Begini Cara Mitigasi Risiko Sengketa Pajak Transfer Pricing

Bisnis,com, JAKARTA — Salah satu sengketa pajak yang paling sering terjadi terutama di perusahaan multinasional yakni sengketa transfer pricing. Apakah itu? Bagaimana cara menghindarinya Melansir laman feb.ugm.ac.id, transfer pricing seringkali menjadi sarana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang. Transfer pricing lazim digunakan oleh sejumlah perusahaan multinasional untuk menghindari pembayaran pajak di dalam negeri. Perusahaan dengan sengaja memindahkan catatan keuangan ke negara lain dengan beban pajak yang lebih ringan (tax haven). Modusnya, perusahaan seringkali memiliki anak perusahaan di berbagai negara. Mereka terlibat dalam transaksi lintas batas untuk mengoptimalkan kewajiban pajak, biaya, dan keuntungan. Padahal, secara umum, transfer pricing merujuk pada penetapan harga barang, jasa, dan aset tidak berwujud yang diperdagangkan antara entitas terkait, seperti antar divisi atau anak perusahaan, dalam suatu perusahaan multinasional. Dalam implementasinya, transfer pricing perlu dilakukan dengan mengindahkan prinsip harga wajar. Kewajaran dan kelaziman usaha menjadi aspek yang krusial. Selain itu, transfer pricing harus memperhatikan metode yang digunakan. Metode yang sah antara lain adalah Comparable Uncontrolled Price (CUP), Resale Price Method (RPM), Cost Plus Method (CPM), Profit Spill Method, dan Transactional Net Margin Method (TNMM) atau Comparable Profits Method (CPM). Namun, dalam praktiknya, perusahaan memanfaatkan transfer pricing guna menghindari pajak. Mereka memindahkan keuntungan ke negara dengan pajak rendah atau memindahkan kerugian dengan memindahkan biaya yang dapat dikurangkan ke negara dengan pajak tinggi. Seharusnya, pendapatan yang dikenakan pajak tidak dapat secara artifisial dipindahkan ke yurisdiksi dengan pajak yang rendah. Adapun, salah satu cara utama penyelesaian sengketa transfer pricing melalui Mutual Agreement Procedure (MAP) dan Advance Pricing Agreement (APA), serta panduan optimalisasi insentif fiskal mendukung keberlanjutan bisnis di sektor extractive industry. Seperti diketahui, target penerimaan negara dari pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 tercatat sebesar Rp2.189,3 triliun atau meningkat 13,29% dari tahun sebelumnya. Karenanya, pemerintah terus mendorong intensifikasi perpajakan melalui pengawasan dan pemeriksaan, termasuk terhadap transaksi hubungan istimewa yang berdampak signifikan bagi dunia usaha. Managing Partner Transfer Pricing & International Tax TaxPrime Emanuel Dewo Adi Winedhar, menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle – ALP). “Siklus kepatuhan transfer pricing harus dirancang lebih awal sesuai regulasi untuk mencegah sengketa. Prosesnya mencakup desain, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi praktik transfer pricing,” ujar Dewo, dikutip Jumat (28/2/2025). Dia menambahkan bahwa perusahaan harus menerapkan penetapan harga transaksi kepada pihak afiliasi secara ex-ante, menyusun dokumentasi dengan analisis segregasi yang kuat serta mengelola dokumen pendukung secara optimal guna menghadapi asesmen otoritas pajak. Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa transfer pricing melalui jalur domestik kerap memakan waktu lama. Oleh karena itu, Wajib Pajak disarankan tidak hanya memitigai risiko transfer pricing sejak awal, tetapi juga mempertimbangkan penyelesaian melalui MAP yang lebih cepat dan efektif. Selain itu, dia juga menekankan bahwa pendekatan yang lebih proaktif dapat dilakukan dengan memanfaatkan mekanisme APA. “Pendekatan proaktif dengan memanfaatkan APA dapat menjadi solusi jangka panjang. Dengan menyepakati harga atau laba transaksi afiliasi sejak awal, perusahaan dapat melindungi diri dari risiko fiskal yang signifikan,” jelas Dewo. Senior Transfer Pricing and MAP/APA Analyst DJP Dinar Ayu Adeline, menyoroti cost of compliance yang tinggi dalam sengketa transfer pricing. “Banyak grup usaha […]

Bertahun-tahun Tak Lapor SPT Pajak, Harus Siap Tanggung Ini

Pajak sudah menjadi iuran yang wajib dibayarkan oleh semua masyarakat kepada pemerintah. Untuk itu, pembayaran pajak yang lalai akan dikenakan sanksi termasuk, dalam melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang telat. Secara umum, pelaporan SPT Tahunan Badan dilakukan sejak awal tahun hingga tanggal 30 April, sementara untuk SPT Tahunan Pribadi dibuka sejak awal tahun hingga 31 Maret. Kewajiban melaporkan SPT dikarenakan Indonesia menganut sistem perpajakan self assessment, yakni wajib pajak diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya. Meski bersifat wajib, namun ada saja wajib pajak yang tidak melaporkan pajaknya kepada negara. Perbuatan tersebut tentu tidak akan lepas dari kemungkinan pemberian sanksi. Tidak main-main, WP dapat terkena sanksi bersifat administratif bahkan pidana. Sanksi administratif meliputi kewajiban membayar denda dan sanksi kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar. Sementara itu, WP yang tidak jujur dalam melaporkan SPT juga bisa terkena sanksi pidana. Lebih jauh ketentuan mengenai sanksi ini diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Terkait sanksi administratif, tercantum dalam Pasal 7 ayat 1 UU KUP. Adapun sanksi administrasi yang dikenakan kepada WP yang tidak melakukan pelaporan SPT, yakni 1. Denda sebesar Rp500.000 untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Denda sebesar Rp100.000 untuk SPT Masa lainnya 3. Denda sebesar Rp1.000.000 untuk SPT Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Badan 4. Denda sebesar Rp100.000 untuk SPT PPh Wajib Pajak Perorangan Sedangkan sanksi pidana diatur dalam Pasal 39. Pasal tersebut menyatakan setiap orang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dikenakan sanksi pidana. “Sanksinya adalah pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun. Sedangkan dendanya paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar,” dikutip dari situs resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kemenkeu, dikutip Selasa (28/3/2023). Pelaporan SPT Tahunan dapat dilakukan secara tatap muka dengan datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat atau melalui online. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat, jumlah pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh) untuk periode 2024 tembus 3,33 juta orang per 12 Februari 2025 pukul 23.59. Bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, jumlah pelapor SPT Tahunan PPh itu meningkat sekitar 3,73% dibandingkan catatan pada periode yang sama pada tahun lalu sebanyak 3,21 juta wajib pajak. “Sampai dengan tanggal 12 Februari 2025 pukul 23.59 WIB, terdapat sebanyak 3,33 juta SPT Tahunan PPh yang sudah disampaikan,” dikutip dari keterangan tertulis DJP nomor KT-06/2025, Jumat (21/2/2025). Total pelaporan SPT per 12 Februari 2025 yang sebanyak 3,33 juta SPT Tahunan PPh itu terdiri dari sebanyak 3,23 juta wajib pajak orang pribadi dan 103,03 ribu wajib pajak badan. “Adapun penyampaian SPT Tahunan yang dilaporkan melalui saluran elektronik yaitu sebesar 3,26 juta, sementara yang disampaikan secara manual sebesar 75,77 ribu,” ungkap Ditjen Pajak. Sebagaimana diketahui, mekanisme pelaporan SPT Tahunan untuk periode 2024 yang wajib dilaporkan pada […]

Pemeriksaan Pajak Dijalankan Tanpa SPHP atau PAHP, Maka SKP Bisa Batal

Detail ketentuan yang tertuang dalam PMK 15/2025 masih menjadi salah satu sorotan media nasional pada hari ini, Senin (3/3/2025). Beleid ini juga mengatur bahwa surat ketetapan pajak (SKP) bisa dibatalkan apabila SKP tersebut diterbitkan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP). Kendati begitu, setelah SKP dibatalkan, proses pemeriksaan harus dilanjutkan dengan menyampaikan SPHP atau PAHP sesuai dengan prosedur dalam PMK 15/2025. “Dalam hal dilakukan pembatalan…, proses pemeriksaan harus dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur penyampaian SPHP dan/atau PAHP sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan menteri ini,” bunyi Pasal 21 ayat (2) PMK 15/2025. Sebagai informasi, SPHP adalah surat yang memuat hasil pengujian pemeriksaan seperti pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang, dan perhitungan sementara dari sanksi dan/atau denda administratif. Sepanjang proses pemeriksaan untuk pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban pajak, wajib pajak berhak menerima daftar temuan hasil pemeriksaan yang dilampirkan dalam SPHP. SPHP dan daftar temuan hasil pemeriksaan wajib ditanggapi oleh wajib pajak dalam waktu maksimal 5 hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP. Setelah ditanggapi, wajib pajak akan menerima undangan untuk menghadiri PAHP dalam waktu maksimal 3 hari kerja terhitung sejak tanggal atas SPHP diterima DJP. “PAHP adalah pembahasan antara wajib pajak dan pemeriksa pajak atas temuan pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara PAHP yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang dan perhitungan sanksi dan/atau denda administratif,” bunyi Pasal 1 angka 36 PMK 15/2025. Pemeriksa kemudian menindaklanjuti PAHP dengan membuat risalah pembahasan dan ditandatangani oleh pemeriksa dan wajib pajak yang diperiksa. Selain bahasan mengenai SKP, ada pula isu-isu lain yang juga diulas oleh media nasional pada hari ini. Di antaranya, update mengenai penghapusan sanksi administratif pasca-coretax system, kebijakan pemerintah menanggung sebagian PPN atas tiket pesawat, hingga aturan resmi mengenai penyimpanan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) di dalam negeri. Masih dalam pengaturan PMK 15/2025, pemeriksa memiliki kewajiban untuk menyampaikan pos-pos dalam SPT, data, atau kewajiban perpajakan tertentu yang diperiksa. Kewajiban pemeriksa pajak untuk menyampaikan pemberitahuan tertulis terkait pos-pos yang diperiksa berlaku dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan dengan tipe pemeriksaan terfokus. Pemberitahuan tertulis mengenai pos-pos SPT, data, atau kewajiban pajak tertentu yang diperiksa harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan.