DJP Pastikan Kelancaran Sistem DJP Online Hingga Batas Waktu Akhir

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan kelancaran sistem DJPOnline di tengah batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi pada 11 April 2025 hingga pukul 23:59 WIB. “DJP terus melakukan perbaikan dan memastikan kelancaran pada sistem DJPOnline. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik kepada Wajib Pajak agar dapat lebih mudah dalam membayar dan melaporkan pajaknya,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti kepada Pajak.com, (11/4). Meski demikian, ia mengimbau Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Tahunan PPh orang pribadi sebelum mendekati batas akhir waktu yang ditetapkan. Hal ini untuk memberikan kenyamanan bagi Wajib Pajak. Sebagaimana diketahui, batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi masa pajak 2024 semestinya jatuh pada 31 Maret 2025. Namun, karena bertepatan dengan hari libur nasional dan cuti bersama Hari Suci Nyepi (Tahun Baru Saka 1947) dan Idulfitri 1446 Hijriah, pemerintah memperpanjang batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi menjadi tanggal 11 April 2025. Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 79 Tahun 2025. Sementara itu, batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan masa pajak 2024 adalah 30 April 2025. Dwi juga mengingatkan adanya sanksi keterlambatan dalam melaporkan SPT Tahunan PPh orang pribadi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sanksi keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi adalah sebesar Rp100 ribu dan senilai Rp1 juta untuk badan. “Dapat kami sampaikan juga bahwa hingga 11 April 2025 pukul 00.01 WIB, total SPT Tahunan PPh tahun pajak 2024 yang sudah disampaikan adalah sebanyak 12,79 juta SPT. Angka ini terdiri dari 12,42 juta SPT Tahunan PPh orang pribadi dan 372 ribu SPT tahunan badan,” ungkap Dwi.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/djp-pastikan-kelancaran-sistem-djponline-hingga-batas-waktu-akhir/

Kantongi Izin Kawasan Berikat, Perusahaan Manufaktur Ini Bebas Pajak

Pajak.com, Jawa Tengah – PT Selim Elektro, perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur alat elektronik rumah tangga, resmi mengantongi izin fasilitas kawasan berikat dari Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)/Bea Cukai Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan meraih fasilitas ini perusahaan berhak dibebaskan dari pajak. Kepala Seksi Bimbingan Kepatuhan dan Humas Kanwil Bea Cukai Jateng DIY R. Megah Andiarto menjelaskan bahwa fasilitas kawasan berikat merupakan bentuk dukungan pemerintah kepada industri berorientasi ekspor. Dukungan tersebut berupa fasilitas fiskal, diantaranya penangguhan bea masuk, serta pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). “Kawasan berikat merupakan tempat penimbunan berikat (TPB) yang dimanfaatkan untuk menimbun barang impor atau barang dari dalam negeri, yang kemudian diolah atau dirakit untuk tujuan ekspor. Harapan kami, fasilitas ini dapat mendorong pertumbuhan industri dan ekspor nasional,” jelas Megah dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (11/4). Ia mengungkapkan, PT Selim Elektro memproduksi kulkas dan mesin cuci yang akan diekspor ke sejumlah negara, seperti Korea Selatan, India, Polandia, dan Vietnam. Investasi yang ditanamkan oleh perusahaan pada tahun 2025 mencapai Rp100 miliar. Dengan memanfaatkan fasilitas kawasan berikat, PT Selim Elektro menargetkan nilai ekspor dapat mencapai Rp90 miliar pada tahun 2025 dan meningkat signifikan menjadi Rp234 miliar di tahun 2029. Secara simultan, perusahaan juga membuka peluang kerja yang cukup besar, yakni menyerap 1.068 tenaga kerja tahun ini dan menargetkan 2.267 karyawan pada empat tahun mendatang. “Keberadaan fasilitas kawasan berikat diharapkan bisa memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar, mulai dari bertumbuhnya usaha mikro, seperti warung makan, tempat kos, hingga layanan transportasi,” ujar Megah. Ia juga mengingatkan perusahaan untuk tetap berhati-hati terhadap modus penipuan yang mengatasnamakan Bea Cukai. “Perlu kami sampaikan bahwa semua layanan Bea Cukai tidak dipungut biaya. Kami minta perusahaan tetap waspada dan jangan mudah percaya bila ada oknum yang meminta uang dengan mengaku sebagai petugas Bea Cukai,” jelasnya. Pada kesempatan yang sama, Direktur PT Selim Elektro Yun Young Chun menyampaikan apresiasinya atas pelayanan yang diterima dari Bea Cukai selama ini, khususnya terkait asistensi hingga proses pengajuan izin fasilitas kawasan berikat. “Kami sangat berterima kasih atas proses yang cepat dan pendampingan dari Kanwil Bea Cukai Jateng DIY. Ini sangat membantu kami untuk segera beroperasi dengan menggunakan fasilitas fiskal kawasan berikat,” ungkap Yun Young Chun.   Sumber: https://www.pajak.com/pajak/kantongi-izin-kawasan-berikat-perusahaan-manufaktur-ini-bebas-pajak/

Potensi-Potensi Sengketa Pajak setelah Berlakunya PMK 74/2024

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan secara fiskal karena perpajakan menganut prinsip realisasi. Namun demikian, khusus untuk usaha tertentu (misalnya perbankan), pembentukan cadangan piutang tak tertagih diperkenankan secara fiskal. Pengecualian ini sudah muncul dan diatur pada pasal 9 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1983 (PP 36/1983). Adapun ketentuan teknis atas pembentukan cadangan piutang tak tertagih diatur pertama kali pada KMK-959/KMK.04/1983 yang kemudian terakhir diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74 Tahun 2024 (PMK 74/2024). Sebagaimana diketahui, industri perbankan merupakan salah satu industri yang memiliki regulasi yang sangat ketat. Hal ini juga berlaku dalam penghitungan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang harus memenuhi ketentuan dari regulator perbankan (misalnya OJK), ketentuan standar akuntansi, serta ketentuan fiskal. Cukup kompleksnya perhitungan CKPN ditambah dengan perbedaan dalam perlakuan secara fiskal dan komersial mengakibatkan seringnya muncul sengketa pajak. Sejak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), gap antara ketentuan komersial dengan ketentuan pajak telah disempitkan dengan ketentuan bahwa pencadangan piutang tak tertagih secara fiskal pada prinsipnya dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu. Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut pada PMK 74/2024 yang diundangkan pada 10 Oktober 2024 dan mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2024. Dengan penggunaan standar akuntansi keuangan pada penghitungan pencadangan piutang tak tertagih secara fiskal, diharapkan sengketa pajak yang selama ini muncul dapat diminimalkan sehingga kepastian hukum dapat tercapai. Beberapa ketentuan dalam PMK 74/2024 memuat norma-norma hukum berupa penegasan yang sebelumnya sering menjadi objek sengketa. Pertama, terkait dengan jenis agunan dan nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang. Lampiran PMK 74/2024 memuat dengan jelas jenis-jenis agunan yang termasuk dalam kategori agunan likuid dan agunan lainnya, hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya (PMK 81/2009) yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut mengenai jenis agunan likuid dan agunan lainnya. Kedua, PMK 74/2024 juga menghapus frasa ‘paling tinggi’ terkait dengan nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang yang sebelumnya terdapat pada PMK 81/2009. Keberadaan frasa ‘paling tinggi’ pada PMK 81/2009 selama ini telah menjadi salah satu sumber sengketa karena menimbulkan ketidakpastian mengenai berapa sebenarnya nilai agunan yang diperbolehkan secara fiskal menjadi faktor pengurang baki kredit. Dengan dihapuskannya frasa ‘paling tinggi’ maka jumlah pengurang nilai tercatat piutang menjadi pasti, yaitu sebesar 100% dari nilai agunan bersifat likuid dan 75% dari nilai agunan lainnya. Ketiga, PMK 74/2024 juga memberikan penegasan mengenai hubungan antara proses pembentukan cadangan dengan peristiwa penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Beberapa sengketa pajak seringkali mempermasalahkan mengenai koreksi fiskal terhadap penghapusan kredit yang tidak memenuhi ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh. Berlakunya PMK 74/2024 memberikan penegasan penting mengenai 3 hal. Pertama, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai tercatat cadangan awal tahun pajak apabila telah memenuhi persyaratan pembebanan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 PMK 74/2024). Kedua, apabila piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang secara fiskal maka piutang tersebut […]