Hari ini, Kamis (20/3/2025) sebenarnya merupakan jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 dan SPT Masa PPh Unifikasi untuk masa Februari 2025. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 171 ayat (1) PMK 81/2024. Kendati demikian, wajib pajak masih berkesempatan melaporkan SPT masa PPh Pasal 21 dan SPT masa PPh unifikasi tanpa dikenakan sanksi denda hingga 31 Maret 2025. Hal ini sesuai dengan relaksasi batas waktu pelaporan SPT sebagaimana diatur dalam Kepdirjen Pajak No. KEP67/PJ/2025. “… keterlambatan penyampaian SPT masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan SPT masa PPh unifikasi untuk masa pajak Februari 2025 yang disampaikan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian sampai dengan tanggal 31 Maret 2025,” bunyi penggalan diktum ketiga KEP67/PJ/2025, dikutip pada Kamis (20/3/2025). Baca Juga: Perbaikan Coretax System Diklaim 70%, DPR Tetap Tagih Perbaikan Penuh Dengan demikian, wajib pajak tidak akan dikenakan sanksi denda sepanjang SPT masa PPh Pasal 21 dan SPT masa PPh unifikasi untuk masa Februari 2025 disampaikan maksimal 31 Maret 2025. Seperti diketahui, dirjen pajak memberikan penghapusan sanksi administrasi dan relaksasi batas waktu penyetoran dan pelaporan pajak melalui KEP-67/PJ/2025. Penghapusan sanksi dan relaksasi tersebut diberikan sebagai respons atas berbagai kendala penyetoran dan pelaporan pajak seiring dengan berlakunya coretax system. Baca Juga: Masih Sering Dikeluhkan WP, DPR Kembali Soroti Kinerja Coretax Akan tetapi, penghapusan sanksi administrasi yang diatur dalam KEP-67/P/2025 tidak berlaku untuk semua masa pajak dan ada batas waktu relaksasinya. Untuk itu, wajib pajak perlu mencermati masa pajak yang telah diberikan penghapusan sanksi dalam KEP-67/PJ/2025.
Regulasi PPh Final UMKM Belum Rampung, Begini Nasib Wajib Pajak UMKM di 2025
Payung hukum perpanjangan insentif PPh Final 0,5% untuk UMKM masih belum juga terbit. Ini menimbulkan ketidakpastian soal berapa tarif pajak yang harus dibayar UMKM di 2025, mengingat insentif tersebut telah berakhir per Desember 2024. Sampai saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan masih menggondok regulasi terkait perpanjangan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM sebesar 0,5% di tahun 2025. “Regulasi mengenai perpanjangan instentif PPh Final 0,5% masih dalam pembahasan internal Kementerian Keuangan,” ungkap Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kepada Kontan, Selasa (18/3). Di sisi lain, seiring dengan penantian terbitnya regulasi tersebut, aturan yang berlaku adalah berdasarkan PP 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PPh), dimana Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yakni Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto hingga Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan PPh Final sebesar 0,5%. “Lebih lanjut, berdasarkan pasal 60 ayat (2) PP 55 Tahun 2022 penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 500 juta per tahun tidak dikenai PPh,” ungkapnya kepada Kontan. Dengan demikian, sebelum kebijakan perpanjangan ini diterbitkan, Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM yang terdaftar di atas tahun 2018, masih bisa menggunakan fasilitas tarif PPh Final 0,5% di tahun 2025. Setidaknya ada sekitar 1,23 juta WP UMKM yang membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum UU Pajak Penghasilan dengan menggunakan tarif normal. Tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% hanya digunakan wajib pajak orang pribadi atau badan di dalam negeri yang memiliki peredaran bruto dari usaha tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/regulasi-pph-final-umkm-belum-rampung-begini-nasib-wajib-pajak-umkm-di-2025
Global Minimum Tax: Dampak pada Insentif Fiskal dan Strategi
Dampak Global Minimum Tax (GMT) makin terasa di tengah maraknya praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Dalam kerangka Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 Pilar II, GMT mewajibkan perusahaan membayar pajak minimum 15% jika pendapatan konsolidasian mereka melebihi ambang tertentu. Tujuannya adalah memastikan agar pengalihan keuntungan ke yurisdiksi berpajak rendah tidak lagi memberi dampak signifikan dalam menekan kewajiban pajak. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136 Tahun 2024, Indonesia mengadopsi ketentuan GMT bagi perusahaan multinasional yang pendapatan tahunannya melampaui EUR 750 juta dalam dua dari empat tahun fiskal sebelum tahun fiskal yang diuji. Kebijakan ini secara langsung memengaruhi struktur dan efektivitas berbagai insentif fiskal yang selama ini dijadikan alat untuk menarik investasi. Dampak Global Minimum Tax (GMT) akan dirasakan berbeda oleh perusahaan yang terkena ketentuan tersebut dan yang tidak. Bagi perusahaan yang pendapatannya belum mencapai kriteria, akses insentif fiskal tradisional seperti tax holiday atau tax allowance masih relatif leluasa. Perusahaan-perusahaan ini bisa memanfaatkan tarif pajak yang lebih rendah atau keringanan berbasis laba tanpa kekhawatiran wajib memenuhi pajak minimum 15 persen. Sebaliknya, bagi perusahaan yang sudah memenuhi kriteria GMT, insentif berbasis penurunan tarif pajak penghasilan menjadi kurang efektif karena pada akhirnya perusahaan harus menutupi selisih hingga mencapai ambang 15 persen. Hal ini memicu perlunya peninjauan ulang strategi perpajakan, terutama dalam memilih insentif yang tidak berpengaruh terhadap effective tax rate secara langsung. Meskipun penerapan GMT membatasi beberapa insentif pajak berbasis pendapatan, sejumlah fasilitas fiskal lainnya tetap dapat dimanfaatkan oleh perusahaan yang terkena dampak GMT. Fasilitas non-pendapatan seperti pembebasan bea masuk, fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor, dan Zona Ekonomi Khusus (Bonded Zone) tetap menjadi alat yang efektif untuk mengurangi beban pajak. Fasilitas seperti ini membantu mengurangi biaya operasional tanpa membuat effective tax rate jatuh di bawah 15 persen. Fasilitas-fasilitas ini tidak dipengaruhi oleh ketentuan GMT dan masih dapat digunakan oleh perusahaan untuk mendukung investasi serta mengoptimalkan biaya operasional mereka. Sumber: https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/global-minimum-tax-dampak-pada-insentif-fiskal-dan-strategi/