Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merinci jenis Surat Pemberitahuan Masa PPN yang digunakan oleh pelaku usaha yang menyelenggarakan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Rinciannya tercantum dalam Perdirjen Pajak No.PER-12/PJ/2025. Kebijakan yang berlaku mulai 22 Mei 2025 itu menegaskan pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pihak lain wajib melaporkan PPN yang telah dipungut dan disetor. Pelaporan tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN. “Pihak lain… wajib melaporkan PPN yang telah dipungut… dan disetor,… paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN, sesuai PER-12/PJ/2025 bunyi Pasal 13 ayat (1). Terdapat 3 jenis SPT Masa PPN yang digunakan oleh pelaku usaha PMSE sebagai pihak lain. Pertama, SPT Masa PPN bagi pengusaha kena pajak (PKP). Jenis SPT Masa PPN bagi PKP ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE dalam negeri yang merupakan PKP dan ditunjuk sebagai pihak lain. Kedua, SPT Masa PPN bagi pemungut PPN dan pihak lain yang bukan PKP. Jenis SPT Masa PPN ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE dalam negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain, tetapi bukan PKP. Ketiga, SPT Masa PPN bagi pemungut PPN PMSE. Jenis SPT Masa PPN ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain. Khusus bagi pelaku usaha PMSE luar negeri, SPT Masa PPN-nya dapat menggunakan Bahasa Indonesia dan/atau Bahasa Inggris. Adapun kewajiban pelaporan SPT Masa PPN tetap berlaku meski tidak terdapat pemungutan dan penyetoran PPN dalam suatu masa pajak. Seiring dengan berlakunya coretax, pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pihak lain harus melaporkan SPT Masa PPN tersebut via coretax. Selain berisi data-data yang diwajibkan, SPT Masa PPN tersebut harus memuat 4 data. Pertama, jumlah pemanfaat barang dan/atau pemanfaat jasa. Kedua, jumlah pembayaran transaksi, tidak termasuk PPN yang dipungut. Ketiga, jumlah PPN yang dipungut. Keempat, rincian transaksi PPN yang dipungut.
Orang Pribadi Akan Otomatis Punya NITKU, Setelah Terdaftar Sebagai Wajib Pajak
Contact Center Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak menyatakan seseorang yang telah terdaftar sebagai wajib pajak akan otomatis memiliki Nomor Induk Kependudukan (NITKU) NITKU merupakan nomor identitas yang diberikan kepada setiap tempat kegiatan usaha wajib pajak, termasuk tempat tinggal atau domisili wajib pajak. Ketentuan terkait NITKU juga diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-7/PJ/2025. Wajib pajak dapat mengecek NITKU secara mandiri melalui akun DJP Coretax masing-masing. NITKU dapat dicek dengan menekan menu Portal Saya, lalu klik menu Lokasi Kegiatan Usaha. Selain NITKU, Anda juga dapat melihat nama, alamat, dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 33 PER-7/PJ/2025, wajib pajak memerlukan NITKU untuk keperluan administrasi perpajakan terkait 6 hal. Pertama, mengidentifikasi lokasi tempat masing-masing pegawai bekerja dalam pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21. Kedua, memberikan akses kepada pengurus, pegawai di kantor cabang, atau pegawai di subunit organisasi wajib pajak untuk dapat membuat atau menandatangani bukti pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) dan faktur pajak. Ketiga, mengidentifikasi lokasi tempat tinggal, tempat kedudukan, dan cabang tempat kegiatan usaha wajib pajak orang pribadi tertentu (OPPT) dan wajib pajak badan yang dikenai PPh final untuk melaporkan peredaran usaha di setiap tempat dalam SPT Tahunan PPh. Keempat, mengidentifikasi alamat PKP, baik penjual barang kena pajak (BKP) atau penyedia jasa kena pajak (JKP) maupun pembeli BKP dan/atau penerima JKP. Identifikasi alamat ini untuk keperluan pembuatan faktur pajak. Selain itu, NITKU juga digunakan untuk mengidentifikasi alamat pembeli BKP dan/atau penerima JKP yang menerima penyerahan atau penyerahan BKP dan/atau JKP, guna pembuatan faktur pajak. Kelima, identifikasi lokasi objek PBB untuk pelaporan objek PBB. Keenam, administrasi perpajakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Rincian ketentuan NITKU dapat dilihat pada PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023 dan PER-7/PJ/2025.
Berdasarkan Ketentuan PER-12/2025: PMSE Wajib Sampaikan SPT PPN Tiap Masa Pajak
Direktur Jenderal Pajak memperbarui ketentuan terkait pemungut PPN PMSE melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2025 (PER 12/2025). Melalui aturan ini, Direktur Jenderal Pajak mengatur kewajiban penyampaian SPT Masa PPN terkait pemungutan PPN PMSE. Kini, pemungut PPN wajib melaporkan SPT Masa PPN untuk setiap masa pajak, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pada ketentuan sebelumnya, pemungut PPN PMSE menyampaikan PPN yang dipungut melalui laporan triwulanan. Pemungutan PPN PMSE dilaporkan melalui SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau SPT Masa PPN bagi Pemungut dan Pihak Lain yang Bukan PKP. Format dan pengisian kedua jenis SPT tersebut telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025. Sementara itu, bagi pemungut yang merupakan pelaku PMSE luar negeri, pelaporan dilakukan melalui SPT Masa PPN PMSE untuk Pihak Luar Negeri Lainnya. Formatnya dapat dilihat pada Lampiran J PER-12/2025. Pada Pasal 14 ayat (3) PER-12/2025, dijelaskan bahwa SPT Masa PPN PMSE Pihak Lain Luar Negeri memuat rincian transaksi. Rincian tersebut berupa: nomor dan tanggal bukti pungut PPN; jumlah pembayaran transaksi, tidak termasuk PPN; jumlah PPN yang dipungut; nama, NPWP atau NIK, dan nomor telepon pemanfaat barang/jasa, dalam hal bukti pungut PPN mencantumkan keterangan yang dimaksud; dan alamat pos elektronik (email) pemanfaat barang/jasa. Apabila pemungut tidak dapat menyampaikan rincian transaksi dikarenakan adanya perbedaan sistem pemungut dengan Portal Wajib Pajak, maka pihak lain dapat menyampaikan SPT Masa PPN yang telah dipungut lebih dahulu paling lambat tanggal 31 Juli 2025. Setelah jangka waktu tersebut, pihak lain selanjutnya akan melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang disampaikan dengan melengkapi rincian transaksi.
PER-8/PJ/2025 Terhitung mulai tanggal 21 Mei 2025, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dicabut
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi mencabut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-51/PJ/2009. Kebijakan tersebut sebelumnya mengatur besaran kupon makan/minum bagi pegawai, penetapan area tertentu, serta pembatasan fasilitas dan amenitas di lokasi kerja. Ketentuan dalam PER-51/PJ/2009 terkait biaya pemberian manfaat berupa natura dan/atau kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja. Pencabutan kebijakan tersebut dilakukan menyusul diundangkannya PER-8/PJ/2025 pada 21 Mei 2025. Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:… Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-51/PJ/2009… dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan bunyi Pasal 147 angka 2 PER-8/PJ/2025. PER-51/PJ/2009 merupakan petunjuk pelaksanaan dari PMK 83/2009. Pada dasarnya, PER-51/PJ/2009 merinci ketentuan besaran kupon makan dan/atau minuman serta natura dan/atau kenikmatan di daerah tertentu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja. Berdasarkan PER-51/PJ/2009, nilai kupon makan dan/atau minuman yang diberikan kepada pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan penyediaan makanan dan/atau minuman di kantor dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja, sepanjang nilainya wajar. Mengacu pada Pasal 2 ayat (2) PER-51/PJ/2009, nilai kupon dapat dianggap wajar apabila nilai kupon tersebut tidak melebihi pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman per pegawai yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja (kantor). Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan PMK 83/2009, imbalan atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau benefit yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan di bidang tertentu dapat berupa pengurangan penghasilan bruto. Nah, PER-51/PJ/2009 merinci ketentuan penetapan bidang tertentu, tata cara pengajuan permohonan penetapan sebagai bidang tertentu, serta batasan sarana dan prasarana yang disediakan. Sejatinya, ketentuan yang diatur dalam PER 51/PJ/2009 sudah tidak relevan lagi semenjak diundangkannya UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Peraturan Pemerintah (PP) 50/2022, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 66/2023. Pemberlakuan UU HPP, PP 50/2022, dan PMK 66/2023, memungkinkan perusahaan untuk membebankan segala biaya yang berkaitan dengan pemberian manfaat dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan kepada pekerjanya sepanjang merupakan biaya untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan. Dengan demikian, pemberlakuan UU HPP dan peraturan turunannya tersebut menjadikan ketentuan dalam PER51/PJ/2009 tidak berlaku lagi. Namun, UU HPP, PP 50/2022, dan PMK 66/2023 tidak secara tegas mencabut PER-51/PJ/2009. Dengan demikian, pemberlakuan PER-8/PJ/2025 sejak tanggal 21 Mei 2025 menjadi legitimasi pencabutan ketentuan dalam PER-51/PJ/2009.
Pengisian Alamat Pembeli pada Faktur Pajak Sesuai PER-11/2025
Ketentuan Umum Pengisian Alamat Pembeli Lampiran D PER-11/2025 menjelaskan bahwa alamat biasanya ditulis terlebih dahulu dengan nama jalan dan diikuti dengan nomor bangunan, nomor RT dan RW, nama kecamatan/desa, kecamatan, dan kabupaten/kota, serta diakhiri dengan kode pos. Nama kawasan/wilayah seperti apartemen, gedung perkantoran, atau kompleks perumahan dapat ditulis sebelum nama jalan. Jika tidak ada nama jalan atau tidak berada pada jalan tertentu dan tidak memiliki nomor bangunan, alamat minimal harus mencantumkan nomor RT dan RW, nama kecamatan/desa, kecamatan, dan kabupaten/kota, serta diakhiri dengan kode pos. BKP/JKP Diterima di Tempat Selain Tempat Tinggal/Kedudukan Dalam kondisi tertentu, penerimaan BKP atau JKP dapat terjadi di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal/kedudukan pembeli. Misalnya, PKP A berdomisili di Kota B. Pembelian BKP dilakukan di Kota C. Dalam hal BKP/JKP dikirim/diserahkan ke daerah atau tempat tertentu yang menerima fasilitas PPN Tidak Dipungut (misalnya Kawasan Berikat) yang berbeda dengan tempat tinggal, dan penyerahan tersebut menerima fasilitas PPN Tidak Dipungut, alamat yang dicantumkan adalah alamat tempat kegiatan usaha (TKU) yang menerima BKP/JKP. Apabila penyerahan tersebut tidak menerima fasilitas PPN Tidak Dipungut, penjual dapat mencantumkan alamat tempat tinggal/kedudukan atau TKU yang menerima BKP/JKP. Sedangkan apabila penyerahan dilakukan di tempat selain tempat tinggal/kedudukan, dan bukan daerah tertentu, pengisian alamat tidak bergantung pada fasilitasnya. Penjual dapat mencantumkan alamat tempat tinggal/kedudukan atau TKU yang menerima BKP/JKP pada faktur pajak.