadi 15 hari kerja. Sebelumnya, Wajib Pajak orang pribadi yang mengajukan restitusi pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) diproses melalui pemeriksaan dengan jangka waktu paling lama 12 bulan. Namun, percepatan restitusi pajak hanya diberikan kepada Wajib Pajak dengan jumlah PPh lebih bayar paling banyak Rp100 juta. Selain itu, Perdirjen Nomor PER-5/PJ/2023 juga tidak mengenakan sanksi kepada Wajib Pajak orang pribadi berupa kenaikan sebesar 100 persen, apabila di kemudian hari diperiksa dan/atau ditemukan adanya kekurangan pembayaran pajak. Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa pemerintah akan mempercepat restitusi pajak untuk meringankan beban pengusaha di tengah menghadapi tarif Trump. Kebijakan ini diambil karena restitusi pajak menjadi salah satu potensi dari komplain yang muncul dari United States Trade Representative (USTR) terhadap Indonesia. “Untuk restitusi, kami melakukan secara jauh lebih cepat untuk yang orang pribadi di bawah Rp100 juta sama sekali tidak ada pemeriksaan. Untuk lainnya, dengan adanya core tax kita jauh bisa melakukan pengembalian lebih bayar PPN [Pajak Pertambahan Nilai] secara otomatis. Ini akan mempengaruhi banget dari sisi cash flow perusahaan,” ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta Pusat, (8/4). Merespons hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti mengungkapkan bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih membahas mengenai kemungkinan penerbitan aturan baru mengenai percepatan restitusi pajak. “Dapat kami sampaikan bahwa ketentuan terkait hal tersebut [aturan baru], masih dalam pembahasan internal kementerian keuangan,” ungkap Dwi kepada Pajak.com, (10/4).   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/praktisi-sebut-percepatan-restitusi-pajak-bantu-perputaran-modal-pengusaha-di-tengah-perang-dagang/

Ingat! PT Perorangan Tak Dapat Fasilitas Omzet Rp500 Juta Bebas Pajak

PT perorangan yang memanfaatkan skema PPh final UMKM tidak berhak mendapatkan fasilitas omzet tidak kena pajak Rp500 juta. Meski PT perorangan didirikan hanya oleh 1 orang, PT peorangan tetap dikategorikan sebagai wajib pajak badan dan bukan merupakan wajib pajak orang pribadi Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-20/PJ/2022. Satu-satunya perlakuan pajak khusus bagi wajib pajak badan berbentuk PT perorangan adalah jangka waktu pemanfaatan skema PPh final UMKM yang lebih panjang dibandingkan dengan wajib pajak badan berbentuk PT. PT perorangan diperbolehkan untuk memanfaatkan skema PPh final UMKM selama 4 tahun pajak, sedangkan jangka waktu pemanfaatan PPh final UMKM oleh PT dibatasi hanya selama 3 tahun pajak, bunyi Pasal 59 ayat (1) huruf b PP 55/2022. Ketika jangka waktu pemanfaatan skema PPh final UMKM sudah habis, PT perorangan dapat memanfaatkan fasilitas Pasal 31E UU PPh sepanjang omzet tahunan wajib pajak badan tersebut belum melebihi Rp50 miliar. Dengan memanfaatkan fasilitas Pasal 31E UU PPh, wajib pajak badan, termasuk PT perorangan, dikenai pajak hanya sebesar 11% atas penghasilan kena pajak dari bagian omzet sampai dengan Rp4,8 miliar. Sebagai informasi, perseroan perorangan merupakan badan hukum yang didirikan oleh 1 orang perseorangan dan memenuhi kriteria sebagai usaha mikro dan kecil (UMK) sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja.

PPh 25 dan 29: Bedanya Apa dan Kapan Bayarnya?

Pendahuluan Di tengah kesibukan menjalankan bisnis atau profesi, memahami kewajiban perpajakan menjadi hal krusial agar tidak tersandung sanksi atau denda. Dua jenis pajak penghasilan yang sering membingungkan Wajib Pajak adalah PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29. Meskipun sama-sama berkaitan dengan pelaporan dan pembayaran pajak penghasilan, keduanya memiliki fungsi dan waktu pembayaran yang berbeda. Apa Itu PPh 25? PPh Pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan yang dibayar setiap bulan oleh Wajib Pajak sebagai bentuk cicilan dari total pajak yang akan dihitung pada akhir tahun. Tujuannya adalah untuk meringankan beban pembayaran pajak tahunan dan menjamin pemasukan negara secara berkala. Dasar Hukum: UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-20/PJ/2013 Contoh Penerapan: Jika seseorang diperkirakan memiliki kewajiban pajak sebesar Rp24 juta dalam setahun, maka PPh 25-nya adalah Rp2 juta per bulan, dibayar dari bulan Januari sampai Desember. Apa Itu PPh 29? PPh Pasal 29 adalah kekurangan pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah dilakukan perhitungan akhir dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. PPh 29 muncul saat jumlah pajak terutang lebih besar daripada total kredit pajak (termasuk angsuran PPh 25 yang telah dibayar). Dasar Hukum: Pasal 29 UU PPh PMK No. 243/PMK.03/2014 Contoh Penerapan: Jika setelah pelaporan SPT Tahunan ternyata pajak yang seharusnya dibayar Rp30 juta, sementara total angsuran PPh 25 hanya Rp24 juta, maka kekurangannya sebesar Rp6 juta itulah yang disebut PPh 29. Perbedaan Utama PPh 25 vs PPh 29 AspekPPh 25PPh 29Waktu PembayaranSetiap bulan (angsuran)Sekali, saat lapor SPT TahunanTujuanMencicil kewajiban pajakMelunasi kekurangan pajakSifatProaktif (wajib dibayar rutin)Reaktif (muncul jika ada selisih)Sumber PerhitunganBerdasarkan estimasi tahun laluBerdasarkan hasil akhir SPT Kapan Harus Membayar Keduanya? PPh 25 → Dibayar paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. PPh 29 → Dibayar bersamaan dengan pelaporan SPT Tahunan: Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: Paling lambat 31 Maret. Untuk Wajib Pajak Badan: Paling lambat 30 April. Apa Konsekuensinya Jika Telat Bayar? Keterlambatan pembayaran akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai ketentuan yang berlaku, dihitung berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, serta denda jika tidak melapor. Tips Pengelolaan PPh 25 dan 29 dengan Efisien Gunakan software akuntansi yang terintegrasi dengan e-Filing Lakukan rekonsiliasi keuangan setiap bulan Pantau estimasi pajak secara berkala Konsultasikan dengan konsultan pajak jika memiliki keraguan Kesimpulan PPh 25 dan PPh 29 merupakan dua komponen penting dalam manajemen pajak tahunan. Memahami perbedaan dan waktu pembayarannya akan membantu Anda mengelola arus kas dengan lebih baik serta menghindari risiko sanksi perpajakan. Kelola dengan bijak, dan laporkan tepat waktu! Sumber: https://www.smrkonsultan.com/pph-25-dan-29-apa-bedanya-dan-kapan-bayarnya/ https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/pph-25-dan-29-bedanya-apa-dan-kapan-bayarnya/

DJP Pastikan Kelancaran Sistem DJP Online Hingga Batas Waktu Akhir

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan kelancaran sistem DJPOnline di tengah batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi pada 11 April 2025 hingga pukul 23:59 WIB. “DJP terus melakukan perbaikan dan memastikan kelancaran pada sistem DJPOnline. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik kepada Wajib Pajak agar dapat lebih mudah dalam membayar dan melaporkan pajaknya,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti kepada Pajak.com, (11/4). Meski demikian, ia mengimbau Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Tahunan PPh orang pribadi sebelum mendekati batas akhir waktu yang ditetapkan. Hal ini untuk memberikan kenyamanan bagi Wajib Pajak. Sebagaimana diketahui, batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi masa pajak 2024 semestinya jatuh pada 31 Maret 2025. Namun, karena bertepatan dengan hari libur nasional dan cuti bersama Hari Suci Nyepi (Tahun Baru Saka 1947) dan Idulfitri 1446 Hijriah, pemerintah memperpanjang batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi menjadi tanggal 11 April 2025. Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 79 Tahun 2025. Sementara itu, batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan masa pajak 2024 adalah 30 April 2025. Dwi juga mengingatkan adanya sanksi keterlambatan dalam melaporkan SPT Tahunan PPh orang pribadi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sanksi keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi adalah sebesar Rp100 ribu dan senilai Rp1 juta untuk badan. “Dapat kami sampaikan juga bahwa hingga 11 April 2025 pukul 00.01 WIB, total SPT Tahunan PPh tahun pajak 2024 yang sudah disampaikan adalah sebanyak 12,79 juta SPT. Angka ini terdiri dari 12,42 juta SPT Tahunan PPh orang pribadi dan 372 ribu SPT tahunan badan,” ungkap Dwi.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/djp-pastikan-kelancaran-sistem-djponline-hingga-batas-waktu-akhir/

Kantongi Izin Kawasan Berikat, Perusahaan Manufaktur Ini Bebas Pajak

Pajak.com, Jawa Tengah – PT Selim Elektro, perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur alat elektronik rumah tangga, resmi mengantongi izin fasilitas kawasan berikat dari Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)/Bea Cukai Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan meraih fasilitas ini perusahaan berhak dibebaskan dari pajak. Kepala Seksi Bimbingan Kepatuhan dan Humas Kanwil Bea Cukai Jateng DIY R. Megah Andiarto menjelaskan bahwa fasilitas kawasan berikat merupakan bentuk dukungan pemerintah kepada industri berorientasi ekspor. Dukungan tersebut berupa fasilitas fiskal, diantaranya penangguhan bea masuk, serta pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). “Kawasan berikat merupakan tempat penimbunan berikat (TPB) yang dimanfaatkan untuk menimbun barang impor atau barang dari dalam negeri, yang kemudian diolah atau dirakit untuk tujuan ekspor. Harapan kami, fasilitas ini dapat mendorong pertumbuhan industri dan ekspor nasional,” jelas Megah dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (11/4). Ia mengungkapkan, PT Selim Elektro memproduksi kulkas dan mesin cuci yang akan diekspor ke sejumlah negara, seperti Korea Selatan, India, Polandia, dan Vietnam. Investasi yang ditanamkan oleh perusahaan pada tahun 2025 mencapai Rp100 miliar. Dengan memanfaatkan fasilitas kawasan berikat, PT Selim Elektro menargetkan nilai ekspor dapat mencapai Rp90 miliar pada tahun 2025 dan meningkat signifikan menjadi Rp234 miliar di tahun 2029. Secara simultan, perusahaan juga membuka peluang kerja yang cukup besar, yakni menyerap 1.068 tenaga kerja tahun ini dan menargetkan 2.267 karyawan pada empat tahun mendatang. “Keberadaan fasilitas kawasan berikat diharapkan bisa memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar, mulai dari bertumbuhnya usaha mikro, seperti warung makan, tempat kos, hingga layanan transportasi,” ujar Megah. Ia juga mengingatkan perusahaan untuk tetap berhati-hati terhadap modus penipuan yang mengatasnamakan Bea Cukai. “Perlu kami sampaikan bahwa semua layanan Bea Cukai tidak dipungut biaya. Kami minta perusahaan tetap waspada dan jangan mudah percaya bila ada oknum yang meminta uang dengan mengaku sebagai petugas Bea Cukai,” jelasnya. Pada kesempatan yang sama, Direktur PT Selim Elektro Yun Young Chun menyampaikan apresiasinya atas pelayanan yang diterima dari Bea Cukai selama ini, khususnya terkait asistensi hingga proses pengajuan izin fasilitas kawasan berikat. “Kami sangat berterima kasih atas proses yang cepat dan pendampingan dari Kanwil Bea Cukai Jateng DIY. Ini sangat membantu kami untuk segera beroperasi dengan menggunakan fasilitas fiskal kawasan berikat,” ungkap Yun Young Chun.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/kantongi-izin-kawasan-berikat-perusahaan-manufaktur-ini-bebas-pajak/

Potensi-Potensi Sengketa Pajak setelah Berlakunya PMK 74/2024

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan secara fiskal karena perpajakan menganut prinsip realisasi. Namun demikian, khusus untuk usaha tertentu (misalnya perbankan), pembentukan cadangan piutang tak tertagih diperkenankan secara fiskal. Pengecualian ini sudah muncul dan diatur pada pasal 9 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 (PP 36/1983). Adapun ketentuan teknis atas pembentukan cadangan piutang tak tertagih diatur pertama kali pada KMK-959/KMK.04/1983 yang kemudian terakhir diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74 Tahun 2024 (PMK 74/2024). Sebagaimana diketahui, industri perbankan merupakan salah satu industri yang memiliki regulasi yang sangat ketat. Hal ini juga berlaku dalam penghitungan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang harus memenuhi ketentuan dari regulator perbankan (misalnya OJK), ketentuan standar akuntansi, serta ketentuan fiskal. Cukup kompleksnya perhitungan CKPN ditambah dengan perbedaan dalam perlakuan secara fiskal dan komersial mengakibatkan seringnya muncul sengketa pajak. Sejak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), gap antara ketentuan komersial dengan ketentuan pajak telah disempitkan dengan ketentuan bahwa pencadangan piutang tak tertagih secara fiskal pada prinsipnya dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu. Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut pada PMK 74/2024 yang diundangkan pada 10 Oktober 2024 dan mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2024. Dengan penggunaan standar akuntansi keuangan pada penghitungan pencadangan piutang tak tertagih secara fiskal, diharapkan sengketa pajak yang selama ini muncul dapat diminimalkan sehingga kepastian hukum dapat tercapai. Beberapa ketentuan dalam PMK 74/2024 memuat norma-norma hukum berupa penegasan yang sebelumnya sering menjadi objek sengketa. Pertama, terkait dengan jenis agunan dan nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang. Lampiran PMK 74/2024 memuat dengan jelas jenis-jenis agunan yang termasuk dalam kategori agunan likuid dan agunan lainnya, hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya (PMK 81/2009) yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut mengenai jenis agunan likuid dan agunan lainnya. Kedua, PMK 74/2024 juga menghapus frasa ‘paling tinggi’ terkait dengan nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang yang sebelumnya terdapat pada PMK 81/2009. Keberadaan frasa ‘paling tinggi’ pada PMK 81/2009 selama ini telah menjadi salah satu sumber sengketa karena menimbulkan ketidakpastian mengenai berapa sebenarnya nilai agunan yang diperbolehkan secara fiskal menjadi faktor pengurang baki kredit. Dengan dihapuskannya frasa ‘paling tinggi’ maka jumlah pengurang nilai tercatat piutang menjadi pasti, yaitu sebesar 100% dari nilai agunan bersifat likuid dan 75% dari nilai agunan lainnya. Ketiga, PMK 74/2024 juga memberikan penegasan mengenai hubungan antara proses pembentukan cadangan dengan peristiwa penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Beberapa sengketa pajak seringkali mempermasalahkan mengenai koreksi fiskal terhadap penghapusan kredit yang tidak memenuhi ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh. Berlakunya PMK 74/2024 memberikan penegasan penting mengenai 3 hal. Pertama, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai tercatat cadangan awal tahun pajak apabila telah memenuhi persyaratan pembebanan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 PMK 74/2024). Kedua, apabila piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang secara fiskal maka piutang tersebut […]