Pajak.com, Jakarta – Geliat kewirausahaan di kalangan anak muda semakin kuat seiring pesatnya transformasi digital. Salah satu bentuk badan usaha yang paling banyak dipilih adalah Commanditaire Vennootschap (CV) karena proses pendiriannya yang relatif sederhana dan fleksibel dalam operasional. Namun di balik kemudahan itu, ada tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan yaitu pajak. Generasi Z dikenal cepat belajar, cakap teknologi, dan berani ambil risiko. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2023 mencatat, lebih dari 57 persen investor pasar modal di Indonesia adalah mereka yang berusia di bawah 30 tahun. Angka tersebut menunjukkan kesadaran finansial generasi muda semakin matang. Mereka bukan hanya ingin bekerja dan menabung, tetapi juga membangun bisnis dan berinvestasi. Namun, untuk menjadi pengusaha yang tangguh, kesadaran pajak harus menjadi bagian dari perjalanan mereka. CV secara hukum masuk dalam kategori subjek pajak badan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), sebagaimana telah diubah terakhir oleh UU Nomor 6 Tahun 2023 (UU Ciptaker). CV, sebagaimana badan usaha lain seperti PT dan firma, wajib melaporkan serta membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh. Prive Tidak Kena Pajak, Tapi Tetap Harus Dilaporkan Menariknya, sistem perpajakan Indonesia memberi perlakuan khusus kepada CV. Laba usaha yang dibagikan kepada pemilik (sekutu aktif maupun pasif) dalam bentuk prive dikecualikan dari objek pajak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh jo. UU Ciptaker. Artinya, penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak lagi di tingkat individu karena sebelumnya sudah dikenakan pajak di tingkat badan (CV). Perbedaan ini menjadikan CV lebih efisien dibanding Perseroan Terbatas (PT), yang mewajibkan pemegang saham membayar pajak atas dividen yang diterima. Namun perlu digarisbawahi, meskipun prive tidak kena pajak, tetap harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Jika total prive dalam setahun tidak melebihi Rp60 juta, pelaporan cukup menggunakan SPT 1770 SS. Bila lebih, gunakan SPT 1770 S dan cantumkan pada Lampiran I Bagian B nomor 3. Jika CV mempekerjakan pegawai tetap atau tidak tetap, maka pemilik juga wajib memotong dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 setiap bulan. Ini adalah bagian dari fungsi CV sebagai entitas yang tidak hanya fokus mencari untung, tetapi juga patuh terhadap peraturan perpajakan. CV yang dikategorikan sebagai pelaku UMKM juga mendapatkan fasilitas perpajakan berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2022. Dengan tarif hanya 0,5 persen, pemilik CV bisa lebih leluasa mengembangkan usaha tanpa terbebani pungutan besar. Bagi Wajib Pajak orang pribadi, insentif ini berlaku selama tujuh tahun sejak memperoleh NPWP. Bagi badan, berlaku selama tiga hingga empat tahun, tergantung kategori. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/cv-makin-diminati-anak-muda-ini-aturan-pajak-yang-wajib-diketahui/
PER-11/PJ/2025 Ubah Format Induk dan Lampiran SPT Masa PPh Unifikasi
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-11/PJ/2025 turut mengubah format induk dan lampiran SPT Masa PPh Unifikasi. Merujuk pada pasal 22 ayat (1), SPT Masa PPh Unifikasi kini terdiri dari induk dan 3 lampiran, yakni Formulir Daftar I – Daftar Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh Unifikasi Berformat Standar, Formulir Daftar II – Daftar PPh yang Disetor Sendiri dan/atau Disetor secara Digunggung, dan Formulir Lampiran I – Daftar Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh Unifikasi Berformat Standar. SPT Masa PPh Unifikasi…: dibuat sesuai contoh format; dan diisi sesuai petunjuk pengisian, sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perdirjen ini pasal 22 ayat (4). Formulir daftar I memuat daftar bukti potong/pungut PPh unifikasi berformat standar yang merupakan hasil perekaman data oleh pemotong/pemungut melalui modul e-bupot. Formulir ini bakal terisi secara otomatis. Kemudian, formulir daftar II memuat seluruh PPh yang dibayar sendiri dan yang disetor secara digunggung sesuai dengan hasil perekaman data oleh pemotong/pemungut melalui e-bupot. Formulir ini juga bakal terisi secara otomatis. Sementara itu, formulir lampiran I memuat daftar dokumen yang dipersamakan dengan bukti potong/pungut PPh unifikasi berformat standar sesuai dengan hasil unggahan dokumen oleh pemotong/pemungut melalui e-bupot. Formulir lampiran I bakal terisi secara otomatis. Bukti pemotongan dan/atau pemungutan PPh unifikasi yang telah dibuat oleh pemotong dan/atau pemungut PPh unifikasi di modul e-bupot, tersaji secara otomatis pada draf SPT Masa PPh unifikasi masa pajak terjadinya transaksi Lampiran B PER-11/PJ/2025. Sebagai perbandingan, dalam ketentuan sebelumnya yakni PER 24/PJ/2021, SPT Masa PPh Unifikasi terdiri induk dan 3 lampiran, yakni Formulir DOSS – Daftar Rincian Pajak Penghasilan yang Disetor Sendiri, Formulir DOPP – Daftar Objek Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pihak Lain, dan Formulir DBP – Daftar Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi beserta Daftar Surat Setoran Pajak, Bukti Penerimaan Negara, Bukti Pemindahbukuan. Dengan berlakunya PER-11/PJ/2025 terhitung sejak 22 Mei 2025, beberapa perdirjen lama termasuk PER-24/PJ/2021 resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pajak Aset Kripto Bisa Lebih Murah, Asalkan…
Jakarta, CNBC Indonesia – Persoalan pajak kripto hingga saat ini masih menjadi bahan diskusi yang hangat di kalangan pemangku kebijakan maupun asosiasi. Harapan pengenaan pajak yang lebih rendah terus didorong untuk meningkatkan minat pelaku pasar di industri kripto. Pada Kamis (22/5/2025) dalam acara Bitcoin Bites Back untuk merayakan Bitcoin Pizza Day, Co-founder Indodax, Oscar Darmawan, mengakui bahwa persoalan pajak sudah sering dilakukan lewat forum group discussion (FGD) dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ketika kripto dianggap sebagai komoditas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan sebesar 0,1% dan 0,1% untuk Pajak Penghasilan (PPh) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68. Namun karena saat ini aset kripto sudah di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai aset keuangan (bukan lagi komoditas), maka seharusnya kripto tidak dikenakan lagi PPN, hal ini sama dengan produk keuangan lainnya. Sebagai informasi, peraturan lainnya soal kripto ada pada PMK No. 81 Tahun 2024 yang mengatur soal perpajakan aset kripto. Khususnya Pasal 359 ayat 2 (a) yang pada intinya mengatakan bahwa penghasilan dari transaksi aset kripto melalui sarana elektronik dikenakan 0,1% dari nilai transaksi, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dalam hal penyelenggara perdagangan telah mendapatkan persetujuan dari pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi. CEO Bitwewe, Hamdi Hassarbaini, juga menyampaikan hal serupa. “Sekarang kripto jadi produk keuangan (aset keuangan) seperti saham, bukan lagi komoditi, harusnya tidaklagi kenaPPN,” kata Hamdi. Maka dari itu, PMK No. 81 tersebut kini sedang dalam tahap revisi dengan usulan agar PPN yang sebesar 0,11% diharapkan dapat dihilangkan dan tidak ditambahkan ke PPh. Apabila hal ini terjadi, maka industri kripto dapat berkembang dan lebih diminati oleh pelaku pasar. Pajak Kripto di Indonesia vs Dunia Secara keseluruhan, Oscar menyimpulkan bahwa aturan pajak di Indonesia sudah baik. “Aturan pajak di Indonesia sudah baik, setidaknya bukan yang terburuk di dunia,” ujar Oscar. Andy Lynn dari Crypstocks juga mengakui hal yang sama bahwa aturan pajak di Indonesia sudah lebih baik dibandingkan di dunia karena di luar negeri itu jauh lebih besar. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat (AS) memandang kripto sebagai properti yang dikenakan PPh. Pajak atas keuntungan jangka pendek atau penghasilan dari kripto berkisar antara 10% hingga 37%. Pajak atas keuntungan jangka panjang dari kripto berkisar antara 15% hingga 20%, atau 28% untuk NFT yang dikategorikan sebagai koleksi. Sedangkan di Kanada, aset kripto dianggap sebagai komoditas dan dikenakan PPh, tergantung pada apakah seseorang adalah investor individu atau memperoleh pendapatan dari bisnis. Pajak penghasilan federal atas transaksi kripto dapat mencapai 33%, ditambah pajak penghasilan di tingkat provinsi. Begitu pula di Australia yang mengenakan PPH terhadap aset kripto. Tarif pajak atas keuntungan jangka pendek dan pendapatan dari kripto dapat mencapai 45%, sedangkan keuntungan jangka panjang dari kripto mendapat diskon 50% dari Capital Gains Tax Discount. Sementara Jepang menerapkan tarif pajak progresif mulai dari 15% hingga 55%, menjadikannya salah satu negara dengan pajak tertinggi untuk keuntungan mata uang kripto. Demikian pula, Denmark mengenakan pajak atas keuntungan mata uang kripto pada tarif antara 37% dan 52%, tergantung pada golongan pendapatan individu. Jerman, meskipun sering dianggap ramah terhadap kripto, menerapkan tarif pajak […]