Mulai tahun 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerapkan regulasi baru terkait penggunaan e-Faktur yang semakin ketat dan terintegrasi dengan sistem Coretax. Pengusaha Kena Pajak (PKP), baik individu maupun badan, wajib memahami poin-poin penting regulasi ini agar dapat menghindari sanksi dan menjaga kepatuhan perpajakan. 1. Integrasi e-Faktur dengan Coretax 3.0 Regulasi baru menekankan bahwa e-Faktur harus terhubung langsung dengan sistem Coretax 3.0. Artinya, pengusaha wajib menggunakan aplikasi e-Faktur terbaru (versi web based) yang sudah terkoneksi otomatis dengan server DJP. Implikasinya: Tidak ada lagi input manual tanpa pelaporan yang sinkron. Semua aktivitas faktur akan termonitor secara real-time. 2. Validasi Dokumen Wajib Sebelum Aktivasi e-Faktur Sebelum PKP dapat menggunakan e-Faktur, berikut adalah dokumen resmi dari DJP yang wajib dimiliki: NPWP aktif Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Surat Pengukuhan PKP (SPPKP) Akun DJP Online terverifikasi Sertifikat Elektronik aktif Persetujuan e-Nofa (penomoran faktur elektronik) Tanpa kelengkapan dokumen di atas, aktivasi e-Faktur tidak akan disetujui. 3. Penggunaan Sertifikat Elektronik Versi Terbaru Mulai 2025, hanya Sertifikat Elektronik versi terbaru yang dapat digunakan dalam transaksi e-Faktur. PKP yang belum memperbarui sertifikatnya akan otomatis gagal mengakses sistem. 4. Pelaporan dan Pengkreditan Pajak Lebih Transparan Dengan sistem yang terkoneksi langsung ke Coretax, DJP akan lebih mudah melakukan pencocokan antara: Faktur pajak keluaran, Pajak masukan, Dan pelaporan SPT PPN. Konsekuensi: Kesalahan input atau keterlambatan pelaporan bisa langsung terdeteksi dan berpotensi dikenai sanksi administrasi. 5. Penertiban Faktur Pajak Pengganti Regulasi baru juga menekankan prosedur baru untuk membuat Faktur Pajak Pengganti, yang kini hanya bisa dilakukan melalui sistem berbasis approval DJP. Proses manual atau offline sudah tidak diperkenankan. 6. Pengawasan Lebih Ketat terhadap Transaksi Fiktif e-Faktur 2025 dirancang untuk menekan potensi penyalahgunaan faktur fiktif. Dengan sistem pengawasan otomatis dan validasi data dari berbagai sumber, DJP bisa langsung menolak faktur yang mencurigakan. Siapa Saja yang Wajib Taat? Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP. Perusahaan perorangan di sektor perdagangan, jasa, dan manufaktur. Badan usaha berbentuk PT, CV, dan koperasi yang melakukan transaksi kena pajak. Jangan Tunggu Sampai Diperiksa Pajak Regulasi e-Faktur 2025 adalah bagian dari transformasi digital DJP untuk menciptakan ekosistem pajak yang adil, transparan, dan efisien. Sebagai pengusaha di wilayah INDONESIA, penting untuk segera menyesuaikan sistem dan kelengkapan administrasi Anda agar tidak terkena denda atau kendala teknis di masa depan. Sumber: https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/regulasi-e-faktur-2025-ini-poin-poin-pentingnya/
Ingat, Bikin Kode Billing Atas Pemungutan PPh 22 Pakai NPWP Pemungut
Seiring dengan implementasi coretax administration system, atas PPh Pasal 22 yang dipungut oleh pemungut, pembuatan kode billing-nya menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) pemungut. Ketentuan ini misalnya berlaku bagi instansi pemerintah selaku pemungut PPh Pasal 22 wajib membuat bukti pungut dan memberikannya kepada rekanan selaku wajib pajak yang dipungut. Hal itu telah diatur dalam PMK 81/2024, Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak … wajib disetor oleh pemungut pajak ke kas negara dengan menggunakan nomor pokok wajib pajak pemungut pajak. Untuk diketahui, PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dipungut oleh bendaharawan atau perusahaan tertentu, baik milik pemerintah ataupun swasta. Pajak ini dikenakan pada kegiatan impor, ekspor, atau usaha di bidang lain. Berdasarkan PMK 81/2024, ada 8 pihak yang wajib memungut PPh Pasal 22. Pertama, bank devisa dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Kedua, instansi pemerintah berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang, yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan atau mekanisme pembayaran langsung. Ketiga, badan usaha tertentu seperti BUMN, anak usaha BUMN, serta badan usaha dan badan usaha milik negara (BUMN) yang merupakan hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Keempat, industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi. Kelima, agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor. Keenam, produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas. Ketujuh, industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur. Kedelapan, perusahaan yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan. “Pemungut pajak … wajib memungut dan membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22,” bunyi Pasal 223 ayat (1). Selanjutnya, kode billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem billing DJP atas suatu jenis pembayaran atau penyetoran pajak. Ini dibutuhkan bagi pemungut untuk membuat bukti pungut, dan melaporkannya di SPT. Setelah itu, pemungut akan menyampaikan bukti pemungutan PPh Pasal 22 kepada wajib pajak yang dipungut alias rekanan.
Memahami Konsep Pajak Air Permukaan dalam UU HKPD
Air merupakan sumber daya alam yang esensial bagi kebutuhan hidup maupun kegiatan ekonomi masyarakat. Tingginya pertumbuhan penduduk secara langsung memengaruhi permintaan jumlah kebutuhan air bersih. Agar pemanfaatan air bersih dapat terkendali dan tidak dieksploitasi secara berlebihan, pemerintah mengatur pengelolaan sumber daya air melalui instrumen perpajakan guna menciptakan keadilan, menjaga kelestarian lingkungan, serta mendukung penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Instrumen pajak yang digunakan yakni Pajak atas Air Permukaan (PAP). Pemungutan PAP telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Objek Pajak Air Permukaan PAP merupakan salah satu dari tujuh pajak yang pemungutannya diatur dan diselenggarakan oleh pemerintah provinsi. Pasal 1 angka 52 UU HKPD menerangkan bahwa PAP adalah pajak yang dikenakan atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan oleh orang pribadi maupun badan. Air permukaan yang dimaksud yakni semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Namun demikian, terdapat aktivitas pemanfaatan air yang dikecualikan dari objek PAP. Merujuk pada Pasal 28 ayat (2) UU HKPD, objek pajak yang dikecualikan dari pemanfaatan air permukaan tersebut antara lain: penggunaan air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga; penggunaan air permukaan untuk pengairan pertanian rakyat; perikanan rakyat; dan keperluan keagamaan. Selain itu, kegiatan mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau) serta kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan daerah juga menjadi objek pengecualian PAP. Pengecualian diberikan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketentuan peraturan perundang-undangan Dasar Pengenaan dan Tarif PAP Dasar pengenaan PAP adalah Nilai Perolehan Air Permukaan (NPAP) yang ditetapkan dengan peraturan gubernur. Dalam hal ini, NPAP adalah hasil perkalian antara harga dasar air permukaan dengan bobot air permukaan. Harga dasar air permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air permukaan. Sementara itu, bobot air permukaan dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor seperti lokasi pengambilan air, volume air, dan kewenangan pengelolaan sumber daya air. PAP terutang dipungut di wilayah daerah tempat air permukaan berada dengan tarif ditetapkan paling tinggi sebesar 10% yang diatur dengan peraturan daerah. Contoh Perhitungan PT A merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri pengelolaan air permukaan di Provinsi B. PT A mengambil air permukaan dengan volume 10.000 m³ dengan harga dasar air permukaan Rp500 per m³. NPAP di Provinsi B dihitung dari harga dasar air permukaan dikalikan volume air yang yang diambil. Tarif PAP yang berlaku adalah 10%. Penghitungan PAP terutang untuk PT A adalah sebagai berikut: NPAP = Harga Dasar × Volume NPAP = Rp500/m³ × 10.000 m³ = Rp5.000.000 PAP Terutang = 10% × Rp5.000.000 = Rp500.000 Mekanisme Bagi Hasil PAP Sebesar 50% dari penerimaan PAP pemerintah provinsi wajib dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di wilayahnya, sementara 50% akan menjadi bagian provinsi (Pasal 85 ayat (2) UU HKPD). Dalam hal penerimaan PAP berasal dari sumber air yang berada dalam satu wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP tersebut dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80%. Lebih lanjut, ketentuan bagi hasil harus ditetapkan secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air. Sumber: https://ortax.org/memahami-konsep-pajak-air-permukaan-dalam-uu-hkpd