Diatur PMK 15/2025, Ini Kriteria Wajib Pajak yang Akan Diperiksa DJP

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak yang berlaku mulai 14 Februari 2025. Regulasi ini mempertegas kriteria Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam rangka menguji kepatuhan kewajiban perpajakan. Apa saja kriteria Wajib Pajak tersebut? Simak ulasan Pajak.com berikut ini. Ruang Lingkup Pemeriksaan dalam Rangka Menguji Kepatuhan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, termasuk satu atau beberapa objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Jenis pajak yang dimaksud adalah: Pajak Penghasilan (PPh); Pajak Pertambahan Nilai (PPN); Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); Bea Meterai; PBB; Pajak penjualan; Pajak karbon; dan Pajak lainnya yang diadministrasikan oleh DJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kriteria Wajib Pajak yang Akan Diperiksa DJP Berikut ini kriteria Wajib Pajak yang akan diperiksa DJP dalam rangka menguji kepatuhan, sesuai PMK Nomor 15 Tahun 2025: Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) sebagaimana diatur dalam Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak; Wajib Pajak menyampaikan SPT tahunan yang menyatakan rugi; Wajib Pajak telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak; Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku; Wajib Pajak melakukan perubahan metode pembukuan; Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva tetap; Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dan/atau ekspor barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak dan telah diberikan pengembalian pajak masukan atau telah mengkreditkan pajak masukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang PPN; Wajib Pajak terpilih untuk dilakukan pemeriksaan berdasarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak; Pihak lain yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 32A ayat (1) UU KUP; Terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Objek Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU PBB dan setelah ditegur secara tertulis Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Objek Pajak pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; dan/atau Terdapat indikasi jumlah PBB yang terutang berdasarkan data, keterangan, dan/atau bukti, serta berdasarkan hasil analisis, lebih besar daripada jumlah PBB yang dihitung berdasarkan: SPT Objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak; atau SPT Objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak dan data objek PBB yang diperoleh pada saat dilakukan penilaian lapangan, sepanjang data, keterangan, dan/atau bukti yang menunjukkan indikasi tersebut tidak diperoleh pada saat dilakukan penilaian lapangan. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/diatur-pmk-15-2025-ini-kriteria-wajib-pajak-yang-akan-diperiksa-djp/

Tarif Bunga Sanksi Administratif Pajak Periode Maret 2025

Kementerian Keuangan telah menetapkan tarif bunga sanksi administratif pajak untuk periode 1 Maret 2025 hingga 31 Maret 2025. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 3/KM.10/2025, tarif bunga per bulan yang menjadi dasar penghitungan sanksi administratif berupa bunga dan pemberian imbalan bunga telah diumumkan. Tarif bunga sanksi administratif pada berbagai ketentuan dalam UU KUP bervariasi, tergantung pada pasal yang dikenakan. Tarif bunga sanksi administratif pajak untuk Maret 2025 menunjukkan penurunan dibandingkan dengan bulan Februari 2025. Pada periode Maret 2025, tarif bunga tersebut berkisar antara 0,57 persen hingga 2,24 persen. Hal ini menandakan penurunan dari tarif bunga yang berlaku pada Februari 2025, di mana tarif sebelumnya lebih tinggi dan berada di kisaran antara 0,59 persen hingga 2,26 persen. Penurunan ini mencerminkan perubahan dalam kebijakan suku bunga atau kondisi ekonomi yang berpengaruh pada perhitungan denda administratif pajak. Berikut adalah rincian tarif bunga sanksi administratif yang berlaku untuk periode Maret 2025: Pasal 19 ayat (1) UU KUP Wajib Pajak yang terlambat membayar pajak setelah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau SKPKB Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan, Putusan Peninjauan Kembali atau Putusan Banding, dikenakan tarif bunga sebesar 0,57 persen per bulan. Pasal 19 ayat (2) UU KUP Wajib Pajak diperbolehkan untuk melakukan angsuran atau menunda pembayaran pajak yang dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,57 persen per bulan yang ditetapkan dari jumlah pajak yang harus dibayarkan. Pasal 19 ayat (3) UU KUP Wajib Pajak yang mengajukan penundaan pembayaran pajak kurang bayar akan dikenakan bunga 0,57 persen per bulan. Pasal 8 ayat (2) UU KUP Tarif bunga 0,99 persen per bulan dikenakan pada Wajib Pajak yang melakukan kurang bayar pembetulan SPT Tahunan atau SPT Masa. Pasal 8 ayat (2a) UU KUP Wajib Pajak yang membenarkan sendiri SPT Masa yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar akan terkena sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,99 persen per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar. Pasal 9 ayat (2a) UU KUP Wajib Pajak yang terlambat melakukan penyetoran PPh Masa akan terkena sanksi administratif bunga 0,99 persen per bulan. Pasal 9 ayat (2b) UU KUP Wajib Pajak yang terlambat melakukan penyetoran PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 29 akan terkena sanksi administratif bunga 0,99 persen per bulan. Pasal 14 ayat (3) UU KUP Penerbitan STP oleh DJP disebabkan beberapa akibat. Pertama, PPh yang tidak/kurang bayar. Kedua, berdasarkan hasil penelitian, ada pajak yang kurang dibayar akibat salah tulis dan/atau salah hitung. Jumlah kekurangan pajak yang terutang ditambah dengan sanksi administratif bunga sebesar 0,99 persen per bulan. Pasal 8 ayat (5) UU KUP Pajak yang kurang dibayar yang timbul akibat pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT setelah pemeriksaan tetapi belum diterbitkan SKP harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum pelaporan disampaikan beserta sanksi administratifnya sebesar 1,41 persen per bulan. Pasal 13 ayat (2) UU KUP SKPKB terbit karena pajak yang terutang tidak/kurang dibayar akibat dari hal-hal yang diatur pada Pasal 13 ayat 1 huruf (a) sampai dengan (e) UU KUP. Jumlah kekurangan pajak yang terutang ditambah dengan sanksi administratif bunga sebesar 1,82 persen per bulan. Pasal 13 ayat (2a) UU KUP […]

Ada Kesalahan, Apakah SPT Status Menunggu Pembayaran Bisa Diedit?

Coretax mengubah proses bisnis pembayaran atas SPT berstatus kurang bayar. SPT yang telah dibuat kode billing-nya akan berstatus SPT Menunggu Pembayaran. SPT tersebut tidak dapat dilakukan perubahan. Perubahan hanya dapat dilakukan sampai kode billing expired atau melalui pembetulan SPT. SPT Menunggu Pembayaran Tidak Bisa Diubah Namun, jika terdapat kesalahan, wajib pajak tidak bisa mengubah SPT dengan status Menunggu Pembayaran tersebut. “Apabila status SPT sudah menjadi SPT Menunggu Pembayaran, maka tidak dapat lagi dilakukan edit/ubah,” tulis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui salah satu unggahan pada akun X @kring_pajak. Jika terdapat kesalahan, DJP menyampaikan terdapat dua alternatif yang dapat dilakukan oleh wajib pajak. Wajib paja dapat: menunggu kode billing expired (7 hari sejak billing dibuat), maka SPT menunggu pembayaran tersebut akan berubah kembali menjadi draft SPT. Wajib pajak kemudian dapat kembali mengedit atau membetulkan SPT tersebut; atau melakukan pembayaran kode billing yang sudah terbentuk dan kemudian membuat pembetulan SPT. Di aplikasi Coretax, kode billing untuk pembayaran SPT hanya dapat dibuat ketika wajib pajak telah selesai membuat draft SPT. Pada bagian akhir SPT, wajib pajak mengklik tombol Bayar dan Lapor, kemudian memilih opsi Buat Kode Billing. Sistem akan membuat kode billing, kemudian SPT akan berstatus sebagai SPT Menunggu Pembayaran. Menggunakan Deposit Pajak untuk Mencegah Keterlambatan Pembayaran Kondisi di atas tentu dapat menimbulkan risiko keterlambatan pembayaran. Misalnya, draft SPT dibuat 5 hari sebelum batas waktu penyetoran pajak. Jika terjadi kesalahan dalam SPT, kemudian wajib pajak memilih untuk menunggu SPT berubah kembali menjadi draft selama 7 hari, wajib pajak akan terlambat melakukan penyetoran pajak. Dalam hal terjadi kesalahan pada SPT yang telah dibuatkan kode billing, dan wajib pajak tidak ingin melakukan pembetulan SPT, wajib pajak dapat melakukan pembayaran pajak dengan deposit pajak untuk mencegah keterlambatan pembayaran. Yang perlu diperhatikan adalah: pastikan mengisi deposit pajak sejumlah kurang bayar pada SPT yang akan dilaporkan; dan pengisian deposit pajak dilakukan sebelum batas waktu penyetoran pajak. Sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024, tanggal penyetoran atas suatu jenis pajak yang menggunakan Deposit Pajak mengacu pada tanggal pengisian deposit. Melanjutkan ilustrasi di atas, wajib pajak dapat mengedit/mengubah SPT yang kode billing-nya telah expired tersebut. Setelah disesuaikan, pada saat mengklik Bayar dan Lapor, pilih Deposit Pajak sebagai metode pembayaran. Apabila berhasil, SPT akan secara otomatis terlapor.   Sumber: https://ortax.org/ada-kesalahan-apakah-spt-status-menunggu-pembayaran-bisa-diedit