Berdasarkan PER-11/2025, PKP Pedagang Eceran Tidak Berdasarkan KLU

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER-11/2025) menegaskan bahwa PKP pedagang eceran tidak ditetapkan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha (KLU). Pasal 51 ayat (4) PER-11/2025 menyatakan bahwa: “Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ditentukan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, tetapi berdasarkan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2).” Dengan demikian, meskipun wajib pajak memiliki KLU selain pengecer, sepanjang terjadi pengalihan BKP dan/atau JKP kepada pembeli atau penerima yang merupakan konsumen akhir, wajib pajak dapat membuat faktur pajak pedagang eceran. Perlu diketahui, ketentuan ini sebelumnya telah diatur dalam Pasal 25 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 (PER-03/2022). Ciri konsumen akhir menurut Pasal 52 ayat (2) PER-11/2025 adalah pembeli barang dan/atau penerima jasa mengonsumsi secara langsung barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima, dan pembeli barang dan/atau penerima jasa tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima untuk kegiatan usaha. Pedagang eceran PKP dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli BKP dan/atau penerima JKP, serta nama dan tanda tangan yang berwenang menandatangani faktur pajak. Namun, faktur pajak harus dibuat dengan memuat paling sedikit informasi sebagai berikut: nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP; jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut; dan kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak.

Akankah Pemerintah Memberikan “Pengampunan Pajak” Lagi? IKPI Mengusulkan 6 Rekomendasi Strategis Ini

Wacana penerapan tax amnesty kembali mencuat seiring dengan masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld berharap program tax amnesty bukan sekadar alat untuk mengejar penerimaan negara dalam jangka pendek, tetapi harus menjadi landasan bagi reformasi sistem perpajakan Indonesia yang menyeluruh dan berkelanjutan. Untuk itu, IKPI mengusulkan enam rekomendasi strategis. Hal tersebut disampaikan Vaudy dalam Diskusi Panel IKPI bertajuk Tax Amnesty: Efektifkah dalam Mempercepat dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?, di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, (13/6/25). Dengan demikian, ia berpandangan Indonesia tidak bisa terus menerus menjadikan tax amnesty sebagai solusi tambal sulam. 6 Rekomendasi Strategis IKPI Ia menyebutkan enam rekomendasi utama IKPI agar tax amnesty tidak hanya menjadi obral amnesty, tetapi menjadi alat reformasi sistemik. Pertama, dorong kepatuhan sukarela melalui pemeriksaan yang jelas. Kedua, pembenahan kelembagaan, termasuk mendorong pembentukan Badan Pendapatan Negara (BPN). Ketiga, perkuat infrastruktur kepatuhan dan sistem pelaporan aset. Keempat, jangan sampai tax amnesty terulang dalam waktu dekat untuk menjaga kredibilitas sistem. Kelima, jadikan tax amnesty sebagai fondasi reformasi perpajakan. Keenam, perkuat sanksi dan pemeriksaan pascaprogram. Menurut Vaudy, program amnesti pajak berpotensi menggeser ekonomi bawah tanah ke sektor formal. Hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan rasio pajak dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata. “Jika rasio pajak sudah tinggi dan kepatuhan sudah terbangun dengan baik, tentu kita tidak lagi membutuhkan amnesti pajak di masa mendatang. Namun kini, ini bisa menjadi alat transisi menuju sistem perpajakan yang lebih sehat dan strategis,” kata Vaudy. Dengan semangat perbaikan struktural dan integritas sistem, IKPI berharap pemerintah tidak melihat amnesti pajak hanya sebagai solusi jangka pendek, tetapi sebagai momentum untuk membangun arsitektur kepatuhan jangka panjang. Hal senada juga diutarakan oleh Sekretaris Jenderal IKPI Lektor Kepala Edy Gunawan. Ia mengatakan, amnesti pajak yang pernah dilaksanakan di era Presiden Soekarno (1964), Presiden Soeharto (1984), hingga Presiden Joko Widodo (2016), sejatinya memiliki tujuan jangka panjang yang lebih penting dari sekadar angka penerimaan. “Pengampunan pajak bukan sekadar menambah penerimaan. Itu efek jangka pendek. Yang terpenting adalah perbaikan tata kelola data perpajakan,” jelas Edy. Ia juga menyoroti keberhasilan pengampunan pajak 2016 yang mampu mengungkap aset senilai Rp4.884 triliun. Karena itu, program pengampunan pajak membantu negara menyaring dan mendeteksi potensi pajak yang selama ini tersembunyi. “Ada tiga penyebab aset baru terungkap, yakni karena belum dilaporkan, karena pelaporan sebelumnya tidak lengkap, atau karena faktor lainnya. Nah, dengan data yang terkelola, sistem perpajakan menjadi lebih akurat dan adil,” imbuh Edy. Oleh karena itu, ia mengingatkan perlunya momentum yang tepat untuk pelaksanaan pengampunan pajak. Menurut Edy, jika program ini terlalu sering digelar dalam waktu yang singkat, efektivitasnya akan menurun. “Literatur dan pengalaman menunjukkan bahwa jika terlalu dekat dengan program sebelumnya, hasilnya akan minimal. Namun jika diberi jeda 10 hingga 15 tahun, dampaknya akan lebih kuat – baik terhadap pendapatan maupun kepatuhan wajib pajak,” katanya.

Faktur Pajak Gabungan Memberikan Kemudahan Dan Efisiensi Bagi PKP

Baru-baru ini, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam Rangka Penerapan Sistem Administrasi Inti. Salah satu aspek penting yang diatur dalam peraturan ini adalah mengenai Faktur Pajak Gabungan. Peraturan ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan efisiensi administratif bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), khususnya dalam transaksi yang berulang dengan pembeli atau penerima jasa yang sama. Apa Itu Faktur Pajak Gabungan? Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) PER-11/PJ/2025, Faktur Pajak Gabungan adalah satu Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. Syarat dan Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Gabungan: Dibuat Paling Lambat pada Akhir Bulan Penyerahan: Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP. Dalam hal terjadi pembayaran sebagian atau seluruhnya sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP diterima pada bulan penyerahan, Faktur Pajak Gabungan tetap harus dibuat paling lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP. Faktur Pajak dengan Kode Transaksi yang Berbeda: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP yang harus dilakukan dengan menggunakan lebih dari 1 (satu) kode transaksi, Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Gabungan untuk penyerahan kode transaksi yang sama untuk setiap kode transaksi yang dimaksud. Tidak Berlaku untuk Fasilitas PPN dan/atau PPnBM Tidak Dipungut: Faktur Pajak Gabungan tidak dapat dibuat atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN dan/atau PPnBM tidak dipungut sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan BKP dan/atau JKP ke dan/atau dari daerah atau tempat tertentu. Manfaat Pengaturan Faktur Pajak Gabungan: Dengan adanya Pengaturan Faktur Pajak Gabungan ini diharapkan dapat menyederhanakan administrasi Wajib Pajak, yaitu dengan mengurangi jumlah Faktur Pajak yang harus dibuat oleh PKP, terutama bagi PKP yang memiliki banyak transaksi berulang dengan satu pelanggan. Dengan peraturan ini, pemerintah berupaya menciptakan lingkungan perpajakan yang lebih bersahabat dan efisien, yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Berikut 3 Skema Utama dalam PER-10/2025 Tentang Bagaimana Negara Saling Tukar Data Pajak

Baru-baru ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2025 tentang Pelaksanaan Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional (PER 10/2025). Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017 (PMK 39/2017) yang menegaskan bagaimana Indonesia mengelola pertukaran informasi lintas negara untuk kepentingan perpajakan. Pertukaran informasi dalam konteks ini mengacu pada pertukaran data antara otoritas pajak dari negara-negara yang telah menjalin kerja sama dengan Indonesia. Tidak hanya itu, pertukaran informasi ini juga merupakan sarana untuk mengumpulkan data tentang kepemilikan kekayaan dan penghasilan Wajib Pajak, termasuk yang tersebar di luar negeri. Informasi yang dimaksud tidak hanya berupa angka-angka dalam rekening bank, tetapi mencakup semua dokumen atau data yang terkait dengan kegiatan ekonomi, kekayaan, dan kepemilikan aset seseorang atau badan usaha. Berdasarkan PER 10/2025, ada tiga jenis skema utama yang digunakan negara-negara dalam berbagi informasi pajak lintas batas, yaitu: 1.Pertukaran Berdasarkan Permintaan (Exchange of Information on Request/EoIR) EOIR merupakan bentuk pertukaran informasi yang paling klasik. Skema ini bekerja seperti “surat permintaan resmi” yang diajukan oleh satu negara ke negara lain. Misalnya, jika DJP mencurigai Wajib Pajak menyembunyikan aset di Swiss, DJP dapat mengirimkan permintaan kepada otoritas pajak Swiss untuk memberikan informasi spesifik mengenai aset tersebut. PER 10/2025 juga menyatakan bahwa apabila informasi yang diminta tidak tersedia dalam basis data perpajakan DJP, maka pertukaran informasi dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan pencarian dan/atau pengumpulan informasi dengan dua cara. Pertama, meminta informasi kepada pimpinan lembaga keuangan, Wajib Pajak, dan/atau pihak lain. Kedua, pemeriksaan Wajib Pajak. Namun, penggunaan EOIR tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Pasalnya, permohonan harus berdasarkan bukti yang cukup dan mencantumkan data identitas seperti nama, NPWP, nomor rekening, dan tujuan permohonan. Skema ini memerlukan persetujuan terlebih dahulu, baik melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Perjanjian Pertukaran Informasi Pajak (TIEA), maupun Konvensi Multilateral. 2. Pertukaran Spontan (Spontaneous Exchange of Information/SEoI) Dalam skema ini, otoritas pajak Indonesia atau negara mitra secara proaktif menyampaikan informasi yang dianggap relevan tanpa diminta terlebih dahulu. Hal ini biasanya terjadi ketika otoritas pajak menemukan transaksi atau skema penghindaran pajak lintas batas yang melibatkan negara lain. Misalnya, ketika otoritas pajak Inggris menemukan bahwa seorang warga negara Indonesia telah menerima keuntungan besar dari transaksi properti di London tetapi belum melaporkannya kepada DJP, Inggris dapat secara sukarela melaporkannya kepada Indonesia. 3. Pertukaran Otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) Ini merupakan bentuk pertukaran paling mutakhir yang dilakukan secara berkala, sistematis, dan berkelanjutan. Skema ini dijalankan berdasarkan standar global yang disebut Common Reporting Standard (CRS) yang dikelola oleh OECD. Indonesia telah mulai aktif bertukar data melalui AEoI sejak tahun 2018. Dalam skema ini, negara-negara anggota akan secara otomatis mengirimkan data rekening keuangan milik warga negara asing ke negara asal setiap tahun. Misalnya, bank-bank di Singapura akan melaporkan data rekening milik warga negara Indonesia kepada otoritas pajak Singapura. Kemudian, data tersebut dikirimkan ke DJP.

DJP Beberkan Mekanisme Pengawasan PKP

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 yang merinci mekanisme pengawasan dalam rangka penatausahaan pengusaha kena pajak (PKP). Secara umum, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan pengawasan dalam rangka penatausahaan PKP dengan menguji pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP. Pengujian dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan pada alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha PKP. Pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif sebagai PKP… dilakukan terhadap PKP dengan kriteria sebagai berikut: PKP yang baru memulai kewajiban sebagai PKP; PKP yang telah mengalihkan wajib pajak terdaftarnya berdasarkan surat pindah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2); dan/atau PKP yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya, bunyi PER7/PJ/2025 Pasal 56 ayat (3). Pengujian pemenuhan kewajiban subjektif dan objektif PKP dilakukan dengan penelitian lapangan pada alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha PKP dalam rangka menguji kesesuaian lokasi usaha dan kegiatan usaha PKP dengan data yang disampaikan PKP pada saat mengajukan permohonan pengukuhan PKP. Pengujian terhadap PKP yang baru memulai kewajiban sebagai PKP dan PKP yang baru pindah wajib pajak terdaftar berdasarkan surat pindah dilakukan dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal pengukuhan atau tanggal surat pindah. PER-7/PJ/2025 ditetapkan pada tanggal 21 Mei 2025 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal tersebut. Dalam ketentuan peralihan PER-7/PJ/2025 disebutkan, dalam hal PKP baru memulai kewajiban sebagai PKP baru atau berpindah tempat kedudukan wajib pajak terdaftar sejak tanggal 1 Januari sampai dengan berlakunya PER-7/PJ/2025, pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 PER-7/PJ/2025 dilakukan paling lama 3 bulan sejak berlakunya PER-7/PJ/2025. Sebagai informasi, PKP merupakan pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP berdasarkan UU PPN. Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila omzetnya telah melampaui Rp4,8 miliar per tahun. Pengusaha perlu melaporkan usahanya di KPP tempat pengusaha terdaftar sebagai wajib pajak. Bagi wajib pajak orang pribadi, tempat kedudukan wajib pajak terdaftar adalah tempat tinggal. Bagi wajib pajak badan, tempat kedudukan wajib pajak terdaftar adalah tempat domisili.

Standar Wajib Pajak yang Dapat Ditunjuk sebagai Pemungut Bea Meterai

JAKARTA, DDTCNews – Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 juga mengatur kriteria wajib pajak yang dapat ditunjuk sebagai pemungut bea meterai. Pemungut bea meterai adalah pihak yang wajib memungut bea meterai yang terutang atas dokumen tertentu dari pihak yang terutang, menyetor bea meterai ke kas negara, dan melaporkan pemungutan dan penyetoran bea meterai tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). “Wajib Pajak yang ditunjuk sebagai pemungut bea meterai adalah wajib pajak yang kriterianya antara lain memudahkan penerbitan dokumen berharga berupa cek dan/atau bilyet giro,” demikian bunyi sebagian Pasal 62 ayat (4) PER-7/PJ/2025, dikutip Minggu (15/6/2025). Wajib Pajak yang menerbitkan dan/atau memfasilitasi penerbitan dokumen transaksi efek termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dapat pula ditetapkan sebagai pemungut meterai. Selain itu, wajib pajak juga dapat ditetapkan sebagai pemungut meterai apabila menerbitkan dan/atau memfasilitasi penerbitan dokumen berupa: 1. surat keterangan, pernyataan, atau surat lain yang dipersamakan dengan itu, disertai fotokopinya; dan/atau 2. dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000, yang: a. menyatakan penerimaan uang; atau b. memuat pengakuan bahwa utang telah dilunasi atau diperhitungkan seluruhnya atau sebagian, dengan rata-rata 1.000 dokumen dalam 1 bulan. Pengajuan permohonan penambahan status wajib pajak, salah satunya pemungut meterai, dapat dilakukan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak (Coretax) atau langsung ke kantor pajak apabila tidak dapat melakukan pendaftaran secara elektronik, dengan melampirkan dokumen yang dipersyaratkan. Untuk pengajuan melalui Portal Wajib Pajak, pemohon dapat mengisi, menandatangani, dan menyerahkan formulir penetapan status wajib pajak secara elektronik, serta mengunggah salinan dokumen yang dipersyaratkan. Sedangkan untuk pengajuan secara langsung, pemohon dapat mengisi dan menandatangani formulir penetapan status wajib pajak, serta melampirkan dokumen yang dipersyaratkan. Dokumen yang dipersyaratkan bagi pemungut meterai adalah salinan surat permohonan untuk ditunjuk sebagai pemungut meterai dan surat pernyataan kesediaan untuk ditunjuk sebagai pemungut meterai.

Coretax Baru Akan Berfungsi Baik dalam 2 Tahun, Berikut Tanggapan IWPI

Jakarta – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Coretax baru akan berjalan dengan baik dalam satu hingga dua tahun ke depan. Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan menilai pernyataan Luhut tidak konsisten. Sebab, sebelumnya Luhut menjanjikan Coretax akan berjalan optimal kurang dari enam bulan sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025. Rinto mencatat, pada 15 Januari 2025, Luhut meminta masyarakat memberi waktu tiga hingga empat bulan untuk melihat hasil penyempurnaan Coretax. Permintaan itu dilontarkan Luhut saat publik dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah ramai menyoroti berbagai kendala penggunaan Coretax. Sebulan kemudian atau pada 19 Februari 2025, Luhut justru mengkritik Coretax. Luhut menyayangkan penerapan Coretax yang kurang optimal meski sudah dikembangkan selama 10 tahun. Bahkan, Luhut mengusulkan agar presiden melakukan audit menyeluruh terhadap sistem perpajakan. Baru berselang empat bulan atau pada 12 Juni 2025, Luhut kembali memberikan pernyataan. Luhut mengatakan Coretax akan berjalan optimal dalam satu hingga dua tahun ke depan. “Inkonsistensi ini dapat dipandang sebagai bentuk sikap yang bertentangan secara moral dan politik dengan perintah Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pelaksanaan Pancasila secara penuh dan menyeluruh,” ungkap Rinto dalam keterangan tertulis (13/6/25). Ia menilai pernyataan Luhut tersebut tidak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga bertentangan secara substansial dengan perintah Presiden Prabowo. Dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025, Prabowo menegaskan pentingnya Pancasila diimplementasikan secara utuh dan sungguh-sungguh dalam seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, menurut Rinto, sikap Luhut yang tidak konsisten terhadap sistem perpajakan digital justru mencederai nilai-nilai Pancasila. Sebab dalam perspektifnya, Sila ke-2 (kemanusiaan yang adil dan beradab) seharusnya dimaknai bahwa sistem perpajakan harus bersifat manusiawi dan tidak memberatkan rakyat akibat ketidakmampuan digitalisasi. Sila ke-4 (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan), sejatinya dapat dimaknai bahwa rakyat sebagai Wajib Pajak tidak boleh hanya dijadikan objek kebijakan yang tidak transparan dan penuh eksperimen. Kemudian, pada Sila ke-5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia), diharapkan dapat dimanifestasikan melalui perwujudan sistem perpajakan harus adil, efisien, tidak koruptif, dan memberikan kepastian hukum. “Bagaimana mungkin sistem yang belum selesai dan belum bekerja bisa dipromosikan terus menerus? Di sisi lain, rakyat wajib lapor pajak tahunan, dengan sistem yang justru menyusahkan mereka,” ujar Rinto. Solusi IWPI: Bentuk Badan Pendapatan Negara dan Audit Coretax Sebagai solusi konkret, IWPI mendorong pembentukan Badan Pendapatan Negara (BPN) sebagai lembaga terpisah dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk memastikan adanya pengawasan silang (checks and balances) antara perancang kebijakan fiskal dan pelaksana penerimaan. Secara bersamaan, IWPI juga mendorong audit independen terhadap Coretax, serta revisi peraturan perpajakan, agar sejalan dengan semangat reformasi fiskal yang dijanjikan Prabowo saat kampanye. “Kalau Presiden [Prabowo] sudah memerintahkan jalankan Pancasila secara total, maka reformasi sistem perpajakan adalah ujian nyata. Apakah sistem ini berpihak kepada rakyat atau hanya mengamankan kekuasaan fiskal elit,” tutup Rinto. Sebagai informasi, pernyataan terbaru Luhut mengenai optimalisasi Coretax disampaikannya dalam acara International Conference on Infrastructure, Jakarta, (12/6/25). “Saya percaya Coretax akan berfungsi secara baik satu atau dua tahun lagi, sehingga dapat membantu sekitar 1,5 persen terhadap pertumbuhan ekonomi kita,” ujar Luhut.

Bea Cukai Tanjung EMAS Mempromosikan Penggunaan Program Multimodal Untuk Ekspor Lebih Mudah dan Lebih Cepat

Pajak.com, Semarang – Kantor Layanan Bea Cukai dan Cukai Tanjung (Bea Cukai Tanjung Eemas) mendorong eksportir untuk menggunakan sistem multimodal. Tanjung Emas Customs mengatakan fasilitas itu menyederhanakan dan mengurangi biaya kegiatan ekspor. Kantor Bea Cukai Tanjung Emas Tri Utomo Hendro Wibowo mengatakan skema multimodal adalah cara untuk mengirim barang ekspor yang melibatkan penggunaan dua atau lebih alat transportasi dalam satu dokumen. Layanan ini adalah pengiriman pengganti produk untuk membuat pengiriman logistik lebih efisien. Banyak perusahaan di bawah pengawasan bea cukai EMAS telah menggunakan skema multimoda seperti PT Dua Dua Rabbit, CV Ten International Asset dan PT Sanmik Organic Indonesia. “Program multimodal telah terbukti menawarkan manfaat khusus untuk bisnis. Ini terus mempromosikan penggunaan layanan ekspor multimodal sebagai solusi logistik terintegrasi. Kenyamanan ini memungkinkan eksportir untuk mengurangi biaya, mempercepat waktu perjalanan dan secara optimal memenuhi persyaratan bea cukai, “kata Tri Utomo, yang ditulis oleh tax.com (13.06.25). Dia mengatakan efisiensi logistik adalah persyaratan utama bagi eksportir yang jauh dari pelabuhan. Memuat barang yang diizinkan langsung dari gudang atau penyimpanan lainnya (TPL) juga mengurangi biaya penanganan dan menunggu. Ini secara langsung mendukung ekspor yang lancar dari pasien dan produsen seperti Jeprara. “Dampak positif lain dari pemanfaatan Skema Multimoda adalah berkurangnya beban lalu lintas di jalan raya dan berkurangnya emisi kendaraan pengangkut. Dengan mengalihkan sebagian beban ekspor ke moda kereta api, efisiensi sistem logistik nasional semakin meningkat sekaligus berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan,” kata Tri Utomo. Melalui perannya sebagai fasilitator perdagangan dan asistensi industri, Bea Cukai Tanjung Emas menegaskan komitmennya dalam memperkuat ekosistem ekspor nasional. “Langkah ini tidak hanya membantu pelaku usaha, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan memperluas dampak positif bagi masyarakat,” pungkas Tri Utomo. Aturan mengenai pemanfaatan Skema Multimoda diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 216 Tahun 2019 tentang Angkutan Terusan atau Angkutan Lanjutan Barang Impor atau Ekspor, serta Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 8 Tahun 2012.

Kriteria dan Persyaratan Rinci PER-7/PJ/2025 Penugasan WP Dinonaktifkan

Melalui Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025, Direktorat Jenderal Pajak merinci kriteria penetapan wajib pajak nonaktif berdasarkan jabatan. Sesuai ketentuan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dapat menetapkan wajib pajak nonaktif (dahulu disebut wajib pajak non efektif) berdasarkan permohonan wajib pajak atau berdasarkan jabatan. Wajib pajak nonaktif merupakan wajib pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif tetapi belum dihapus NPWP, demikian bunyi Pasal 1 angka 20 PER-7/PJ/2025. Merujuk Pasal 34 ayat (2) PER-7/PJ/2025, penetapan wajib pajak nonaktif dilakukan atas wajib pajak yang memenuhi salah satu di antara 8 kriteria, yaitu: Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tetapi tidak memenuhi ketentuan objektif karena menghentikan kegiatan usaha atau pekerjaan bebasnya. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tetapi tidak memenuhi persyaratan objektif karena tidak mempunyai atau tidak menerima penghasilan, atau mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Wajib Pajak Orang Pribadi Warga Negara Indonesia yang berstatus penduduk yang bermaksud menjadi subjek pajak luar negeri namun belum memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak luar negeri (SPLN). Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia berstatus penduduk yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif karena telah menjadi SPLN. Wajib Pajak orang pribadi warga negara Indonesia (WNI) berstatus penduduk yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan wanita yang telah menikah dan telah memiliki NPWP serta memilih untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya secara bersama-sama dengan suami, namun masih memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Wajib pajak badan yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun masih dalam proses atau belum dilakukan penghapusan NPWP. Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi ketentuan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak tetapi belum dihapus NPWP-nya. Selain berdasarkan 7 kriteria tersebut, Pasal 38 ayat (2) PER-7/PJ/2025 menyebut penetapan wajib pajak nonaktif secara jabatan juga dapat dilakukan terhadap wajib pajak yang memenuhi 6 persyaratan. Keenam persyaratan ini bersifat akumulatif sehingga harus terpenuhi seluruhnya. Keenam syarat itu meliputi: Wajib Pajak tidak melaporkan Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan secara berturut-turut dalam 5 tahun terakhir.; Wajib Pajak tidak pernah dipotong atau dipungut pajaknya oleh pihak ketiga atau pihak lain secara berturut-turut dalam 5 tahun terakhir.; Wajib Pajak tidak melakukan pembayaran pajak secara berturut-turut dalam 5 tahun terakhir; Wajib pajak tidak mempunyai tunggakan pajak dan/atau tidak sedang melakukan tindakan hukum; Wajib pajak saat ini tidak sedang menjalani pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti pendahuluan, dan/atau penyelidikan tindak pidana perpajakan; dan Wajib pajak tidak mendapatkan fasilitas atau insentif perpajakan. Bagi wajib pajak yang ditetapkan sebagai wajib pajak nonaktif, Kepala KPP akan menyampaikan surat pemberitahuan.Surat pemberitahuan mengenai penetapan wajib pajak nonaktif akan dikirimkan kepada wajib pajak melalui: (i) coretax system; (ii) email yang terdaftar pada DJP; dan/atau (iii) pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir.

DJP Revisi Aturan Terkait Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan peraturan baru, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2025, tentang Penonaktifan Akses Pembuatan Faktur Pajak. Peraturan baru ini diterbitkan sebagai pedoman pelaksanaan penonaktifan akses pembuatan faktur pajak dalam rangka penanganan penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak yang tidak sah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah dan memulihkan kerugian penerimaan negara. Berdasarkan PER-9/PJ/2025 Pasal 2 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak untuk: (i) Wajib pajak terindikasi penerbit; (ii) Wajib pajak terindikasi pengguna. Untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak bagi wajib pajak yang diduga sebagai penerbit, Direktur Jenderal Pajak akan mengembangkan dan menganalisis kriterianya: (i) keberadaan dan kewajaran lokasi usaha wajib pajak; (ii) kesesuaian kegiatan usaha wajib pajak. Sementara itu, wajib pajak yang terindikasi sebagai pengguna adalah PKP yang terindikasi menggunakan faktur pajak tidak sah yang diterbitkan oleh wajib pajak yang terindikasi sebagai penerbit dan/atau wajib pajak yang menerbitkan faktur pajak tidak sah. Untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak bagi wajib pajak yang terindikasi sebagai pengguna, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan pengembangan dan analisis terhadap indikasi kredit pajak masukan yang tercantum dalam faktur pajak tidak sah pada SPT Masa PPN. Sebagai informasi, faktur pajak tidak sah adalah faktur pajak yang diterbitkan dan/atau digunakan tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan/atau diterbitkan oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP.