Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 (PMK-37/2025) memberikan kerangka hukum bagi pemerintah untuk mengenakan pajak kepada pedagang yang berjualan di marketplace seperti Shopee atau Tokopedia. Rosmauli (Ros), Direktur Hubungan Masyarakat, Pelayanan, dan Penyuluhan (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP), mengatakan kepada Pajak.com bahwa para penjual daring harus segera mempersiapkan tiga hal agar sesuai dengan kebijakan ini, yang diperkirakan akan berlaku dalam satu hingga dua bulan ke depan. Sebelumnya, Ros menegaskan bahwa tidak semua pedagang dikenakan pajak oleh marketplace. Hanya pedagang dengan omzet tahunan lebih dari Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen. Pedagang dengan penghasilan di bawah Rp500 juta dibebaskan dari pajak. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “Tidak ada pajak baru yang dipungut pemerintah dari berlakunya PMK-37/2025. Kita ingin memudahkan merchant [penjual 0n-line] dalam hal administrasinya,” ungkap Ros dalam pesan singkat, (16/7/25). Penjual Perlu Segera Persiapkan 3 Hal Ini Ros mengimbau para penjual untuk mempersiapkan setidaknya tiga hal sebelum marketplace mulai memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 (0,5 persen) sesuai PMK-37/2025. Pertama, penjual perlu memastikan data pajak mereka di marketplace lengkap dan akurat, termasuk Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang aktif, dan alamat korespondensi. Kedua, penjual harus mulai menghitung total omzet mereka. Ketiga, jika omzet penjual di bawah Rp500 juta per tahun, mereka harus segera menyiapkan surat pernyataan yang menyatakan “Pedagang Dalam Negeri memiliki Omzet Bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000,00.” Ketentuan ini diatur dalam Pasal 15 PMK-37/2025. “Surat ini bertujuan agar merchant tersebut tidak dikenai pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak marketplace. Sebagai pengawasannya, surat pernyataan itu akan dilakukan melalui pencocokan data dan informasi yang diterima DJP dari pihak lain, dalam hal ini marketplace,” tegas Ros. Ia mengutip bahwa Pasal 6 ayat (9) PMK-37/2025 berbunyi “Pedagang dalam negeri bertanggung jawab atas kebenaran informasi yang harus disampaikan”. “Artinya, merchant yang tidak menyampaikan informasi dengan benar atau mengaku belum mencapai omzet Rp500.000.000, akan diimbau terlebih dahulu untuk menghitung omzetnya dengan benar. Hal ini sesuai dengan isi dari format surat pernyataan yang akan disampaikan penjual merchant kepada pihak lain [marketplace] sebagaimana telah tercantum dalam lampiran PMK-37/2025,” jelas Ros.
Pemerintah Terbitkan PMK 37/2025 Tentang Penunjukan Pihak Lain
Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 (PMK 37/2025). PMK ini mengatur penunjukan pihak lain sebagai pemungut pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh pedagang dalam negeri melalui Sistem Perdagangan Secara Elektronik (PMSE). Peraturan ini diundangkan pada 11 Juni 2025 dan diundangkan pada 14 Juli 2025. Berdasarkan pertimbangan pada poin a PMK 37/2025, peraturan ini dirancang untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui pembayaran pajak, dengan mengutamakan asas kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan kesederhanaan administrasi. Berikut adalah pokok-pokok ketentuan PMK 37/2025. Kriteria Pihak Lain yang Ditunjuk Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMK 37/2025, pihak lain ditunjuk yakni Penyelenggara PMSE yang menggunakan rekening eskro (escrow account) untuk menampung penghasilan. Kriteria yang penyelenggara PMSE yang ditunjuk yakni: memiliki nilai transaksi dengan pemanfaat jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk transaksi di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan; dan/atau memiliki jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan. Kriteria serta penetapan pihak lain nantinya akan dilakukan oleh Direktur Jenderal pajak. Pihak yang Dipungut Wajib pajak adalah pedagang dalam negeri. Pedagang dalam negeri adalah mereka yang menerima penghasilan melalui rekening bank atau rekening keuangan sejenis dan melakukan transaksi menggunakan alamat protokol internet Indonesia atau nomor telepon dengan kode negara Indonesia. Pedagang dalam negeri yang melakukan transaksi di platform digital wajib memberikan informasi kepada wajib pajak. Informasi ini mencakup Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat korespondensi. Besaran Pajak yang Dipungut Pajak yang dipungut dalam ketentuan ini adalah sebesar 0,5% dari omzet bruto yang tercantum dalam dokumen penagihan, tidak termasuk PPN dan PPnBM. Pasal 8 ayat (3) PMK 37/2025 mengatur bahwa bagi pedagang yang menggunakan PPh sesuai ketentuan umum, PPh Pasal 22 yang dipungut diperlakukan sebagai kredit pajak tahun berjalan. Sementara itu, jika menggunakan skema PPh Final, PPh Pasal 22 yang dipungut dapat diperlakukan sebagai bagian dari pembayaran PPh Final. PPh Final yang dimaksud meliputi PPh Final atas sewa tanah dan bangunan, PPh Final atas jasa konstruksi, PPh Final atas UMKM, dan PPh Pasal 15. Pengecualian Pemungutan Jenis transaksi yang tidak dikenai atau dapat dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain meliputi: penjualan barang dan/atau jasa oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000 pada tahun pajak berjalan dan telah menyampaikan surat pernyataan; penjualan jasa pengiriman atau ekspedisi oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sebagai mitra perusahaan aplikasi berbasis teknologi yang memberikan jasa angkutan; penjualan barang dan/atau jasa oleh pedagang dalam negeri yang menyampaikan informasi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan; penjualan pulsa dan kartu perdana; penjualan emas perhiasan, emas batangan, perhiasan yang bahan seluruhnya bukan dari emas, batu permata, dan/atau batu lainnya yang sejenis, yang dilakukan oleh pabrikan emas perhiasan, pedagang emas perhiasan, dan/atau pengusaha emas batangan; dan/atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.
PER-8/2025 Tentang Persyaratan dan Cara Penyampaian Surat Keterangan Fiskal Melalui Coretax
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 (PER-8/2025) mengatur persyaratan dan tata cara penyampaian surat keterangan fiskal melalui Coretax. Melalui peraturan yang berlaku sejak 21 Mei 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjanjikan kemudahan dalam pengajuan surat keterangan fiskal. Benarkah demikian? Berikut ulasan pajaknya, com untuk Anda. Definisi Surat Keterangan Fiskal Berdasarkan Pasal 1 ayat 7 PER-8/2025, Surat Keterangan Fiskal adalah informasi yang diberikan oleh DJP mengenai kepatuhan Wajib Pajak selama periode tertentu untuk memenuhi persyaratan memperoleh jasa atau dalam rangka pelaksanaan kegiatan tertentu. Jasa atau dalam rangka pelaksanaan kegiatan tertentu tersebut antara lain: Penggunaan nilai buku untuk pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemisahan, atau pengambilalihan usaha; Pengenaan Pajak Penghasilan (PPH) sebesar 0,5 persen atas pengalihan hak milik real estat kepada Perusahaan Tujuan Khusus (PBU) atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK); Pengajuan Permohonan Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kepada SKK Migas melalui Kontrak Kerja Sama (K3S); Pengajuan permohonan pemberian fasilitas pengurangan PPh badan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK); Pengajuan permohonan pemberian fasilitas perpajakan (tax holiday); Pengadaan barang dan/atau jasa; Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing BUKAN BANK; Pengajuan Fasilitas Non-Fiskal Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri; atau Jasa dan/atau kegiatan tertentu yang memerlukan surat keterangan fiskal. Persyaratan penyampaian surat keterangan fiskal Surat Keterangan Fiskal diberikan apabila Wajib Pajak memenuhi persyaratan sebagai berikut: Wajib Pajak telah menyampaikan: Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh dua tahun pajak terakhir; SPT Masa PPN tiga tahun pajak terakhir yang menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Tidak memiliki utang pajak; Memiliki utang pajak, namun untuk seluruh utang pajak tersebut telah memperoleh izin penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); dan Tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan. Cara menyampaikan surat keterangan fiskal di Coretax DJP menyebutkan kemudahan penyampaian surat keterangan fiskal melalui Coretax, yaitu: Permohonan disampaikan secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Portal Wajib Pajak di Coretax; DJP akan melakukan penelitian; dan DJP akan menerbitkan pernyataan di Portal Wajib Pajak: “Memenuhi ketentuan”; atau “Tidak memenuhi ketentuan”. Adapun Surat keterangan fiskal berlaku 1 bulan sejak tanggal penerbitan.
PER-8/2025 Tentang Ketentuan Permohonan Perubahan Metode Pembukuan dan Tahun Buku
Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) PER-8/2025, dijelaskan bahwa wajib pajak dapat mengubah metode pembukuan dan/atau tahun pajak dengan mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Permohonan perubahan wajib diajukan secara elektronik paling lambat satu bulan sebelum tahun pajak dimulai melalui Portal Wajib Pajak. Jika diajukan oleh wajib pajak, permohonan tersebut harus disertai dengan dokumen pendukung yang menjelaskan alasan perubahan metode pembukuan dan/atau tahun pajak. Selain itu, persyaratan pengajuan permohonan juga harus mencantumkan pernyataan berikut: perubahan metode pembukuan dan/atau tahun buku dikehendaki oleh pemegang saham, pemberi kredit, rekanan usaha, pemerintah, atau pihak-pihak lainnya, dan apabila tidak dilakukan akan menimbulkan kesulitan dan/atau kerugian bagi perusahaan; tidak terdapat maksud melakukan pergeseran laba atau rugi guna meringankan beban pajak; dan permohonan atas perubahan metode pembukuan dan/atau tahun buku merupakan permohonan untuk perubahan pertama kali. Berdasarkan Pasal 10 ayat (4) PER-8/2025, juga ditegaskan bahwa syarat permohonan perubahan metode pembukuan dan/atau tahun buku berlaku bagi wajib pajak yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkan Surat Keterangan Fiskal (SKF). Berdasarkan Pasal 10 ayat (4) PER-8/2025, diatur dan dijelaskan lebih lanjut bahwa permohonan perubahan metode pembukuan dan/atau tahun pajak kedua dan selanjutnya dapat diajukan oleh Wajib Pajak yang telah menyelenggarakan pembukuan secara konsisten dengan prinsip kepatuhan paling singkat 5 tahun pajak. Sebagai informasi, prinsip kepatuhan tersebut sama dengan prinsip yang digunakan dalam metode pembukuan tahun pajak sebelumnya untuk mencegah terjadinya pengalihan laba atau rugi. Saat ini, permohonan perubahan metode pembukuan dan/atau tahun pajak diajukan melalui Coretax DJP. Layanan ini dapat diakses melalui menu Permintaan Layanan Administrasi Coretax dengan memilih jenis layanan AS.15 Perubahan Metode Pembukuan dan/atau Tahun Pajak.
DJP Siapkan Berbagai Kebijakan Perpajakan Terkait Transaksi Digital
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang menyiapkan sejumlah kebijakan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari transaksi digital. Salah satu kebijakannya adalah mewajibkan penyelenggara marketplace untuk memungut pajak dengan menunjuk platform-platform transaksi domestik dan internasional yang telah difinalisasi kebijakan domestiknya. DJP juga sedang menyusun kebijakan perpajakan atas transaksi aset kripto. Selanjutnya, DJP akan menunjuk Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang berbasis bullion dan juga digitalisasi transaksi luar negeri melalui platform luar negeri. Sebagai informasi, operator marketplace telah ditetapkan sebagai pihak tambahan yang wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penghasilan yang diperoleh pedagang dalam negeri melalui sistem perdagangan elektronik (PMSE). Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 37/2025. Penyedia marketplace, sebagai penyelenggara PMSE, akan ditetapkan sebagai pihak ketiga yang wajib memungut PPh Pasal 22 jika menggunakan rekening escrow untuk menyimpan penghasilan dan memenuhi salah satu dari dua kriteria berikut: 1. Transaksi dengan pengguna media elektronik yang digunakan untuk bertransaksi di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam jangka waktu 12 bulan; dan/atau 2. Jumlah lalu lintas atau pengguna melebihi jumlah tertentu dalam jangka waktu 12 bulan. Batasan nilai transaksi atau lalu lintas akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, yang didelegasikan oleh Menteri Keuangan. PPH Pasal 22 yang wajib dipungut oleh penyedia marketplace adalah sebesar 0,5% dari omzet bruto yang diterima atau diperoleh pedagang di dalam negeri sebagaimana tercantum dalam faktur, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. PPh Pasal 22 terutang pada saat pembayaran diterima oleh penyedia marketplace. Selanjutnya, PPh Pasal 22 yang dipungut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh tahun berjalan bagi pedagang dalam negeri. Jika PPh Pasal 22 dipungut atas penghasilan pedagang dalam negeri yang dikenakan PPh final, maka PPh Pasal 22 tersebut merupakan bagian dari pembayaran PPh final bagi pedagang dalam negeri. Perlu diketahui, PPh final yang dimaksud meliputi PPh final atas sewa tanah/bangunan, PPh final atas jasa konstruksi, PPh final bagi UMKM, atau PPh Pasal 15.
Pengaturan Ulang Ketentuan Nomor Identitas Pemungut PPN PMSE Luar Negeri
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mereorganisasi ketentuan mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi pelaku usaha perdagangan elektronik (PMSE) yang ditunjuk sebagai pihak ketiga. Reorganisasi ini diimplementasikan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024 dan diperjelas lebih lanjut melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-12/PJ/2025. Berdasarkan peraturan ini, DJP akan menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pihak ketiga. “Pihak ketiga…diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak berupa NPWP sebagai alat administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal pribadi atau tanda pengenal bagi pihak lain…” bunyi Pasal 334 ayat (6) PMK 81/2024. Mengacu pada PER-12/PJ/2025, DJP membedakan ketentuan NPWP bagi pelaku usaha PMSE dalam negeri dan luar negeri. Pelaku usaha PMSE dalam negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang terdaftar dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sementara itu, pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) melalui penerbitan surat tanda registrasi dan kartu nomor pokok wajib pajak. Surat tanda registrasi disusun menggunakan contoh format dalam Lampiran E PER-12/PJ/2025. Sementara itu, kartu nomor pokok wajib pajak disusun menggunakan contoh format dalam Lampiran E PER-12/PJ/2025. Penggunaan NPWP bagi pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain sesuai dengan ketentuan PER-7/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 9 PER-7/PJ/2025, NPWP diterbitkan antara lain kepada Wajib Pajak Luar Negeri (SPLN) yang ditunjuk sebagai pihak lain. Pihak lain dalam konteks ini adalah pihak yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Wanita Menikah Menjadi Kepala Rumah Tangga: Bagaimana dengan NPWP dan Data Unit Keluarga (DUK)?
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-7/PJ/2025 memuat ketentuan khusus mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Data Unit Keluarga (DUK) bagi perempuan menikah yang berstatus kepala keluarga berdasarkan peraturan kependudukan. Apabila perempuan menikah berstatus kepala keluarga berdasarkan peraturan kependudukan, ia wajib mendaftar untuk memperoleh NPWP. Kewajiban ini berlaku apabila perempuan menikah tersebut, sebagai kepala keluarga, memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. “Ketentuan berikut berlaku bagi perempuan menikah berstatus kepala keluarga, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kependudukan: wajib mendaftar untuk memperoleh NPWP apabila memenuhi persyaratan subjektif dan objektif,” bunyi Pasal 4 ayat (4) huruf a PER-7/PJ/2025, dikutip Minggu (13 Juli 2025). Tidak hanya itu, penghasilan perempuan kepala keluarga yang telah menikah juga dilarang digabungkan dengan penghasilan suaminya. Bagi perempuan kepala keluarga yang telah menikah, data satuan keluarganya meliputi wajib pajak yang bersangkutan dan anak di bawah umur, termasuk anak tiri/angkat yang tercantum dalam Kartu Keluarga (KK) Wajib Pajak atau KK lainnya. Data satuan keluarga bagi perempuan kepala keluarga yang telah menikah juga dapat meliputi anggota keluarga saudara kandung/pasangan dalam garis keturunan langsung yang menjadi tanggungan penuh yang tercantum dalam KK Wajib Pajak atau KK lainnya. Lalu, apa yang menjadikan perempuan yang sudah menikah sebagai kepala keluarga, berdasarkan peraturan kependudukan? Perempuan yang sudah menikah dapat menjadi kepala keluarga jika ia merupakan istri kedua, sementara suaminya sudah menjadi kepala keluarga melalui istri pertamanya. Perempuan yang sudah menikah juga dapat menjadi kepala keluarga jika suaminya tidak ada dan tidak dapat ditemukan, sehingga menghalanginya untuk menandatangani kartu keluarga. Dalam hal ini, perempuan yang sudah menikah dapat menandatangani kartu keluarga dan menjadi kepala keluarga. Sebagai informasi, secara umum, perempuan yang sudah menikah tidak dikenakan pajak terpisah dari suaminya. Hak dan kewajiban perpajakan perempuan yang sudah menikah digabungkan dengan hak dan kewajiban perpajakan suaminya sebagai kepala keluarga.
Berikut Daftar Olahraga yang Kena Pajak di Jakarta
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), telah resmi menetapkan jenis-jenis olahraga yang dikenakan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas Jasa kesenian dan Hiburan. Kebijakan ini mencakup berbagai fasilitas olahraga komersial, termasuk yang sedang tren saat ini seperti padel, yoga, dan sepak mini soccer. Penetapan ini bukanlah hal baru. Pajak hiburan, termasuk kompetisi olahraga, telah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun, klasifikasi tersebut diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam peraturan baru tersebut, objek pajak disesuaikan dengan asas kewajaran dan diperjelas dalam kategori PBJT. Melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 dan dirinci dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025, DKI Jakarta resmi menetapkan kegiatan olahraga kena pajak, termasuk penyewaan tempat dan peralatan olahraga yang digunakan oleh masyarakat dengan membayar, seperti pusat kebugaran, lapangan futsal, dan jetski. PBJT untuk jasa hiburan olahraga dikenakan tarif 10 persen, lebih rendah dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) saat ini sebesar 11 persen. Tarif ini tidak termasuk hiburan mewah, yang dapat dikenakan pajak hingga 75 persen. Salah satu hal yang menarik perhatian publik adalah dimasukkannya olahraga padel sebagai olahraga kena pajak. Olahraga ini sedang naik daun, dan tempat penyewaannya seringkali penuh meskipun tarifnya relatif tinggi. Pemerintah menegaskan bahwa pengenaan pajak padel adalah demi keadilan, mengingat berbagai olahraga lain telah dikenakan pajak serupa. Berdasarkan data Bapenda DKI Jakarta per Juli 2025, terdapat tujuh lokasi lapangan padel yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan sejak 2024. Berikut adalah daftar fasilitas olahraga yang termasuk objek PBJT di Jakarta: Tempat kebugaran (fitness center, yoga, pilates, zumba) Lapangan futsal Lapangan sepak bola Lapangan mini soccer Lapangan tenis Lapangan basket Lapangan bulutangkis Lapangan voli Lapangan tenis meja Lapangan squash Lapangan panahan Lapangan bisbol Lapangan softbol Lapangan tembak Tempat biliar Tempat panjat tebing Sasana tinju Lapangan atletik Arena jetski Lapangan padel. Pengenaan pajak atas jenis-jenis olahraga permainan ini bertujuan memastikan kontribusi adil dari pelaku usaha dan konsumen hiburan olahraga terhadap pembangunan daerah. Pajak ini dipungut hanya dari layanan yang bersifat komersial, bukan aktivitas komunitas atau sosial yang tidak mengenakan biaya.
Akses Pembuatan Faktur Pajak Dinonaktifkan, Klarifikasi Tidak Dapat Diotorisasi
Wajib Pajak yang akses pembuatan faktur pajaknya dinonaktifkan wajib menyampaikan klarifikasi secara mandiri. Klarifikasi wajib disampaikan langsung oleh Wajib Pajak atau pengurus/penanggung jawab Wajib Pajak tanpa kuasa kepada pihak lain. “Klarifikasi… dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: disampaikan langsung oleh Wajib Pajak atau pengurus/penanggung jawab Wajib Pajak dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak kepada Kantor Wilayah Pelayanan Pajak dan tidak dapat diotorisasi kepada pihak lain,” bunyi Pasal 4 ayat (2) huruf a PER-9/PJ/2025. Wajib Pajak juga wajib menyampaikan klarifikasi tertulis dengan format sebagaimana tercantum dalam lampiran PER-9/PJ/2025. Klarifikasi tertulis tersebut wajib memuat penjelasan mengenai klarifikasi yang dibuat dan dokumen pendukungnya. Klarifikasi tertulis disampaikan kepada Kantor Wilayah Pelayanan Pajak dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dokumen pendukung klarifikasi paling kurang: 1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) bagi WNI, atau paspor bagi WNA; 2. surat keterangan tempat usaha atau pekerjaan mandiri dari lurah atau kepala desa; 3. pas foto berwarna yang menunjukkan lokasi dan kegiatan usaha Wajib Pajak; 4. daftar pemasok tahun terakhir; 5. asli rekening koran dan bukti penerimaan/pencairan pembayaran tahun terakhir; dan 6. dokumen transaksi seperti surat perintah pembelian, surat perintah penyerahan, berita acara serah terima, atau berita acara penyelesaian pekerjaan tahun terakhir. Bagi Wajib Pajak Badan, dokumen pendukung klarifikasi paling kurang: fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) pengurus/penanggung jawab WNI, dan paspor pengurus/penanggung jawab WNA, dengan menunjukkan dokumen aslinya; fotokopi akta pendirian bagi wajib pajak badan dalam negeri atau surat pengangkatan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap (BUT); surat keterangan tempat usaha atau pekerjaan bebas dari lurah atau kepala desa; pas foto berwarna yang menunjukkan lokasi dan kegiatan usaha wajib pajak; daftar pemasok barang tahun terakhir; asli rekening koran dan bukti penerimaan/pencairan pembayaran tahun terakhir; dan dokumen transaksi seperti surat perintah pembelian, surat perintah pengiriman, berita acara serah terima, atau berita acara penyelesaian pekerjaan tahun terakhir. Selama proses klarifikasi, Kantor Wilayah Pajak (Kanwda) dapat meminta informasi dari wajib pajak atau pengurus/penanggung jawab wajib pajak dan melakukan pemeriksaan di tempat usaha wajib pajak. Pemeriksaan di tempat usaha wajib pajak dilakukan untuk memverifikasi keberadaan dan kewajaran tempat usaha wajib pajak serta kesesuaian kegiatan usaha wajib pajak. Kantor Wilayah Pajak (Kanwil) wajib menyetujui atau menolak klarifikasi wajib pajak dalam waktu paling lama 30 hari kalender sejak tanggal diterimanya dokumen klarifikasi. Klarifikasi wajib pajak akan disetujui apabila hasil pemeriksaan menunjukkan wajib pajak tidak memenuhi persyaratan penonaktifan akses faktur pajak. Klarifikasi juga akan disetujui apabila wajib pajak diduga menerbitkan faktur pajak yang tidak sah, yang mengakibatkan penghentian penyidikan sesuai dengan Pasal 44B UU KUP, atau dinyatakan tidak terbukti sebagai wajib pajak yang menerbitkan faktur pajak yang tidak sah berdasarkan hasil pemeriksaan, pemeriksaan buku Surat Pemberitahuan (Bukper), penyidikan, atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terakhir, klarifikasi akan diberikan apabila wajib pajak yang diduga menggunakan faktur pajak yang tidak sah telah: menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) terkait dasar penonaktifan akses pembuatan faktur pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU KUP; mengungkapkan ketidakakuratan […]
Untuk menjadi lokasi yang disetujui PKP, kantor virtual juga harus disetujui PKP
Kantor virtual baru dapat digunakan sebagai tempat pendirian Pengusaha Kena Pajak (PKP) jika penyedia kantor virtual memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 51 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 7/PJ/2025. Kantor virtual dapat menjadi tempat pendirian PKP jika penyedia jasa kantor virtual tersebut juga telah dikukuhkan sebagai PKP, menyediakan ruangan fisik yang dapat digunakan untuk kegiatan usaha, dan benar-benar menyediakan jasa penunjang kantor yang digunakan sebagai tempat tinggal, lokasi usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh dua pengusaha atau lebih, yang untuk penggunaan kantor tersebut dilakukan pembayaran dalam bentuk apa pun, tidak termasuk sewa gedung dan jasa kantor servis, sesuai Pasal 1 angka 48 PER-7/PJ/2025. Selain persyaratan di atas, penyedia layanan kantor virtual juga harus menyediakan dokumen yang membuktikan adanya kontrak antara penyedia kantor virtual dan pengusaha, serta dokumen perizinan berupa Surat Izin Berusaha (NIB) atau yang setara. Apabila persyaratan di atas terpenuhi, kantor virtual dapat digunakan sebagai tempat pengukuhan PKP oleh: 1. pengusaha badan usaha yang berdomisili di kantor virtual dan hanya memiliki satu tempat usaha di kantor virtual tersebut; atau 2. pengusaha badan usaha yang berdomisili di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB). Apabila pengusaha badan usaha tersebut berdomisili di kantor virtual dan hanya memiliki satu tempat usaha di kantor virtual tersebut, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, pengusaha badan usaha tersebut harus memiliki klasifikasi usaha utama di bidang jasa, yang kegiatan usahanya dapat dilakukan di kantor virtual. Kedua, pengusaha badan wajib memiliki kontrak, perjanjian, atau dokumen antara pengusaha dengan penyedia jasa kantor virtual dengan jangka waktu kontrak paling singkat satu tahun, terhitung sejak tanggal permohonan SPT PPN. Ketiga, pengusaha badan tidak boleh menggunakan kantor virtual semata-mata sebagai tempat korespondensi. Apabila pengusaha badan berdomisili di KPPB, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakan kantor virtual sebagai tempat penyampaian SPT PPN. Pertama, pengusaha badan tidak boleh memiliki tempat usaha lain di luar KPBPB selain kantor virtual. Kedua, pengusaha badan wajib memiliki kontrak, perjanjian, atau dokumen antara pengusaha dengan penyedia jasa kantor virtual dengan jangka waktu kontrak paling singkat satu tahun, terhitung sejak tanggal permohonan SPT PPN. Ketiga, pengusaha badan harus terbukti secara nyata berdomisili dan/atau melakukan kegiatan usaha di KPBPB. PER-7/PJ/2025 diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 21 Mei 2025, dan dinyatakan berlaku efektif pada tanggal yang ditentukan.