JAKARTA, DDTCNews – Peraturan Dirjen Pajak No. PER-11/PJ/2025 kini memperluas cakupan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang berkewajiban memotong PPh Pasal 23 atas sewa dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah/bangunan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (2/6/2025). Merujuk pada pasal 16 ayat (2), wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang harus memotong PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa adalah orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas dan/atau yang menjalankan usaha. “Wajib pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (i) orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas; dan/atau (ii) orang pribadi yang menjalankan usaha, yang menyelenggarakan pembukuan,” bunyi pasal 16 ayat (2) PER-11/PJ/2025. Dalam aturan sebelumnya, wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas sewa dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah/bangunan diatur dalam KEP-50/PJ/1994 dan KEP-50/PJ/1996. Dalam kedua kepdirjen tersebut, orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas sewa dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah/bangunan adalah, pertama, akuntan, arsitek, dokter, notaris, dan PPAT yang melakukan pekerjaan bebas. PPAT tidak ditunjuk sebagai pemotong bila PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan. Kedua, wajib pajak orang pribadi dalam negeri juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2) bila menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. Dengan berlakunya PER-11/PJ/2025 terhitung sejak 22 Mei 2025, KEP-50/PJ/1994 dan KEP50/PJ/1996 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sebagai informasi, pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah/bangunan harus dibuatkan bukti potong unifikasi oleh pihak pemotong. Sesuai dengan Pasal 23 UU PPh, tarif PPh Pasal 23 atas sewa adalah sebesar 2% dari jumlah bruto sewa. Adapun penghasilan berupa sewa tanah dan bangunan dikenai PPh final sebesar 10% atas jumlah bruto sewa. Selain soal cakupan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang berkewajiban memotong PPh atas sewa, ada pula ulasan terkait wajib pajak yang tidak wajib menyampaikan SPT serta SPT yang dianggap tidak terdapat lebih bayar. Selain itu, terdapat pula pembahasan mengenai wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) dan revisi peraturan tentang impor barang bawaan penumpang dari luar negeri. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1811140/cakupan-wpop-yang-wajib-potong-pph-atas-sewa-kini-diperluas
Form SPT Tahunan Jadi Seragam, Detail Harta yang Diisi Makin Banyak
Terbitnya Peraturan Dirjen Pajak PER-11/PJ/2025 turut mengubah banyak ketentuan administratif perpajakan. Salah satunya, jenis formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan wajib pajak orang pribadi yang diseragamkan, dari 3 jenis menjadi 1 jenis. Topik tentang penyederhanaan jenis dan tampilan baru SPT Tahunan ini menjadi salah satu topik yang mendapat atensi wajib pajak dalam sepekan terakhir. Sesuai dengan PER-11/PJ/2025, wajib pajak orang pribadi, baik karyawan maupun nonkaryawan, kini harus melaporkan penghitungan dan pembayaran PPh terutangnya menggunakan formulir SPT Tahunan yang sama sesuai dengan format dalam Lampiran G perdirjen tersebut. “SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi … dibuat sesuai contoh format; dan diisi sesuai petunjuk pengisian, sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G … Peraturan Direktur Jenderal ini,” bunyi Pasal 83 ayat (2) PER-11/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 83 ayat (1) PER-11/PJ/2025, SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi terdiri atas induk dan 5 rangkap lampiran. Pengisian induk SPT Tahunan diawali dengan mengisi identitas wajib pajak pada Bagian A dan menjawab beragam pertanyaan dan isian dalam Bagian B hingga hingga Bagian I. Lampiran yang wajib diisi oleh seluruh wajib pajak orang pribadi hanyalah Lampiran 1 Bagian A terkait harta pada akhir tahun dan Lampiran 1 Bagian C terkait daftar tanggungan. Sebagai informasi, berdasarkan ketentuan sebelumnya, wajib pajak orang pribadi harus melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan dan pembayaran PPh menggunakan SPT Tahunan 1770, 1770 S, atau 1770 SS. Formulir 1770 digunakan wajib pajak yang memiliki penghasilan dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, formulir 1770 S untuk wajib pajak karyawan, dan formulir 1770 S untuk wajib pajak karyawan dengan penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60 juta per tahun. Selain itu, PER-11/PJ/2025 juga menambah jenis informasi terkait dengan harta yang harus dilaporkan oleh wajib pajak orang pribadi dalam SPT Tahunannya. Wajib pajak orang pribadi kini harus melaporkan harta dalam 7 tabel, yakni kas dan setara kas, piutang, investasi/sekuritas, harta bergerak, harta tidak bergerak, harta lainnya, dan ikhtisar harta. “Yang dimaksud dengan harta merupakan akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Indonesia,” bunyi Lampiran G PER-11/PJ/2025. Ketujuh tabel di atas dapat ditemukan oleh wajib pajak pada Lampiran 1 Bagian A (Harta pada Akhir Tahun Pajak) SPT Tahunan. Lampiran 1 Bagian A merupakan lampiran yang harus diisi oleh semua wajib pajak orang pribadi tanpa terkecuali. Selain 2 informasi di atas, ada beberapa bahasan lain yang masih berkaitan dengan ketentuan dalam PER-11/PJ/2025 dan PER-8/PJ/2025 yang menarik untuk diulas. Di antaranya, bertambahnya lampiran SPT Tahunan badan, syarat pengurangan angsuran PPh Pasal 25, tata cara perubahan metode pembukuan, hingga perpanjangan waktu pelaporan SPT Tahunan.
Sambut Iduladha, Ini Ketentuan Pajak atas Transaksi Hewan Kurban
Jakarta – Menyambut Hari Raya Iduladha 1446 H yang jatuh pada Jumat (6/6/25) antusiasme masyarakat Indonesia untuk membeli hewan kurban seperti sapi, kambing, dan domba meningkat tajam. Namun, di tengah tingginya transaksi jual-beli hewan kurban, masih banyak masyarakat yang bertanya-tanya terkait apakah pembelian hewan kurban dikenakan pajak? Simak penjelasannya yang telah dirangkum Pajak.com berikut ini. Menurut ketentuan perpajakan di Indonesia, hewan ternak termasuk barang kena pajak (BKP) tertentu yang bersifat strategis, yang atas impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.010/2015 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.010/2017. Dalam beleid tersebut, hewan ternak yang mendapat fasilitas pembebasan PPN harus memenuhi beberapa syarat yaitu sehat, memiliki organ dan kemampuan reproduksi yang baik, berumur antara 2 hingga 4 tahun, serta bebas dari cacat genetik maupun fisik seperti cacat mata, kaki, kuku abnormal, kelainan tulang punggung, atau cacat tubuh lainnya. Pemenuhan syarat tersebut harus dibuktikan dengan sertifikat kesehatan dari otoritas veteriner setempat. Untuk hewan ternak impor, sertifikat kesehatan diterbitkan oleh otoritas veteriner negara asal, sementara untuk hewan ternak dalam negeri, sertifikat diterbitkan oleh otoritas veteriner di kabupaten/kota atau provinsi asal hewan ternak. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) yang menegaskan bahwa hewan ternak tergolong BKP strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pasal 6 PP 49/2022 menjelaskan bahwa ternak menjadi salah satu BKP tertentu yang atas impor atau penyerahannya dibebaskan dari PPN. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pembelian hewan kurban yang juga merupakan hewan ternak tidak terutang PPN. Fasilitas ini memberikan kemudahan bagi masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah kurban, karena tidak ada tambahan beban PPN saat melakukan transaksi pembelian. Namun demikian, bagi penjual hewan ternak yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap diwajibkan untuk membuat faktur pajak elektronik dengan kode faktur 08. Kode faktur ini digunakan untuk transaksi penyerahan atau impor BKP atau jasa kena pajak (JKP) yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Sebagai ilustrasi, pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Ar Rahman membeli 10 ekor sapi senilai Rp300 juta dari PT ABC, yang merupakan PKP yang bergerak dalam budidaya dan penjualan hewan ternak. Dalam transaksi ini, DKM Ar Rahman hanya perlu membayar Rp300 juta tanpa tambahan PPN. PT ABC wajib menerbitkan faktur pajak elektronik dengan kode faktur 08 sebagai bukti transaksi yang sah. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/sambut-iduladha-ini-ketentuan-pajak-atas-transaksi-hewan-kurban/