Pengajuan permohonan pemanfaatan nilai buku untuk pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan suatu badan usaha kini diajukan melalui coretax. Hal ini telah diatur dalam Pasal 44 ayat (3) Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER8/PJ/2025. Jika ditelusuri, permohonan tersebut dapat diajukan melalui modul Layanan Wajib Pajak, menu Layanan Administrasi, dan submenu Buat Aplikasi Layanan Administrasi. Aplikasi tersebut memiliki kode kategori sublayanan AS.13-01. “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) [permohonan pemanfaatan nilai buku] diajukan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak [coretax],” demikian bunyi Pasal 44 ayat (3) PER8/PJ/2025, dikutip pada Senin (23/6/2025). Sesuai ketentuan, wajib pajak harus menggunakan nilai pasar untuk pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha. Namun, dalam kondisi tertentu, wajib pajak diperbolehkan menggunakan nilai buku. Untuk dapat menggunakan nilai buku, wajib pajak harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. PER-8/PJ/2025 juga telah mengatur kriteria dan ketentuan agar wajib pajak dapat menggunakan nilai buku. Misalnya, terdapat 6 kriteria wajib pajak yang dapat melakukan pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku. Pertama, wajib pajak yang belum go public yang bermaksud melakukan penawaran umum perdana saham. Kedua, wajib pajak yang telah go public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana saham. Ketiga, wajib pajak badan yang memisahkan unit usaha syariah dalam rangka melaksanakan kewajiban pemisahan usaha berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Keempat, wajib pajak badan dalam negeri sepanjang badan usaha hasil pemekaran tersebut menerima tambahan modal dari penanam modal asing paling sedikit Rp500 miliar. Kelima, Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang memperoleh tambahan penyertaan modal sepanjang pemekaran usaha dilakukan dalam rangka pembentukan perusahaan induk badan usaha milik negara, dengan cara: mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut tanpa melikuidasi badan usaha lama; mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva, yang dilakukan tanpa membentuk badan usaha baru dan tanpa melikuidasi badan usaha lama, dan merupakan pemecahan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN; atau mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva 2 atau lebih Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara yang usahanya dipisahkan dan menggabungkan usaha yang dipisahkan tersebut menjadi 1 badan usaha tanpa melikuidasi badan usaha lama yang dilakukan dalam serangkaian tindakan; atau Keenam, Wajib Pajak badan yang melakukan pemecahan usaha dalam rangka restrukturisasi badan usaha milik negara dengan cara: mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva, yang dilakukan tanpa membentuk badan usaha baru dan tanpa melikuidasi badan usaha lama, dan merupakan pemecahan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN; atau mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva 2 atau lebih Wajib Pajak badan yang usahanya dipisahkan dan menggabungkan usaha yang dipisahkan tersebut menjadi 1 badan usaha tanpa melikuidasi badan usaha lama yang dilakukan dalam serangkaian tindakan. Selain memenuhi ketentuan yang ditetapkan, ada 3 syarat yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk dapat mengajukan permohonan penggunaan nilai buku. Pertama, melampirkan surat pernyataan yang memuat alasan dan tujuan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha. Wajib Pajak juga harus melengkapi surat pernyataan tersebut dengan dokumen pendukung. Kedua, melampirkan surat pernyataan yang menerangkan bahwa penggabungan, peleburan, […]
PER-11/PJ/2025 Alasan Terperinci Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 turut memerinci sebab-sebab pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21. Merujuk pada Lampiran A PER-11/PJ/2025, pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dilakukan setelah pemotong pajak membetulkan bukti potong yang salah diisi, membatalkan bukti potong atas transaksi yang dibatalkan, atau membuat bukti potong atas pemotongan yang belum dilaporkan. Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21/26 tidak dapat dilakukan apabila telah disampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan atau surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan bunyi Lampiran A PER-11/PJ/2025. Bila pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dilakukan karena adanya kesalahan dalam pengisian dalam bukti potong, pemotong PPh Pasal 21 harus terlebih dahulu melakukan pembetulan atas bukti potong PPh Pasal 21 yang telah dibuat. Secara umum, pembetulan bukti potong PPh Pasal 21 dapat dilakukan atas setiap kesalahan pada bukti potong, kecuali salah nomor, salah masa pajak, dan salah identitas penerima penghasilan. Dalam hal pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 disebabkan oleh pembatalan transaksi, pemotong PPh Pasal 21 perlu terlebih dahulu membatalkan bukti potong PPh Pasal 21 yang sudah dibuat. Pembatalan bukti pemotongan PPh Pasal 21/26 dapat dilakukan dalam hal transaksi yang terutang PPh Pasal 21/26 telah dibatalkan, bunyi Lampiran A PER-11/PJ/2025. Sementara bila pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dilakukan karena adanya pemotongan PPh Pasal 21 yang belum dilaporkan, pemotong harus membuat bukti potong PPh Pasal 21 terlebih dahulu melalui mekanisme penambahan bukti potong. Ketika melakukan penambahan bukti potong, masa pajak yang dicantumkan dalam bukti potong PPh Pasal 21 adalah masa pajak terjadinya transaksi yang terutang pajak. Adapun tanggal yang dicantumkan dalam bukti potong PPh Pasal 21 adalah tanggal penerbitan bukti potong. Misal, PT DEF belum membuat bukti potong atas pembayaran imbalan kepada Tuan LL. Pembayaran imbalan dilakukan pada 12 Februari 2025. Namun, PT DEF baru membuat bukti potong atas pembayaran imbalan tersebut pada 2 Agustus 2025. Dalam kasus ini, masa pajak yang dicantumkan dalam bukti potong PPh Pasal 21 adalah Februari 2025, sedangkan tanggal yang dicantumkan adalah 2 Agustus 2025. Jika pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 mengakibatkan kekurangan pemotongan PPh Pasal 21, kekurangan tersebut harus dilunasi. Sedangkan jika pembetulan SPT menimbulkan kelebihan pemotongan, kelebihan dimaksud bisa dikompensasikan oleh pemotong ke masa pajak berikutnya tanpa harus berurutan.
Ingat, Ada 3 Jenis SPT Masa PPN untuk Pemungut PPN PMSE
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merinci jenis Surat Pemberitahuan Masa PPN yang digunakan oleh pelaku usaha yang menyelenggarakan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Rinciannya tercantum dalam Perdirjen Pajak No.PER-12/PJ/2025. Kebijakan yang berlaku mulai 22 Mei 2025 itu menegaskan pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pihak lain wajib melaporkan PPN yang telah dipungut dan disetor. Pelaporan tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN. “Pihak lain… wajib melaporkan PPN yang telah dipungut… dan disetor,… paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN, sesuai PER-12/PJ/2025 bunyi Pasal 13 ayat (1). Terdapat 3 jenis SPT Masa PPN yang digunakan oleh pelaku usaha PMSE sebagai pihak lain. Pertama, SPT Masa PPN bagi pengusaha kena pajak (PKP). Jenis SPT Masa PPN bagi PKP ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE dalam negeri yang merupakan PKP dan ditunjuk sebagai pihak lain. Kedua, SPT Masa PPN bagi pemungut PPN dan pihak lain yang bukan PKP. Jenis SPT Masa PPN ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE dalam negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain, tetapi bukan PKP. Ketiga, SPT Masa PPN bagi pemungut PPN PMSE. Jenis SPT Masa PPN ini digunakan oleh pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pihak lain. Khusus bagi pelaku usaha PMSE luar negeri, SPT Masa PPN-nya dapat menggunakan Bahasa Indonesia dan/atau Bahasa Inggris. Adapun kewajiban pelaporan SPT Masa PPN tetap berlaku meski tidak terdapat pemungutan dan penyetoran PPN dalam suatu masa pajak. Seiring dengan berlakunya coretax, pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pihak lain harus melaporkan SPT Masa PPN tersebut via coretax. Selain berisi data-data yang diwajibkan, SPT Masa PPN tersebut harus memuat 4 data. Pertama, jumlah pemanfaat barang dan/atau pemanfaat jasa. Kedua, jumlah pembayaran transaksi, tidak termasuk PPN yang dipungut. Ketiga, jumlah PPN yang dipungut. Keempat, rincian transaksi PPN yang dipungut.
Orang Pribadi Akan Otomatis Punya NITKU, Setelah Terdaftar Sebagai Wajib Pajak
Contact Center Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak menyatakan seseorang yang telah terdaftar sebagai wajib pajak akan otomatis memiliki Nomor Induk Kependudukan (NITKU) NITKU merupakan nomor identitas yang diberikan kepada setiap tempat kegiatan usaha wajib pajak, termasuk tempat tinggal atau domisili wajib pajak. Ketentuan terkait NITKU juga diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-7/PJ/2025. Wajib pajak dapat mengecek NITKU secara mandiri melalui akun DJP Coretax masing-masing. NITKU dapat dicek dengan menekan menu Portal Saya, lalu klik menu Lokasi Kegiatan Usaha. Selain NITKU, Anda juga dapat melihat nama, alamat, dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 33 PER-7/PJ/2025, wajib pajak memerlukan NITKU untuk keperluan administrasi perpajakan terkait 6 hal. Pertama, mengidentifikasi lokasi tempat masing-masing pegawai bekerja dalam pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21. Kedua, memberikan akses kepada pengurus, pegawai di kantor cabang, atau pegawai di subunit organisasi wajib pajak untuk dapat membuat atau menandatangani bukti pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) dan faktur pajak. Ketiga, mengidentifikasi lokasi tempat tinggal, tempat kedudukan, dan cabang tempat kegiatan usaha wajib pajak orang pribadi tertentu (OPPT) dan wajib pajak badan yang dikenai PPh final untuk melaporkan peredaran usaha di setiap tempat dalam SPT Tahunan PPh. Keempat, mengidentifikasi alamat PKP, baik penjual barang kena pajak (BKP) atau penyedia jasa kena pajak (JKP) maupun pembeli BKP dan/atau penerima JKP. Identifikasi alamat ini untuk keperluan pembuatan faktur pajak. Selain itu, NITKU juga digunakan untuk mengidentifikasi alamat pembeli BKP dan/atau penerima JKP yang menerima penyerahan atau penyerahan BKP dan/atau JKP, guna pembuatan faktur pajak. Kelima, identifikasi lokasi objek PBB untuk pelaporan objek PBB. Keenam, administrasi perpajakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Rincian ketentuan NITKU dapat dilihat pada PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023 dan PER-7/PJ/2025.
Berdasarkan Ketentuan PER-12/2025: PMSE Wajib Sampaikan SPT PPN Tiap Masa Pajak
Direktur Jenderal Pajak memperbarui ketentuan terkait pemungut PPN PMSE melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2025 (PER 12/2025). Melalui aturan ini, Direktur Jenderal Pajak mengatur kewajiban penyampaian SPT Masa PPN terkait pemungutan PPN PMSE. Kini, pemungut PPN wajib melaporkan SPT Masa PPN untuk setiap masa pajak, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pada ketentuan sebelumnya, pemungut PPN PMSE menyampaikan PPN yang dipungut melalui laporan triwulanan. Pemungutan PPN PMSE dilaporkan melalui SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau SPT Masa PPN bagi Pemungut dan Pihak Lain yang Bukan PKP. Format dan pengisian kedua jenis SPT tersebut telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025. Sementara itu, bagi pemungut yang merupakan pelaku PMSE luar negeri, pelaporan dilakukan melalui SPT Masa PPN PMSE untuk Pihak Luar Negeri Lainnya. Formatnya dapat dilihat pada Lampiran J PER-12/2025. Pada Pasal 14 ayat (3) PER-12/2025, dijelaskan bahwa SPT Masa PPN PMSE Pihak Lain Luar Negeri memuat rincian transaksi. Rincian tersebut berupa: nomor dan tanggal bukti pungut PPN; jumlah pembayaran transaksi, tidak termasuk PPN; jumlah PPN yang dipungut; nama, NPWP atau NIK, dan nomor telepon pemanfaat barang/jasa, dalam hal bukti pungut PPN mencantumkan keterangan yang dimaksud; dan alamat pos elektronik (email) pemanfaat barang/jasa. Apabila pemungut tidak dapat menyampaikan rincian transaksi dikarenakan adanya perbedaan sistem pemungut dengan Portal Wajib Pajak, maka pihak lain dapat menyampaikan SPT Masa PPN yang telah dipungut lebih dahulu paling lambat tanggal 31 Juli 2025. Setelah jangka waktu tersebut, pihak lain selanjutnya akan melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang disampaikan dengan melengkapi rincian transaksi.
PER-8/PJ/2025 Terhitung mulai tanggal 21 Mei 2025, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dicabut
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi mencabut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-51/PJ/2009. Kebijakan tersebut sebelumnya mengatur besaran kupon makan/minum bagi pegawai, penetapan area tertentu, serta pembatasan fasilitas dan amenitas di lokasi kerja. Ketentuan dalam PER-51/PJ/2009 terkait biaya pemberian manfaat berupa natura dan/atau kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja. Pencabutan kebijakan tersebut dilakukan menyusul diundangkannya PER-8/PJ/2025 pada 21 Mei 2025. Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:… Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-51/PJ/2009… dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan bunyi Pasal 147 angka 2 PER-8/PJ/2025. PER-51/PJ/2009 merupakan petunjuk pelaksanaan dari PMK 83/2009. Pada dasarnya, PER-51/PJ/2009 merinci ketentuan besaran kupon makan dan/atau minuman serta natura dan/atau kenikmatan di daerah tertentu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja. Berdasarkan PER-51/PJ/2009, nilai kupon makan dan/atau minuman yang diberikan kepada pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan penyediaan makanan dan/atau minuman di kantor dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja, sepanjang nilainya wajar. Mengacu pada Pasal 2 ayat (2) PER-51/PJ/2009, nilai kupon dapat dianggap wajar apabila nilai kupon tersebut tidak melebihi pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman per pegawai yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja (kantor). Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan PMK 83/2009, imbalan atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau benefit yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan di bidang tertentu dapat berupa pengurangan penghasilan bruto. Nah, PER-51/PJ/2009 merinci ketentuan penetapan bidang tertentu, tata cara pengajuan permohonan penetapan sebagai bidang tertentu, serta batasan sarana dan prasarana yang disediakan. Sejatinya, ketentuan yang diatur dalam PER 51/PJ/2009 sudah tidak relevan lagi semenjak diundangkannya UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Peraturan Pemerintah (PP) 50/2022, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 66/2023. Pemberlakuan UU HPP, PP 50/2022, dan PMK 66/2023, memungkinkan perusahaan untuk membebankan segala biaya yang berkaitan dengan pemberian manfaat dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan kepada pekerjanya sepanjang merupakan biaya untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan. Dengan demikian, pemberlakuan UU HPP dan peraturan turunannya tersebut menjadikan ketentuan dalam PER51/PJ/2009 tidak berlaku lagi. Namun, UU HPP, PP 50/2022, dan PMK 66/2023 tidak secara tegas mencabut PER-51/PJ/2009. Dengan demikian, pemberlakuan PER-8/PJ/2025 sejak tanggal 21 Mei 2025 menjadi legitimasi pencabutan ketentuan dalam PER-51/PJ/2009.
Pengisian Alamat Pembeli pada Faktur Pajak Sesuai PER-11/2025
Ketentuan Umum Pengisian Alamat Pembeli Lampiran D PER-11/2025 menjelaskan bahwa alamat biasanya ditulis terlebih dahulu dengan nama jalan dan diikuti dengan nomor bangunan, nomor RT dan RW, nama kecamatan/desa, kecamatan, dan kabupaten/kota, serta diakhiri dengan kode pos. Nama kawasan/wilayah seperti apartemen, gedung perkantoran, atau kompleks perumahan dapat ditulis sebelum nama jalan. Jika tidak ada nama jalan atau tidak berada pada jalan tertentu dan tidak memiliki nomor bangunan, alamat minimal harus mencantumkan nomor RT dan RW, nama kecamatan/desa, kecamatan, dan kabupaten/kota, serta diakhiri dengan kode pos. BKP/JKP Diterima di Tempat Selain Tempat Tinggal/Kedudukan Dalam kondisi tertentu, penerimaan BKP atau JKP dapat terjadi di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal/kedudukan pembeli. Misalnya, PKP A berdomisili di Kota B. Pembelian BKP dilakukan di Kota C. Dalam hal BKP/JKP dikirim/diserahkan ke daerah atau tempat tertentu yang menerima fasilitas PPN Tidak Dipungut (misalnya Kawasan Berikat) yang berbeda dengan tempat tinggal, dan penyerahan tersebut menerima fasilitas PPN Tidak Dipungut, alamat yang dicantumkan adalah alamat tempat kegiatan usaha (TKU) yang menerima BKP/JKP. Apabila penyerahan tersebut tidak menerima fasilitas PPN Tidak Dipungut, penjual dapat mencantumkan alamat tempat tinggal/kedudukan atau TKU yang menerima BKP/JKP. Sedangkan apabila penyerahan dilakukan di tempat selain tempat tinggal/kedudukan, dan bukan daerah tertentu, pengisian alamat tidak bergantung pada fasilitasnya. Penjual dapat mencantumkan alamat tempat tinggal/kedudukan atau TKU yang menerima BKP/JKP pada faktur pajak.
Persyaratan Menjadi Kuasa Hukum Pajak Ditambahkan, Kemenkeu Akan Rilis PMK Baru
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan berencana menambah persyaratan yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak. Topik ini menjadi salah satu ulasan media nasional hari ini, Jumat (20/6/2025). Persyaratan tambahan tersebut tertuang dalam RPMK tentang Persyaratan, Permohonan, Perpanjangan, dan Pencabutan Jabatan sebagai Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak. RPMK ini akan menggantikan PMK 184/2017 tentang Persyaratan Menjadi Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak. “Latar belakang penyempurnaan PMK ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada para pencari keadilan dan meningkatkan kualitas para kuasa hukum itu sendiri sehingga proses penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak menjadi lebih efektif dan cepat,” kata Sekretaris Pengganti Sekretariat Pengadilan Pajak Roni Ziyardi Yasmi. Sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak, penasihat hukum di Pengadilan harus memenuhi 3 persyaratan, yaitu merupakan warga negara Indonesia, memiliki pengetahuan dan keahlian yang luas di bidang peraturan perpajakan, dan memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam RPMK yang disusun oleh Kementerian Keuangan, terdapat 2 persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dianggap memiliki pengetahuan dan keahlian yang luas di bidang peraturan perpajakan. Pertama, seorang penasihat hukum pajak harus memiliki sertifikat kompetensi (SKK) atau memiliki izin praktik konsultan pajak. SKK merupakan surat yang menyatakan bahwa seseorang memiliki kompetensi tertentu di bidang perpajakan. Persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh penasihat hukum di Pengadilan Pajak, yaitu: 1. orang pribadi yang akan menjadi penasihat hukum tidak berasal dari keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua, pegawai, atau wali; 2. berpendidikan sarjana/diploma IV dari perguruan tinggi yang terakreditasi; 3. terdaftar sebagai wajib pajak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya; 4. berkelakuan baik; 5. tidak pernah dihukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; 6. tidak berstatus pegawai negeri sipil atau pejabat negara; 7. jujur, bertanggung jawab, adil, dan berintegritas tinggi; dan 8. bersedia membuat akun dan menggunakan sistem informasi (e-tax court) yang disediakan oleh Pengadilan Pajak. Tidak hanya itu, RPMK juga membagi izin kuasa pajak menjadi 3 tingkatan, yaitu tingkatan A, B, dan C. Berbeda dengan izin kuasa pajak, izin kuasa bea dan cukai tidak dibagi ke dalam tingkatan.
Dirjen Pajak Ungkap Kabar Terbaru Perpanjangan PPh Final Bagi UMKM di 2025
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan perkembangan terkini terkait kelanjutan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) final bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pada 2025. Bimo memastikan meski masa pemanfaatan tarif PPh final 0,5 persen bagi Wajib Pajak Orang Pribadi telah berakhir pada 2024, namun UMKM tetap dapat memanfaatkan tarif tersebut pada 2025. Dalam kesempatan itu, Bimo menyampaikan bahwa saat ini pemerintah tengah memproses perubahan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 yang menjadi dasar pengaturan PPh final UMKM. “Perubahan PP 55 tahun 2022 untuk mengatur jangka waktu PPh final UMKM sedang dalam proses penyusunan,” ujarnya dalam konferensi pers pada Kamis (19/6/25). Kebijakan PPh final dengan tarif 0,5 persen merupakan insentif pajak yang diberikan pemerintah kepada UMKM untuk mendorong kepatuhan dan memudahkan administrasi perpajakan, khususnya bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Masa berlaku insentif ini sebelumnya dibatasi selama tujuh tahun sejak diberlakukan. “UMKM Orang Pribadi memang sudah habis 7 tahun untuk memanfaatkan PPh final yang 0,5 persen tahun 2024. Tetapi masih tetap dapat membayar PPh final 0,5 persen tersebut di tahun 2025,” jelas Bimo. Lebih lanjut, Bimo menambahkan bahwa status terkini dari perubahan PP tersebut masih berada dalam antrean jadwal pembahasan antarkementerian. “Status PP-nya saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Sesneg,” kata dia. Sebelumnya, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) juga mendorong pemerintah segera menerbitkan aturan terkait perpanjangan fasilitas PPh final 0,5 persen. Ketiadaan aturan hingga saat ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya bagi wajib pajak orang pribadi. Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld mengatakan, situasi ini menimbulkan dilema bagi wajib pajak orang pribadi yang ingin memenuhi kewajiban pembayaran PPh untuk bulan Januari dan Februari 2025. Tanpa adanya kejelasan hukum, keterlambatan pembayaran dapat menimbulkan berbagai risiko perpajakan, termasuk potensi penurunan penerimaan negara. “Kami mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah untuk menerbitkan ketentuan terkait perpanjangan PPh final 0,5 persen. Jika aturan tersebut diterbitkan sejak awal tahun, maka Wajib Pajak bisa langsung memanfaatkannya mulai Januari 2025,” jelas Vaudy dalam keterangan tertulis pada (17/3/25). Ia mengingatkan, rencana perpanjangan fasilitas PPh final hingga akhir 2025 sudah diumumkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers pada 16 Desember 2025. Rencana ini merupakan bagian dari Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan. Vaudy menegaskan, perpanjangan tersebut harus mencakup perubahan PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu. Pasal 5 beleid tersebut menyebutkan, fasilitas PPh final sebesar 0,5 persen hanya berlaku selama tujuh tahun. Dalam kesempatan tersebut, Vaudy menekankan bahwa ketiadaan aturan perpanjangan hingga Maret 2025 ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Wajib Pajak. “Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto di bawah Rp500 juta, yang sebelumnya dibebaskan dari kewajiban PPh berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan PP Nomor 55 Tahun 2022, akan menghadapi kebingungan dalam melaksanakan kewajibannya,” ujarnya. Selain itu, Wajib Pajak juga dihadapkan dengan ketidakjelasan mengenai kewajiban penyampaian penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang harus disampaikan paling lama akhir Maret 2025. “Kebingungan bagi Wajib Pajak orang pribadi dengan jumlah peredaran bruto tertentu itu, apakah di 2025 masih tetap menggunakan fasilitas […]
Insentif Pajak DTP Diharapkan Dapat Mendukung Daya Beli Pekerja Padat Karya
Pemerintah berharap pemberian berbagai insentif pajak dapat mendukung daya beli masyarakat. Insentif yang diberikan tahun ini antara lain Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pekerja di sektor padat karya. Pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21 DTP bagi pekerja di sektor padat karya berdasarkan PMK 10/2025. Melalui kebijakan ini, pemerintah mengatur pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember 2025. Pemberi kerja harus memenuhi persyaratan agar pekerjanya diberikan PPh Pasal 21 DTP, yakni melakukan kegiatan usaha di bidang industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit, dan barang dari kulit. Pemberi kerja juga harus memiliki kode klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang tercantum dalam PMK 10/2025. Sementara itu, pegawai yang diberikan PPh Pasal 21 DTP adalah pegawai tetap dan/atau pegawai tidak tetap, yang memperoleh penghasilan dari pemberi kerja di sektor padat karya. Bagi pegawai tetap, akan diberikan PPh Pasal DTP sepanjang memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: Memiliki NPWP dan/atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dikelola oleh Ditjen Dukcapil, serta telah terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Menerima atau memperoleh penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur paling banyak Rp10.000.000.000 pada masa pajak Januari 2025, bagi pegawai tertentu yang mulai bekerja sebelum Januari 2025 atau bulan pertama masa pajak bekerja, bagi pegawai tertentu yang baru mulai bekerja pada tahun 2025. Tidak menerima insentif PPh Pasal 21 DTP berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Penghasilan bruto yang bersifat tetap dan teratur yang diterima oleh pegawai ini berupa gaji dan tunjangan yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan; dan/atau imbalan sejenis yang bersifat tetap dan teratur yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perusahaan dan/atau perjanjian kerja. Selanjutnya, pegawai tidak tetap akan diberikan insentif PPh Pasal 21 DTP sepanjang memenuhi beberapa kriteria: Memiliki NPWP dan/atau NIK yang dikelola oleh Ditjen Dukcapil dan telah terintegrasi dengan sistem administrasi DJP. Menerima upah dengan jumlah rata-rata 1 hari paling banyak Rp500.000,00 dalam hal upah yang diterima atau diperoleh secara harian, mingguan, satuan, atau sekaligus; atau paling banyak Rp10.000.000,00 dalam hal upah yang diterima atau diperoleh secara bulanan. Tidak menerima insentif PPh Pasal 21 DTP lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.