Payung hukum perpanjangan insentif PPh Final 0,5% untuk UMKM masih belum juga terbit. Ini menimbulkan ketidakpastian soal berapa tarif pajak yang harus dibayar UMKM di 2025, mengingat insentif tersebut telah berakhir per Desember 2024. Sampai saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan masih menggondok regulasi terkait perpanjangan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM sebesar 0,5% di tahun 2025. “Regulasi mengenai perpanjangan instentif PPh Final 0,5% masih dalam pembahasan internal Kementerian Keuangan,” ungkap Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kepada Kontan, Selasa (18/3). Di sisi lain, seiring dengan penantian terbitnya regulasi tersebut, aturan yang berlaku adalah berdasarkan PP 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PPh), dimana Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yakni Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto hingga Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan PPh Final sebesar 0,5%. “Lebih lanjut, berdasarkan pasal 60 ayat (2) PP 55 Tahun 2022 penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 500 juta per tahun tidak dikenai PPh,” ungkapnya kepada Kontan. Dengan demikian, sebelum kebijakan perpanjangan ini diterbitkan, Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM yang terdaftar di atas tahun 2018, masih bisa menggunakan fasilitas tarif PPh Final 0,5% di tahun 2025. Setidaknya ada sekitar 1,23 juta WP UMKM yang membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum UU Pajak Penghasilan dengan menggunakan tarif normal. Tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% hanya digunakan wajib pajak orang pribadi atau badan di dalam negeri yang memiliki peredaran bruto dari usaha tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/regulasi-pph-final-umkm-belum-rampung-begini-nasib-wajib-pajak-umkm-di-2025
Global Minimum Tax: Dampak pada Insentif Fiskal dan Strategi
Dampak Global Minimum Tax (GMT) makin terasa di tengah maraknya praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Dalam kerangka Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 Pilar II, GMT mewajibkan perusahaan membayar pajak minimum 15% jika pendapatan konsolidasian mereka melebihi ambang tertentu. Tujuannya adalah memastikan agar pengalihan keuntungan ke yurisdiksi berpajak rendah tidak lagi memberi dampak signifikan dalam menekan kewajiban pajak. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136 Tahun 2024, Indonesia mengadopsi ketentuan GMT bagi perusahaan multinasional yang pendapatan tahunannya melampaui EUR 750 juta dalam dua dari empat tahun fiskal sebelum tahun fiskal yang diuji. Kebijakan ini secara langsung memengaruhi struktur dan efektivitas berbagai insentif fiskal yang selama ini dijadikan alat untuk menarik investasi. Dampak Global Minimum Tax (GMT) akan dirasakan berbeda oleh perusahaan yang terkena ketentuan tersebut dan yang tidak. Bagi perusahaan yang pendapatannya belum mencapai kriteria, akses insentif fiskal tradisional seperti tax holiday atau tax allowance masih relatif leluasa. Perusahaan-perusahaan ini bisa memanfaatkan tarif pajak yang lebih rendah atau keringanan berbasis laba tanpa kekhawatiran wajib memenuhi pajak minimum 15 persen. Sebaliknya, bagi perusahaan yang sudah memenuhi kriteria GMT, insentif berbasis penurunan tarif pajak penghasilan menjadi kurang efektif karena pada akhirnya perusahaan harus menutupi selisih hingga mencapai ambang 15 persen. Hal ini memicu perlunya peninjauan ulang strategi perpajakan, terutama dalam memilih insentif yang tidak berpengaruh terhadap effective tax rate secara langsung. Meskipun penerapan GMT membatasi beberapa insentif pajak berbasis pendapatan, sejumlah fasilitas fiskal lainnya tetap dapat dimanfaatkan oleh perusahaan yang terkena dampak GMT. Fasilitas non-pendapatan seperti pembebasan bea masuk, fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor, dan Zona Ekonomi Khusus (Bonded Zone) tetap menjadi alat yang efektif untuk mengurangi beban pajak. Fasilitas seperti ini membantu mengurangi biaya operasional tanpa membuat effective tax rate jatuh di bawah 15 persen. Fasilitas-fasilitas ini tidak dipengaruhi oleh ketentuan GMT dan masih dapat digunakan oleh perusahaan untuk mendukung investasi serta mengoptimalkan biaya operasional mereka. Sumber: https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/global-minimum-tax-dampak-pada-insentif-fiskal-dan-strategi/
WP Nyaman Pakai e-Faktur, DJP Buka Opsi untuk Lanjutkan Penggunaannya
Ditjen Pajak (DJP) membuka opsi untuk terus membuka e-faktur sebagai sarana bagi pengusaha kena pajak (PKP) untuk membuat faktur pajak. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi mengatakan keberlanjutan dari penggunaan e-faktur sebagai aplikasi untuk membuat faktur pajak akan ditentukan setelah dilakukannya evaluasi. Berkat dibuka kembalinya e-faktur, Iwan mengatakan total faktur pajak yang diterbitkan pada Februari 2025 sudah lebih banyak bila dibandingkan dengan faktur pajak yang terbit pada Februari 2024. Iwan mengatakan e-faktur diputuskan untuk dibuka kembali oleh DJP sebagai channel bagi PKP untuk membuat faktur pajak dan mengunggahnya melalui coretax administration system. Dengan demikian, e-faktur sesungguhnya bukanlah aplikasi yang terpisah dari coretax. Sebagai informasi, DJP resmi membuka kembali e-faktur sebagai channel bagi PKP untuk membuat faktur pajak terhitung sejak 12 Februari 2025 berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP54/PJ/2025 tentang Penetapan PKP Tertentu. Melalui keputusan tersebut, mayoritas PKP ditetapkan sebagai PKP tertentu yang diperbolehkan untuk membuat faktur pajak menggunakan e-faktur desktop dan e-faktur host-to-host. PKP yang tidak bisa membuat faktur pajak menggunakan aplikasi e-faktur adalah PKP yang dikukuhkan setelah 1 Januari 2025 dan PKP yang menjadikan cabang sebagai tempat pemusatan.
Tantangan dan Peluang dalam Industri Nikel: Perspektif Pajak
Pendahuluan Indonesia memiliki sumber daya mineral yang melimpah dan tersebar di berbagai wilayah kepulauan, memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara melalui pajak dan royalti. Berdasarkan data United States Geological Survey (USGS), Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 800 ribu ton dari total produksi global 2,67 juta ton, melampaui Filipina, Rusia, dan Kaledonia Baru. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2020 mencatat bahwa cadangan nikel Indonesia mencapai 2,6 miliar ton dengan perkiraan umur cadangan 27 tahun. Sementara itu, hasil pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020 menunjukkan potensi bijih nikel sebesar 11,887 juta ton, cadangan bijih nikel 4,346 juta ton, serta total potensi dan cadangan logam masing-masing 174 juta ton dan 68 juta ton. Data ini mengonfirmasi bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam industri nikel yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung perekonomian melalui ekspor, investasi, dan pengembangan industri hilir, menjadikannya peluang strategis bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Industri nikel berperan penting dalam ekonomi dan keberlanjutan global, dengan permintaan yang terus meningkat berkat penggunaannya dalam baja tahan karat, baterai kendaraan listrik, dan energi terbarukan. Perkembangan signifikan industri ini sejalan dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan produk ramah lingkungan. Pajak juga memegang peran krusial, memungkinkan pemerintah membiayai infrastruktur dan layanan publik, sementara bagi perusahaan nikel, pemahaman dan kepatuhan terhadap regulasi perpajakan menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan bisnis dan tanggung jawab fiskal. Tantangan dalam Industri Nikel: Perspektif Pajak Menurut Gupta (2022), industri nikel di Indonesia menghadapi berbagai tantangan seperti prosedur perizinan yang tidak efisien, meningkatnya kebutuhan energi, dan isu lingkungan seperti pencemaran air. Operasional pabrik pengolahan nikel yang diperkirakan membutuhkan 4,8 megawatt listrik per tahun juga bertentangan dengan komitmen pengurangan emisi karbon. Selain itu, larangan ekspor nikel berpotensi memicu keluhan dari Uni Eropa ke WTO, yang dapat menghambat perdagangan Indonesia dan akses ke pasar ekspor global, terutama menjelang peran Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20. Larangan ekspor juga berisiko menurunkan daya tarik Indonesia sebagai pusat produksi baterai serta melewatkan peluang keuntungan dari lonjakan harga nikel akibat konflik Rusia-Ukraina. Pemerintah belum memiliki bukti kuat untuk menunjukkan efektivitas kebijakan ini, sementara potensi kehilangan pendapatan pajak, kemungkinan tindakan balasan perdagangan, serta penurunan pendapatan penambang akibat harga jual domestik yang lebih rendah menjadi tantangan besar dalam menghitung nilai tambah dari kebijakan tersebut. Mengutip penjelasan dari Nikel.co.id (2021), terdapat beberapa tantangan utama yang menjadi hambatan signifikan dalam investasi pengembangan produk nikel di Indonesia, antara lain: Nilai investasi untuk pabrik pengolahan nikel cukup tinggi. Untuk mengolah nikel dengan input 1 juta WMT bijih per tahun menggunakan teknologi RKEF, dibutuhkan biaya Capex sekitar USD 100 – 150 juta. Investasi dalam proses hidrometalurgi tergolong mahal. Biayanya melebihi USD 3,5 miliar, serta memerlukan studi teknis dan ekonomi yang sangat mendetail sebelum dapat direalisasikan. Pabrik pengolahan umumnya menggunakan teknologi peleburan dengan input nikel saprolit. Sementara itu, pabrik hidrometalurgi yang menggunakan bijih limonit belum banyak dikembangkan, sehingga nikel limonit belum dimanfaatkan secara optimal. Industri nikel dan kobalt di Indonesia belum mencapai kapasitas penuh. Hampir semua produk nikel yang telah diolah masih diekspor dalam bentuk bahan baku untuk industri vital dan strategis […]
DJP Klaim “Core Tax” Telah Administrasikan 542 Ribu SPT Masa, Sudah Membaik?
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengklaim bahwa sistem core tax telah mengalami peningkatan kinerja yang signifikan. Hingga 16 Maret 2025 pukul 03.04 WIB, sistem ini telah berhasil mengadministrasikan 542.852 Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21/26 serta 273.078 SPT Masa PPh Unifikasi. Capaian ini menjadi indikator positif atas stabilitas core tax, setelah sebelumnya sistem ini sempat mengalami kendala teknis pada awal implementasinya. Peningkatan kinerja terlihat dalam berbagai aspek, mulai dari proses login, registrasi, hingga pelaporan SPT yang kini semakin cepat dan efisien. SPT Masa dan Bukti Potong yang Telah Diproses Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, menyampaikan bahwa dari total 542.852 SPT Masa PPh Pasal 21/26, sebanyak 333.334 laporan berasal dari masa pajak Januari, sementara 209.518 laporan berasal dari masa pajak Februari. Sementara itu, SPT Masa PPh Unifikasi yang telah diproses mencapai 159.774 untuk masa Januari dan 113.304 untuk masa Februari. Selain itu, sistem core tax juga telah mengadministrasikan 44.135.107 bukti potong untuk masa pajak Januari, Februari, dan Maret 2025. Dari total 44.135.107 bukti potong yang telah diproses oleh core tax hingga 16 Maret 2025, sebanyak 24.631.684 bukti potong berasal dari masa pajak Januari. Sementara itu, untuk masa pajak Februari, jumlah bukti potong yang telah teradministrasikan mencapai 18.792.923. Adapun untuk masa pajak Maret, sistem telah mencatat sebanyak 710.500 bukti potong. Peningkatan Kinerja “Core Tax” Berdasarkan hasil evaluasi dan pemantauan DJP, sistem core tax telah mengalami peningkatan performa yang signifikan, terutama dalam hal latensi atau waktu tunggu di berbagai layanan utama. Dibandingkan dengan periode awal Februari 2025, latensi login mengalami penurunan drastis dari 4,1 detik menjadi hanya 0,012 detik atau 12 milidetik. Proses registrasi juga menjadi lebih cepat, dengan latensi yang berkurang dari 5,8 detik menjadi 0,045 detik atau 45 milidetik. Selain itu, penerbitan faktur pajak yang sebelumnya membutuhkan waktu 10 detik kini hanya memerlukan 1,46 detik. Peningkatan juga terlihat pada pelaporan SPT yang kini bisa dilakukan dalam 3,93 detik, jauh lebih cepat dibandingkan 29,28 detik di awal Februari. Sementara itu, latensi pembuatan bukti potong turun signifikan dari 16,6 detik menjadi hanya 0,29 detik. Peningkatan ini menunjukkan bahwa sistem core tax semakin optimal dalam mendukung administrasi perpajakan secara digital, memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya. Dwi mengimbau agar Wajib Pajak terus mengikuti pengumuman resmi yang dikeluarkan DJP terkait penggunaan core tax. “Kami mengimbau kepada Wajib Pajak agar terus mengikuti pengumuman resmi yang dikeluarkan DJP. Beberapa guidance atau panduan terkait langkah-langkah penggunaan aplikasi Coretax DJP dapat diakses pada laman landas DJP dengan tautan https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/,” jelas Dwi dalam keterangan resminya, dikutip Pajak.com pada Rabu (19/3/2025). Apabila Wajib Pajak mengalami kendala dalam penggunaan sistem ini, DJP menyediakan layanan bantuan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat atau Kring Pajak 1500 200. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/djp-klaim-core-tax-telah-administrasikan-542-ribu-spt-masa-sudah-membaik/
Simak! Ini Investasi yang Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan
Batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi masa pajak 2024 orang pribadi semakin dekat (31 Maret 2025). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan, terdapat beberapa instrumen investasi yang wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi tersebut. “Dapat kami sampaikan investasi yang dilaporkan di dalam SPT tahunan terdapat dalam Lampiran II PER-36/PJ/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-34/Pj/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti kepada Pajak.com, (17/3). Investasi yang Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan Dwi memerinci investasi yang wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi adalah sebagai berikut: Saham yang dibeli untuk dijual kembali; Saham; Obligasi perusahaan; Obligasi Pemerintah Indonesia, seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI), surat berharga syariah negara, dan lain sebagainya. Surat utang lainnya; Reksa dana; Instrumen derivatif, seperti right, waran, kontrak berjangka, opsi, dan lain sebagainya. Penyertaan modal dalam perusahaan lain yang tidak atas saham, meliputi penyertaan modal pada commanditaire vennootschap (CV), firma, dan sejenisnya; dan Investasi lainnya. Dwi juga mengingatkan bahwa keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi akan dikenakan denda sebesar Rp100 ribu. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sementara, Wajib Pajak badan yang terlambat melaporkan SPT Tahunan PPh dapat dikenakan sanksi sebesar Rp1 juta. “Mendekati batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2024, kami mengimbau kepada seluruh masyarakat Wajib Pajak untuk segera melaporkan SPT tahunannya melalui kanal djponline.pajak.go.id. Karena lapor lebih awal, lebih nyaman,” ajaknya. Di sisi lain, DJP memastikan kapasitas server DJPOnline tetap aman dan terjaga untuk kenyamanan pelaporan SPT tahunan. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/simak-ini-investasi-yang-wajib-dilaporkan-di-spt-tahunan/
WP UMKM Belum Bisa Mengajukan Suket karena PP 55/2022 Belum Direvisi
Belum direvisinya Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 guna memperpanjang masa berlaku PPh final UMKM bagi wajib pajak orang pribadi turut berdampak terhadap wajib pajak yang membutuhkan surat keterangan (suket) PP 55. Karena revisi PP 55/2022 untuk memperpanjang masa berlaku PPh final UMKM bagi wajib pajak orang pribadi selama 1 tahun pajak masih belum terbit, DJP belum bisa menerbitkan suket PP 55 bagi wajib pajak dimaksud. Sebagaimana yang sebelumnya dijanjikan oleh pemerintah, perpanjangan masa berlaku PPh final UMKM selama setahun akan diberlakukan bagi wajib pajak orang pribadi yang sudah memanfaatkan skema ini selama 7 tahun pajak, yakni 2018 hingga 2024. Dengan demikian, bila misalnya ada wajib pajak orang pribadi UMKM yang baru memanfaatkan skema PPh final selama 2 tahun, wajib pajak dimaksud masih berkesempatan untuk memanfaatkan skema PPh final UMKM hingga 5 tahun ke depan. Adapun yang dimaksud dengan suket PP 55 adalah surat yang menerangkan bahwa wajib pajak memenuhi kriteria sebagai wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yakni maksimal Rp4,8 miliar sesuai dengan PP 55/2022. Suket PP 55 diperlukan agar wajib pajak UMKM dikenai pemotongan PPh sebesar 0,5% bersifat final ketika bertransaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh. Bila wajib pajak UMKM tidak menunjukkan suket PP 55, penghasilan yang diterima wajib pajak UMKM dari penjualan kepada pemotong akan dipotong PPh selain PPh final UMKM 0,5%.
Diinvestasikan di Emas, Dividen WP Orang Pribadi Bisa Bebas Pajak
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak orang pribadi yang ingin memperoleh pembebasan pajak atas dividen dapat menginvestasikan dividen yang diterimanya tersebut pada logam mulia berbentuk emas batangan atau lantakan. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 35 ayat (2) huruf e Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 18/2021. Adapun logam mulia yang dimaksud merupakan emas batangan atau lantakan dengan kadar kemurnian 99,99%. “Emas batangan atau lantakan merupakan emas yang diproduksi di Indonesia, dan mendapatkan akreditasi dan sertifikat dari SNI dan/atau London Bullion Market Association (LBMA),” bunyi Pasal 35 ayat (7) PMK 18/2021, dikutip pada Minggu (16/3/2025). Merujuk pada Pasal 15 ayat (1) PMK 18/2021, dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan di wilayah Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Jika dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Indonesia kurang dari jumlah dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri maka dividen yang diinvestasikan dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan. Sementara itu, selisih dari dividen yang diterima atau diperoleh dikurangi dengan dividen yang diinvestasikan tersebut dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dividen yang berasal dari luar negeri dikecualikan dari objek PPh dengan syarat harus diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1809424/diinvestasikan-di-emas-dividen-wp-orang-pribadi-bisa-bebas-pajak
WP Harus Tahu! Penerapan Pertukaran Informasi Perpajakan di Indonesia
Sebagai bagian dari komitmen global dalam meningkatkan transparansi perpajakan, Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hukum yang memungkinkan pelaksanaan pertukaran informasi di bidang pajak. Implementasi pertukaran informasi ini dilakukan melalui perjanjian internasional, regulasi domestik, serta berbagai kebijakan teknis untuk memastikan kepatuhan terhadap standar internasional. Berikut aspek-aspek utama dalam pelaksanaan pertukaran informasi perpajakan di Indonesia. Pertama, Pemberlakuan Perjanjian Internasional terkait dengan Pertukaran Informasi di Bidang Pajak ke dalam Ketentuan Domestik Indonesia. Indonesia telah menandatangani berbagai perjanjian internasional untuk mendukung pertukaran informasi di bidang pajak. Beberapa instrumen utama yang digunakan antara lain Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (CMAAT), dan Tax Information Exchange Agreement (TIEA). Ketentuan domestik yang menjadi payung hukum untuk pemberlakuan perjanjian tersebut ialah Pasal 32A UU PPh, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah membuat perjanjian internasional dalam berbagai aspek perpajakan, termasuk pertukaran informasi perpajakan. Selain itu, Pasal 9 ayat (1) UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur bahwa pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian tersebut. Dengan demikian, perjanjian perpajakan yang telah ditandatangani dapat diintegrasikan ke dalam regulasi domestik memungkinkan adanya akses dan pertukaran informasi perpajakan yang lebih luas. Kedua, Dasar Hukum Akses Informasi di Indonesia. Akses otoritas pajak terhadap informasi keuangan wajib pajak di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, salah satu regulasi yang menjadi rujukan adalah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pasal 35 ayat (1) UU KUP memberikan kewenangan kepada DJP meminta informasi dari lembaga keuangan dan pihak lain yang relevan. Selain itu, akses informasi juga diperkuat melalui UU Akses Informasi Keuangan yang mengatur mekanisme pelaporan informasi keuangan oleh lembaga keuangan kepada otoritas pajak. Regulasi tersebut memungkinkan DJP untuk memperoleh data terkait dengan rekening keuangan wajib pajak, baik untuk kepentingan domestik maupun untuk keperluan pertukaran informasi dengan Ketiga, Pertukaran Informasi dalam berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 39/2017. Beleid ini merupakan salah satu regulasi kunci dalam penerapan pertukaran informasi di Indonesia. Adapun PMK itu telah direvisi dengan PMK 47/2024. Rangkaian PMK tersebut mengatur mekanisme pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange ofm Information/AEOI), yang mencakup berbagai aspek perpajakan, seperti informasi terkait dengan pemotongan pajak, laporan per negara (Country-by-Country Report/CbCR), serta informasi keuangan nasabah asing. PMK 39/2017 menetapkan pertukaran informasi tetap akan dilakukan meskipun wajib pajak sedang dalam proses pemeriksaan, penagihan, atau upaya hukum lainnya. Selain itu, regulasi tersebut memperkenalkan konsep competent authority meetings dan simultaneous tax examinations yang memungkinkan kerja sama antara otoritas pajak Indonesia dengan negara mitra dalam proses pengumpulan dan pertukaran informasi. Keempat, Akses Informasi Keuangan dalam PMK 70/2017 s.t.d.t.d. PMK 47/2024. PMK 70/2017 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK 47/2024. Regulasi ini secara khusus mengatur akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Peraturan tersebut memberikan kewenangan kepada dirjen pajak untuk memperoleh akses informasi keuangan dari lembaga jasa keuangan (LJK), LJK lainnya, serta entitas lain yang memiliki kewajiban pelaporan. Informasi yang dapat diakses mencakup laporan keuangan nasabah, yang harus disusun berdasarkan standar Common Reporting Standard (CRS). Laporan ini mencakup data saldo rekening, pendapatan dari investasi, serta informasi transaksi lainnya yang relevan dengan kepentingan […]
Penting! Cara Proteksi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak di Era “Core Tax”
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum lama ini mengumumkan pembaruan penerbitan Surat Teguran secara otomatis dalam core tax. Otomasi tersebut sesuai dengan tujuan core tax sebagai sistem yang mempermudah sekaligus memperkuat pengawasan kepatuhan perpajakan. Untuk itu, Senior Manager Divisi Corporate Provisio Consulting Wini Novita menyarankan Wajib Pajak untuk menyiapkan proteksi dalam meminimalisasi risiko pengawasan melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) atau “Surat Cinta” dan pemeriksaan pajak di era core tax. Peluncuran core tax oleh Presiden Prabowo Subianto pada 31 Desember 2024 lalu menandai babak baru Reformasi Perpajakan Indonesia. Kemudian, pemerintah menyempurnakan regulasi penyesuaian implementasi core tax melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Dalam wawancara eksklusif dengan Pajak.com, Wini menyoroti implikasi penerapan core tax yang bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, core tax dapat menghadirkan simplifikasi bagi Wajib Pajak menunaikan administrasi perpajakan. Di sisi lain, core tax diandalkan mampu meningkatkan transparansi sebagai upaya pengawasan dari DJP. Pasalnya, core tax dapat memantau pelaporan pajak secara lebih real-time dan mendeteksi potensi ketidaksesuaian pelaporan pajak dari Wajib Pajak. Dengan begitu, Wajib Pajak harus lebih teliti dalam memastikan bahwa data yang dilaporkan adalah benar dan lengkap. “Pemerintah dapat memantau proses pelaporan dan pembayaran pajak, yang berarti kepatuhan kewajiban pajak masing-masing Wajib Pajak akan lebih diawasi. Pengelolaan data dan rekonsiliasi, karena sistem core tax akan mengintegrasikan data transaksi Wajib Pajak secara real-time, seperti data invoice, faktur pajak, pembayaran, dan laporan pajak. Wajib Pajak harus menyampaikan data-data tersebut dengan akurat dan lengkap untuk memastikan kelancaran pelaporan,” jelasnya, di Kantor Provisio Consulting, Jalan Widya Chandra X Nomor 7, Senayan, Jakarta, dikutip Pajak.com (17/3). Pengawasan pajak yang lebih ketat ini memberi peluang bagi Wajib Pajak untuk lebih cepat mengetahui dan memperbaiki kesalahan dalam menghitung, membayar, hingga melaporkan pajaknya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa. Urgensi “Core Tax” Wini mengingatkan kembali kompleksitas administrasi perpajakan selama ini—sebelum core tax berlaku—mulai dari beragamnya jenis pajak dan tarif, baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); perubahan regulasi di setiap jenis pajak; kerumitan pelaporan SPT Tahunan PPh, SPT Masa, pembuatan e-Faktur untuk PPN; hingga proses pembayaran pajaknya melalui aplikasi e-Billing. Alhasil, pembayaran pajak yang tidak tepat waktu mengakibatkan timbulnya risiko denda atau bunga. “Diharapkan core tax efektif dalam meningkatkan efisiensi administrasi bagi Wajib Pajak, mengurangi beban administratif, dan membantu meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan memanfaatkan teknologi yang terintegrasi, proses perhitungan, pelaporan, dan pembayaran pajak menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih transparan, yang dapat meningkatkan efisiensi operasional bisnis. Namun, untuk memastikan manfaat maksimal, diperlukan adaptasi yang baik dari Wajib Pajak, pelatihan yang memadai, dan dukungan infrastruktur yang cukup,” ujarnya. Berdasarkan pengalaman Wini mendampingi Wajib Pajak selama sekitar 15 tahun, tantangan Wajib Pajak selama ini berlanjut pada proses pengembalian pajak (restitusi). Menurutnya, proses pemeriksaan atas pengajuan restitusi oleh DJP kerap memerlukan waktu yang lama dan rumit. Sementara ada pula aturan yang sangat ketat terkait dokumen yang harus disertakan, seperti bukti pembayaran dan laporan pendukung. “Pemeriksaan pajak oleh DJP juga memerlukan waktu yang lama, dan dalam beberapa kasus, Wajib Pajak harus melalui tahapan pemeriksaan yang membingungkan, dengan kemungkinan adanya klarifikasi dan komunikasi berulang-ulang yang menghambat proses pengembalian pajak,” ungkap […]