Pemerintah terus menyelesaikan penyusunan peraturan baru terkait pemantauan kepatuhan wajib pajak. Saat ini, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) sedang dalam proses harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pemantauan Kepatuhan Wajib Pajak. Ringkasan Pemerintah tengah mematangkan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak untuk menyeragamkan tata kerja Account Representative (AR) DJP dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Konsultan Pajak Raden Agus Suparman mendesak pemerintah segera menerbitkan aturan pengawasan kepatuhan karena ketiadaan PMK telah menyebabkan ketidakseragaman interpretasi SP2DK dan praktik AR yang tidak standar, seringkali merugikan wajib pajak. Pengamat pajak Fajry Akbar menyoroti pentingnya aturan main yang jelas dalam pengawasan kepatuhan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan menghindari wajib pajak merasa diperiksa terus-menerus meskipun sudah patuh, serta menghentikan praktik ‘berburu di kebun binatang’. Menanggapi hal ini, Raden Agus Suparman, konsultan pajak dari Botax Consulting Indonesia, mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan tersebut. Menurut Raden, minimnya regulasi yang mengikat mengakibatkan prosedur kerja Account Representative (AR) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak konsisten, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak. Raden, yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi DJP selama delapan tahun, menyatakan bahwa belum pernah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) khusus yang mengatur pemantauan kepatuhan. Hal ini berbeda dengan pemeriksaan pajak, yang regulasi formalnya sudah lama ada, mulai dari Keputusan Menteri Keuangan hingga PMK tentang Pemeriksaan Pajak yang terbit pada tahun 2007. Ketiadaan peraturan tentang pengawasan kepatuhan yang mengikat wajib pajak dan petugas pajak, menurut Raden, menjadi alasan mengapa cara kerja AR seringkali berbeda-beda. “Tidak ada standar profesional pengawasan yang dilakukan oleh AR. Ada AR yang suka meminjam dokumen kepada Wajib Pajak, tetapi banyak AR yang tidak pernah meminjam dokumen kepada Wajib Pajak. Hal ini terjadi karena tidak ada peraturan yang mengatur tata cara AR bekerja dengan Wajib Pajak,” papar Raden kepada Kontan.co.id, Jumat (5/12). Ketidakseragaman itu, kata Raden, diperparah dengan praktik interpretasi Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang kian bergeser dari fungsi utamanya. Tahun ini, setiap SP2DK bahkan diberi target rupiah. Padahal, secara konsep, SP2DK bukan merupakan pemeriksaan dan tidak menghasilkan produk hukum. Oleh karena itu, SP2DK sudah dimaknai seolah surat tagihan pajak. “Kebiasaan seperti itu seharusnya dihentikan. Lebih baik, jika memang DJP melihat adanya potensi perpajakan, langsung saja menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan menerbitkan surat ketetapan pajak,” saran Raden. Menurutnya, langkah itu jauh lebih memberikan kepastian hukum. Dengan adanya surat ketetapan pajak, wajib pajak bisa menggunakan hak formalnya untuk mengajukan keberatan maupun banding, sebagaimana diatur dalam UU KUP. Raden menilai, ketidakpastian paling banyak dirasakan wajib pajak ketika bersengketa dengan AR. Banyak kasus ditutup tanpa ada kejelasan, atau wajib pajak diminta membetulkan SPT tanpa dasar hukum yang kuat. Namun, di kemudian hari, setelah pergantian AR, persoalan yang sama dapat muncul kembali. “Banyak kasus, AR sudah menutup permasalahan SP2DK, tapi tiba-tiba terbit instruksi pemeriksaan. Secara ketentuan sampai dengan sekarang, hal seperti ini diperbolehkan,” terangnya. Akibatnya, wajib pajak merasa telah menyelesaikan masalah, tetapi masih menerima Surat Pemberitahuan Tahunan (SP2) dan akhirnya mendapatkan kekurangan pembayaran tambahan dari tim pemeriksa. Raden berharap PMK tentang […]
Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Pertambangan, Ditjen Mineral dan Batubara Integrasikan Aplikasi Minerba-one dan Coretax
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memperkuat basis data perpajakan melalui integrasi sistem digital. Aplikasi Minerba-one Kementerian ESDM kini terhubung langsung dengan sistem inti perpajakan DJP (Coretax) untuk memastikan kepatuhan wajib pajak di sektor pertambangan. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, dalam acara sosialisasi Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RKAB) yang dihadiri 1.800 pelaku usaha pertambangan di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Rabu (26/11/2025). “Kami terus memperkuat basis data perpajakan melalui pertukaran data dan informasi. Integrasi Minerba-one dengan Coretax DJP ditujukan agar seluruh data dapat dimanfaatkan secara optimal dalam mengumpulkan penerimaan negara,” jelas Bimo. Dampak langsung dari integrasi data ini adalah pengetatan persyaratan administratif bagi perusahaan pertambangan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) telah sepakat untuk menjadikan pembayaran pajak sebagai syarat mutlak kelengkapan dokumen. Bimo menegaskan kebijakan baru tersebut kepada para pengusaha yang hadir. “Bapak Ibu silakan mempersiapkan diri, mulai perpanjangan tahun berikutnya RKAB akan mensyaratkan kewajiban tax clearance,” ungkapnya. Integrasi ini dinilai krusial mengingat sektor minerba menyumbang 20% hingga 25% dari total penerimaan negara. Menurut data DJP, jumlah wajib pajak di sektor ini terus tumbuh rata-rata 3% per tahun, mencapai 7.128 wajib pajak pada tahun 2025. Peningkatan signifikan juga terlihat pada penerimaan dari sektor mineral logam, yang meningkat lebih dari sepuluh kali lipat, dari Rp4 triliun pada tahun 2016 menjadi Rp45 triliun pada tahun 2024. Integrasi data ini diharapkan dapat menjaga momentum pertumbuhan ini dan menutup celah ketidakpatuhan.
DJP Menunjuk 5 Perusahaan Tambahan sebagai Pemungut PPN PMSE
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menunjuk lima perusahaan asing untuk memungut PPN atas Sistem Perdagangan Elektronik (PMSE). Lima perusahaan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE pada Oktober 2025 antara lain Roblox Corporation, Notion Labs, Inc., Mixpanel, Inc., MEGA Privacy Kft, dan Scorpios Tech FZE. Secara bersamaan, pemerintah juga telah mencabut data satu pemungut PPN PMSE, yaitu Amazon Services Europe S.a.r.l.,” tulis DJP dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (4 Desember 2025). Dengan pengangkatan dan pencabutan tersebut, 251 penyelenggara PMSE telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Dari jumlah tersebut, 207 penyelenggara PMSE telah aktif memungut dan menyetorkan PPN PMSE ke kas negara. Per 31 Oktober 2025, total setoran PPN PMSE ke kas negara mencapai Rp8,54 triliun. Ke depannya, pemerintah berkomitmen untuk terus mengoptimalkan perpajakan di sektor digital secara adil, mudah, dan efektif. Sebagai informasi, pelaku usaha PMSE yang mengimpor produk digital luar negeri ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE jika nilai transaksinya dengan pembeli di Indonesia melebihi Rp600 juta per tahun atau Rp50 juta per bulan; dan/atau volume lalu lintasnya di Indonesia melebihi 12.000 per tahun atau 1.000 per bulan. Setelah ditunjuk, pelaku usaha PMSE diwajibkan memungut PPN dengan tarif 12% dikalikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1,5% dari harga jual produk digital luar negeri yang dijual di Indonesia.
Perpanjangan PPh Final UMKM Hanya untuk Orang Pribadi dan PT Orang Pribadi
Bimo Wijayanto, Direktur Jenderal Pajak, menyatakan bahwa perpanjangan masa Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% tidak berlaku bagi wajib pajak badan. Kebijakan ini hanya berlaku bagi wajib pajak orang pribadi dan perseroan terbatas (PT) perorangan. “Wajib pajak badan sudah tidak bisa lagi menggunakan PPh Final 0,5%, mereka harus sudah mulai menjalankan pembukuan untuk menghitung PPh terutang dengan tarif normal Pasal 17,” ungkap Bimo dalam konferensi pers APBN KiTa edisi November 2025 (Jumat, 21/11/2025). Ia menjelaskan bahwa wajib pajak badan yang sudah ada masih dapat memanfaatkan insentif tersebut selama masa berlakunya. Namun, setelah masa berlakunya berakhir, permohonan insentif PPh final 0,5% yang baru akan dihentikan. Dalam revisi Peraturan Pemerintah 55/2022, insentif PPh final 0,5% dapat digunakan tanpa batas waktu oleh orang pribadi/perseroan terbatas perorangan (PT Perorangan). Untuk menghindari fenomena pemecahan perusahaan (firm splitting), Bimo menjelaskan bahwa revisi peraturan tersebut dilengkapi dengan aturan anti-penghindaran. “Kalau perdaraan bruto wajib pajak orang pribadi kemudian dijumlahkan itu mencapai Rp4,8 miliar setahun maka mereka tidak bisa lagi menggunakan PPh 0,5% tersebut,” jelas Bimo. Deteksi pada sistem internal dilakukan melalui data NIK-NPWP yang telah dipadankan serta data Nomor Induk Berusaha. Saat ini, Peraturan Pemerintah 55/2022 menetapkan bahwa orang pribadi dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan Final selama tujuh tahun. Wajib pajak badan yang berbentuk perseroan terbatas dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan Final selama tiga tahun, sementara badan usaha lain, seperti CV, firma, koperasi, perseroan perorangan, BUMDes/Bersama dapat menggunakan fasilitas PPh Final selama 4 tahun. Untuk wajib pajak yang baru terdaftar, jangka waktu pemanfaatan dihitung sejak tahun pajak wajib pajak bersangkutan terdaftar.
NITKU Untuk Cabang Tidak Muncul Saat Membuat Faktur?
Pembuatan bukti potong pajak untuk faktur pajak cabang (NITKU) hanya dapat dilakukan oleh Petugas Kantor Cabang atau pegawai yang telah diberi hak akses sebagai penyusun/penandatangan cabang. Langkah-langkah untuk menambahkan PIC Cabang. Pertama, akses akun pajak inti wajib pajak badan. Kemudian, pilih menu Portal Saya dan pilih Informasi Umum. Kemudian, klik Edit. “Silakan gulir ke bagian Lokasi/Sub-Unit Kegiatan Usaha. Klik Edit pada TKU/Sub-Unit tempat Anda ingin menambahkan PIC Cabang. Perlu diketahui, NITKU, atau Nomor Induk Kependudukan Lokasi Kegiatan Usaha, adalah nomor identifikasi yang diberikan kepada setiap lokasi usaha wajib pajak, termasuk tempat tinggal atau domisili wajib pajak. Menu “Impersonate Account” di Coretax digunakan untuk menyamar sebagai wajib pajak (bukan Nomor Pokok Wajib Pajak). Jika Anda ingin bertindak sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (TKU) Cabang, Anda dapat menyamar sebagai akun wajib pajak badan. Kemudian, saat membuat surat keterangan potong/faktur pajak, pilih Nomor Pokok Wajib Pajak (NITKU) yang relevan. Coretax adalah sistem administrasi layanan DJP yang memberikan kemudahan bagi pengguna. Pengembangan Coretax merupakan bagian dari Proyek Pemutakhiran Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden 40/2018. PSIAP merupakan proyek untuk mendesain ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui pengembangan sistem informasi berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS), yang disertai dengan penyempurnaan basis data perpajakan.
Lapor SPT Tahunan Menggunakan Coretax Berikut yang Wajib Dilakukan
Mulai tahun pajak 2025, seluruh proses penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) akan dilakukan melalui sistem Coretax. Untuk memastikan kelancaran pelaporan, wajib pajak perlu mempersiapkan sejumlah prasyarat sebelum masa penyampaian SPT Tahunan dibuka. Ada tiga persiapan utama yang harus dipenuhi: aktivasi akun Coretax, penyampaian kode otorisasi DJP, dan validasi akhir sertifikat elektronik. Ketiga langkah ini merupakan fondasi kelancaran proses pelaporan SPT Tahunan melalui sistem digital terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) saja tidak cukup untuk menyampaikan SPT melalui Coretax. Wajib pajak harus mengaktifkan akunnya terlebih dahulu untuk mengakses semua fitur perpajakan. Aktivasi dapat dilakukan menggunakan komputer, laptop, atau ponsel yang terhubung internet. Bagi orang pribadi yang belum pernah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pendaftaran harus dilakukan sebelum akun Coretax dapat diaktifkan. Sistem Coretax telah terintegrasi dengan data kependudukan, mendukung penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 16 digit. Dengan demikian, wajib pajak orang pribadi akan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP. Aktivasi dilakukan melalui situs web https://coretaxdjp.pajak.go.id. Setelah mengikuti langkah-langkah aktivasi, wajib pajak akan menerima surat penerbitan akun dan kata sandi sementara yang dikirimkan ke alamat email resmi DJP dengan domain @pajak.go.id. Wajib pajak kemudian akan diminta untuk masuk kembali dan mengubah kata sandi sesuai keinginan mereka untuk meningkatkan keamanan. Setelah akun diaktifkan, langkah selanjutnya adalah menyiapkan kode otorisasi DJP atau sertifikat elektronik. Kode ini digunakan sebagai tanda tangan elektronik untuk setiap dokumen pajak yang dibuat melalui Coretax. Permintaan kode otorisasi dilakukan melalui situs web Coretax. Jika wajib pajak menggunakan tanda tangan elektronik tersertifikasi, prosesnya melibatkan memasukkan informasi identifikasi penanda tangan berdasarkan sertifikat yang digunakan. Bagi wajib pajak yang memilih menggunakan kode otorisasi dari DJP, sistem mewajibkan pembuatan frasa sandi. Frasa sandi ini berfungsi sebagai pengganti tanda tangan digital dalam setiap proses penandatanganan dokumen. Frasa sandi harus terdiri dari minimal delapan karakter dan harus mengandung huruf besar, huruf kecil, angka, dan karakter khusus. Langkah terakhir adalah memvalidasi kode otorisasi atau sertifikat elektronik untuk memastikan statusnya diakui valid oleh sistem Coretax. Langkah ini merupakan prasyarat terakhir sebelum wajib pajak dapat menyampaikan SPT secara elektronik. Dengan mengaktifkan akun, mengirimkan kode otorisasi, dan memvalidasi sertifikat, wajib pajak dapat memastikan semua persiapan telah selesai sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) 2025 resmi dibuka.
Tak Hanya Instagram, Kring Pajak Kini Tersedia di TikTok
Selain Instagram, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga menyediakan layanan Tax Ring melalui aplikasi media sosial TikTok. Layanan ini tersedia melalui akun Tiktok resmi Kring Pajak dengan username @kring_pajak atau Kring Pajak 1500200. Informasi terkait saluran baru pemberian layanan Kring Pajak melalui Instagram dan Tiktok telah diumumkan berdasarkan Pengumuman Nomor PENG-45/PJ.09/2025 tentang Pemberitahuan Akun Media Sosial Instagram dan Tiktok Kring Pajak 1500200 (PENG 45/2025). “Dalam rangka memperluas kanal komunikasi Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan Direktorat Jenderal Pajak (Kring Pajak 1500200) selaku unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pajak di bidang layanan informasi dan pengaduan perpajakan, Kring Pajak 1500200 memperluas kanal komunikasi melalui akun media sosial resmi Instagram dan Tiktok,” terang jelas DJP melalui PENG-45/PJ/2025. Mirip dengan Instagram, wajib pajak dapat mengajukan pertanyaan seputar informasi perpajakan umum secara langsung melalui kolom komentar. Dalam pengumuman ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga mengimbau wajib pajak untuk tetap waspada terhadap penipuan yang mengatasnamakan DJP. DJP menegaskan layanan Kring Pajak hanya menggunakan alamat akun Instagram @kringpajak1500200 dan Tiktok kring_pajak. Selain Instagram dan TikTok, Kring Pajak juga dapat diakses melalui saluran resmi antara lain: aplikasi M-Pajak; telepon dengan nomor 1500200 yang dapat dihubungi melalui sambungan tetap atau melalui telepon seluler untuk layanan pemberian informasi umum perpajakan, penyampaian informasi perpajakan, serta penerimaan dan pengelolaan pengaduan; saluran X dengan akun @kring_pajak untuk layanan pemberian informasi umum perpajakan; dan faksimile dengan nomor (021) 5251245 atau situs pajak www.pajak.go.id untuk layanan penerimaan dan pengelolaan pengaduan.
Direktorat Jenderal Pajak Siapkan Fitur Pembayaran Pajak via QRIS
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mempercepat modernisasi layanan pembayaran pajak dengan mengembangkan kanal pembayaran berbasis Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Langkah ini menindaklanjuti hasil evaluasi Tax Administration Diagnostic Assessment Tool (TADAT) 2023 yang menyoroti perlunya penyempurnaan indikator pembayaran elektronik. Sebagai langkah awal, Direktorat Jenderal Pajak telah menyusun kajian pengembangan kanal QRIS untuk sistem lama. Kajian ini menjadi fondasi rencana besar untuk menghadirkan kanal QRIS yang sepenuhnya terintegrasi dengan proses bisnis penyetoran pajak yang lebih modern dan seamless. “Sebagai tindak lanjut hasil evaluasi TADAT 2023, Ditjen Pajak telah menyusun kajian pengembangan kanal pembayaran pajak berbasis QRIS pada sistem legacy sebagai langkah awal rencana pengembangan kanal QRIS untuk mendukung terciptanya proses bisnis penyetoran pajak yang terintegrasi dan seamless,” dikutip dari Laporan Tahunan Ditjen Pajak 2024, Senin (1/12/2025) Ditjen Pajak menargetkan bahwa implementasi kanal QRIS nantinya diharapkan dapat menjadikan pengalaman pembayaran pajak menjadi lebih praktis, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat digital saat ini. “Sekaligus meningkatkan penilaian Ditjen Pajak pada indikator pembayaran elektronik,” katanya.
Revisi PP 55/2022 Hampir Selesai, Banyak Perubahan Peraturan PPh Final untuk UMKM
Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 hampir rampung. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyelaraskan prosesnya dengan Kementerian Hukum dan HAM dan saat ini sedang mengajukan permohonan persetujuan PP tersebut kepada Presiden Prabowo Subianto. Tiga perubahan utama dalam revisi PP 55/2022: 1. Penghapusan jangka waktu tertentu bagi wajib pajak orang pribadi dan badan usaha perseorangan. 2. Perubahan dan pembebasan pajak penghasilan final 0,5% sebagai aturan anti-penghindaran pajak. 3. Proses aksesi Indonesia ke OECD. Indonesia secara eksplisit direkomendasikan untuk mengatasi biaya suap Dari tiga perubahan utama yang disebutkan di atas, poin mengenai pengaturan penggunaan tarif PPh final 0,5% untuk UMKM mendapat porsi terbesar. Revisi PP 55/2022 sekaligus menindaklanjuti temuan otoritas yang menyatakan bahwa penggunaan tarif PPh final 0,5% justru mengarah pada strategi perencanaan pajak bagi wajib pajak. Wajib pajak dapat melakukan bunching (menahan penghasilan) dan firm-splitting (memisahkan usaha) melalui wajib pajak badan. Oleh karena itu, diperlukan landasan regulasi yang jelas sebagai sarana pencegahan penghindaran pajak. Untuk mengakomodasi ketentuan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengusulkan perubahan Pasal 57 ayat (1) dan (2) PP 55/2022, yang mengatur ulang tarif PPh final 0,5% bagi wajib pajak dengan peredaran bruto (WP PBT) tertentu, dengan mengecualikan wajib pajak yang berpotensi dijadikan sarana penghindaran pajak. Perpanjangan yang diberikan berakhir pada tahun 2024 dan akan berlanjut hingga tahun 2029. Pemerintah ingin memberikan kesempatan bagi wajib pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria. Kesempatan ini diberikan kepada wajib pajak yang memenuhi syarat namun belum dapat memanfaatkan fasilitas PPh final 0,5% karena telah melewati jangka waktu tertentu. DJP mengusulkan perubahan Pasal 59 dengan menghilangkan jangka waktu khusus bagi wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan perseorangan (PT OP).
Dalam PER 18/2025 Insentif Fiskal Dapat Memicu Pemeriksaan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut Data Konkret (PER 18/2025) menegaskan bahwa penggunaan insentif fiskal yang tidak sesuai ketentuan merupakan data konkret yang dapat menjadi dasar pengawasan dan pemeriksaan oleh otoritas pajak. Ketentuan ini juga menjadi peringatan bagi wajib pajak badan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan guna memastikan kepatuhan pajak. Dalam wawancara dengan Pajak.com, Penasihat TaxPrime Muhamad Noprianto mengungkapkan dua kesalahan umum yang dilakukan perusahaan dalam memanfaatkan fasilitas fiskal. Sebagai konsultan pajak yang telah mendampingi berbagai perusahaan penerima insentif fiskal, Noprianto berpendapat bahwa penerbitan PER 18/2025 merupakan bagian dari upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk meningkatkan kepastian hukum bagi wajib pajak. Ketentuan ini, ujarnya, sangat relevan bagi wajib pajak penerima berbagai insentif, karena perusahaan seharusnya memanfaatkan fasilitas tersebut sesuai peruntukannya. Dua Kesalahan Umum yang Dilakukan Perusahaan Penerima Insentif Fiskal Untuk memastikan perusahaan penerima insentif fiskal telah memenuhi kewajiban perpajakannya, Noprianto menjelaskan bahwa TaxPrime secara konsisten mengidentifikasi dan memitigasi kesalahan umum. Pertama, TaxPrime memastikan insentif fiskal yang diberikan pemerintah kepada perusahaan dimanfaatkan sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) bagi penerima fasilitas. KBLI sendiri merupakan sistem pengkodean standar yang digunakan untuk mengelompokkan kegiatan ekonomi di Indonesia, sehingga menjamin keseragaman konsep, definisi, dan klasifikasi kegiatan usaha. Sejak diterbitkannya PER-12/PJ/2022, KBLI yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini resmi digunakan sebagai dasar penetapan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) bagi Wajib Pajak. “Wajib Pajak wajib memastikan bahwa insentif pajak dimanfaatkan sesuai dengan KBLI bagi perusahaan penerima insentif pajak tersebut. Misalnya, ketika suatu perusahaan memiliki dua lini usaha—Lini Produk A dan Lini Produk B—tetapi insentif hanya diberikan untuk Lini B, kesalahan yang umum terjadi adalah perusahaan memanfaatkan insentif tersebut untuk kedua lini usaha tersebut,” jelas Noprianto. Kedua, TaxPrime memastikan bahwa perusahaan telah menyusun laporan keuangan yang tersegmentasi dengan memisahkan pembukuan untuk lini usaha penerima fasilitas fiskal. Pemisahan ini krusial karena laporan yang tersegmentasi dapat berfungsi sebagai dokumen pendukung dalam proses pemantauan dan pemeriksaan pajak. “Perusahaan penerima insentif diwajibkan menyusun laporan keuangan tersegmentasi yang memisahkan secara jelas lini usaha penerima fasilitas fiskal,” tegasnya. Menurut Noprianto, jika kedua langkah mitigasi ini diterapkan secara konsisten, perusahaan pada dasarnya tidak perlu khawatir akan risiko pengawasan atau audit. Lebih lanjut, perusahaan harus terus meningkatkan kepatuhan terhadap akuntabilitas dan pemenuhan kewajiban perpajakan, terutama sejalan dengan modernisasi sistem administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak melalui Coretax. “Melalui sistem Coretax, Direktorat Jenderal Pajak mampu mengintegrasikan dan mengolah data, termasuk data yang diperoleh dari berbagai sumber pihak ketiga,” ujar Noprianto. Lebih lanjut, Noprianto menekankan bahwa pengembangan Coretax, khususnya dalam hal data perpajakan yang semakin terintegrasi, seharusnya mendorong wajib pajak untuk menyadari bahwa semakin kecil kemungkinan untuk tidak melaporkan transaksi atau tidak memenuhi kewajiban perpajakan. Dengan demikian, diharapkan wajib pajak akan semakin meningkatkan akuntabilitas perusahaan dan mematuhi seluruh peraturan perpajakan yang berlaku.
