Risiko Koreksi: Dasar Pengenaan Pajak Industri Batubara

Industri pertambangan batu bara memiliki karakteristik perpajakan yang kompleks, meliputi Pajak Penghasilan (PPh) dan turunannya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan jenis pajak lainnya. Setiap pajak memiliki dasar pengenaan pajak yang berbeda sesuai dengan karakter dan fungsinya, sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan perpajakan dan membuka ruang koreksi oleh otoritas pajak. Salah satu contoh perbedaan dasar pengenaan pajak terjadi antara PBB dan Pajak Penghasilan Badan. Perhitungan PBB atas tubuh bumi untuk sektor pertambangan batu bara dihitung berdasarkan nilai penghasilan neto mineral atau batu bara yang dihitung berdasarkan jumlah mineral atau batu bara yang diproduksi dalam satu tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB yang terutang dikalikan dengan harga jual rata-rata mineral atau batu bara tersebut. Hal ini diatur dalam PMK No. 234/PMK.03/2022 tentang Perubahan atas PMK No. 186/PMK.03/2019 tentang PenggolKlasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan. Sebaliknya, dasar pengenaan PPh Badan mengacu pada penjualan batubara yang telah terealisasi dalam Tahun Pajak berjalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menetapkan bahwa penghasilan, termasuk hasil penjualan, merupakan objek pajak. Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar: PBB didasarkan pada nilai produksi tahun sebelumnya (meskipun belum dijual), sedangkan PPh Badan didasarkan pada nilai penjualan aktual. Perbedaan antara nilai produksi dan penjualan perlu direkonsiliasi dan dijelaskan secara transparan. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan waktu pengakuan, misalnya produksi dilakukan pada tahun pajak sebelumnya tetapi baru dijual pada tahun berjalan. Selain itu, penjualan sisa stok tahun sebelumnya dan kondisi pasar yang memengaruhi penyerapan batubara juga turut menyebabkan perbedaan antara data produksi dan data penjualan. Dalam praktiknya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan rekonsiliasi data lintas jenis pajak, seperti antara PBB dan PPh Badan. Sejak Sistem Coretax diterapkan pada 1 Januari 2025, seluruh administrasi dan pengawasan kewajiban perpajakan telah dipusatkan di Kantor Pelayanan Pajak tempat kantor pusat Wajib Pajak terdaftar, termasuk untuk objek PBB yang sebelumnya diawasi oleh Kantor Pelayanan Pajak lokasi tambang. Apabila dalam proses pemeriksaan ditemukan perbedaan yang signifikan antara data produksi dan data penjualan tanpa penjelasan yang memadai, hal ini dapat memicu koreksi fiskal. Dampaknya antara lain peningkatan beban pajak yang terutang, pengenaan sanksi administrasi, dan potensi sengketa pajak. Untuk memitigasi risiko koreksi fiskal, Wajib Pajak di sektor pertambangan batubara perlu memastikan tersedianya dokumen pendukung yang memadai. Dokumen tersebut meliputi catatan rekonsiliasi internal antara data produksi dan penjualan, laporan stok batubara harian atau bulanan, bukti penjualan dan pengiriman, serta data pendukung lain yang relevan. Adanya dokumen tersebut tidak hanya menunjukkan kepatuhan administratif, tetapi juga menjadi dasar yang kuat untuk memberikan klarifikasi kepada otoritas pajak apabila terdapat perbedaan data yang signifikan. Dengan demikian, Wajib Pajak dapat terhindar dari koreksi fiskal yang tidak berdasar dan meminimalkan potensi sanksi administratif atau sengketa pajak. Dengan memahami konsep dasar perpajakan di industri batubara dan menerapkan langkah-langkah mitigasi risiko yang tepat, perusahaan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan sekaligus meminimalkan potensi sengketa di kemudian hari.

Permohonan Aktivasi NIK/NPWP Tak Bisa Diwakilkan

Pengajuan aktivasi NIK/NPWP harus dilakukan oleh yang bersangkutan dan tidak dapat diwakilkan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) PMK 112/2022 s.t.d.d PMK 136/2023, Dirjen Pajak dapat memberikan NPWP dengan melakukan aktivasi NIK kepada wajib pajak orang pribadi yang berdomisili dalam negeri berdasarkan permohonan pendaftaran wajib pajak atau secara jabatan. Pengajuan aktivasi NIK/NPWP harus dilakukan oleh yang bersangkutan, tidak dapat diwakilkan. Yang bersangkutan melakukan aktivasi akun Coretax melalui KPP atau secara mandiri melalui laman Coretax untuk melakukan registrasi, pertama-tama buka laman coretax pada tautan https://coretaxdjp.pajak.go.id.

Pajak 10 Persen Dikenakan Atas Sewa Lapangan Padel di Jakarta

Jasa sewa lapangan padel di Jakarta kini menjadi sasaran pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Hal ini sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024 tentang Permainan Olahraga yang Menjadi Objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu Bidang Seni dan Hiburan. Selain padel, jenis permainan olahraga lain yang menjadi objek PJBT bidang seni dan hiburan di Jakarta antara lain pusat kebugaran, meliputi yoga, pilates, atau zumba; lapangan futsal, sepak bola, atau mini soccer; lapangan tenis; kolam renang; lapangan bulu tangkis; lapangan basket; lapangan voli; lapangan tenis meja; lapangan squash; dan lapangan panahan. Kemudian, lapangan baseball atau softball; arena bowling, area biliar; area panjat tebing; area ice skating; area berkuda; tempat latihan tinju atau bela diri; tempat atletik atau lari; dan jet ski. “Keputusan Kepala Badan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,” demikian petikan Pasal II Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025 yang ditandatangani Lusiana Herawati pada Selasa, 20 Mei 2025. Dilansir dari situs resmi Bapenda DKI Jakarta, PBJT merupakan pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. Sementara itu, barang dan/atau jasa tertentu merupakan barang dan/atau jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir. Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen atas barang dan/atau jasa tertentu, termasuk jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara jasa seni dan hiburan atas PBJT jasa seni dan hiburan. Dalam hal pembayaran dengan menggunakan kupon atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu yang memuat nilai mata uang, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai mata uang tersebut. Sementara itu, dalam hal tidak ada pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan/atau jasa sejenis yang berlaku di wilayah Jakarta. Yang dikenakan pajak PBJT adalah orang pribadi atau badan yang menjual, menyerahkan, dan/atau mengonsumsi barang dan/atau jasa tertentu. Tarif PBJT untuk makanan dan/atau minuman, jasa hotel, jasa parkir, serta jasa seni dan hiburan ditetapkan sebesar 10 persen. Khusus untuk jasa hiburan di diskotik, karaoke, kelab malam, bar, serta tempat pemandian uap atau spa ditetapkan sebesar 40 persen. Meskipun pajak PBJT dibebankan kepada konsumen, namun pembayaran pajak dilakukan oleh penyedia jasa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dengan demikian, pajak hiburan sebesar 10 persen atas penyewaan lapangan padel akan dipungut dari konsumen yang sudah termasuk dalam total harga sewa.