Isu pajak UMKM dan cukai rokok mendominasi perbincangan publik selama sepekan terakhir. Terkait pajak UMKM, pemerintah memutuskan untuk memperpanjang masa berlaku skema Pajak Penghasilan (PPh) final bagi UMKM orang pribadi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa skema PPh final UMKM dengan tarif 0,5% akan tetap berlaku bagi wajib pajak orang pribadi hingga tahun 2029. “Terkait PPh final bagi UMKM dengan omzet tahunan Rp4,8 miliar, tarif PPh final 0,5% akan berlanjut hingga tahun 2029. Jadi, tidak diperpanjang setiap tahunnya, melainkan diberikan kepastian hingga tahun 2029,” ujarnya. Menurut Airlangga, saat ini terdapat 542.000 UMKM yang terdaftar sebagai wajib pajak dan memanfaatkan skema PPh final UMKM untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp2 triliun untuk melanjutkan penerapan pajak penghasilan final bagi UMKM tahun ini. Pemerintah selanjutnya akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) untuk memperpanjang masa berlaku pajak penghasilan final bagi UMKM bagi wajib pajak orang pribadi. Saat ini, masa berlaku pajak penghasilan final bagi UMKM diatur dalam PP 55/2022. Perpanjangan skema pajak penghasilan final bagi UMKM ini bertujuan untuk meringankan beban pajak UMKM dan menyederhanakan kewajiban administrasi wajib pajak. Terkait cukai rokok, banyak pihak yang mendesak penurunan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan masih mengkaji kebijakan tarif CHT untuk tahun depan. Purbaya menyatakan bahwa setiap kebijakan terkait tarif CHT memerlukan analisis yang mendalam. Lebih lanjut, diperlukan kajian mengenai implementasi kebijakan CHT di lapangan. “[Kebijakan] ini bergantung pada hasil kajian yang kami peroleh dari lapangan,” ujarnya. Purbaya masih mengkaji implementasi kebijakan CHT di lapangan. Menurutnya, kebijakan baru mengenai tarif CHT akan dibuat setelah Kementerian Keuangan menyelesaikan kajian komprehensif. Alasannya, kebijakan CHT berkaitan erat dengan penerimaan negara. Lebih lanjut, ia juga memantau keberadaan rokok ilegal yang selama ini menekan industri rokok legal. Salah satu modusnya adalah penggunaan pita cukai palsu. “Katanya ada yang main-main. Main-mainnya di mana? Kalau saya bereskan, pita cukai palsu bisa dihilangkan, berapa pendapatan yang akan saya terima? Dari situ, saya bisa bergerak maju,” ujarnya. Usulan penurunan tarif CHT mencuat di tengah berita PHK di sebuah pabrik rokok besar di Jawa Timur. Pemberlakuan tarif cukai yang tinggi dianggap sebagai salah satu faktor penyebabnya. Selain dua berita di atas, ada beberapa informasi menarik lainnya yang perlu diulas sepanjang pekan ini. Ini termasuk sinyal penguatan pembentukan Badan Pendapatan Negara (BPN), pembaruan tentang amnesti pajak, dan berita tentang perbaikan sistem pajak inti.
Cara Pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Karyawan Melalui Coretax DJP
Sejak awal Januari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengalihkan kanal pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan ke coretax. Demikian pula, kanal penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) juga telah dialihkan dari DJP Online ke coretax. Artinya, SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2025 tidak lagi disampaikan melalui DJP Online, melainkan melalui coretax. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2025 akan disampaikan mulai Januari 2026 hingga akhir Maret 2026. Peralihan kanal penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan ini tentu saja disertai berbagai perubahan. Misalnya, perubahan metode dan format pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, DJP mulai menggalakkan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan 2025 melalui coretax. Harap dicatat bahwa informasi yang diberikan dapat berubah sewaktu-waktu berdasarkan perkembangan sistem Coretax dan peraturan perpajakan terbaru. Pembahasan ini bertujuan untuk membantu Wajib Pajak Orang Pribadi (WP) memahami dan mempersiapkan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi melalui Coretax. Secara garis besar, proses penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT) Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh) Karyawan melalui Coretax terbagi dalam empat tahap utama, yaitu: (i) Penyusunan SPT; (ii) Pengisian Master SPT; (iii) Pengisian Lampiran SPT; dan (iv) Penyampaian SPT. Pembuatan konsep SPT Tahunan PPh, pilih modul Surat Pemberitahuan (SPT) dan menu Surat Pemberitahuan (SPT). Selanjutnya, pada halaman SPT Belum Disampaikan klik tombol Buat Konsep SPT. Pada halaman Buat Konsep SPT, ada 3 langkah yang perlu dilakukan, yaitu: (i) Pilih Jenis SPT; (ii) pilih periode pelaporan SPT; dan (iii) Pilih Jenis SPT. Apabila konsep SPT berhasil dibuat maka draft SPT akan muncul pada daftar Konsep SPT. Selanjutnya, klik ikon pensil untuk melakukan pengisian SPT. Pastikan Anda memilih draft SPT dengan jenis SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi. Sistem akan menampilkan formulir SPT Tahunan Orang Pribadi yang terdiri atas Induk SPT (main form) serta lampiran. Adapun wajib pajak bisa mengisi kolom-kolom yang tersedia pada Induk SPT terlebih dahulu. Adapun induk SPT terdiri atas header SPT dan bagian A hingga bagian J. Pada bagian Header, kolom Tahun Pajak/Bagian Tahun Pajak, Periode Pembukuan, dan Status SPT akan terisi secara otomatis oleh sistem. Untuk itu, Anda cukup mengisi kolom Sumber Penghasilan dan Metode Pembukuan/Pencatatan. Bagi wajib pajak orang pribadi karyawan, silakan pilih Sumber Penghasilan “Pekerjaan” dan pilih Metode Pembukuan/Pencatatan dengan opsi ”Pencatatan”. Kemudian silahkan lanjutkan pengisian pada bagian A hingga J. Secara default, lampiran yang pertama kali tersedia pada konsep SPT PPh orang pribadi meliputi Lampiran L-1. Melalui lampiran ini, Anda akan diminta untuk melaporkan: harta dan utang pada akhir tahun pajak; daftar anggota keluarga yang menjadi tanggungan; penghasilan neto dalam negeri dari pekerjaan; dan daftar bukti pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan. Adapun lampiran-lampiran lain akan muncul tergantung pada jawaban pada kolom-kolom sebelumnya. Namun, secara umum, wajib pajak orang pribadi karyawan hanya perlu mengisi lampiran L-1. Sebagai informasi, berdasarkan Pasal 83 ayat (1) PER-11/PJ/2025, lampiran SPT Tahunan PPh wajib pajak orang pribadi terdiri atas lampiran 1 sampai 5. Tahap berikutnya, kembali ke bagian Induk SPT dan gulir halaman menuju bagian K. Pernyataan. Klik kotak centang (check box) pada pernyataan kebenaran pengisian data. Lalu, klik Simpan […]
Cara Memberikan Tanggapan SP2DK di Coretax
Tanggapan atau Penjelasan SP2DK oleh Wajib Pajak Secara umum, wajib pajak harus menanggapi atau memberikan penjelasan atas SP2DK dalam jangka waktu 14 hari. Jika terkait data konkret, tanggapan SP2DK disampaikan paling lama 7 hari. Adapun wajib pajak dapat melakukan tanggapan dengan cara meliputi: tatap muka langsung; tatap muka melalui media audio visual (video conference); dan/atau tertulis, yang dapat berupa SPT, pembetulan SPT, atau surat yang ditujukan kepada Kepala KPP. Dengan demikian, wajib pajak kini dapat memberikan tanggapan atas SP2DK melalui Coretax. Merespons/Menanggapi SP2DK Melalui Coretax Mula-mula wajib pajak akan menerima notifikasi pada saat diberikan SP2DK melalui akun Coretax. Lakukan impersonating jika yang mengajukan tanggapan adalah badan usaha. Jangan lakukan impersonating jika yang mengajukan tanggapan adalah orang pribadi. Untuk melihat pemberitahuan SP2DK, klik Notifikasi (lonceng) pada akun Coretax atau Anda dapat memilih Portal Saya → Dokumen Saya. Setelah membaca pemberitahuan SP2DK, pilih menu Layanan Wajib Pajak → Buat Permohonan Layanan Administrasi. Apabila dilakukan oleh PIC atau pihak yang ditunjuk, silahkan klik Pilih Nomor Penunjukan. Selanjutnya akan muncul daftar nama wajib pajak dan nomor penunjukannya, kemudian klik Pilih. Pilih AS.29 Surat Wajib Pajak, lalu Pilih AS.29-03 Surat Tanggapan atas Surat Permintaan Penjelasan Data dan Keterangan (SP2DK), kemudian timbul notifikasi Simpan. Selanjutnya akan muncul Informasi Umum, lanjutkan dengan klik Alur Kasus. Pada Alur Kasus akan muncul Informasi Umum dan Informasi Wajib Pajak. Pada Informasi Umum dan Informasi Wajib Pajak, Anda cukup pastikan kebenaran isian data yang ada di dalamnya. Sebagai informasi, baris berwarna abu-abu tidak dapat diedit. Selanjutnya baris berwarna putih dapat diisi, namun jika tidak memiliki tanda bintang (*) maka sifatnya opsional. Dalam bagian Informasi Pemberitahuan/Permohonan, isi Perihal Surat, kemudian klik logo Search untuk mencari Nomor SP2DK yang dikirim oleh KPP terdaftar. Perihal Surat diisi: Tanggapan/Penjelasan atas SP2DK. Pilih salah satu dokumen yang ingin ditanggapi pada Document Search. Pastikan memilih dengan benar dokumen SP2DK yang ingin dijawab . Manfaatkan menu pencarian pada kategori masing-masing kemudian klik Pilih. Pada tahapan Dokumen lampiran/persyaratan, klik Tambah Data untuk mengunggah file scan tanggapan atas SP2DK, lalu klik Simpan. Lengkapi detail dokumen. Pada kolom Nama Jenis Dokumen, Anda dapat memilih Dokumen Pendukung Permohonan Lainnya atau keterangan lain yang mendukung jawaban/tanggapan SP2DK. Berikutnya, isi Jumlah Lampiran(*) sesuai jumlah dokumen yang diunggah. Lalu, centang Pernyataan Wajib Pajak, kemudian klik Simpan. Jika notifikasi penyimpanan sukses, klik Lanjut. Kemudian akan muncul Notifikasi Kasus Anda akan dilanjutkan ke tindakan berikutnya yang berikutnya hilang dan akan berganti dengan notifikasi Alur Kasus (Kasus Ditutup). Pada menu sebelah kiri, klik Document untuk melihat Bukti Penerimaan Elektronik atau BPE yang dikeluarkan oleh KPP Terdaftar terkait tanggapan SP2DK tersebut. dengan terbitnya BPE, maka jawaban atau tanggapan atas SP2DK resmi dikirimkan kepada KPP terkait. Untuk tindak lanjut dari tanggapan atas SP2DK tersebut akan ditindaklanjuti oleh petugas KPP terkait.
Kemenkeu Belum Berencana Untuk Turunkan Tarif PPN
Pemerintah belum berencana menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang saat ini ditetapkan sebesar 11% untuk barang non-mewah. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyatakan bahwa rencana penurunan tarif PPN tersebut belum dibahas secara internal di pemerintahan. “Belum ada pembicaraan internal,” ujar Anggito kepada awak media di Gedung DPR, Kamis (18/9/2025). Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan hingga saat ini rencana penurunan tarif PPN belum masuk dalam pembahasan pemerintah. “Belum kita bahas,” kata Airlangga, Senin (15/9/2025) lalu. Sekadar informasi, media sosial ramai membicarakan rencana pemerintah untuk menurunkan tarif PPN menjadi 8%. Rencana ini baru-baru ini diumumkan oleh akun Threads @sukabyangmalang. Namun, belum ada penjelasan resmi terkait hal ini. Sebelumnya, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga mengusulkan penurunan tarif PPN dari 11% menjadi 10%. Ia menyatakan bahwa penurunan tarif ini akan memberikan ruang bagi konsumsi masyarakat. Sementara itu, Jaya Darmawan, peneliti di Center of Economic and Law Studies (Celios), mendorong pemerintah untuk menurunkan tarif PPN menjadi 8%. Jaya menyatakan bahwa penurunan tarif ini dapat berdampak positif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), output ekonomi, dan pendapatan masyarakat. “Makanya kita dorong ada baiknya sebenarnya tarif PPN itu diturunkan jadi 8%,” kata Jaya. Menurut Jaya, kekhawatiran pemerintah bahwa penerimaan negara dapat berkurang hingga Rp70 triliun jika PPN tidak dinaikkan tidak sepenuhnya beralasan. Menurut perhitungan Celios, skenario penurunan tarif PPN menjadi 8% diproyeksikan akan meningkatkan konsumsi masyarakat sebesar 0,74% dan mendorong pertumbuhan PDB sebesar Rp133,65 triliun. Efek berganda ini pada akhirnya meningkatkan kontribusi terhadap penerimaan pajak neto menjadi Rp1 triliun per tahun.
Restitusi Pajak Kini Lebih Jelas dan Transparan Dalam PER-16/PJ/2025
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor PER-16/PJ/2025, yang mengubah PER-6/PJ/2025 tentang pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak (restitusi) bagi wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu, wajib pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, dan pengusaha kena pajak (PKP) berisiko rendah. Peraturan yang mulai berlaku pada 13 Agustus ini menyempurnakan ketentuan yang ada dan memperluas cakupannya hingga mencakup perusahaan tujuan khusus (PKP) dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dengan status PKP berisiko rendah. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan bahwa revisi peraturan ini bertujuan untuk memperkuat kepastian hukum dan mempercepat layanan restitusi. “Untuk memberikan kepastian hukum yang lebih besar dalam pelaksanaan restitusi pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan pelaksanaan restitusi pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu, wajib pajak dengan persyaratan tertentu, dan pengusaha kena pajak berisiko rendah, serta perusahaan tujuan khusus atau kontrak investasi kolektif sebagai pengusaha kena pajak berisiko rendah,” jelas Bimo dalam bagian pertimbangan peraturan tersebut. Rincian Perubahan Restitusi Pajak dalam PER-16/PJ/2025 Salah satu poin penting dalam peraturan baru ini adalah penambahan ayat (2a) pada Pasal 6, yang merinci dokumen Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan bahwa kebijakan ini berlaku untuk Pajak Masukan yang tercatat pada faktur pajak atau dokumen tertentu yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dan telah divalidasi dalam sistem DJP. PER-16/PJ/2025 juga menekankan kewajiban DJP untuk melakukan penelitian sebelum menerbitkan Surat Keputusan tentang Restitusi Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Prosesnya dimulai ketika wajib pajak mengajukan permohonan restitusi melalui SPT atau aplikasi terpisah. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kemudian melakukan pemeriksaan, yang meliputi verifikasi keabsahan status PPN (Pengusaha Kena Pajak) berisiko rendah, verifikasi kebenaran kredit pajak masukan, dan pemeriksaan data pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Apabila hasil pemeriksaan tidak menunjukkan kelebihan pembayaran atau permohonan tidak memenuhi persyaratan, DJP akan menerbitkan surat pemberitahuan dan menindaklanjuti sesuai dengan Pasal 17B UU KUP. Lebih lanjut, PER-16/PJ/2025 memberikan perhatian khusus terhadap permohonan restitusi yang berasal dari Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Tahun 2024 yang disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi tertentu, tetapi terdapat kesalahan pencantuman PPh Pasal 21. Peraturan ini menegaskan bahwa permohonan tersebut dianggap tidak mengandung kelebihan pembayaran pajak, dan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak tidak akan diterbitkan. Pemberitahuan hanya akan disampaikan kepada wajib pajak pemohon, dan tidak akan dilakukan tindakan berdasarkan Pasal 17B UU KUP. DJP juga memperjelas kriteria wajib pajak orang pribadi tertentu. Wajib pajak tersebut adalah orang pribadi selain pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pejabat negara, dan pensiunan yang menerima penghasilan hanya dari satu pemberi kerja atau dana pensiun, tidak memiliki potongan penghasilan berupa zakat atau sumbangan keagamaan dari luar pemberi kerja, dan kelebihan pembayaran terjadi karena PPh terutang yang dihitung wajib pajak lebih kecil dari PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja. “Tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak; Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak tidak diterbitkan dan tidak diberitahukan kepada wajib pajak pemohon; dan tidak dilakukan tindakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B UU KUP,” tegas […]
DJP Revisi Ketentuan Soal PJAP (Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2025 yang merevisi ketentuan mengenai penyedia jasa aplikasi perpajakan (PJAP) dalam PER-11/PJ/2019 hingga PER-10/PJ/2020. Pertimbangan dalam PER-5/PJ/2025 menjelaskan bahwa revisi ketentuan PJAP tidak terlepas dari pelaksanaan reformasi sistem administrasi perpajakan di bidang peraturan perundang-undangan, proses bisnis, serta teknologi informasi dan basis data. Hal ini bertujuan untuk menciptakan sistem administrasi perpajakan yang lebih efektif dan efisien dengan fleksibilitas yang tinggi. Ketentuan mengenai Sistem Administrasi Perpajakan (PJAP) yang diatur dalam PER-11/PJ/2019 sampai dengan PER-10/PJ/2020 tidak mengakomodasi pemutakhiran sistem administrasi perpajakan… oleh karena itu, Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang dimaksud perlu diganti,” demikian bunyi salah satu pertimbangan dalam PER-5/PJ/2025. PER-5/PJ/2025 menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Pengusaha Kena Pajak (PJAP) untuk memfasilitasi pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak. PJAP yang ditunjuk wajib menyediakan layanan aplikasi perpajakan, yang terdiri dari lima jenis layanan. Pertama, menyediakan layanan validasi status wajib pajak. Kedua, menyediakan aplikasi pembuatan dan pendistribusian bukti pemotongan atau pemungutan secara elektronik. Ketiga, menyediakan modul e-Faktur. Keempat, menyediakan aplikasi pembuatan kode billing. Kelima, mendistribusikan surat pemberitahuan dalam format dokumen elektronik. Jasa Penunjukan Pelayanan Kuasa Wajib Pajak (PJAP) yang ditunjuk dapat memberikan layanan pendukung permohonan sepanjang telah disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Untuk menunjuk Jasa Penunjukan Pelayanan Kuasa Wajib Pajak (PJAP), Direktur Jenderal Pajak akan menentukan jumlah Wajib Pajak yang dibutuhkan. Direktur Jenderal Pajak juga akan menyediakan informasi mengenai jumlah Wajib Pajak yang dibutuhkan melalui situs web DJP. Peraturan Per-5/PJ/2025 mengatur beberapa aspek Wajib Pajak secara rinci, meliputi persyaratan dan permohonan Wajib Pajak, proses permohonan, kewajiban dan larangan Wajib Pajak, hak Wajib Pajak, serta pengawasan dan sanksinya. Selain itu, terdapat bab mengenai ketentuan peralihan yang perlu diperhatikan. Pada saat PER5/PJ/2025 mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengangkatan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PJAP) yang diterbitkan sebelum peraturan ini mulai berlaku, tetap berlaku untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Masa Pajak sampai dengan Desember 2024; untuk sebagian Tahun Pajak sampai dengan bagian Tahun Pajak yang berakhir pada Desember 2024; dan/atau untuk Tahun Pajak sampai dengan Tahun Pajak 2024. Lebih lanjut, Pengusaha Kena Pajak (PJAP) yang telah diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pengangkatan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PJAP) dapat menyesuaikan sistem layanan aplikasi perpajakannya sehubungan dengan pemutakhiran sistem administrasi perpajakan inti. Penyesuaian sistem layanan aplikasi perpajakan ini dilakukan dengan ketentuan seluruh layanan yang dipersyaratkan dalam PJAP telah tersedia paling lambat tanggal 31 Desember 2025. “Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan tentang pengangkatan Pengusaha Kena Pajak bagi Wajib Pajak (PJAP) yang telah memenuhi persyaratan…” bunyi Pasal 18 ayat (4) PER-5/PJ/2025. Pada saat PER-5/PJ/2025 mulai berlaku, PER-11/PJ/2019 sampai dengan PER-10/PJ/2020 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. PER-5/PJ/2025 mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu tanggal 2 Mei 2025.
Buka Tabungan Emas di Pegadaian Tanpa Kena Pajak
Buka Tabungan Emas Secara Online Nasabah bisa membuka Tabungan Emas melalui aplikasi Pegadaian Digital. Berikut langkah-langkahnya: Unduh aplikasi Pegadaian Digital di Play Store atau App Store. Pilih menu “Buka Tabungan Emas”. Isi data diri lengkap, unggah KTP, lalu pilih outlet Pegadaian terdekat sebagai lokasi pengambilan buku tabungan. Cek kembali data, masukkan kode promo (jika ada), lalu konfirmasi. Tentukan metode pembayaran dan lakukan setoran awal minimal Rp10 ribu. Pendaftaran online dibebaskan dari biaya pengelolaan rekening selama satu tahun. Jika pendaftaran sukses, rekening Tabungan Emas aktif dan nasabah bisa mulai menabung secara konsisten. Buka Tabungan Emas Secara Offline Selain lewat aplikasi, pembukaan rekening juga bisa dilakukan dengan mendatangi kantor cabang Pegadaian terdekat. Caranya: Datangi outlet Pegadaian dan sampaikan ke petugas untuk membuka Tabungan Emas. Isi formulir pendaftaran, lalu serahkan bersama KTP. Bayar biaya administrasi Rp10 ribu dan biaya pengelolaan Rp30 ribu untuk setahun. Setelah proses selesai, nasabah akan menerima buku rekening Tabungan Emas. Produk Tabungan Emas menawarkan fleksibilitas kepada nasabah, mulai dari pembelian kembali (dijual kembali), gadai emas, hingga pencetakan emas fisik. Saldo Tabungan Emas juga dapat ditransfer ke pengguna lain. Selain itu, fitur simulasi Tabungan Emas tersedia di aplikasi untuk menghitung jumlah gram emas yang ingin Anda beli dengan mudah. Menariknya, transaksi Tabungan Emas bebas pajak emas, sehingga nasabah hanya membayar sebesar jumlah isi ulang emas mereka.
Untuk Memotong PPh Final Jasa Pengawasan Konstruksi, Wajib Pajak Gunakan Kode Objek Pajak Ini
Pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak, menyatakan bahwa kode objek pajak untuk Jasa Pengawasan Konstruksi di aplikasi DJP Coretax dapat dimasukkan menggunakan kode objek pajak Jasa Konsultasi Konstruksi. Penjelasan ini menanggapi cuitan seorang netizen yang mengaku tidak menemukan kode objek pajak untuk jasa pengawasan konstruksi di DJP Coretax. Wajib pajak hanya melihat kode objek pajak untuk konstruksi terpadu, konsultan konstruksi, dan pekerjaan konstruksi. “Untuk pemotongan PPh final jasa pengawasan konstruksi, wajib pajak dapat memilih kode objek pajak Jasa Konsultasi Konstruksi sesuai dengan SBU yang dimiliki oleh penyedia jasa,” ujarnya, seperti dikutip dari situs DJP, Minggu (14 September 2025). Sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) PP 9/2022, jasa konsultasi konstruksi meliputi seluruh atau sebagian kegiatan yang meliputi penilaian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan pengelolaan konstruksi bangunan gedung. Sebagai informasi, jasa yang dikategorikan sebagai jasa konstruksi adalah jasa konsultasi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi. Usaha jasa konstruksi diklasifikasikan menjadi lima kategori: jasa konsultasi konstruksi umum; jasa konsultasi konstruksi spesialis; pekerjaan konstruksi umum; pekerjaan konstruksi spesialis; dan pekerjaan konstruksi terpadu. Usaha jasa konstruksi dilaksanakan melalui tiga kegiatan: jasa konsultasi konstruksi, pekerjaan konstruksi, dan pekerjaan konstruksi terpadu. Untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki sertifikat kualifikasi usaha kecil atau sertifikat kompetensi bagi orang pribadi, tarif PPh final yang berlaku adalah 1,75%. Selanjutnya, untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi bagi orang pribadi, tarif PPh final ditetapkan sebesar 4%. Sementara itu, pekerjaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain kedua penyedia jasa tersebut di atas dikenakan tarif PPh final sebesar 2,65%. Lebih lanjut, pekerjaan konstruksi terpadu oleh penyedia jasa bersertifikasi badan usaha dikenakan pajak penghasilan final sebesar 2,65%, sementara pekerjaan konstruksi terpadu oleh penyedia jasa non-sertifikasi dikenakan pajak penghasilan final sebesar 4%. Terakhir, jasa konsultasi konstruksi oleh penyedia jasa bersertifikasi badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk orang pribadi dikenakan pajak penghasilan final sebesar 3,5%, sementara jasa konsultasi konstruksi oleh penyedia jasa tanpa sertifikasi dikenakan pajak penghasilan final sebesar 6%.
Soal Warisan, Ditjen Pajak Imbau Wajib Pajak Ajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) Agar Terhindar dari PPh Final
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan ahli waris bahwa mereka tidak perlu membayar pajak penghasilan (PPh) ketika mewarisi tanah atau bangunan. Hal ini karena warisan tersebut tidak dikenakan pajak penghasilan. Selain itu, pengalihan hak atas tanah dan bangunan melalui pewarisan juga dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan Badan (PHTB). Namun, pembebasan pajak penghasilan diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB). “Tidak ada PPh atas warisan. Ahli waris berhak mengajukan SKB PPh untuk dibebaskan dari pengenaan PPh final,” tulis DJP di media sosial pada Rabu (17 September 2025). Perlu diketahui, SKB PPh adalah surat keterangan bebas pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian jual beli tanah dan/atau bangunan, beserta perubahannya. Ketentuan ini diatur dalam PMK 81/2024 Pasal 200 ayat (2). Untuk mendapatkan SKB, wajib pajak dapat mengunjungi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat atau mengajukan permohonan secara daring melalui sistem coretax di coretaxdjp.pajak.go.id. “Jadi, jika Anda mewarisi tanah atau bangunan, Anda tidak perlu membayar pajak penghasilan. Agar pengalihan hak kepemilikan lebih mudah dan aman, jangan lupa untuk mengajukan SKB,” imbau DJP. Terdapat beberapa dokumen dan persyaratan yang harus dipenuhi wajib pajak untuk mendapatkan Surat Keterangan Catatan Pajak (SKB). Secara umum, ketentuan teknis penerbitan SKB tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER-8/PJ/2025). DJP menghimbau wajib pajak sebagai ahli waris untuk melampirkan Surat Keterangan Pembagian Waris sesuai dengan Pasal 101 ayat (5) huruf c PER-8/PJ/2025. Selain itu, ahli waris juga harus memenuhi persyaratan Surat Keterangan Fiskal (SKF) untuk mendapatkan SKB. Permohonan SKB untuk pemotongan Pajak Penghasilan (PPh PHTB) dapat diajukan ke coretax melalui modul Layanan Wajib Pajak, pada menu Layanan Administrasi dan submenu Buat Permohonan Layanan Administrasi, beserta kode jenis layanan AS.19 dan kode sublayanan AS.19-05.
Cara Agar Warisan Tanah atau Bangunan Bebas Pajak
Pengecualian PPh Final atas Warisan Ketika seorang ahli waris menerima warisan berupa tanah atau bangunan, hak-hak tersebut beralih dari ahli waris kepada ahli waris lainnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 (PP 34/2016), penghasilan yang timbul dari pengalihan hak atas tanah atau bangunan karena pewarisan tetap dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Namun, pada Pasal 6 huruf d PP 34/2016, dijelaskan bahwa penghasilan dari pengalihan hak atas tanah/bangunan akibat waris dikecualikan dari pembayaran PPh Final. Pengecualian diberikan apabila wajib pajak telah memiliki SKB. Permohonan SKB PPh Final atas Warisan Tata cara pengajuan SKB atas warisan diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 (PER 8/2025). Permohonan SKB diajukan oleh ahli waris ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat ahli waris terdaftar. Pengajuan dapat dilakukan secara elektronik melalui aplikasi Coretax, lewat menu Layanan Administrasi, sub kategori layanan AS.19-05. SKB diajukan dengan format sesuai Lampiran IX.1 PER 8/2025. Permohonan tersebut juga harus dilampiri dengan Surat Pernyataan Pembagian Waris dengan format sesuai dengan Lampiran IX.5 PER 8/2025. Keputusan atas permohonan SKB akan diterbitkan dalam waktu tiga hari kerja setelah pengajuan. Apabila melebihi jangka waktu tersebut, permohonan dianggap diterima. Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menerbitkan SKB paling lambat dua hari kerja setelah jangka waktu pengambilan keputusan berakhir. BPHTB atas Harta Waris Selain PPh Final, pajak yang harus ditanggung ahli waris ketika melakukan pengalihan hak adalah BPHTB. BPHTB terutang sebesar 5% dari nilai perolehan yang dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTK). Menurut UU HKPD, NPOPTKP untuk BPHTB secara umum adalah paling sedikit Rp80 juta. Khusus untuk harta waris, NPOPTKP diberikan paling sedikit Rp300 juta. Pelaporan Harta Warisan pada SPT Tahunan Apabila ahli waris telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SKB) Final atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan warisan, dan warisan tersebut benar-benar dimiliki/dikuasai oleh ahli waris pada akhir tahun pajak, ahli waris wajib melaporkan tanah/bangunan yang diterima tersebut dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh OP) ahli waris. Pada saat menyampaikan SPT Tahunan, masukkan harta warisan pada kolom penghasilan yang tidak termasuk dalam Penghasilan Kena Pajak. Selanjutnya, tanah/bangunan yang diperoleh dilaporkan dalam daftar harta dengan mencantumkan tahun perolehan dan harga perolehan. Mulai tahun pajak 2025, SPT Tahunan akan disampaikan melalui aplikasi Coretax. Bagi orang pribadi, harta warisan dilaporkan dalam daftar harta pada Lampiran 1 SPT PPh OP.
