DJP Diimbau Manfaatkan Data Tax Amnesty untuk Petakan Kepatuhan WP

Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyarankan Ditjen Pajak (DJP) mengoptimalkan pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk meningkatkan kepatuhan pajak.  Anggota DEN Chatib Basri mengatakan artificial intelligence dapat membantu otoritas dalam membaca perilaku ekonomi masyarakat. Terlebih, ketika otoritas telah memiliki banyak data yang dihimpun antara lain melalui pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty) dan program pengungkapan sukarela. Jumlah fiskus yang terbatas membuat DJP belum optimal dalam melaksanakan pelayanan dan pengawasan kepada wajib pajak. Oleh karena itu, otoritas memerlukan dukungan teknologi digital untuk meningkatkan kepatuhan pajak, termasuk artificial intelligence. Penerapan coretax administration system memang telah menjadi sebuah kebutuhan dalam peningkatan kepatuhan pajak, yang pada akhirnya juga berdampak pada tax ratio. Meski masih dihadapkan pada berbagai kendala di tahap awal, coretax system diharapkan mampu membuat proses bisnis di bidang pajak menjadi lebih terukur dan serba-otomatis. Coretax system bakal berjalan lebih optimal ketika sudah dilengkapi dengan berbagai data. Dengan data yang mumpuni, otoritas akan dapat melakukan identifikasi dan memetakan perilaku ekonomi wajib pajak sehingga memudahkan pengawasan.

Tarif Pajak Reklame Capai 25 Persen, Ini Cara Hitung dan Aturan Terbarunya!

Pajak.com, Jakarta – Pemasangan reklame di Jakarta kini dikenakan pajak dengan tarif hingga 25 persen. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022. Agar tidak salah hitung, penting bagi pelaku usaha dan pengiklan untuk memahami aturan pajak reklame, termasuk objek pajak, cara perhitungan, dan mekanisme pembayarannya. Pajak reklame adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan reklame dalam berbagai bentuk, seperti billboard, spanduk, stiker, selebaran, hingga reklame digital seperti videotron dan megatron. Pajak ini wajib dibayar oleh Wajib Pajak, baik perorangan maupun badan usaha, yang menyelenggarakan reklame di wilayah DKI Jakarta. Semua jenis reklame yang ditujukan untuk promosi dan menarik perhatian publik termasuk dalam objek pajak. Beberapa contoh reklame yang dikenakan pajak antara lain: Reklame papan/billboard/videotron/megatron Reklame kain (banner, spanduk, dll.) Reklame stiker atau tempel ditempel di tempat tertentu Reklame selebaran Reklame di kendaraan (mobil, bus, motor) Reklame udara (balon udara, drone beriklan) Reklame apung (di air atau sungai) Reklame film/slide Reklame peragaan (misalnya mannequin yang dipajang di depan toko). Namun, ada beberapa reklame yang tidak dikenakan pajak, seperti iklan di media elektronik (TV, radio, internet), label produk, papan nama usaha sendiri, reklame pemerintah, reklame politik atau sosial yang tidak bersifat komersial, serta reklame untuk tempat ibadah dan panti asuhan. Besaran pajak reklame dihitung berdasarkan nilai sewa reklame, yang diperoleh dari kontrak sewa jika diselenggarakan oleh pihak ketiga. Jika reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewanya dihitung berdasarkan faktor-faktor seperti: Jenis reklame Bahan yang digunakan Lokasi pemasangan Waktu dan lama penayangan Jumlah dan ukuran reklame Jika nilai kontraknya tidak jelas atau dianggap tidak wajar, pemerintah akan menetapkannya berdasarkan faktor-faktor di atas sesuai dengan aturan yang diatur dalam Peraturan Gubernur. Berdasarkan Pasal 58 Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024, tarif pajak reklame ditetapkan sebesar 25 persen dari nilai sewa reklame. Cara Menghitung Pajak Reklame Perhitungan pajak reklame sangat sederhana. Tinggal mengalikan nilai sewa reklame dengan tarif pajak 25 persen. Contoh Perhitungan: Jika nilai sewa reklame sebesar Rp10 juta maka pajak yang harus dibayar: Rp10.000.000 × 25% = Rp2.500.000 Jadi, pajak reklame yang harus dibayar adalah Rp2.500.000. Pajak reklame mulai terutang sejak reklame tersebut dipasang atau ditayangkan. Artinya, begitu reklame sudah aktif dan dapat dilihat oleh publik, kewajiban pajaknya harus segera dipenuhi. Pembayaran pajak reklame dilakukan di wilayah DKI Jakarta, sesuai dengan lokasi pemasangan reklame tersebut. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pajak yang dibayarkan masuk ke kas daerah yang berwenang mengelola pendapatan dari sektor reklame. Khusus untuk reklame berjalan, seperti yang dipasang pada kendaraan (mobil, bus, atau motor), pajaknya tidak dibayarkan berdasarkan lokasi reklame beroperasi, melainkan di Jakarta, tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar. Dengan sistem ini, pemerintah daerah dapat lebih mudah mengawasi dan memungut pajak dari berbagai jenis reklame yang beredar di wilayahnya, termasuk reklame yang berpindah tempat. Pajak reklame bukan hanya kewajiban bagi Wajib Pajak, tetapi juga berperan dalam pembangunan kota. Pajak ini membantu menciptakan lingkungan periklanan yang lebih teratur, estetis, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, memahami aturan pajak reklame sangat penting bagi pelaku usaha agar tetap taat pajak dan terhindar dari sanksi hukum. Dengan […]

DJP Perlu Perpanjang Penghapusan Sanksi Imbas Kendala Coretax

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diharapkan perpanjang penghapusan sanksi atas keterlambatan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) maupun pembayaran pajak akibat kendala sistem administrasi pajak baru (Coretax). Pasalnya, periode penghapusan akan berakhir, namun Coretax masih tetap terkendala. Penghapusan sanksi diberikan Ditjen Pajak melalui Keputusan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-67/PJ/2025 yang ditetapkan pada 27 Februari 2025. Melalui keputusan tersebut, periode penghapusan sanksi atas keterlambatan pembayaran pajak penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, dan PPh Pasal 26, berakhir 28 Februari 2025. Penghapusan sanksi atas keterlambatan pembayaran bea meterai juga berakhir 28 Februari 2025. Sementara, penghapusan sanksi atas keterlambatan pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) berakhir 10 Maret 2025. Sedangkan penghapusan sanksi keterlambatan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dan SPT Masa PPh Unifikasi, SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan, SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dan PPh Pasal 25, serta dan SPT Masa Bea Materai berakhir pada 30 April 2025. Selain itu, penghapusan sanksi atas keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN berakhir pada 10 Mei 2025. Menurut Prianto Budi Saptono, Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), penghapusan sanksi perlu diperpanjang jika masalah Coretax masih berlanjut setelah Maret 2025. “Perpanjangan tersebut bisa ditetapkan hingga masa pajak Juni 2025 dengan target bahwa permasalahan Coretax sudah tidak ada lagi,” kata Prianto kepada Kontan.co.id, Minggu (8/3). Prianto mempertegas kewenangan DJP untuk menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) sesuai dengan Pasal 14 UU KUP. “Jika STP telah terbit, DJP akan membatalkan SPT tersebut secara jabatan,” tegasnya. Hal ini mencerminkan bahwa kebijakan penghapusan sanksi juga bertujuan untuk melindungi hak wajib pajak dari sanksi yang tidak adil yang disebabkan oleh kendala sistem. Sependapat, Raden Agus Suparman, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, juga mengusulkan agar penghapusan sanksi tersebut diperpanjang sampai sistem Coretax berfungsi dengan optimal. “Bahwa dasar diterbitkannya relaksasi adalah masalah Coretax yang belum siap. Permasalahan bukan di wajib pajak, tetapi permasalahan ada di aplikasi Ditjen Pajak yang bernama Coretax,” ujar Raden. Ini menunjukkan bahwa wajib pajak seharusnya tidak menanggung akibat dari permasalahan yang berasal dari sistem administrasi. Agus juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai banyaknya kesalahan yang terjadi dalam sistem Coretax. “Error di aplikasi sudah biasa terjadi, bahkan di DJP Online yang sebelumnya digunakan pun sudah sering terjadi error,” katanya. Ia menambahkan bahwa saat ini, kesalahan yang muncul di Coretax tidak dilengkapi dengan panduan penyelesaian yang jelas, sehingga menyebabkan ketidakpastian bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban mereka. Lebih lanjut, Agus berharap jika permasalahan Coretax dapat diselesaikan pada Mei 2025, maka sanksi administrasi untuk periode pajak Januari sampai April 2025 harus dihapuskan secara otomatis. “Sampai dengan hari ini Coretax masih sering error, sehingga sangat pantas jika sekarang pun seharusnya wajib pajak mendapatkan penghapusan sanksi administrasi,” tegas Agus. Sayangnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti enggan menjawab saat dikonfirmasi Kontan terkait usulan […]