Lembaga riset ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) mengusulkan agar pemerintah Indonesia menambah lapisan tarif pajak penghasilan (PPh) bagi kelompok berpendapatan tinggi. Namun, Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menilai semakin tinggi tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, maka semakin banyak wajib pajak yang menghindari pajak. “Apalagi jika manfaat pajak belum bisa dirasakan oleh wajib pajak,” ujar Raden kepada Kontan.co.id, Senin (23/6). Menurutnya, seharusnya tarif PPh OP hanya cukup sampai 30% saja, atau turun dari tarif PPh progresif yang saat ini mencapai 35%. “Bukan malah ditambah lagi lapisan lebih tinggi. Peningkatan lapisan tarif PPh OP tidak akan efektif meningkatkan penerimaan pajak,” katanya. Ketimbang menaikkan tarif PPh OP, Raden mengusulkan agar pemerintah mengenakan pajak warisan. Pasalnya, selama ini harta warisan tidak termasuk objek PPh. Ia mengusulkan agar pemerintah mengenakan pajak warisan sebesar 10% untuk harta warisan dengan total harta di atas Rp100 miliar. Menurutnya, di Indonesia banyak pengusaha dengan harta di atas Rp100 miliar. Di sisi lain, Raden menilai, kenaikan tarif pajak justru dapat menurunkan penerimaan pajak itu sendiri. Hal tersebut dijelaskan dalam Kurva Laffer karya Arthur Betz Laffer yang menyebutkan bahwa ada titik tarif pajak optimal di mana penerimaan pajak mencapai puncaknya. “Menurut saya, tarif 30% sudah tinggi untuk Indonesia,” kata Raden. Sebagai informasi, AMRO menilai struktur PPh di Indonesia masih kurang progresif dibandingkan negara-negara tetangga di Asia. “Untuk mengoptimalkan penerimaan dari pajak penghasilan, perlu dipertimbangkan perluasan golongan tarif bagi kelompok berpendapatan tinggi,” tulis AMRO. Meski pemerintah Indonesia telah menambah jumlah lapisan tarif pajak dari empat menjadi lima, AMRO menilai rentang antara tarif 30% dan 35% terlalu lebar. Saat ini, tarif tertinggi sebesar 35% hanya berlaku bagi individu dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun—sekitar 141 kali rata-rata gaji nasional. Sementara itu, tarif 30% dikenakan bagi mereka yang berpenghasilan antara Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar atau setara 14 kali gaji rata-rata nasional. “Dengan selisih yang signifikan antara dua lapisan tertinggi ini, pengenalan bracket tambahan untuk kelompok berpenghasilan tinggi layak dipertimbangkan,” tulis AMRO.
Pemanfaatan Nilai Buku dalam Pengalihan Harta Kini Diajukan melalui Coretax
Pengajuan permohonan pemanfaatan nilai buku untuk pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan suatu badan usaha kini diajukan melalui coretax. Hal ini telah diatur dalam Pasal 44 ayat (3) Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER8/PJ/2025. Jika ditelusuri, permohonan tersebut dapat diajukan melalui modul Layanan Wajib Pajak, menu Layanan Administrasi, dan submenu Buat Aplikasi Layanan Administrasi. Aplikasi tersebut memiliki kode kategori sublayanan AS.13-01. “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) [permohonan pemanfaatan nilai buku] diajukan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak [coretax],” demikian bunyi Pasal 44 ayat (3) PER8/PJ/2025, dikutip pada Senin (23/6/2025). Sesuai ketentuan, wajib pajak harus menggunakan nilai pasar untuk pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha. Namun, dalam kondisi tertentu, wajib pajak diperbolehkan menggunakan nilai buku. Untuk dapat menggunakan nilai buku, wajib pajak harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. PER-8/PJ/2025 juga telah mengatur kriteria dan ketentuan agar wajib pajak dapat menggunakan nilai buku. Misalnya, terdapat 6 kriteria wajib pajak yang dapat melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku. Pertama, wajib pajak yang belum go public yang bermaksud melakukan penawaran umum perdana saham. Kedua, wajib pajak yang telah go public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana saham. Ketiga, wajib pajak badan yang memisahkan unit usaha syariah dalam rangka melaksanakan kewajiban pemisahan usaha berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Keempat, wajib pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil pemekaran tersebut menerima tambahan modal dari penanam modal asing paling sedikit Rp500 miliar. Kelima, Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang memperoleh tambahan penyertaan modal sepanjang pemekaran usaha dilakukan dalam rangka pembentukan perusahaan induk badan usaha milik negara, dengan cara: mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut tanpa melikuidasi badan usaha lama; mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva, yang dilakukan tanpa membentuk badan usaha baru dan tanpa melikuidasi badan usaha lama, dan merupakan pemecahan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN; atau mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva 2 atau lebih Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang usahanya dipisahkan dan menggabungkan usaha yang dipisahkan tersebut menjadi 1 badan usaha tanpa melikuidasi badan usaha lama yang dilakukan dalam serangkaian tindakan; atau Keenam, Wajib Pajak badan yang melakukan pemecahan usaha dalam rangka restrukturisasi badan usaha milik negara dengan cara: mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva, yang dilakukan tanpa membentuk badan usaha baru dan tanpa melikuidasi badan usaha lama, dan merupakan pemecahan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN; atau mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva 2 atau lebih Wajib Pajak badan yang usahanya dipisahkan dan menggabungkan usaha yang dipisahkan tersebut menjadi 1 badan usaha tanpa melikuidasi badan usaha lama yang dilakukan dalam serangkaian tindakan. Selain memenuhi ketentuan yang ditetapkan, ada 3 syarat yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk dapat mengajukan permohonan penggunaan nilai buku. Pertama, melampirkan surat pernyataan yang memuat alasan dan tujuan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha. Wajib Pajak juga harus melengkapi surat pernyataan tersebut dengan dokumen pendukung. Kedua, melampirkan surat pernyataan yang menerangkan bahwa penggabungan, peleburan, […]
PER-11/PJ/2025 Alasan Terperinci Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 turut memerinci sebab-sebab pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21. Merujuk pada Lampiran A PER-11/PJ/2025, pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dilakukan setelah pemotong pajak membetulkan bukti potong yang salah diisi, membatalkan bukti potong atas transaksi yang dibatalkan, atau membuat bukti potong atas pemotongan yang belum dilaporkan. Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21/26 tidak dapat dilakukan apabila telah disampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan atau surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan bunyi Lampiran A PER-11/PJ/2025. Bila pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dilakukan karena adanya kesalahan dalam pengisian dalam bukti potong, pemotong PPh Pasal 21 harus terlebih dahulu melakukan pembetulan atas bukti potong PPh Pasal 21 yang telah dibuat. Secara umum, pembetulan bukti potong PPh Pasal 21 dapat dilakukan atas setiap kesalahan pada bukti potong, kecuali salah nomor, salah masa pajak, dan salah identitas penerima penghasilan. Dalam hal pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 disebabkan oleh pembatalan transaksi, pemotong PPh Pasal 21 perlu terlebih dahulu membatalkan bukti potong PPh Pasal 21 yang sudah dibuat. Pembatalan bukti pemotongan PPh Pasal 21/26 dapat dilakukan dalam hal transaksi yang terutang PPh Pasal 21/26 telah dibatalkan, bunyi Lampiran A PER-11/PJ/2025. Sementara bila pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dilakukan karena adanya pemotongan PPh Pasal 21 yang belum dilaporkan, pemotong harus membuat bukti potong PPh Pasal 21 terlebih dahulu melalui mekanisme penambahan bukti potong. Ketika melakukan penambahan bukti potong, masa pajak yang dicantumkan dalam bukti potong PPh Pasal 21 adalah masa pajak terjadinya transaksi yang terutang pajak. Adapun tanggal yang dicantumkan dalam bukti potong PPh Pasal 21 adalah tanggal penerbitan bukti potong. Misal, PT DEF belum membuat bukti potong atas pembayaran imbalan kepada Tuan LL. Pembayaran imbalan dilakukan pada 12 Februari 2025. Namun, PT DEF baru membuat bukti potong atas pembayaran imbalan tersebut pada 2 Agustus 2025. Dalam kasus ini, masa pajak yang dicantumkan dalam bukti potong PPh Pasal 21 adalah Februari 2025, sedangkan tanggal yang dicantumkan adalah 2 Agustus 2025. Jika pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 mengakibatkan kekurangan pemotongan PPh Pasal 21, kekurangan tersebut harus dilunasi. Sedangkan jika pembetulan SPT menimbulkan kelebihan pemotongan, kelebihan dimaksud bisa dikompensasikan oleh pemotong ke masa pajak berikutnya tanpa harus berurutan.