Pengumuman! DJP Akhirnya Rilis Keputusan Penghapusan Sanksi Coretax

Dirjen Pajak Suryo Utomo akhirnya resmi menerbitkan keputusan penghapusan sanksi administrasi pasca implementasi coretax. Kebijakan tersebut diatur melalui Keputusan Dirjen Pajak No. KEP67/PJ/2025. Melalui keputusan tersebut, dirjen pajak menghapus sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak serta keterlambatan penyampaian SPT. Kebijakan ini diambil sebagai respons atas perubahan sistem administrasi yang menyebabkan keterlambatan pembayaran pajak dan pelaporan SPT. Dalam kondisi tersebut, keterlambatan bukan merupakan kesalahan wajib pajak. Secara lebih terperinci, penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak yang dimaksud meliputi sanksi yang dikenakan atas: Keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran: PPh masa tersebut meliputi PPh Pasal 4 ayat (2), selain PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; PPh Pasal 15; PPh Pasal 21; PPh Pasal 22; PPh Pasal 23; PPh Pasal 25; dan PPh Pasal 26, yang terutang untuk masa pajak Januari 2025 yang dibayar dan/atau disetor setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dan/atau penyetoran sampai dengan tanggal 28 Februari 2025; Keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk: masa pajak Desember 2024 yang dibayar dan/atau disetor setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dan/atau penyetoran sampai dengan tanggal 31 Januari 2025; dan masa pajak Januari 2025 yang dibayar dan/atau disetor setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dan/atau penyetoran sampai dengan tanggal 28 Februari 2025; Keterlambatan penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang untuk masa pajak Januari 2025 yang disetor setelah tanggal jatuh tempo penyetoran sampai dengan tanggal 10 Maret 2025 Keterlambatan penyetoran bea meterai yang dipungut oleh pemungut bea meterai untuk: masa pajak Desember 2024 yang disetor setelah tanggal jatuh tempo penyetoran sampai dengan tanggal 31 Januari 2025; dan masa pajak Januari 2025 yang disetor setelah tanggal jatuh tempo penyetoran sampai dengan tanggal 28 Februari 2025. Sementara itu, penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan atau penyampaian SPT yang dimaksud meliputi: 1. Keterlambatan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan SPT Masa PPh Unifikasi untuk: masa pajak Januari 2025 yang disampaikan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian sampai dengan tanggal 28 Februari 2025; masa pajak Februari 2025 yang disampaikan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian sampai dengan tanggal 31 Maret 2025; dan masa pajak Maret 2025 yang disampaikan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian sampai dengan tanggal 30 April 2025; 2. Keterlambatan pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk: masa pajak Desember 2024 yang dilaporkan setelah tanggal jatuh tempo pelaporan sampai dengan tanggal 31 Januari 2025; masa pajak Januari 2025 yang dilaporkan setelah tanggal jatuh tempo pelaporan sampai dengan tanggal 28 Februari 2025; masa pajak Februari 2025 yang dilaporkan setelah tanggal jatuh tempo pelaporan sampai dengan tanggal 31 Maret 2025; dan masa pajak Maret 2025 yang dilaporkan setelah tanggal jatuh tempo pelaporan sampai dengan tanggal 30 April 2025. 3. Keterlambatan pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2) yang terutang atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan PPh Pasal 25 untuk: masa pajak […]

Dapat “Doorprize” dari Luar Negeri Tetap Kena Pajak dan Bea Masuk!

JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan aturan baru dalam kegiatan impor dan ekspor barang kiriman. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 4 Tahun 2025 yang akan mulai berlaku Maret 2025 mendatang. Salah satu hal yang diatur dalam beleid tersebut adalah mengenai pemberian fasilitas fiskal atas barang kiriman hadiah perlombaan/penghargaan internasional. Warga negara Indonesia (WNI) yang menerima hadiah/penghargaan dapat mengirimkan barang berupa satu buah medali, trofi, lencana, dan/atau barang sejenis lainnya; dan/atau satu buah barang hadiah lainnya diberikan fasilitas fiskal. Dalam pengiriman ini dibebaskan dari pungutan bea masuk, tidak dipungut pajak pertambahan nilai (PPN), serta dikecualikan dari bea masuk tambahan (BMT) dan pajak penghasilan (PPh). Namun, Subdirektorat Impor, Direktorat Teknis Kepabeanan di Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kemenkeu Chotibul Umam menegaskan bahwa ada beberapa barang yang tidak diberikan fasilitas pembebasan tersebut. Barang tersebut diantaranya kendaraan bermotor, barang kena cukai (BKC), serta hadiah dari undian (dooprize) atau perjudian. Ia menyebut, meskipun doorprize sering kali diberikan dalam acara perlombaan, hadiah ini tidak masuk dalam kategori barang yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak. Dengan demikian, penerima doorprize tetap akan dikenakan biaya masuk dan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Nah biasanya kan kalau ada lomba misalnya itu ada dooprize-nya. Kalau seandainya dapat doorprize itu tidak termasuk yang dibebaskan,” katanya dalam Media Briefing di Jakarta, Selasa (25/2). Chotibul berharap dengan adanya aturan baru ini, tidak ada lagi kebingungan terkait dengan pengenaan bea masuk dan pajak atas barang kiriman hadiah perlombaan.   Sumber: https://money.kompas.com/read/2025/02/25/172346226/dapat-doorprize-dari-luar-negeri-tetap-kena-pajak-dan-bea-masuk.

Kendala Akses DJP Online? Simak Solusi DJP

Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU KUP, batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah paling lama pada 3 bulan setelah tahun pajak berakhir. Artinya, SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2024 paling lambat disampaikan pada tanggal 31 Maret 2025. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan bahwa untuk pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2024 dilakukan lewat aplikasi DJP Online, tidak menggunakan aplikasi Coretax. Bagi wajib pajak yang akan melakukan pelaporan, Tim Redaksi Ortax merangkum beberapa kendala yang mungkin timbul saat mengakses DJP Online beserta solusi yang dapat dilakukan berdasarkan informasi DJP. Gagal Autentikasi Saat ini, DJP telah mengimplementasikan multi-factor authentication (MFA) untuk masuk atau login ke akun DJP Online wajib pajak. Sistem MFA akan mengirimkan token kepada wajib pajak. Token tersebut kemudian digunakan untuk masuk ke akun DJP Online. Saat ini wajib pajak dapat memilih salah satu dari opsi MFA, yakni email, SMS, aplikasi M-Pajak, atau melalui Mobile Authenticator. Kode Verifikasi Tidak Diterima Sebagian besar wajib pajak mengeluhkan kode verifikasi/token yang dikirimkan oleh sistem DJP tidak diterima oleh wajib pajak. Banyak wajib pajak menerima kode verifikasi setelah lebih dari 2 jam sementara kode tersebut hanya berlaku 2 jam. Per Rabu (26/02/2025), DJP melalui akun X @kring_pajak menyampaikan telah dilakukan perbaikan terkait kendala tersebut. Apabila wajib pajak belum menerima kode verifikasi melalui email, DJP mengimbau wajib pajak untuk menggunakan metode verifikasi lain, seperti SMS, m-Pajak, atau mobile authenticator. Error Autentikasi Kendala lain yang timbul pada saat saat login ke akun DJP Online adalah error dengan keterangan “Pesan Kesalahan:SO018: Autentikasi tidak berhasil”. Terkait kendala ini, DJP melalui salah satu unggahannya meminta wajib pajak untuk mencoba kembali secara berkala. Sebelum mencoba kembali, disarankan melakukan clear cache & cookies pada browser, atau gunakan browser lain/mode private/incognito window. Lupa Password DJP Online Jika lupa password atau kata sandi, wajib pajak dapat mengajukan penggantian password dengan mengklik “Lupa Kata Sandi?” pada laman login DJP Online. Kemudian, masukkan NPWP, EFIN, serta kode keamanan. Lalu, klik Submit. Tautan untuk reset password akan dikirimkan ke email terdaftar. Lupa EFIN Saat melakukan permohonan ubah kata sandi, wajib pajak juga diminta untuk memasukkan EFIN. Wajib pajak orang pribadi yang ingin meminta EFIN kembali dapat menghubungi telepon Kring Pajak melalui nomor 1500200 pada hari kerja pukul 08.00–16.00 WIB. Wajib pajak juga dapat meminta EFIN melalui Live Chat pada laman www.pajak.go.id, mengirimkan email ke lupa.efin@pajak.go.id, atau aplikasi M-Pajak. Selain itu, wajib pajak orang pribadi bisa datang langsung ke KPP/KP2KP terdekat pada hari kerja pukul 08.00–16.00 waktu setempat.   Sumber: https://ortax.org/kendala-akses-djp-online-simak-solusi-djp

Gali Pajak Lewat Shadow Economy, Mungkinkah?

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah kembali menegaskan ingin menggali pajak dari shadow economy alias ekonomi bayangan. Kendati demikian, pakar ragu pemerintah bisa mengantongi banyak penerimaan dari shadow economy. Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono mendefinisikan kegiatan ekonomi, baik secara legal maupun ilegal, yang tidak masuk ke dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, shadow economy bisa dibagi menjadi empat kategori yaitu illegal economy (ekonomi ilegal), unreported economy (ekonomi tak terlapor), unrecorded economy (ekonomi tak terekam), dan informal economy (ekonomi tak resmi). “Ketika didiskusikan shadow economy, harus disepakati dulu apa cakupan dan pengertian dari shadow economy tersebut. Setelah tahu rinciannya, kita bakal paham apakah realistis jika pajaknya digali,” ujar Prianto kepada Bisnis, Kamis (20/2/2025). Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia (UI) ini mencontohkan illegal economy seperti perdagangan narkoba, prostitusi, perjudian, penyelundupan, dan penipuan. Oleh sebab itu, sambungnya, pajak tidak dapat dikenakan atas transaksi illegal economy karena aktivitasnya melanggar hukum. Prianto mengatakan aparat penegak hukum harus menindak aktivitas illegal economy terlebih dulu sebelum pajaknya bisa dipungut. Sementara itu, dia mencontohkan unreported economy sebagai transaksi ekonomi yang tidak dilaporkan ke otoritas pajak karena menghindari aturan pajak. Untuk hal ini, pajak dapat dikenakan, meskipun tidak mudah melalui pemeriksaan pajak terlebih dulu untuk memastikan utang pajaknya. Selanjutnya, lanjut Prianto, wajib pajak yang diperiksa tersebut dapat melakukan perlawanan sehingga timbul sengketa pajak. Kasus demikian mengakibatkan otoritas pajak tidak langsung mendapatkan setoran pajak karena harus menunggu putusan pengadilan yang sudah inkrah. Lalu, dia mencontohkan unrecorded economy sebagai aktivitas ekonomi yang tidak tercatat dan tidak masuk di dalam data resmi seperti pembayaran upah karyawan dilakukan secara diam-diam, pekerjaan mengasuh anak tidak dilaporkan, hingga transaksi barter tidak melibatkan pertukaran uang tunai. Oleh sebab itu, pajak dapat dikenakan juga meskipun tidak mudah melalui pemeriksaan pajak terlebih dulu untuk memastikan utang pajaknya. Dalam konteks ini, kasusnya sama dengan unreported economy karena wajib pajak dapat mengajukan ketidaksetujuannya sehingga muncul sengketa pajak. Terakhir, Prianto mencontohkan informal economy sebagai transaksi di pedagang asongan/kaki lima/keliling, warung, toko kelontong, pekerja rumah tangga, tukang ojek, penarik becak, pengemudi bajaj, pemulung sampah, dan sejenisnya. Menurutnya, tidak banyak pajak yang dapat dipungut dari sektor ekonomi informal. Dia pun menyimpulkan berdasarkan empat jenis shadow economy, potensi pajak yang dapat digali hanya di sektor unrecorded dan unreported economy. “Namun demikian, peluang untuk mendapatkan cuan pajak tidak mudah karena akan ada perlawanan pajak. Otoritas pajak tidak bisa secara langsung memungut pajak,” kata Prianto. Di samping itu, direktur eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu menekankan sektor unrecorded dan unreported economy dapat menyumbang pajak apabila wajib pajaknya setuju dengan perhitungan pajak oleh petugas pajak. Kondisi demikian, jelasnya, terjadi selama perhitungan pajak dari kantor pajak didukung oleh bukti yang kuat. Ringkasnya, Prianto menilai target tambahan penerimaan negara sebesar Rp1.464 triliun setiap tahunnya dari shadow economy kurang realistis. Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250220/259/1841344/gali-pajak-lewat-shadow-economy-mungkinkah

Ada 5 Pokok Perubahan Ketentuan Ekspor Barang Kiriman

Ada 5 Pokok Perubahan Ketentuan Ekspor Barang Kiriman Pemerintah mengubah sejumlah ketentuan terkait dengan ekspor barang kiriman melalui PMK 4/2025. Perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan ketentuan ekspor barang kiriman dengan proses bisnis ekspor yang terus berkembang. Penyesuaian tersebut di antaranya terkait dengan ekspor barang kiriman oleh badan usaha yang mendapatkan fasilitas serta konsolidasi barang kiriman. Perubahan ketentuan ekspor barang kiriman tersebut di antaranya terkait dengan 5 hal yaitu: Memperkuat fungsi consignment note (CN) sebagai pemberitahuan pabean ekspor. Kini, perusahaan penerima fasilitas dapat melakukan ekspor barang kiriman dengan menggunakan CN untuk berat barang kiriman di bawah 30 kg. Selain itu, CN atas ekspor barang kiriman akan dijadikan sebagai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak sesuai dengan Perdirjen Pajak No. PER-16/PJ/2021. Menyederhanakan ketentuan penyampaian konsolidasi ekspor barang kiriman oleh penyelenggara pos. Kini, penyelenggara pos dapat menyampaikan konsolidasi barang kiriman baik yang menggunakan peti kemas maupun non-peti kemas dengan menggunakan Pemberitahuan Konsolidasi Barang Kiriman (PKBK). Mempermudah rekonsiliasi ekspor barang kiriman. Kini rekonsiliasi ekspor barang kiriman juga dapat dilakukan secara konsolidasi terhadap dokumen PKBK. Mempertegas pembebasan bea masuk atas barang kiriman yang telah diekspor, dapat dilakukan impor kembali (reimpor). Adapun pembebasan bea masuk atas barang reimpor dapat diberikan sepanjang: (i) terdapat dokumen/bukti pendukung bahwa barang kiriman tersebut merupakan barang reimpor; dan (ii) ekspor barang tersebut telah disampaikan baik dengan pemberitahuan ekspor barang atau CN. Mempertegas ketentuan pengecualian larangan dan pembatasan (lartas) atas ekspor barang kiriman. Adapun pengecualian lartas berlaku atas ekspor barang kiriman oleh selain badan usaha dan tidak ditujukan untuk kegiatan usaha.

‘Proyek’ Prabowo Ini Bisa Tambah Setoran Pajak Rp 900 T

Presiden Prabowo Subianto memiliki program besar untuk memperbaiki kinerja penerimaan negara. Program ini diyakini akan menambah penerimaan negara, yakni pajak, hingga Rp 900 triliun. Utusan Khusus Presiden Prabowo Urusan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo mengatakan program peningkatan penerimaan negara itu akan dipimpin langsung oleh Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu. Sayangnya, dia tidak mengungkapkan secara detail keterkaitan program ini dengan rencana Presiden Prabowo Subianto untuk membangun Badan Penerimaan Negara (BPN) atau rencana pemisahan Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dengan program itu, Hashim mengatakan, Prabowo menargetkan rasio penerimaan negara akan naik dari target tahun ini 12,1% menjadi serupa dengan Kamboja di level 18%, dan tahun-tahun setelahnya menjadi 23% seperti Vietnam. “Menurut World Bank, dan saya sudah ketemu 7x dengan tim, merek katakan Indonesia sangat mungkin sama dengan Kamboja, dampaknya tahun ini pemerintah mengharapkan revenue kita 12,1%,” ucap Hashim. “Berarti kalau 18% Bank Dunia katakan kita bisa berarti ada tambahan revenue penerimaan negara US$ 60 miliar per tahun atau Rp 900 triliun per tahun tambahan,” tegasnya. Dia yakin melalui program ini, Indonesia tidak akan lagi mengalami defisit anggaran. Alih-alih defisit, APBN RI akan berbalik surplus. Namun, Hashim menuturkan hal ini harus bersih dari kebocoran-kebocoran. Hashim pun menambahkan program ini merupakan gagasan atau ide dari orang tuanya, Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan mantan menteri keuangan RI. “Pak Prabowo dapat ide dari mana? dari orangtua kami. Tahun 94′, mungkin Bu Xandra (Wadirut Bank Mandiri) masih TK waktu itu atau di mana waktu itu. Pak Mitro (Sumitro) katakan ada kebocoran 30%. Masih ingat gak ya yang tua-tua?” “Itu benar dan itu yang menjadi pedoman bagi Pak Prabowo untuk menutup kebocoran-kebocoran itu,” katanya. Ironisnya, kata Hashim, Prabowo pernah diberikan panggilan ‘Prabocor’ pada 2014. Hal ini karena dirinya kerap mengungkapkan kebocoran-kebocoran APBN. “Prabowo sudah ngomong sudah 10 tahun lebih kebocoran dan dijadikan Prabocor sekarang dia presiden dan dia mau menutup yang kebocoran-kebocoran itu,” tegas Hashim.\   Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250226141844-4-613813/proyek-prabowo-ini-bisa-tambah-setoran-pajak-rp-900-t

Kemenkeu Sederhanakan Tarif Bea Masuk Barang Kiriman Buku hingga Komestik

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan/Kemenkeu mengatur ulang tarif bea masuk untuk barang kiriman dari luar negeri, khususnya untuk buku, tas, kosmetik, hingga produk tekstil. Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 4/2025 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 96/2023 Tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, Dan Pajak Atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman yang mulai berlaku per 5 Maret 2025. Kepala Subdirektorat Impor Direktorat Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Chotibul Umam menyampaikan pengubahan tarif ini merupakan simplifikasi pungutan fiskal impor barang kiriman untuk mendukung proses bisnis barang kiriman yang membutuhkan kecepatan layanan. “Jadi terkait dengan barang kiriman ini nanti akan ada 4 tarif biaya masuk, yakni 0%, 7,5%, 15%, dan 25%,” ujarnya dalam Media Briefing, Selasa (25/2/2025). Sebelumnya, Bea Cukai menerapkan tarif most favored nation (MFN) yang sangat bervariasi untuk setiap kode Harmonized System (HS) bagi komoditas tertentu dengan nilai lebih dari US$3 sampai dengan US$1.500 serta barang impor dengan nilai lebih dari US$1.500. Misalnya, tarif bea masuk untuk kosmetik sebelumnya berkisar antara 10%—15%, kemudian tarif impor besi/baja mulai dari 0%—20%. Kini, tarif untuk seluruh buku ilmu pengetahuan tetap 0%, tarif bea masuk untuk seluruh jenis jam tangan, kosmetik, besi/baja sebesar 15%. Sementara tarif untuk seluruh jenis tas, produk tekstil, alas kaki, dan sepeda yang sebelumnya bervariasi dari 5% hingga 40%, disederhanakan menjadi 25%.  “Kontribusi barang kiriman terhadap penerimaan itu hanya 0,3%, tetapi bikin ribet buat kami, jadi kami minta disederhanakan,” lanjut Chotib. Dalam PMK yang berisi 23 halaman tersebut, pemerintah melakukan pendefinisian ulang barang kiriman yang berasal dari hasil perdagangan dan barang kiriman pribadi. Barang hasil perdagangan merupakan barang hasil transaksi jual beli antara penjual dan pembeli. Sementara barang kiriman pribadi merupakan barang kiriman dengan penerima barang selain badan usaha. Selain itu, perlunya harmonisasi dengan ketentuan lain seperti ketentuan larangan dan/atau pembatasan (lartas) sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Pemerintah juga perlu memberikan fasilitas fiskal bagi jemaah haji yang waktu tunggunya sangat lama, perlunya memberikan apresiasi bagi WNI yang mengharumkan nama bangsa melalui pemberian fasilitas fiskal atas barang kiriman hadiah perlombaan/penghargaan internasional. Dalam beleid ini pula, adanya perubahan untuk meningkatkan dukungan ekspor dengan membuka skema barang kiriman untuk kegiatan ekspor yang dilakukan perusahaan berfasilitas, dan dengan melakukan simplifikasi ketentuan konsolidasi barang kiriman ekspor.   Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250225/259/1842547/kemenkeu-sederhanakan-tarif-bea-masuk-barang-kiriman-buku-hingga-komestik.

Diperiksa DJP, WP Harus Penuhi Permintaan Dokumen dalam Waktu 1 Bulan

Sebagaimana diatur dalam PMK 15/2025, wajib pajak yang diperiksa harus memenuhi surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan/atau dokumen yang disampaikan oleh pemeriksa pajak dalam waktu 1 bulan. Bila buku, catatan, dan/atau dokumen yang diminta pemeriksa pajak berdasarkan surat permintaan disampaikan oleh wajib pajak setelah jangka waktu 1 bulan maka buku, catatan, dan/atau dokumen tersebut dianggap tidak diberikan pada saat pemeriksaan. Namun demikian, ketentuan jangka waktu tersebut dikecualikan dalam hal buku, catatan, dan/atau dokumen yang diminta oleh pemeriksa berdasarkan surat permintaan belum diperoleh wajib pajak dari pihak ketiga. Dalam pasal 12 ayat (11) telah diatur bahwa buku, catatan, dan/atau dokumen yang belum diperoleh dari pihak ketiga bisa disampaikan paling lambat sebelum berita acara pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP) ditandatangani. Nanti, wajib pajak dapat memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen dari pihak ketiga pada saat pembahasan temuan sementara. Pembahasan temuan sementara diselenggarakan sebulan sebelum tanggal penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP). Pembahasan temuan sementara adalah pembahasan antara wajib pajak dan pemeriksa atas temuan sementara pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara untuk memberikan keyakinan bahwa temuan telah didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta sesuai dengan peraturan perpajakan.

Sri Mulyani Sederhanakan Tarif Bea Masuk untuk Kosmetik Hingga Tas

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan perubahan kebijakan terkait tarif bea masuk terhadap sejumlah komoditas tertentu yang sebelumnya dikenakan tarif Most Favored Nation (MFN). Perubahan ini bertujuan untuk menyederhanakan sistem tarif bea masuk menjadi lebih efisien dan transparan. Adapun penyederhanaan tarif ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 4 Tahun 2025 yang mulai berlaku 5 Maret 2025. Dalam PMK terbaru ini, delapan kelompok komoditas yang sebelumnya dikenakan tarif MFN kini dibagi menjadi tiga kelompok tarif yang lebih sederhana. Pertama, tarif 0%: diberlakukan untuk barang kiriman berupa buku ilmu pengetahuan. Kedua, tarif 15%: diberlakukan untuk barang kiriman seperti jam tangan, kosmetik, dan besi/baja. Dalam PMK sebelumnya yakni PMK 96/2023 Jo. PMK 111/2023, barang-barang tersebut dikenakan tarif dari kisaran 0% hingga 20%. Ketiga, tarif 25%: dikenakan pada barang kiriman berupa tas, produk tekstil, alas kaki, dan sepeda. Dalam PMK yang lama, barang-barang tersebut dikenakan tarif dengan range 5% hingga 40%. Selain perubahan tarif bea masuk, pemerintah juga menetapkan delapan kelompok komoditas tersebut tidak akan dikenakan Bea Masuk Tambahan (BMT). Namun, tetap dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Sekarang ini dengan PMK yang baru, dikecualikan untuk tambahan bea masuk. Alasannya untuk kemudahan dalam layanan dan percepatan dalam layanan,” ujar Subdirektorat Impor, Direktorat Teknis Kepabeanan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu Chotibul Umam dalam Media Briefing di Jakarta, Selasa (25/2). Sementara itu, Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan tarif sebesar 5%, kecuali untuk buku ilmu pengetahuan yang mendapatkan pengecualian dari PPh.   Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/sri-mulyani-sederhanakan-tarif-bea-masuk-untuk-kosmetik-hingga-tas

Pekan Panutan Pajak Kota Tangerang, Ada Diskon 25% PBB dan BPHTB

Jakarta – Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) menggelar Pekan Panutan Pajak 2025. Acara ini berlangsung di Plaza Puspem Kota Tangerang selama 3 hari hingga 26 Februari 2025 mendatang. Para wajib pajak dapat memanfaatkan Pekan Panutan Pajak 2025, yang bisa dijangkau secara online maupun offline. Di mana, di momen ini juga masih diberlakukan diskon 25 persen untuk PBB dan BPHTB hingga 31 Maret. Kepala Bapenda Kota Tangerang Kiki Wibhawa menjelaskan Pekan Panutan Pajak bertujuan untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam memenuhi kewajibannya membayar dan melaporkan pajak kepada negara. Terlebih para Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sejatinya menjadi pelopor dan panutan masyarakat dalam hal membayar pajak. “Berlangsung tiga hari ke depan di Plaza Puspem Kota Tangerang dengan target sasaran pegawai dan 13 kecamatan serta 104 kelurahan dengan target masyarakat umum,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Senin (24/2/2025). Diketahui, kepatuhan wajib pajak di triwulan I tahun 2025 meningkat cukup baik dibanding triwulan I di tahun 2024 lalu. Tercatat, PBB tahun 2025 memiliki target Rp 610 miliar sedangkan BPHTB memiliki target Rp650 miliar. Sedangkan target triwulan I PBB di angka Rp 91 miliar dan BPHTB di angka Rp 65 miliar. “Hingga hari ini, capaian triwulan I pada PBB telah mencapai 63 persen dan BPHTB di angka 91 persen. Artinya dengan Pekan Panutan Pajak ini dapat mendorong percepatan terkait penerimaan pendapatan, baik PBB maupun BPHTB,” katanya. Sebagai informasi, diskon PBB-P2 di antaranya ialah bebas sanksi administrasi sampai tahun 2024, diskon 25 persen untuk ketetapan PBB-P2 tahun 1994-2014, diskon 20 persen untuk ketetapan Buku I dengan nominal SPPT Rp 0 hingga Rp 100.000. Diskon 10 persen untuk ketetapan Buku II dengan nominal SPPT Rp 100.001 hingga Rp 500 ribu. Diskon enam persen untuk ketetapan Buku III dengan nominal Rp 500.001 hingga Rp 2 juta. Diskon empat persen untuk ketetapan Buku IV dengan nominal Rp 2.000.001 hingga Rp 5 juta dan diskon tiga persen untuk ketetapan Buku V dengan nominal lebih dari Rp 5 juta. Sedangkan untuk BPHTB sertifikat program pemerintah seperti Prona, PTSL atau PTKL mendapatkan diskon mencapai 25 persen. Sementara itu, Wakil Wali Kota Tangerang Maryono mengimbau wajib pajak agar tidak melewatkan kesempatan ini. “Diimbau para wajib pajak sebagai objek pajak untuk sama-sama bekerja sama dalam urusan pembayaran retribusi hingga pendapatan pajak di awal tahun. Silakan nikmati diskon yang diberikan Pemkot Tangerang baik itu di gerai offline atau pun pembayaran online,” katanya. Sumber: https://news.detik.com/berita/d-7793466/pekan-panutan-pajak-kota-tangerang-ada-diskon-25-pbb-dan-bphtb.