Wajib pajak kini tak perlu lagi bingung soal batas waktu pembayaran pajak karena pemerintah telah melakukan standarisasi. Standarisasi batas waktu pembayaran pajak ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan kepada wajib pajak batas waktu pembayaran pajak, yang ditetapkan pada tanggal 15 setiap bulan berikutnya. “Masih bingung kapan bayar pajak? Sekarang tidak lagi! Dengan PMK 81/2024, semua batas waktu pembayaran pajak distandarisasi, yaitu tanggal 15 bulan berikutnya,” tulis DJP di media sosial. DJP menjelaskan bahwa mulai 1 Januari 2025, pemerintah menyederhanakan batas waktu pembayaran pajak melalui PMK 81/2024. DJP meyakini standarisasi batas waktu akan membuat kewajiban perpajakan lebih sederhana, seragam, dan mudah diingat. Sebelum PMK 81/2024, batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak diatur secara berbeda untuk setiap jenis pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga mencatat bahwa perbedaan batas waktu pembayaran ini sering kali menyebabkan wajib pajak bingung atau lupa. Peraturan yang berlaku saat ini telah mempermudah wajib pajak. Misalnya, wajib pajak yang memotong PPh Pasal 21 pada bulan Januari dapat menyetorkan PPh-nya paling lambat tanggal 15 Februari. Misalnya, PPN untuk kegiatan membangun sendiri (KMS) pada bulan Februari wajib disetorkan paling lambat tanggal 15 Maret. “Sekarang, ingat satu hal: bayar pajak masa paling lambat tanggal 15,” tulis DJP. Berdasarkan Pasal 94 ayat (2) PMK 81/2024, sebagian besar jenis pajak wajib disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pajak Penghasilan yang wajib dibayar dan disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak meliputi Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2), Pajak Penghasilan Pasal 15, Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Penghasilan Pasal 23, Pajak Penghasilan Pasal 25, Pajak Penghasilan Pasal 26, dan Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi, yang wajib dibayar setiap masa pajak. Selanjutnya, PPN atas pemanfaatan barang dan jasa tidak berwujud (BKP) dan jasa (JKP) dari luar daerah pabean, PPN atas kegiatan membangun sendiri, bea meterai yang dipungut oleh pemungut bea meterai, pajak penjualan, dan pajak karbon (belum berlaku) juga wajib disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
Cara Membuat Pencatatan Sederhana melalui Coretax untuk UMKM
Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, maupun Wajib Pajak Badan di Indonesia, diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Namun, kewajiban pembukuan ini dikecualikan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPPN). Wajib pajak ini termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan penghasilan bruto tahunan kurang dari Rp4,8 miliar. Dalam konteks Pajak Penghasilan (PPh), wajib pajak ini sering disebut sebagai Wajib Pajak UMKM. Sebaliknya, wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetap diwajibkan untuk melakukan pencatatan. Kewajiban pencatatan ini juga berlaku bagi wajib pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan lepas. Pencatatan ini krusial dan menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung jumlah pajak yang terutang. Menyusul penerapan Coretax DJP, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyediakan fitur yang dapat digunakan wajib pajak untuk melakukan pencatatan. Dalam artikel ini, DDTCNews akan membahas cara membuat pencatatan sederhana melalui Coretax DJP. Pertama, akses https://coretaxdjp.pajak.go.id/ dan masuk ke akun Coretax DJP Anda. Pencatatan dapat dilakukan melalui menu Surat Pemberitahuan (SPT) dan submenu Pencatatan. Kemudian, untuk menambahkan data transaksi ke dalam catatan, klik tombol Tambah Data. Sistem akan menampilkan halaman “Buat Buku Catatan Sederhana”. Di halaman ini, masukkan nomor transaksi, tanggal transaksi, nama pelanggan (opsional), dan Nomor Induk Berusaha (NITKU) tempat transaksi terjadi.
Jenis SPT Masa PPN Berubah
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengubah jenis Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyusul penerapan Sistem Administrasi Coretax. Perubahan jenis SPT Masa PPN ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan 81/2024 dan diperjelas lebih lanjut melalui Peraturan Direktur Jenderal No. PER-11/PJ/2025 dan Peraturan Direktur Jenderal No. PER-12/PJ/2025. SPT Masa PPN kini terdiri dari empat jenis yaitu SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP); SPT Masa PPN bagi PKP dengan menggunakan pedoman penghitungan kredit pajak masukan; SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN dan pihak lain yang bukan PKP; SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN PMSE. Jenis-jenis SPT Masa PPN ini berbeda dengan peraturan sebelumnya. Sebelumnya, terdapat empat jenis SPT Masa PPN: SPT Masa 1111, SPT Masa 1111 DM, SPT Masa 1107 PUT, dan SPT Masa Unifikasi Instansi Pemerintah (Divisi PPN). Perubahan jenis SPT Masa PPN ini berlaku efektif dengan diberlakukannya Coretax. Artinya, jenis-jenis SPT Masa PPN yang baru akan berlaku efektif mulai masa pajak Januari 2025. PER-11/P/2025 dan PER-12/PJ/2025 juga merinci persyaratan penggunaan dan contoh format untuk setiap jenis SPT Masa PPN Pertama, SPT Masa PPN untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP). SPT Masa PKP digunakan oleh PKP untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan: 1. mengkreditkan pajak masukan dengan pajak keluaran; dan 2. pembayaran atau pelunasan pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak. SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) juga digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang juga merupakan: (i) pemungut PPN; dan/atau (ii) pihak lain yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam daerah pabean (pihak lain yang ditunjuk sebagai pemungut). PKP yang merupakan pemungut PPN dan/atau pihak lain dapat menggunakan SPT Masa PPN bagi PKP untuk melaporkan pemungutan PPN, PPN, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A Undang-Undang PPN (pemungut PPN) dan/atau Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Perpajakan (pihak lain). Pemungut PPN adalah bendahara pemerintah, badan, atau lembaga pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) kepada bendahara pemerintah, badan, atau lembaga pemerintah. Sementara itu, pihak lain adalah pihak yang terlibat langsung dalam atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memotong, memungut, menyetor, dan/atau melaporkan pajak. Mengacu pada Pasal 72 ayat (1) PER-11/PJ/2025, SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) terdiri atas: (i) SPT Masa PPN utama; dan (ii) lampiran SPT Masa PPN. Terdapat enam jenis lampiran dalam SPT Masa PKP, yaitu: 1. Formulir A1 – Daftar Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau Ekspor Jasa Kena Pajak; 2. Formulir A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak; 3. Formulir B1 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor Barang Kena Pajak dan Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean; 4. Formulir B2 – Daftar Pajak Masukan yang […]
Ketentuan Pelaporan SPT Bagi Wajib Pajak UMKM
Setelah membayar pajak, wajib pajak wajib melaporkan pajaknya melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Umumnya, SPT dibagi menjadi dua jenis berdasarkan periode pelaporan: SPT Masa, yang disampaikan setiap masa pajak, dan SPT Tahunan, yang disampaikan pada akhir tahun pajak. Pajak yang dikenakan bagi pelaku UMKM merupakan Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan bersifat final. Pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 (PMK 164/2023) turut dijelaskan bahwa PPh Final dapat dilunasi melalui dua mekanisme yakni disetor sendiri oleh wajib pajak dan/atau melalui pemotong PPh. Penyetoran sendiri wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pasal 7 ayat (5) PMK 164/2023 juga menjelaskan bahwa wajib pajak yang melakukan penyetoran dengan mekanisme penyetoran sendiri dianggap telah menyampaikan SPT Masa sesuai dengan tanggal validasi nomor transaksi penerimaan negara (NTPN) yang tercantum pada Surat Setoran Pajak (SSP). Dengan demikian, untuk PPh UMKM yang disetor sendiri, wajib pajak tidak perlu menyampaikan SPT Masa seperti jenis pajak lainnya dan hanya perlu melakukan pembayaran sesuai batas waktu yang ditentukan, yaitu paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sementara itu, wajib pajak dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa apabila dalam bulan tidak terdapat kewajiban penyetoran PPh yang bersifat final, yang dapat disebabkan karena: wajib pajak tidak memiliki penghasilan dari usaha; wajib pajak hanya melakukan transaksi yang dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh; atau peredaran bruto atas penghasilan dari usaha wajib pajak orang pribadi secara kumulatif sejak masa pajak pertama tahun pajak yang bersangkutan belum melebihi Rp500.000.000. Pada akhir tahun, wajib pajak UMKM memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT Tahunan. SPT Tahunan yang digunakan sama dengan SPT Tahunan sesuai dengan subjek pajak, yakni wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Dalam hal pelaporan SPT Tahunan dilakukan oleh wajib pajak badan, maka pelaporannya menggunakan SPT Form 1771, sedangkan bagi wajib pajak orang pribadi menggunakan SPT Form 1770. Pelaporan SPT Tahunan PPh bagi UMKM wajib dilakukan paling lambat 31 Maret untuk wajib pajak orang pribadi dan 30 April untuk wajib pajak badan.
Indonesia Hadapi Tarif Impor 32 Persen
Presiden AS Donald Trump resmi mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang akan berdampak signifikan terhadap Indonesia. Dalam surat yang dikirim langsung kepada Presiden Prabowo Subianto, Trump mengumumkan bahwa mulai 1 Agustus 2025, semua produk Indonesia yang masuk ke AS akan dikenakan tarif sebesar 32 persen. Langkah ini disebut sebagai upaya untuk memperbaiki defisit perdagangan AS yang selama ini dinilai tidak seimbang. Dalam suratnya, Trump menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan konsekuensi dari tarif, nontarif, dan hambatan perdagangan Indonesia yang dinilai tidak timbal balik. Ia menegaskan bahwa tarif 32 persen tersebut bahkan di bawah tarif ideal untuk menutup kesenjangan perdagangan. “Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap semua produk Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat, terpisah dari tarif sektoral lainnya. Barang yang diangkut dengan tujuan menghindari tarif yang lebih tinggi akan tetap dikenakan tarif yang lebih tinggi,” tulis Trump. Namun, Trump menawarkan pengecualian tarif jika perusahaan Indonesia memutuskan untuk memproduksi langsung di AS. Pemerintah AS dilaporkan siap melonggarkan persyaratan perizinan usaha hanya dalam beberapa minggu sebagai insentif investasi langsung. Trump juga menyatakan bahwa jika Indonesia menaikkan tarifnya sebagai tanggapan, setiap kenaikan akan langsung ditambahkan ke angka 32 persen. Ia memperingatkan bahwa defisit perdagangan yang sedang berlangsung dianggap sebagai ancaman tidak hanya bagi perekonomian tetapi juga bagi keamanan nasional AS. “Harap dipahami bahwa tarif ini diperlukan untuk memperbaiki kebijakan tarif dan nontarif serta hambatan perdagangan dari Indonesia selama bertahun-tahun yang telah menciptakan defisit perdagangan yang tidak berkelanjutan dengan Amerika Serikat,” jelas Trump. Namun, Trump tetap terbuka untuk negosiasi. Ia menyatakan bahwa tarif dapat disesuaikan, baik diturunkan atau dinaikkan, tergantung pada sikap Indonesia di masa mendatang, terutama jika pasar domestik dibuka lebih luas untuk produk dan perusahaan AS yang telah dibatasi. “Tarif ini dapat disesuaikan, baik dinaikkan atau diturunkan, tergantung pada hubungan kita dengan negara Anda,” pungkas Trump. Selain Indonesia, ada 13 negara lain yang masuk dalam daftar penerima surat dan kenaikan tarif. Jepang dan Korea Selatan, dua sekutu dekat AS, sudah dikenai tarif sebesar 25 persen. Thailand dikenai tarif sebesar 36 persen, Malaysia 25 persen, dan Afrika Selatan 30 persen. Negara ASEAN lainnya yang terkena dampak termasuk Kamboja sebesar 36 persen, Laos dan Myanmar masing-masing sebesar 40 persen. Bangladesh dan Serbia dikenai tarif sebesar 35 persen, Kazakhstan dan Tunisia sebesar 25 persen, dan Bosnia dan Herzegovina sebesar 30 persen.
Ketentuan Pemotongan PPh Final UMKM
Berdasarkan ketentuan perpajakan, UMKM dengan omzet tahunan tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dapat menerapkan tarif PPh final sebesar 0,5% atas penghasilan yang diperolehnya. Umumnya, UMKM membayar sendiri PPh final. Namun, ketentuan tersebut memperjelas dan mengatur bahwa wajib pajak yang bertindak sebagai pemotong pajak tetap harus memotong PPh final jika bertransaksi dengan UMKM yang menggunakan PPh final. Merujuk Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 (PMK 164/2023) tentang PPh Final bagi UMKM dilunasi dengan cara: disetor sendiri oleh wajib pajak; atau dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan. Pemotong pajak yang bertindak sebagai pembeli atau pengguna jasa dikenakan potongan PPh sebesar 0,5%. Agar dapat dipotong sebesar 0,5%, UMKM harus menyerahkan surat keterangan kepada pemotong pajak. Surat keterangan tersebut merupakan surat yang menyatakan bahwa wajib pajak memenuhi kriteria sebagai wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022). Dalam pelaksanaan pemotongan PPh Final atas UMKM, pihak pemotong pajak wajib menerbitkan bukti pemotongan dan menyampaikannya kepada wajib pajak yang dipotong. Sejalan dengan mekanisme PPh Potput lainnya, pemotongan PPh Final sebesar 0,5% atas penghasilan dari usaha wajib pajak UMKM menggunakan BPPU (Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi) yang dibuat melalui e-Bupot Unifikasi pada aplikasi Coretax. BPPU dibuat dengan kode objek pajak yang digunakan adalah 28-423-03. Atas pajak yang telah dipotong, sesuai ketentuan Pasal 94 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024, pemotong wajib melakukan penyetoran paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir bersamaan dengan PPh Terpadu lainnya. Setelah itu, pemotongan tersebut wajib dilaporkan pula pada SPT Masa PPh Terpadu. SPT Masa PPh Terpadu wajib dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Pembelian Barang Dengan Cashback, Apakah Perlu Menerbitkan Faktur Pajak?
Cashback berupa uang atas pembelian barang tidak dikenakan PPN sehingga tidak perlu menerbitkan faktur pajak. Ttidak ada kewajiban penerbitan faktur pajak atas penyerahan cashback, baik dari pihak pembeli maupun penjual. Apabila cashback ini diberikan dalam bentuk hadiah berupa uang dan/atau pengurangan kewajiban oleh penjual kepada pembeli, maka tidak dikenakan PPN dan penjual tidak perlu menerbitkan faktur pajak. Pendapatan cashback dikenakan Pajak Penghasilan jika cashback yang diberikan kepada pembeli memenuhi persyaratan tertentu, sehingga dikategorikan sebagai penghargaan. Persyaratan ini mencakup pemenuhan persyaratan tertentu, penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu, atau penerimaan kompensasi sehubungan dengan transaksi penjualan. Jika demikian (persyaratan tertentu terpenuhi), pendapatan cashback dianggap sebagai penghargaan dan dikenakan Pajak Penghasilan. Jika penerima penghargaan adalah wajib pajak orang pribadi dalam negeri, maka akan dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2018, syarat-syarat tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli adalah keadaan atau peristiwa yang dapat mengakibatkan timbulnya ganti rugi dari penjual kepada pembeli sehubungan dengan transaksi jual beli tersebut berdasarkan perjanjian tertulis dan/atau tidak tertulis. Syarat-syarat tersebut antara lain memenuhi persyaratan tertentu; menyediakan tempat dan/atau perlengkapan tertentu; atau memperoleh ganti rugi sehubungan dengan transaksi jual beli tersebut.
Ketentuan Untuk Faktur Pajak Pedagang Eceran
Pedagang eceran merupakan pelaku usaha yang dalam kegiatan usahanya menyalurkan barang/jasa kepada konsumen akhir. Konsumen akhir yang dimaksud adalah pembeli yang secara langsung mengonsumsi/memanfaatkan barang/jasa tersebut. Selain itu, konsumen dianggap sebagai konsumen akhir apabila tidak memanfaatkan barang tersebut untuk kegiatan usahanya. Melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER 11/2025), ditegaskan bahwa pedagang eceran tidak ditetapkan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU). Setiap KLU dapat dikategorikan sebagai pedagang eceran, sepanjang memenuhi kriteria yang telah disebutkan sebelumnya. PKP dengan ciri pedagang eceran dapat membuat faktur pajak yang berbeda dengan ketentuan faktur pajak pada umumnya. PKP pedagang eceran dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli dan nama serta tanda tangan penjual. Berdasarkan Pasal 52 ayat (2) PER 11/2025, faktur pajak pedagang eceran atau yang juga dikenal dengan ‘faktur pajak digunggung’ paling sedikit memuat informasi tentang: nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan BKP/JKP; jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; PPN/PPnBM yang dipungut; dan kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak. Faktur pajak yang diterbitkan oleh pengecer dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Jika terjadi kekeliruan, penggantian atau pembetulan faktur pajak dilakukan sesuai dengan kebiasaan usaha pedagang eceran. Terdapat penyerahan BKP dan/atau JKP yang tidak boleh menggunakan faktur pajak pedagang eceran. Jenis BKP dan JKP tersebut adalah sebagai berikut: angkutan darat berupa kendaraan bermotor; angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht, angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara; tanah dan/atau bangunan; senjata api dan/atau peluru senjata api; jasa penyewaan angkutan darat berupa kendaraan bermotor; jasa penyewaan angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht; jasa penyewaan angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara; dan jasa penyewaan tanah dan/atau bangunan.
DJP Luncurkan Aplikasi Genta Untuk Mengunduh Data Faktur Pajak dan Bukti Potong
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi meluncurkan aplikasi bernama Generate Data Coretax (Genta). Melalui aplikasi Genta, wajib pajak dapat meminta data dari hasil pemrosesan aplikasi sistem administrasi coretax. Aplikasi ini hanya dapat diakses oleh wajib pajak yang telah memiliki EFIN dan terdaftar sebagai pengguna DJP Online. Data terbaru dapat diakses H+1 setelah mengajukan permintaan data. Pengajuan permohonan dapat dilakukan mulai pukul 08.00 WIB. Wajib pajak dapat mengunduh data dokumen pajak dengan memasukkan jenis dokumen, masa, dan tahun pajak sesuai kebutuhan. Aplikasi Genta dikembangkan untuk memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam meminta dan mengunduh data faktur pajak serta bukti potong PPh Pasal 21/26. Secara rinci, dokumen pajak yang dapat diminta dan diunduh melalui aplikasi Genta antara lain faktur pajak keluaran pengembalian, faktur pajak masukan pengembalian, faktur pajak keluaran, faktur pajak masukan, bukti potong PPh Pasal 21, dan bukti potong PPh Pasal 26. Kemudian, aplikasi Genta juga dapat membantu mengunduh data dokumen bukti potong bulanan, bukti potong formulir 1721 A1, dan bukti potong formulir 1721-A2.
Sepakati Perluas Peluang Kerja Sama Pertukaran Data Dirjen Pajak dan Dubes Tiongkok
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menggelar pertemuan dengan Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok/RRT (Tiongkok) Wang Lutong, di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta Selatan. Dalam pertemuan ini, keduanya sepakat untuk memperluas peluang kerja sama pertukaran data guna mengoptimalkan penerimaan pajak. Bimo menyampaikan, pertemuan ini menjadi langkah penting DJP untuk menjalin komunikasi yang lebih intensif dengan Tiongkok—sebagai salah satu mitra penting Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan jumlah investor Tiongkok di Indonesia yang terus meningkat. Mengutip data Kementerian Penanaman Modal dan Badan Koordinasi Hilir Penanaman Modal (BKPM), Tiongkok menempati peringkat kedua sebagai negara dengan realisasi investasi terbesar di Indonesia sebesar 2 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada 2024. “Saya harapkan mereka adalah Wajib Pajak yang patuh. Kepatuhan Wajib Pajak dari Tiongkok diharapkan dapat mengarahkan kepatuhan perpajakan dari Wajib Pajak lainnya,” ujarnya dalam keterangan tertulis. Ia mengungkapkan, saat ini DJP tengah menjalankan Program Reformasi Perpajakan Jilid III untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Salah satunya dengan menerapkan Coretax. Sistem ini mengintegrasikan seluruh proses bisnis perpajakan agar lebih efektif dan efisien, baik bagi Wajib Pajak maupun pegawai DJP. “DJP ingin memperluas kapasitas, termasuk memperluas basis pajak yang akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak. DJP menerima banyak data dan berharap data tersebut dapat bermanfaat bagi kepentingan penerimaan pajak,” kata Bimo. Wang Lutong menyampaikan hal senada. Ia mengapresiasi sambutan hangat dari seluruh jajaran DJP, dan berharap dapat kembali menggelar pertemuan di forum lain. Pertemuan yang sedang berlangsung ini diharapkan dapat mempererat komunikasi dan meningkatkan kerja sama antara Tiongkok dan DJP. Wang Lutong berpandangan bahwa Indonesia menghadapi banyak tantangan dalam menghimpun penerimaan pajak, seperti demografi yang luas dan jumlah penduduk yang besar. Tantangan tersebut sejatinya serupa dengan yang dihadapi Tiongkok. Oleh karena itu, Wang Lutong sepakat untuk meningkatkan peluang yang lebih besar dalam hal pertukaran data antara Tiongkok dan DJP. Secara singkat, Indonesia melakukan pertukaran data dengan negara/yurisdiksi mitra melalui skema Automatic Exchange of Information (AEoI). Direktorat Perpajakan Internasional DJP menjelaskan bahwa tujuan AEoI adalah untuk meningkatkan transparansi perpajakan dan memerangi penghindaran pajak. Indonesia menerapkan AEoI setelah pemerintah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) on Automatic Exchange of Financial Account Information pada 3 Juni 2015. Setelah itu, diterbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2017 s.t.d.t.d PMK Nomor 19 Tahun 2018. Payung hukum tersebut memungkinkan Indonesia dan otoritas pajak negara peserta untuk melakukan pertukaran informasi keuangan Wajib Pajak secara berkala dan sistematis. Informasi yang dipertukarkan terkait dengan jenis penghasilan, meliputi dividen, bunga, royalti, gaji, dan dana pensiun; serta informasi lainnya seperti perubahan tempat tinggal, kepemilikan properti tidak bergerak, dan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN).