JAKARTA, DDTCNews – Seorang istri yang bekerja dan memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) perlu mengajukan permohonan nonaktif apabila ingin menggabungkan hak dan kewajiban perpajakannya dengan suami. Penonaktifan NPWP istri untuk bergabung dengan NPWP suami tersebut diatur dalam PMK 81/2024. Mekanisme permohonan penetapan wajib pajak nonaktif kini juga bisa diajukan melalui akun coretax system milik istri. “Penetapan wajib pajak nonaktif … dilakukan dalam hal wajib pajak orang pribadi: wanita kawin yang telah memiliki NPWP yang kemudian memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suaminya,” bunyi Pasal 25 ayat (2) huruf e PMK 81/2024, dikutip pada Kamis (15/5/2025). Merujuk pada PMK 81/2024, kepala kantor pelayanan pajak (KPP) dapat menetapkan wajib pajak nonaktif berdasarkan permohonan wajib pajak atau secara jabatan. Setelah melakukan penelitian atas permohonan wajib pajak, kepala KPP akan menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada wajib pajak orang pribadi. Keputusan kepala KPP ini disampaikan maksimal 5 hari kerja. “Keputusan diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap,” bunyi Pasal 25 ayat (5) PMK 81/2025. Untuk diketahui, wajib pajak (istri) dapat mengajukan permohonan wajib pajak nonaktif secara online melalui coretax system pada lama https://coretaxdjp.pajak.go.id/. Kemudian, klik menu Portal Saya yang berada di pojok kiri atas, lalu pilih submenu Perubahan Status. Setelah itu, klik Penetapan Wajib Pajak Nonaktif, sampai masuk ke laman Penonaktifan Status Wajib Pajak. Wajib pajak perlu mengisi dan melengkapi dokumen secara online, termasuk identitas wajib pajak, kuasa wajib pajak, serta memilih alasan penetapan non aktif ‘wajib pajak orang pribadi wanita kawin yang sebelumnya aktif (OP, HB,PH,MT) yang kemudian memilih menggabungkan perhitungan pajak dengan suami’. Setelah itu, centang kolom pernyataan yang menyatakan wajib pajak menyadari sepenuhnya untuk mengajukan penetapan non-aktif. Terakhir, klik tombol simpan. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1810729/pajak-gabung-suami-jangan-lupa-npwp-istri-dinonaktifkan-dulu
Kabar Baik! UMKM Malang Beromzet di Bawah Rp10 Juta Diusulkan Bebas Pajak
Malang – Pemerintah Kota (Pemkot) Malang tengah memproses perubahan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), khususnya terkait Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk sektor makanan dan minuman atau yang dikenal sebagai pajak restoran. Salah satu poin krusial dalam revisi ini adalah rencana menaikkan ambang batas omzet kena pajak dari Rp5 juta menjadi Rp10 juta per bulan. Wali Kota Malang Wahyu Hidayat mengungkapkan, perubahan ini merupakan hasil evaluasi atas kondisi ekonomi terkini, serta bentuk kepedulian terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Kota Malang. “Perda lama mengatur kewajiban pajak bagi usaha makan minum dengan omzet Rp5 juta per bulan, tapi ini belum pernah diterapkan. Saya minta untuk dievaluasi karena terlalu memberatkan pelaku UMKM,” kata Wahyu di Malang, Jawa Timur, dikutip Pajak.com, Rabu (14/5/2025). Wahyu menegaskan, sebelum perubahan diterapkan, Pemkot Malang melakukan pemetaan terhadap potensi pajak dari sektor kuliner, termasuk usaha yang beroperasi pada malam hari. Pendataan ini, menurutnya, bukan untuk memajaki pedagang kecil, melainkan agar mereka bisa mendapatkan pembebasan pajak. “Ini hanya pendataan. Kami ingin tahu ada berapa pelaku usaha yang omzetnya di bawah Rp10 juta agar mereka tidak dikenakan pajak. Bahkan yang Rp10 juta pun belum tentu akan langsung diberlakukan pajak. Semua tergantung situasi ekonomi di lapangan,” tegasnya. Ia menambahkan, pendataan tersebut sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat terkait kabar bahwa seluruh pelaku usaha kuliner, termasuk pedagang malam, akan dikenai pajak. Wahyu memastikan, Pemkot Malang tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan empati dalam optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Saya bisa memilih untuk tidak menjalankan aturan tersebut jika kondisi ekonomi masyarakat belum memungkinkan. Kalau Rp10 juta masih berat, bisa saja dinaikkan lagi ambang batasnya, misalnya Rp15 juta, dan tetap tidak dijalankan,” imbuh Wahyu. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang Handi Priyanto menambahkan, Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) revisi Perda 4/2023 saat ini tengah dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) DPRD. Sembari menunggu pengesahan, pihaknya sudah melakukan pendataan terhadap usaha makanan dan minuman yang omzetnya di bawah Rp10 juta. “Pendataan ini tujuannya agar saat perda baru disahkan, mereka yang berhak langsung bisa dibebaskan dari pajak restoran. Jadi bukan untuk memajaki, justru untuk melindungi pelaku UMKM,” jelas Handi. Menurut data sementara tersebut, sekitar 900 lokasi usaha tercatat berpotensi mendapatkan pembebasan pajak. Namun, Handi menegaskan verifikasi lebih lanjut akan dilakukan untuk memastikan kesesuaian data dengan kondisi sebenarnya di lapangan. “Kalau tidak diverifikasi, bisa saja datanya tidak valid. Maka dari itu kami turun langsung agar UMKM benar-benar mendapatkan perlindungan sesuai kebijakan baru,” tambahnya. Sebagai informasi, Pemkot Malang memiliki program unggulan Dasa Bhakti Ngalam Laris yang bertujuan meningkatkan pemberdayaan ekonomi lokal. Untuk itu, Pemkot Malang berkeyakinan perubahan ambang batas omzet kena pajak ini dapat mendorong pertumbuhan sektor UMKM, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian kota. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/kabar-baik-umkm-malang-beromzet-di-bawah-rp10-juta-diusulkan-bebas-pajak/
DJP Diminta Laporkan Sanksi yang Dihapus Akibat Kendala Coretax
Ditjen Pajak (DJP) diminta untuk menghitung dan melaporkan nilai penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat kendala implementasi coretax administration system. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (15/5/2025). DJP memberikan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat kendala coretax system berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-67/PJ/2025. Menurut Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, DJP perlu transparan mengenai nilai relaksasi yang diberikan kepada wajib pajak tersebut. “Saya nanti Pak [Dirjen Pajak Suryo Utomo], minta tolong dibuatkan data seberapa besar sebenarnya penghapusan sanksi dan potensi yang hilang, kalau sudah selesai [kendala dalam penerapan coretax system],” katanya dalam rapat dengar pendapat bersama dirjen pajak. Misbakhun menilai DJP sudah semestinya memberikan penghapusan sanksi administratif atas kendala yang dihadapi wajib pajak dalam mengakses coretax system. Secara bersamaan, berbagai kendala dalam penerapan coretax system juga perlu segera diselesaikan agar tidak menghambat pelayanan dan upaya pengumpulan penerimaan negara. Coretax system mengalami berbagai kendala sejak awal penerapannya pada 1 Januari 2025. Kendala ini menyebabkan wajib pajak kesulitan melakukan hak dan kewajibannya seperti membayar dan melaporkan pajaknya. Dalam situasi tersebut, DJP memberikan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat implementasi coretax system.