Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi dalam meningkatkan keamanan layanan digital bagi Wajib Pajak. Kini, DJP menambahkan fitur Multi-Factor Authentication (MFA) menggunakan Mobile Authenticator pada sistem DJP online. Dengan adanya fitur ini, proses login menjadi lebih aman dan terhindar dari potensi penyalahgunaan kredensial. Penambahan fitur ini tertuang dalam Pengumuman Nomor PENG-15/PJ.09/2025 yang disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti. Dalam pengumuman tersebut, DJP menjelaskan bahwa MFA berbasis mobile authenticator mengadopsi konsep Time-based One Time Password (TOTP), sehingga Wajib Pajak mendapatkan kode verifikasi sekali pakai yang selalu berubah dalam jangka waktu tertentu. “Wajib Pajak yang baru pertama kali menggunakan metode verifikasi berupa MFA dengan mobile authenticator perlu melakukan registrasi atau aktivasi mobile authenticator,” kata Dwi dalam keterangan resminya, dikutip Pajak.com pada Senin (24/2/2025). Empat Metode Verifikasi “Login” Dengan hadirnya fitur baru ini, DJP online kini memiliki empat metode verifikasi login yang bisa dipilih oleh Wajib Pajak, yaitu: 1.Email 2.SMS 3.Akun M-Pajak (khusus Wajib Pajak Orang Pribadi) 4.Mobile authenticator Mengenal “Mobile Authenticator” Mobile authenticator adalah aplikasi yang dapat menghasilkan kode verifikasi satu kali pakai untuk meningkatkan keamanan login di DJP online. Beberapa aplikasi yang bisa digunakan sebagai mobile authenticator antara lain: Google Authenticator Authy Microsoft Authenticator Duo Mobile Last Pass Authenticator Aplikasi-aplikasi ini dapat diunduh secara gratis melalui Google Play Store atau App Store. Bagi Wajib Pajak yang ingin menggunakan metode MFA dengan mobile authenticator untuk pertama kalinya, perlu melakukan registrasi atau aktivasi terlebih dahulu. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/djp-tambah-fitur-mfa-untuk-login-di-layanan-djponline/
DJP: PPh 0% Buat Pekerja Padat Karya Tak Ganggu Setoran Pajak
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menjelaskan insentif pajak yang diberikan dalam Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah (DTP) atau PPh 21 DTP tidak akan mengganggu penerimaan pajak. Dia mengatakan bahwa skema PPh DTP dirancang untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Pasalnya, pajak yang biasanya dipotong dari gaji karyawan kini ditanggung pemerintah, sehingga penghasilan bersih yang diterima pekerja menjadi lebih besar. Dengan meningkatnya pendapatan yang dapat dibelanjakan, konsumsi masyarakat juga diharapkan meningkat, yang pada gilirannya akan menggerakkan roda perekonomian. “Karena yang kita harapkan nanti adalah multiplier effect-nya. Tadi bagaimana sudah saya sampaikan bahwa PPh 21 yang ditanggung oleh pemerintah kepada pemberi kerja itu harus dibayarkan di bulan yang bersangkutan,” ujar Dwi Astuti dalam acara Squawk Box CNBC TV, Senin (24/2/2025). Dwi pun menjelaskan dengan adanya peningkatan konsumsi, aktivitas ekonomi akan meningkat, menciptakan perputaran uang yang lebih besar dalam perekonomian. “Sehingga kalau sudah ada multiplier effect seperti ini, kemudian ada pergerakan ekonomi karena ini digunakan untuk konsumsi yang pada akhirnya ini akan memberikan dampak positif bagi penerimaan negara,” ujarnya. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah (DTP) dalam Rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025. PMK Nomor 10 Tahun 2025 tersebut ditetapkan dan mulai berlaku sejak tanggal 4 Februari 2025. Latar belakang penerbitan PMK ini adalah sebagai upaya mempertahankan daya beli masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan menjaga stabilitas perekonomian nasional. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu.
Air Tanah Kena Pajak? Ini Penjelasannya
Pajak Air Tanah (PAT) mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang. Namun, bagi mereka yang mengambil dan memanfaatkan air tanah, pajak ini wajib diperhitungkan. Lalu, apa sebenarnya PAT, siapa yang wajib membayarnya, dan bagaimana cara menghitungnya? Simak penjelasannya berikut ini. Sesuai dengan namanya, pajak air tanah adalah pajak yang dikenakan atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air tanah sendiri adalah air yang tersimpan dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Artinya, setiap orang atau badan yang mengambil dan memanfaatkan air tanah akan dikenakan pajak. Objek pajak air tanah mencakup seluruh kegiatan yang melibatkan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Namun, ada beberapa pengecualian yang tidak dikenakan pajak, yaitu: Keperluan dasar rumah tangga Pengairan pertanian rakyat Perikanan rakyat Peternakan rakyat Keperluan ibadah atau keagamaan Pemadaman kebakaran Keperluan pemerintah. Jadi, jika kamu menggunakan air tanah untuk mandi, mencuci, atau kebutuhan rumah tangga lainnya, kamu tidak perlu khawatir terkena pajak ini. Ada dua istilah penting dalam pajak air tanah: Subjek Pajak: Orang pribadi atau badan yang mengambil atau memanfaatkan air tanah. Wajib Pajak: Orang pribadi atau badan yang harus membayar pajaknya. Singkatnya, jika kamu atau perusahaanmu menggunakan air tanah untuk keperluan usaha, maka kamu termasuk Wajib Pajak yang harus membayar pajak air tanah. Bagaimana Cara Menghitung Pajaknya? Dasar perhitungan pajak air tanah adalah nilai perolehan air tanah, yang dihitung berdasarkan beberapa faktor, yaitu: Harga air baku: Berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian air tanah. Bobot air tanah: Ditentukan dari berbagai aspek seperti sumber air, lokasi, tujuan pemanfaatan, volume, kualitas, serta dampak terhadap lingkungan. Tarif pajak air tanah ditetapkan sebesar 20 persen dari nilai perolehan air tanah. Artinya, semakin besar nilai perolehan air tanah, maka semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Pajak ini mulai terutang sejak air tanah diambil atau dimanfaatkan. Jadi, jika kamu menggunakan air tanah untuk usaha, sejak saat itu juga kewajiban pajak ini berlaku. Wilayah pemungutan pajak air tanah adalah Provinsi DKI Jakarta. Artinya, pajak ini berlaku bagi siapa saja yang mengambil dan/atau memanfaatkan air tanah di wilayah Jakarta. Singkatnya, pajak air tanah adalah pajak yang dikenakan bagi siapa saja yang mengambil dan memanfaatkan air tanah, kecuali untuk keperluan tertentu seperti rumah tangga, pertanian rakyat, dan kegiatan sosial lainnya. Tarifnya 20 persen dari nilai perolehan air tanah dan wajib dibayar sejak air tanah mulai digunakan. Dengan membayar pajak air tanah, kita turut berkontribusi dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian sumber daya air tanah agar tetap bermanfaat bagi semua. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/air-tanah-kena-pajak-ini-penjelasannya/
Solusi Untuk Faktur Pajak Berstatus ‘Waiting for Amendment’
Notifikasi status waiting for amendment muncul jika PKP penjual membuat faktur pajak pengganti atas faktur pajak yang telah dikreditkan oleh PKP pembeli. Untuk mengatasi ini, pembeli harus menyetujui faktur pajak pengganti yang telah dibuat. Selanjutnya, pembeli mengakses menu Pajak Masukan. Kemudian, cari faktur pajak yang telah dibuat pengganti dengan status waiting for amendment. Setelah itu, klik Edit dan gulir layar ke bawah. Lalu, klik Setujui Penggantian. Selain itu, wajib pajak juga dapat mencoba melakukan beberapa langkah sebelum mengakses Coretax. Pertama, memastikan kembali koneksi internet lancar dan stabil. Kedua, silakan clear cache dan cookies pada browser yang digunakan. Ketiga, buka laman Coretax DJP melalui private browser atau incognito window. Keempat, wajib pajak juga bisa menggunakan browser atau perangkat lain.
DJP Tegaskan 5 Hal Soal Pengkreditan Pajak Masukan Pasca Coretax
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan perihal pengkreditan pajak masukan dalam masa pajak tidak sama pasca-implementasi Coretax. Ada lima poin yang disampaikan DJP dalam keterangan tertulis, Jumat (21/2/2025). Pertama, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) Pasal 9 ayat (2) mengatur bahwa pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama. Selain itu, di dalam Pasal 9 ayat (9) UU PPN diatur juga bahwa pajak masukan dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang tidak sama (berbeda) paling lama 3 (tiga) masa pajak berikutnya sepanjang belum dibebankan sebagai biaya. Kedua, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK-81/2024) mengatur bahwa pajak masukan dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, namun tidak mengatur ketentuan terkait pengkreditan pajak masukan pada masa pajak yang berbeda, kecuali untuk dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak. “Ketiga adalah ketentuan pengkreditan pajak masukan pada masa pajak yang sama bertujuan agar faktur pajak yang dibuat melalui Coretax DJP bisa langsung ter-prepopulated ke SPT Masa PPN pada masa pajak yang sama dilakukannya transaksi,” tulis DJP, Jumat (21/2/2025). Lebih lanjut, keempat, PMK-81/2024 tidak mengatur secara eksplisit bahwa pajak masukan dalam e-Faktur hanya dapat dikreditkan pada Masa Pajak yang sama, ataupun melarang pengkreditan pajak masukan dalam e-Faktur pada masa pajak berikutnya paling lama tiga masa pajak. ” Oleh karena itu, dalam rangka mengakomodasi adanya kebutuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), aplikasi Coretax DJP telah dilakukan pembaruan sehingga pajak masukan pada e-Faktur dapat dikreditkan dengan pajak keluaran paling lama tiga masa pajak berikutnya,” tulis DJP. Kelima, DJP mengungkapkan, mengingat bahwa dalam UU PPN mengatur pengkreditan pajak masukan dalam masa pajak yang sama atau dapat dikreditkan pada 3 (tiga) masa pajak berikutnya dan dalam PMK-81/2024 tidak terdapat norma pengaturan yang secara eksplisit mengatur bahwa pajak masukan yang tercantum dalam e-Faktur hanya dapat dikreditkan pada masa pajak yang sama atau melarang pengkreditan pajak masukan pada tiga masa pajak berikutnya, maka pembaruan aplikasi Coretax DJP sebagaimana disampaikan sebelumnya, saat ini belum memerlukan perubahan PMK-81/2024. “Kami mengimbau kepada Wajib Pajak agar terus mengikuti pengumuman resmi yang dikeluarkan DJP. Beberapa guidance atau panduan terkait langkah-langkah penggunaan aplikasi Coretax DJP dapat diakses pada laman landas Direktorat Jenderal Pajak dengan tautan https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/. Apabila wajib pajak menemui kendala, silakan menghubungi kantor pajak setempat atau Kring Pajak 1500 200,” papar DJP. Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250221112806-4-612509/djp-tegaskan-5-hal-soal-pengkreditan-pajak-masukan-pasca-coretax
Beri Sinyal Pajak Minimum Global Dibatalkan, Airlangga: Kita Lihat Situasi Global
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan sinyal bahwa pemerintah batal menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Airlangga mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang mempertimbangkan penerapan tersebut, sejalan dengan melihat kondisi atau situasi global. “(Pajak minimum global batal?) nanti sedang kita bahas mekanisme dan kita liat situasi global,” tutur Airlangga kepada awak media, Rabu (19/2). Sebelumnya, Airlangga mengabarkan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mundur dari kesepakatan pajak minimum global. Trump memutuskan ini ketika menandatangani sejumlah perintah eksekutif di hari pertama kepresidenannya pada 20 Januari 2025 lalu. Ia memberikan sinyal bahwa, mungkin pemerintah Indonesia juga akan mengikuti keputusan Trump tersebut. “Kami juga belajar bagaimana cara untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15%. Dan kami cukup positif karena Trump 2.0 tidak ingin hal ini diterapkan. Jadi saya rasa kami akan mengikuti Trump 2.0,” ujarnya saat acara Indonesia Economic Fest di Jakarta, Selasa (18/2). Saat ini memang aturan teknis atau mekanisme terkait penerapan pajak minimum global belum juga diselesaikan pemerintah. Adapun saat ini pemerintah memang sudah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 yang mengatur kebijakan tersebut. Hanya saja, aspek teknis lainnya mengenai pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), tata cara pelaporan dan pembayaran pajak akan diatur dalam ketentuan lanjutan. Seperti yang diketahui, lewat PMK 136/2023, pemerintah Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15%. Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 pada 31 Desember 2024 lalu. Kebijakan ini merupakan wujud upaya negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yang telah diusahakan bersama setidaknya dalam lima tahun terakhir. Inisiatif ini bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom) dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal € 750 juta membayar pajak minimum. Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/beri-sinyal-pajak-minimum-global-dibatalkan-airlangga-kita-lihat-situasi-global
Dividen Diinvestasikan Kembali, Apakah Bebas Pajak?
Dividen yang berasal dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak (WP) badan dalam negeri, dikecualikan dari objek PPh. Namun demikian, dividen tersebut tidak serta merta dikecualikan dari objek PPh, melainkan harus diinvestasikan kembali di Indonesia. Pada Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 2 UU PPh s.t.d.d UU HPP menyatakan sebagai berikut. “(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah: … f. dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan sebagai berikut: … 2. dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut:….” Ketentuan mengenai pengecualian objek PPh atas dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Peraturan Menteri Keuangan No. 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024). Sama halnya dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f angka 2 UU PPh s.t.d.d UU HPP, Pasal 17 ayat (1) dan (2) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 pun mengatur bahwa dividen yang berasal dari luar negeri dapat dikecualikan dari objek PPh selama diinvestasikan kembali ke Indonesia. Adapun penjelasan lebih detail mengenai dividen yang berasal dari luar negeri dapat dilihat pada Pasal 17 ayat (3) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 yang berbunyi: “(3) Dividen yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: a. dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak; atau b. dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sesuai dengan proporsi kepemilikan saham.” Kemudian, persyaratan dividen yang berasal dari badan usaha luar negeri yang tidak terdaftar dalam bursa efek untuk dapat dikecualikan dari objek PPh dijelaskan lebih rinci dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 yang berbunyi sebagai berikut: “(1) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Dividen yang dibagikan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) huruf b, harus diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari Laba Setelah Pajak. (2) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diinvestasikan sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Dividen tersebut sehubungan dengan penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) PMK 18/2021 s.t.d.t.d PMK 81/2024 di atas, dividen yang diperoleh dari luar negeri yang berasal dari badan […]
Bagaimana Cara Instansi Pemerintah Setor Pajak di Core Tax?
Sebagai pihak yang sudah ditunjuk Kementerian Keuangan untuk memotong dan memungut pajak di setiap belanja pemerintah yang dilakukan, instansi pemerintah menduduki posisi vital sebagai mitra Direktorat Jenderal Pajak sekaligus garda terdepan dalam mengamankan penerimaan negara lewat pemanfaatan belanja APBN, APBD, dan APBDesa. Lewat ketentuan di Peraturan Menteri Keuangan(PMK) nomor PMK-231/PMK.03/2019 yang diubah terakhir di PMK-59/PMK.03/2022, Kementerian Keuangan mengatur mengenai kewajiban perpajakan yang harus dilakukan wajib pajak instansi pemerintah, termasuk kewajiban memotong dan memungut pajak atas transaksi sehubungan dengan belanja pemerintah. Selama ini instansi pemerintah melakukan kewajiban perpajakannya melalui aplikasi DJP Online. Kewajiban yang dilakukan itu mencakup tiga kegiatan utama, yaitu membuat bukti potong dan/atau bukti pungut pajak atas belanja instansi, lalu membuat billing pajak atas bukti potong/pungut yang sudah dibuat tersebut, serta membuat laporan surat pemberitahuan masa setiap bulan. Seiring dengan implementasi sistem Core Tax sejak 1 Januari 2025 serta terbitnya PMK-81/2024 yang mengatur ketentuan perpajakan dalam rangka pelaksanaan sistem Core Tax, semua kewajiban instansi pemerintah tersebut untuk masa pajak Januari 2025 sampai seterusnya pindah ke Core Tax. Ada beberapa perbedaan penting terkait cara menunaikan kewajiban instansi pemerintah di sistem Core Tax yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Cara log masuk(login) ke sistem Core Tax dengan konsep impersonating Sebelumnya di DJP Online, wajib pajak instansi pemerintah log masuk dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak(NPWP) instansi pemerintah 15 digit dan kata sandi yang sudah dibuat. Di sistem Core Tax, instansi pemerintah tetap masuk menggunakan NPWP 16 digit dengan tambahan digit ‘0’ di depan NPWP 15 digitnya berikut kata sandinya. Namun sehubungan dengan penerapan konsep impersonating di Core Tax, yaitu penggunaan akun wajib pajak orang pribadi penanggung jawab yang bertindak sebagai wajib pajak instansi pemerintah untuk melakukan kewajiban perpajakan seperti membuat bukti potong, buat billing pajak, dan lapor SPT Masa, maka penanggung jawab orang pribadi instansi pemerintah tersebut contohnya Kuasa Pengguna Anggaran, Bendahara Pengeluaran, dan lainnya harus membuat akun terlebih dahulu di Core Tax. Instansi Pemerintah selanjutnya melakukan kewajiban perpajakannya menggunakan akun Core Tax orang pribadi penanggung jawab yang sudah didaftarkan. 2. Cara membuat bukti potong/bukti pungut Di DJP Online, instansi pemerintah membuat bukti potong dengan cara menginput NPWP lawan transaksi 15 digit. Sementara di sistem Core Tax instansi pemerintah sudah wajib menginput NPWP 16 digit lawan transaksi sesuai dengan ketentuan di PER-6/2024, dengan rincian jika rekanan wajib pajak orang pribadi menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK), sementara untuk rekanan badan atau instansi pemerintah lainnya menambahkan ‘0’ di depan NPWP 15 digit lawan transaksi. Selain itu di DJP Online menyediakan dua cara memasukkan bukti potong, bisa lewat perekaman manual satu per satu atau bisa lewat skema impor melalui format Excel. Sementara di Coretax skema impor melalui format excel diubah menjadi format XML, yang formatnya dan cara menggunakannya bisa diunduh melalui tautan ini. 3. Cara membuat kode billing pajak Di DJP Online, cara membuat kode billing pajak bisa melalui menu bayar dan dibuat secara mandiri sesuai dengan jenis pajak yang perlu disetor. Selain itu pembuatan billing pajak bisa juga melalui menu bukti potong yang sudah dibuat di ikon ‘bayar’, dan akan di-generate secara otomatis kode […]
Penggunaan Aplikasi e-Faktur Pasca Implementasi Coretax System
Pembuatan faktur pajak melalui aplikasi e-Faktur dapat dilakukan untuk seluruh jenis faktur pajak, kecuali: Faktur pajak dengan kode transaksi 06 & 07 Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP yang menjadikan cabang sebagai tempat pemusatan PPN terutang Faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP yang dikukuhkan setelah tanggal 1 Januari 2025. Informasi penting bagi PKP yang menggunakan e-Faktur: a. Permohonan nomor seri faktur pajak (NSFP) untuk masa pajak Januari 2025 diajuakan melalui aplikasi e-Nofa; b. PKP yang belum memiliki NSFP untuk masa pajak Januari 2025 hingga sekarang hanya dapat membuat faktur pajak dengan tanggal yang sama dengan tanggal permintaan NSFP atas setelahnya; c. NSFP pada Coretax DJP akan trdiri atas 17 digit dengan adanya penambahan angka 9 secara otomatis pada digit ke- 5 NSFP semula pada aplikasi e-Faktur; d. Penggantian faktur pajak yang dibuat melalui aplikasi e-Faktur tetap dilakukan di aplikasi e-Faktur; e. PKP dapat mengunduf file pdf faktur pajak melalui aplikasi e-Faktur untuk selanjurnya dapat disampaikan kepada lawan transaksi; f. Data faktur pajak yang dibuat dari aplikasi e-faktur akan tersedia di Coretax DJP paling lambat H+2 penerbitan faktur pajak.
Dapat Tanah Warisan, Harus Bayar dan Lapor Pajak?
Jakarta – Orang tua yang meninggal dunia biasanya meninggalkan harta warisan, seperti tanah, bangunan, atau kendaraan. Harta tersebut diberikan kepada anggota keluarga atau ahli waris dan bisa dimanfaatkan. Namun, ketika menerima harta waris misalkan tanah, apakah ahli waris harus membayar pajak? Lalu, apa tanah warisan itu perlu dilaporkan dalam surat pemberitahuan atau SPT? Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di pajak.go.id, harta warisan tidak tergolong objek pajak. Hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pada pasal 4 ayat 3 dijelaskan hal yang dikecualikan dari objek pajak, salah satunya adalah warisan yang tertera di butir b. Menurut keterangan DJP, warisan yang dimaksud meliputi semua jenis harta baik harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak termasuk tanah dan bangunan. Robert Pakpahan waktu masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak juga pernah menjelaskan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tidak tertuang bahwa warisan merupakan objek pajak. Oleh karena itu ditegaskan bahwa warisan bukan objek pajak. “Jadi warisan itu bukan objek pajak. Jadi kalau saya terima warisan dari orang tua dari dulu sampai sekarang itu bukan pajak penghasilan. Setelah keluar PMK 19 juga tetap bukan PPH. Jadi yang diatur di sini dalam hal warisan itu belum dibagi,” terangnya di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (5/3/2018) silam. Harta bagi orang yang meninggal tidak dianggap objek pajak jika ahli waris memberikan surat kematian kepada perbankan atau lembaga keuangan tempat menyimpan harta. Bagi ahli waris yang menerima harta warisan juga tidak dianggap sebagai objek pajak yang ditarik sebagai PPh. Namun harta warisan itu tetap harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT). “Kalau warisan belum dibagi nilainya di atas Rp 1 miliar ya dilaporkan bukan disetorkan kalau dibagi tapi bukan PPh,” ujarnya. Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya. Sumber: https://www.detik.com/properti/kepemilikan-rumah/d-7771344/dapat-tanah-warisan-harus-bayar-dan-lapor-pajak