Pajak.com, Jakarta – Pemeriksaan pajak merupakan keniscayaan sebagai konsekuensi logis dari penerapan sistem self assessment di Indonesia. Tax Compliance and Audit Advisor TaxPrime Awalludin Anthon Budiyono mengingatkan bahwa pemeriksaan pajak bisa datang tak terduga sepanjang belum daluarsa penetapan pajak, selama 5 tahun pajak. Untuk itu, Awal menyarankan agar pelaku usaha mengelola transaksi dan pembukuan dengan tertib dan sesuai prinsip kehati-hatian. Melalui proses pemeriksaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak yang telah diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri. Berpijak pada pengalamannya sekitar 22 tahun sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan hampir 10 tahun di TaxPrime, Awal menilai masih banyak pelaku usaha dengan transaksi bisnis yang besar tidak menjalankan standardisasi pembukuan dengan benar. Menurutnya, ketidakhati-hatian ini akan sangat menyulitkan dan merugikan pelaku usaha saat dilakukan pemeriksaan pajak oleh DJP. “Berdasarkan pengalaman, sebelum Wajib Pajak diperiksa, kami memberikan saran untuk melakukan pencatatan dengan baik—laporan keuangan sesuai dengan standardisasi. Banyak juga Wajib Pajak yang melakukan usaha, biasanya usaha dagang atau usaha keluarga, tidak membuat pencatatan, kemudian tidak membuat rekening perusahaan sendiri—masih dicampur dengan rekening pribadi, kemudian tidak ada dokumentasi transaksi seperti faktur, invoice. Jangan sampai ugal-ugalan seperti ini, nanti waktu pemeriksaan pajak akan repot banget,” ungkap Awal kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime Graha TTH, Jakarta, (9/6/25) Ia pun menegaskan bahwa penyelenggaraan pembukuan serta pengelolaan data dan dokumen merupakan bagian dari mitigasi risiko perpajakaan. Sebab laporan keuangan merupakan dokumen utama yang wajib dilampirkan dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Tak hanya sekadar melaporkan, Awal mengingatkan pelaku usaha untuk mengisi SPT tahunan sesuai transaksi yang sebenarnya disertai dengan dokumentasi yang baik atas transaksi tersebut. “Karena setelah Wajib Pajak melaporkan [SPT tahunan] misalnya tahun pajak 2024, DJP bisa saja langsung melakukan penelitian di tahun 2025, tanpa SP2DK, bisa saja langsung dilakukan pemeriksaan, khususnya kepada Wajib Pajak – Wajib Pajak yang sudah dipetakan. Misalnya dia punya transaksi bisnis yang besar dan masuk dalam kategori Wajib Pajak strategis. Kalau tidak punya dokumentasi yang baik, pembukuan masih ugal-ugalan, bagaimana kalau diperiksa?,” ujar Awal. Ia menyebutkan, risiko pemeriksaan dapat bermuara pada pembayaran pajak yang lebih tinggi akibat denda dan sanksi administrasi, tahapan sengketa yang lebih panjang melalui jalur hukum keberatan ke DJP, gugatan/banding ke Pengadilan Pajak, hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Proses penyelesaian sengketa pajak ini memerlukan biaya kepatuhan yang tinggi sekaligus menganggu kelangsungan bisnis. “Ada perusahaan besar yang kami dampingi, dengan kepatuhan pajak yang bagus sesuai undang-undang—laporan keuangannya bagus, pencatatannya oke, tata kelola data dan dokumentasinya baik, ketika diperiksa justru senang. Dalam artian, mereka merasa tidak ada beban selama 5 tahun ke depan. Mereka kadang ingin segera diperiksa agar cepat selesai dan fokus pada bisnisnya,” ungkap Awal. Dengan demikian, ia mendorong agar pelaku usaha kecil, menengah, atau besar agar lebih tertib dalam proses pencatatan setiap transaksi. Bahkan menurut Awal, idealnya pelaku usaha sudah memikirkan aspek perpajakan sebelum perusahaannya berjalan. “Perusahaan seharusnya memang dari awal transaksi sudah harus memikirkan bagaimana pembukuannya, sudah disiapkan pegawai yang khusus mencatat semua transaksi bisnisnya, kemudian identifikasi transaksi-transaksinya itu yang mana yang dipotong pajaknya, mendokumentasikan bukti pemotongan pajaknya, […]
DJP Atur Kembali WPOP yang Ditunjuk Sebagai Pemotong PPh atas Sewa
Melalui PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025), Direktur Jenderal Pajak (DJP) memperluas cakupan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh). Merujuk pada Pasal 16 ayat (2) PER-11/2025, wajib pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh meliputi orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas dan orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha. Kewajiban pemotongan berlaku apabila wajib pajak orang pribadi tersebut telah menyelenggarakan pembukuan. Kewajiban pemotongan dilakukan atas dua jenis PPh. Pertama, PPh Pasal 23 atas sewa. Kedua, PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan. Aturan ini mencabut dan menggantikan regulasi sebelumnya, yakni KEP-50/PJ/1994 (KEP-50/1994) dan KEP-50/PJ/1996 (KEP-50/1996). Berdasarkan ketentuan sebelumnya, wajib pajak orang pribadi yang ditunjuk sebagai sebagai pemotong PPh atas sewa adalah wajib pajak orang pribadi yang merupakan akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (kecuali PPAT berprofesi camat, pengacara, dan konsultan), serta orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. Sebagai informasi, PPh Pasal 23 atas sewa harta dikenakan sebesar 2% dari jumlah bruto sewa. Sementara itu, PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan sebesar 10% dari jumlah bruto sewa dan bersifat final. Setiap pemotongan PPh Pasal 23 dan PPh Final Pasal 4 ayat (2) wajib disertai dengan pembuatan Bukti Potong Unifikasi oleh pihak pemotong pajak. Sumber: https://ortax.org/djp-atur-kembali-wpop-yang-ditunjuk-pemotong-pph-atas-sewa
DJP Rilis Aturan Baru Soal NPWP, NITKU, dan Pengukuhan PKP
Ditjen Pajak (DJP) menerbitkan peraturan baru yang menjadi petunjuk pelaksanaan administrasi nomor pokok wajib pajak (NPWP), pengusaha kena pajak (PKP), dan objek pajak pajak bumi dan bangunan (PBB). Melalui PER-7/PJ/2025, DJP menyesuaikan ketentuan seputar administrasi NPWP, PKP, dan objek PBB seiring dengan berlakunya coretax. Selain itu, PER-7/PJ/2025 juga menyesuaikan ketentuan seputar jenis, dokumen, dan saluran untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Penyesuaian ketentuan dilakukan lantaran peraturan terdahulu yang menjadi petunjuk pelaksana administrasi NPWP, PKP, dan objek PBB belum mengakomodasi implementasi coretax. Secara ringkas, ada 6 ruang lingkup ketentuan yang diatur dalam PER-7/PJ/2025. Administrasi NPWP. Ketentuan yang diatur di antaranya seperti kewajiban pendaftaran NPWP beserta tata caranya; fungsi NPWP; NPWP bagi keluarga; data unit keluarga; serta nomor identitas perpajakan. Ada pula pengaturan tentang akun wajib pajak; kode otorisasi; sertifikat elektronik; tata cara perubahan data wajib pajak; tata cara pemindahan tempat wajib pajak terdaftar; Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU); penetapan wajib pajak nonaktif; serta penghapusan NPWP. Administrasi PKP. Ketentuan yang diatur meliputi tata cara pengukuhan PKP; kegiatan pengawasan dalam rangka pengadministrasian PKP; dan pencabutan pengukuhan PKP. Administrasi penambahan status wajib pajak. Ketentuan yang diatur meliputi tata cara penambahan status wajib pajak; tata cara perubahan data atas penambahan status wajib; serta tata cara perubahan data atas penambahan status wajib. Administrasi pendaftaran objek PBB. Ketentuan yang diatur meliputi tata cara pendaftaran objek PBB; tata cara perubahan data objek PBB; serta tata cara pencabutan surat keterangan terdaftar objek PBB. Contoh formulir dan dokumen administrasi NPWP, pengukuhan PKP, pendaftaran objek PBB, dan penambahan status wajib pajak. Keenam, perincian jenis, dokumen, dan saluran untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. PER-7/PJ/2025 juga telah mengatur ketentuan peralihan dari peraturan terdahulu. Adapun beleid yang terdiri atas 10 bab dan 95 pasal ini berlaku mulai 21 Mei 2025. Berlakunya PER-7/PJ/2025 akan mencabut sejumlah ketentuan terdahulu, yaitu: 1. PER-20/PJ/2018 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Secara Elektronik Melalui Sistem Administrasi Badan Hukum dan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik; 2. PER-01/PJ/2019 tentang Tata Cara Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Rangka Ekstensifikasi; 3. PER-08/PJ/2019 tentang Tata Cara Pemberian, Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; 4. PER-17/PJ/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Toko Retail yang Berpartisipasi dalam Skema Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai kepada Turis Asing; 5. PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; 6. Pasal 4 dan Pasal 5 PER-02/PJ/2021 s.t.d.d PER-13/PJ/2021 tentang Tata Cara Pemberian dan Penggunaan Nomor Identitas Subunit Organisasi Instansi Pemerintah serta Kewajiban Pelaporan Pajak Instansi Pemerintah; 7. PER-27/PJ/2021 tentang Jenis Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Secara Elektronik yang Harus Dilampirkan, Tanda Tangan Elektronik, Persyaratan Dokumen Elektronik yang Harus Dilampirkan, Tanda Tangan Elektronik yang Digunakan, Tata Cara Penyampaian Dokumen Elektronik dan Saluran yang Digunakan, serta Tata Cara Tindak Lanjut atas Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.