Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, telah resmi menerbitkan peraturan baru terkait pemeriksaan pajak. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15 Tahun 2025. Peraturan tersebut ditetapkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pemeriksaan pajak, termasuk pemeriksaan pajak bumi dan bangunan, yang saat ini diatur dalam beberapa peraturan di bidang perpajakan. “Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak,” bunyi PMK No. 15 Tahun 2025 dikutip Rabu (19/2/2025). Berdasarkan PMK tersebut, Direktur Jenderal Pajak (DJP) berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pemeriksaan dilakukan dengan beberapa tipe. Seperti pemeriksaan lengkap, pemeriksaan terfokus, dan pemeriksan spesifik. Pemeriksaan lengkap adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang mencakup seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak secara mendalam. Sementara itu, pemeriksaan terfokus adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang terfokus pada satu atau beberapa pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak secara mendalam. Adapun pemeriksaan spesifik adalah pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara spesifik atas satu atau beberapa pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak, data, atau kewajiban perpajakan tertentu secara sederhana. Pemeriksaan meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, termasuk satu atau beberapa Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Selain itu, jenis pajak yang dikenakan kebijakan pemeriksaan a.l. PPh, PPN, PPnBM, Bea Meterai, PBB, Pajak Penjualan, Pajak Karbon, dan pajak lainnya yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan “Pemeriksaan untuk tujuan lain dapat berupa penentuan, pencocokan, pemenuhan kewajiban berdasarkan ketentuan perundang-undangan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan pemeriksaan,” tulis PMK ini. Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250219104955-4-611802/sri-mulyani-teken-aturan-baru-pemeriksaan-pajak
Sri Mulyani Teken PMK 11/2025, Terkait Rumus Penghitungan DPP Nilai Lain dan Besaran Tertentu PPN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati teken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 yang menetapkan rumus penghitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain dan besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Regulasi yang berlaku mulai 4 Februari 2025 ini diterbitkan untuk menjaga penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen agar tidak berimbas pada barang dan jasa yang tidak masuk kategori mewah. “Dengan berlakunya PMK Nomor 11 Tahun 2025 ini, maka aturan hukum mengenai DPP nilai lain, selain nilai lain sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PMK Nomor 131 Tahun 2024, dan besaran tertentu PPN menjadi lebih sederhana. Karena terkumpul dalam satu dasar hukum. Harapannya, masyarakat lebih mudah memahami skema penghitungan PPN terutang,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (19/2). Sebagaimana diketahui, PMK Nomor 131 Tahun 2024 mengamanatkan bahwa terdapat pengecualian penghitungan PPN dengan DPP nilai lain dan besaran tertentu PPN, sehingga harus diatur secara khusus dalam PMK tersendiri. Dengan demikian, Dwi menekankan, PMK Nomor 11 Tahun 2025 mengatur skema penghitungan PPN dengan DPP nilai lain dan besaran tertentu PPN dengan rumus, yakni tarif 12 persen (12 persen x 11/12 x DPP dan formula tertentu x 12 persen x 11/12 x DPP). ”[PMK Nomor 11 Tahun 2025] sekaligus menyatukan penyesuaiannya dalam satu PMK agar lebih komprehensif,” imbuh Dwi. Dengan berlakunya PMK Nomor 11 Tahun 2025, maka skema penghitungan PPN terutang yang menggunakan DPP nilai lain, selain nilai lain sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PMK Nomor 131 Tahun 2024 dan besaran tertentu PPN adalah sebagai berikut: 1. Penyerahan barang kena pajak (BKP)/jasa kena pajak (JKP) sebelum tanggal 1 Januari 2025: Berlaku penghitungan PPN sesuai ketentuan di dalam masing-masing PMK tersendiri yang mengatur tentang DPP nilai lain dan besaran tertentu PPN. 2. Penyerahan BKP/JKP sejak tanggal 1 Januari 2025: Berlaku penghitungan PPN sesuai ketentuan di dalam PMK Nomor 11 Tahun 2025. Ketentuan lebih rinci mengenai PMK Nomor 11 Tahun 2025 dapat diakses dan diunduh pada laman landas pajak.go.id. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/sri-mulyani-teken-pmk-11-2025-tetapkan-rumus-penghitungan-dpp-nilai-lain-dan-besaran-tertentu-ppn/
Jangka Waktu Penyampaian Tanggapan SPHP Berubah Menjadi 5 Hari
PMK 15/2025 mengubah ketentuan jangka waktu penyampaian tanggapan atas surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) oleh wajib pajak. Wajib pajak kini diberikan waktu untuk menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP maksimal selama 5 hari kerja. Batas waktu tersebut dihitung sejak tanggal diterimanya SPHP oleh wajib pajak. Apabila wajib pajak tidak menyampaikan tanggapan atas SPHP sampai dengan jangka waktu tersebut maka pemeriksa pajak akan membuat berita acara tidak disampaikannya tanggapan atas SPHP. Berita acara tidak disampaikannya SPHP tersebut akan ditandatangani oleh pemeriksa pajak. Jangka waktu penyampaian tanggapan atas SPHP itu lebih singkat dibandingkan dengan ketentuan terdahulu. Sebelumnya, berdasarkan Pasal 42 ayat (2) PMK 17/2013 s.t.d.t.d PMK 18/2021, wajib pajak diberikan jangka waktu maksimal 7 hari kerja untuk memberikan tanggapan tertulis atas SPHP. Sebelumnya, berdasarkan PMK 17/2013 s.t.d.t.d PMK 18/2021, wajib pajak juga dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian tanggapan atas SPHP. Perpanjangan jangka waktu tersebut diberikan maksimal 3 hari kerja. Namun, PMK 15/2025 tidak lagi mencantumkan ketentuan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan atas SPHP. SPHP merupakan salah satu komponen penting yang harus dibuat oleh pemeriksa sebelum menetapkan hasil pemeriksaan. Adapun SPHP adalah surat yang berisi hasil pengujian pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang, dan perhitungan sementara dari sanksi dan/atau denda administratif. Penyampaian SPHP tersebut harus dilampiri dengan daftar temuan hasil pemeriksaan.
56 Industri Padat Karya yang Karyawannya Bebas Pajak Penghasilan (PPh) oleh Menkeu Sri
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara resmi memberikan insentif Pajak Penghasilan atau PPh Pasal 21 alias bebas bayar pajak bagi para pekerja di 56 golongan perusahaan padat karya untuk masa pajak 2025. Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 10/2025 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Dalam Rangka Stimulus Ekonomi Tahun Anggaran 2025 yang diteken pada 4 Februari 2025. “Jangka waktu pemberian insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk Masa Pajak Januari 2025 sampai dengan Masa Pajak Desember 2025,” tulis beleid tersebut, dikutip pada Selasa (18/2/2025). Insentif tersebut khusus bagi pekerja yang melakukan kegiatan usaha pada bidang alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti menyampaikan bahwa pada dasarnya kebijakan tersebut sebagai upaya mempertahankan daya beli masyarakat. Selain itu, juga bertujuan menjaga stabilitas perekonomian nasional karena menjadi tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu. “Penerbitan PMK ini merupakan wujud komitmen Pemerintah untuk tetap menjaga daya beli masyarakat melalui paket-paket stimulus yang diberikan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (17/2/2025). Insentif ini diberikan kepada pegawai dengan penghasilan bruto yang diterima tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau Rp500.000 per hari dan pemberi kerja harus memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK ini. Sebelumnya, dalam paparan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memaparkan setidaknya kebutuhan anggaran untuk PPh Pasal 21 DTP ini senilai Rp680 miliar. Artinya, akan ada sekitar Rp680 miliar penerimaan pajak yang tidak disetorkan perusahaan dari industri padat karya kepada bendahara negara karena dikembalikan kepada pekerja. Daftar 56 Golongan industri padat karya yang pekerjanya mendapat insentif PPh Pasal 21: Industri Persiapan Serat Tekstil Industri Pemintalan Benang Industri Pemintana Benang Jahit Industri Pertenunan (Bukan Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya) Industri Kain Tenun Ikat Industri Bulu Tiruan Tenunan Industri Penyempurnaan Benang Industri Pencetakan Kain Industri Batik Industri Kain Rajutan Industri Kain Sulaman Industri Bulu Tiruan Rajutan Industri Barang Jadi Tekstil untuk Keperluan Rumah Tangga Industri Barang Jadi Tekstil Sulaman Industri Bantal dan Sejenisnya Industri Barang Jadi Rajutan dan Sulaman Industri Karung Goni Industri Karung Bukan Goni Industri Barang Jadi Tekstil Lainnya Industri Karpet dan Permadani Industri Tali Industri Barang dari Tali Industri Kain Pita (Narrow Fabric) Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250218/259/1840468/56-industri-padat-karya-yang-karyawannya-bebas-pajak-penghasilan-pph-oleh-menkeu-sri
PKP yang Gunakan e-Faktur ”Client Desktop”, Harus Ajukan NSFP Lewat e-Nofa
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membuka kembali akses aplikasi e-Faktur ”Client Desktop” untuk seluruh Pengusaha Kena Pajak (PKP) seiring dengan proses penyempurnaan core tax. Bagi yang menggunakannya, penting diketahui bahwa permohonan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) harus diajukan melalui aplikasi e-Nofa. ”Permohonan NSFP diajukan melalui aplikasi e-Nofa (https://efaktur.pajak.go.id. PKP yang belum memiliki NSFP untuk masa pajak Januari 2025 sampai dengan sekarang, hanya dapat membuat faktur pajak dengan tanggal yang sama dengan tanggal permintaan NSFP atau setelahnya,” jelas DJP dalam pengumuman yang dirilis di laman resminya, dikutip Pajak.com, (17/2). PKP juga perlu mengetahui, NSFP pada aplikasi e-Faktur Client Desktop berbeda dengan core tax. Pada core tax, NSFP akan akan terdiri atas 17 digit dengan adanya penambahan angka 9 secara otomatis pada digit ke-5 NSFP yang ada di aplikasi e-Faktur Client Desktop. Adapun sebelum adanya core tax, NSFP terdiri dari 16 digit, meliputi 2 digit kode transaksi, 1 digit kode status, dan 13 digit nomor faktur yang ditetapkan DJP. ”PKP dapat mengunduh file PDF (Portable Document Format) faktur pajak melalui aplikasi e-Faktur Client Desktop untuk selanjutnya dapat disampaikan kepada lawan transaksi. Data faktur pajak yang dibuat dari aplikasi e-Faktur Client Desktop akan tersedia di core tax paling lambat H+2 penerbitan faktur pajak,” imbuh DJP. Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Dwi Astuti menegaskan bahwa pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tetap dibuat melalui core tax. ”Retur dan pembatalan faktur pajak [juga] tetap dilakukan melalui aplikasi core tax,” tambah Dwi kepada Pajak.com, (14/2). Adapun pelaporan SPT Masa PPN wajib disampaikan bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP paling lama pada akhir bulan berikutnya. Sementara, batas waktu penerbitan faktur pajak adalah tanggal 15. Ketentuan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sedangkan regulasi mengenai NSFP termaktub dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 24 Tahun 2012. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/pkp-yang-gunakan-e-faktur-client-desktop-harus-ajukan-nsfp-lewat-e-nofa/
Lengkap! Aturan Bebas Pajak Karyawan Berlaku 2025
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025. PMK itu mengatur mekanisme pemberian insentif pajak penghasilan ditanggung pemerintah (PPh DTP) untuk karyawan bergaji Rp 10 juta ke bawah di sektor usaha tertentu. Insentif itu hanya bisa dinikmati karyawan atau pegawai di industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit dengan gaji atau penghasilan bruto yang diterima tidak lebih dari Rp10 juta per bulan atau Rp500 ribu per hari. “Dan pemberi kerja harus memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK ini,” dikutip dari siaran pers Ditjen Pajak Nomor SP-3/2025, Senin (17/1/2025). Insentif PPh 21 DTP sudah bisa diperoleh para pegawai industri sektor padat karya tertentu itu mulai masa pajak Januari 2025 atau masa pajak bulan pertama bekerja pada tahun 2025. Tujuan diberikannya insentif ini ialah untuk membantu daya beli para pegawai atau buruh di sektor industri padat karya itu. Serta untuk membantu konsumsi mereka di tengah kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% per Januari 2025. “Latar belakang penerbitan PMK ini adalah sebagai upaya mempertahankan daya beli masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan menjaga stabilitas perekonomian nasional. Aturan ini merupakan tindak lanjut dari kenaikan tarif PPN sebesar 1% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 lalu,” sebagaimana tertulis dalam siaran pers Ditjen Pajak itu. Berikut ini daftar industri atau klasfikasi lapangan usaha yang karyawannya bisa menikmati insentif PPh 21 DTP: 1. Industri Persiapan Serat Tekstil Kelompok ini mencakup usaha persiapan serat tekstil, seperti reeling (pilin/menggulung) dan pencucian serat sutera, degreasasi (penghilangan lemak) dan karbonisasi wol dan pencelupan bulu domba, termasuk proses penyusunan dan penyisiran (carding atau combing) dari serat rambut hewan serat tumbuhan, dan serat buatan (sintetis dan artifisial). 2. Industri Pemintalan Benang Kelompok ini mencakup usaha pemintalan serat menjadi benang, kecuali benang jahit. Termasuk kegiatan penteksturan, penyimpulan, pelipatan dan pencucian benang rajutan filamen sintetis dan benang artifisial (dari bubur kayu). 3. Industri Pemintalan Benang Jahit Kelompok ini mencakup usaha pembuatan benang jahit, baik dengan bahan baku serat maupun benang. Termasuk kegiatan penteksturan, penyimpulan, pelipatan dan pencucian benang jahit 4. Industri Pertenunan (Bukan Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya) Kelompok ini mencakup usaha pertenunan, baik yang dibuat dengan alat gedogan, alat tenun bukan mesin (ATBM), alat tenun mesin (ATM) ataupun alat tenun lainnya, termasuk pembuatan sarung, kecuali industri kain tenun ikat. Usaha pertenunan karung goni dan karung lainnya dimasukkan dalam kelompok 13925, 13926, 13929. 5. Industri Kain Tenun Ikat Kelompok ini mencakup usaha pembuatan kain tenun ikat dan usaha pewarnaan benang dengan cara mengikat terlebih dahulu. 6. Industri Bulu Tiruan Tenunan Kelompok ini mencakup usaha pembuatan bulu tiruan dengan penenunan. 7. Industri Penyempurnaan Benang Kelompok ini mencakup usaha pengelantangan, pencelupan dan penyempurnaan lainnya untuk benang maupun benang jahit. 8. Industri Penyempurnaan Kain Kelompok ini mencakup usaha pengelantangan, pencelupan dan penyempurnaan lainnya untuk kain. 9. Industri Pencetakan Kain Kelompok ini mencakup usaha pencetakan kain dengan media perantara seperti kasa dan sebagainya, termasuk juga pencetakan kain motif […]
Peraturan Pemeriksaan Pajak Dilebur Jadi 1 PMK
Kementerian Keuangan mengatur kembali ketentuan pemeriksaan pajak melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15/2025. Ketentuan perihal pemeriksaan pajak sebelumnya tersebar pada 3 PMK. Pertama, PMK 17/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Kedua, PMK 256/2014 tentang tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ketiga, Pasal 105 PMK 18/2021 tentang tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kini, ketentuan dalam ketiga beleid tersebut diatur kembali dan dilebur menjadi 1 dalam PMK 15/2025. Untuk itu, berlakunya PMK 15/2025 mulai 14 Februari 2025 akan sekaligus mencabut ketiga PMK tersebut. Apabila disandingkan, perubahan yang paling mencolok di antaranya terkait dengan ruang lingkup, tipe pemeriksaan, dan kriteria pemeriksaan. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan kini dilakukan dengan 3 tipe pemeriksaan, yaitu: lengkap, terfokus, dan spesifik. Ketiga tipe pemeriksaan tersebut belum diatur dalam beleid terdahulu. Selain itu, kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain juga mengalami perubahan. Sebelumnya, hanya ada 12 kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain. Kini, PMK 15/2025 memperluas kriteria tindakan yang dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain menjadi 25 jenis. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya dilakukan untuk pengujian fasilitas perpajakan yang telah diberikan. Selain PMK 15/2025, ada pula ulasan mengenai kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan daya beli, termasuk di dalamnya pemberian insentif pajak. Kemudian, ada juga bahasan terkait dengan dampak pajak minimum global bagi Indonesia. Ada Aturan Pembahasan Temuan Sementara dalam Pemeriksaan Pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan peraturan baru, yaitu PMK 15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak. Dalam PMK tersebut, salah satu ketentuan yang diatur ialah mengenai pembahasan temuan sementara. Pembahasan temuan sementara merupakan tahapan pemeriksaan yang wajib dilaksanakan pemeriksa pajak saat melakukan pemeriksaan. Namun, kewajiban ini dikecualikan apabila pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan spesifik guna menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Terbitnya PMK Baru Mengenai Pemeriksaan Pajak
Ketentuan pemeriksaan pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15/2025 dilakukan untuk menyesuaikan ketentuan pemeriksaan pajak pasca berlakunya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan untuk menyederhanakan regulasi mengenai pemeriksaan pajak. Sebelumnya, ketentuan perihal pemeriksaan pajak tersebar pada 3 PMK. Pertama, PMK 17/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Kedua, PMK 256/2014 tentang tata Cara Pemeriksaan dan Penelitian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Ketiga, Pasal 105 PMK 18/2021 tentang tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Kini, ketentuan dalam ketiga beleid tersebut diatur kembali dan dilebur menjadi 1 dalam PMK 15/2025. Untuk itu, berlakunya PMK 15/2025 mulai 14 Februari 2025 akan sekaligus mencabut ketiga PMK tersebut. Apabila disandingkan, perubahan yang paling mencolok di antaranya terkait dengan ruang lingkup, tipe pemeriksaan, dan kriteria pemeriksaan. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan kini dilakukan dengan 3 tipe pemeriksaan, yaitu: lengkap, terfokus, dan spesifik. Ketiga tipe pemeriksaan tersebut belum diatur dalam beleid terdahulu. Selain itu, kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain juga mengalami perubahan. Sebelumnya, hanya ada 11 kriteria tindakan yang akan dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain. Kini, PMK 15/2025 memperluas kriteria tindakan yang dilakukan pemeriksaan untuk tujuan lain menjadi 25 jenis. Berdasarkan PMK 15/2025, pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya dilakukan untuk pengujian fasilitas perpajakan yang telah diberikan.
PMK 11 Tahun 2025 Berlaku, Pajak Bangun Rumah Sendiri Tetap 2,2 Persen
KOMPAS.com – Besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kegiatan membangun sendiri, baik itu rumah maupun bangunan lain, tidak mengalami perubahan. Hal itu lantaran berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 Tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai, yang ditetapkan pada 4 Februari 2025. Sebab sebelumnya, terdapat wacana bahwa kegiatan membangun sendiri terkena pajak 2,4 persen seiring dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Kendati begitu, salah satu isi PMK 11 Tahun 2025 mengubah besaran tertentu yang menjadi formula perhitungan pungutan PPN kegiatan membangun sendiri. Sebagaimana tertulis di dalam Pasal 20 bahwa ketentuan ayat (2) Pasal 324 PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan diubah. Sehingga kini Pasal 324 PMK 81 Tahun 2024 berbunyi sebagai berikut: (1) PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (1) dihitung, dipungut, dan disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dengan besaran tertentu. (2) Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20 persen dikali 11/12 dari tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. (3) Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah. Sebelumnya di dalam ayat (2) Pasal 324 PMK 81 Tahun 2024 tertulis bahwa besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20 persen dengan tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak. Sehingga, dengan perubahan formula besaran tertentu sebagaimana tertulis di dalam Pasal 20 PMK 11 Tahun 2025, maka besaran PPN untuk kegiatan membangun sendiri tetap 2,2 persen. Sumber: https://www.kompas.com/properti/read/2025/02/10/193000721/pmk-11-tahun-2025-berlaku-pajak-bangun-rumah-sendiri-tetap-2-2-persen
DJP Kumpulkan Pajak Fintech P2P Lending & Kripto Rp 4,36 Triliun Hingga Januari 2025
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berhasil mengumpulkan pajak dari bisnis fintech peer-to-peer (P2P) lending dan aset kripto sebesar Rp 4,36 triliun hingga Januari 2025. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, melaporkan bahwa total penerimaan pajak dari fintech P2P lending hingga Januari 2025 mencapai Rp 3,17 triliun. Rincian Penerimaan Pajak Fintech P2P Lending: Tahun 2022: Rp 446,39 miliar Tahun 2023: Rp 1,1 triliun Tahun 2024: Rp 1,48 triliun Tahun 2025 (hingga Januari): Rp 140 miliar Pajak fintech tersebut terdiri atas: Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WP DN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp 830,54 miliar. PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WP LN) sebesar Rp 720,74 miliar. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri atas setoran masa sebesar Rp 1,62 triliun. Sebagai informasi, pajak fintech berbasis P2P lending merupakan jenis pajak baru yang mulai berlaku sejak 1 Mei 2022. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Penyelenggara Teknologi Finansial (fintech). Sama seperti jasa lainnya, transaksi fintech termasuk dalam objek jasa kena pajak yang dikenakan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 atas bunga yang diperoleh pemberi pinjaman atau lender. PPh Pasal 23 dikenakan pada wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dengan tarif 15% dari jumlah bruto atas bunga. PPh Pasal 26 dikenakan pada wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dengan tarif 20% dari jumlah bruto atas bunga. Penerimaan Pajak Kripto Sementara itu, pemerintah juga berhasil mengumpulkan pajak dari transaksi aset kripto sebesar Rp 1,19 triliun hingga akhir Januari 2025. Rincian Penerimaan Pajak Kripto: Tahun 2022: Rp 246,45 miliar Tahun 2023: Rp 220,83 miliar Tahun 2024: Rp 620,4 miliar Tahun 2025 (hingga Januari): Rp 107,11 miliar Penerimaan pajak kripto terdiri atas: Rp 560,55 miliar dari PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan aset kripto di exchanger. Rp 634,24 miliar dari PPN Dalam Negeri atas transaksi pembelian aset kripto di exchanger. Sama halnya dengan pajak fintech, pajak kripto mulai berlaku sejak 1 Mei 2022 dan mulai dibayarkan serta dilaporkan pada Juni 2022. Aturan mengenai pajak ini tertuang dalam PMK No. 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. “Pemerintah akan terus menggali potensi penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital lainnya, seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto serta pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman,” ujar Dwi dalam keterangan resminya, dikutip Senin (17/2). Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/djp-kumpulkan-pajak-fintech-p2p-lending-kripto-rp-436-triliun-hingga-januari-2025