Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencabut 3 ketentuan teknis terkait penyusutan harta berwujud melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025. Ketiga ketentuan yang dicabut tersebut meliputi Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2012, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2014, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2014. Pencabutan ini dapat dilihat dari Pasal 147 angka 9, angka 11, dan angka 12 PER-8/PJ/2025. “Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku: … PER 21/PJ/2012;… PER-20/PJ/2014;…. PER-10/PJ/2014… dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, bunyi Pasal 147 angka 9, angka 11, dan angka 12 PER-8/PJ/2025. Sementara itu, PER-8/PJ/2025 berlaku mulai 21 Mei 2025. Dengan demikian, terhitung mulai 21 Mei 2025, ketiga peraturan direktorat jenderal tersebut resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Secara lebih rinci, PER 21/PJ/2012 sebelumnya mengatur tata cara pengajuan dan penetapan masa manfaat sebenarnya atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu. Selanjutnya, PER-10/PJ/2014 sebelumnya mengatur tata cara pengajuan dan penetapan saat dimulainya penyusutan harta berwujud yang dapat dilakukan pada bulan pemakaian atau bulan produksi. Sebelumnya, PER-20/PJ/2014 mengatur tata cara pengajuan dan penetapan masa manfaat sebenarnya atas aset berwujud nonbangunan untuk tujuan penyusutan. Pencabutan tiga peraturan direktorat jenderal tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mendasarinya yang sudah tidak berlaku lagi. PER-21/PJ/2012 dan PER-10/PJ/2014 merupakan peraturan pelaksanaan dari PMK 249/2008 sampai dengan PMK 126/2012. PMK 249/2008 sampai dengan PMK 126/2012 telah dicabut dan diganti dengan PMK 72/2023 yang mengatur tentang penyusutan aset berwujud dan/atau amortisasi aset tidak berwujud. PMK 72/2023 mulai berlaku sejak 12 Juli 2023. Sementara itu, PER-20/PJ/2014 merupakan peraturan pelaksanaan dari PMK 96/2009. Nah, PMK 96/2009 tersebut juga telah dicabut dan diganti dengan PMK 72/2023.
Pegawai Dengan Gaji Rp10 Juta Dibebaskan Pajak, Sri Mulyani Anggarkan Rp800 Miliar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, insentif pajak pegawai (PPh Pasal 21) yang diberikan pemerintah sebesar Rp800 miliar pada 2025. Ia menegaskan, insentif tersebut merupakan bagian dari Paket Stimulus yang diberikan pemerintah dalam menghadapi tekanan dan risiko global. “Untuk mendukung industri padat karya, khususnya tekstil yang sedang mengalami tekanan atau bahkan penutupan, diberikan beberapa insentif sehingga untuk PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah [DTP] sampai dengan gaji Rp10 juta per bulan, itu Rp0,8 triliun [Rp800 miliar]. Kemudian, pekerja yang mengalami PHK [Pemutusan Hubungan Kerja] diberikan akses jaminan dan kehilangan pekerjaan, ini anggarannya Rp1,2 triliun,” jelas Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sekadar informasi, insentif PPh DTP Pasal 21 bagi pegawai dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan dan Rp500 ribu per hari telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025. Melalui aturan tersebut, pemerintah memberikan jaminan perpajakan mulai Januari hingga Desember 2025. Insentif Pajak 2025 Selain itu, Sri Mulyani memastikan pemerintah akan memperpanjang masa berlaku PPh final 0,5 persen bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga 2025. Pemerintah memperkirakan kebijakan fiskal dari kebijakan ini sebesar Rp2 triliun. “UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta tidak dikenakan PPh,” kata Sri Mulyani. Bersamaan dengan itu, pemerintah memberikan stimulus berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) DTP untuk pembelian rumah sebesar Rp4,4 triliun mulai Juli hingga Desember 2025. “Pemerintah juga memberikan stimulus pada mobil listrik dan hybrid, kendaraan bermotor listrik dan berbasis baterai (PPN DTP 10 persen), kendaraan listrik Completely Knocked Down/CKD (PPN DTP 15 persen), dan kendaraan listrik Completely Built Up/CBU dan CKD impor (PPN DTP 10 persen) dengan estimasi fiskal sebesar Rp13,2 triliun,” jelas Sri Mulyani. Ia melanjutkan, kendaraan hybrid diberikan insentif PPN DTP sebesar 3 persen dengan estimasi efisiensi fiskal sebesar Rp800 juta. Sri Mulyani menegaskan, berbagai insentif tersebut merupakan wujud nyata Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai shock absorber dalam perekonomian nasional di tengah gejolak global.
Syarat Pengkreditan Pajak Masukan
Syarat Formal Pengkreditan Pajak Masukan Syarat pertama yang harus dipenuhi adalah syarat formil. Syarat formil yang dimaksud adalah pajak masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak. Faktur pajak juga harus memenuhi syarat formil dan materiil. Faktur pajak dianggap memenuhi syarat formal apabila sudah diterbitkan dan diisi dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN atau persyaratan lain yang diatur melalui PMK maupun Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, faktur pajak memenuhi syarat formal apabila diisi dengan keterangan: identitas penjual menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) identitas pembeli BKP atau penerima JKP jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; PPN yang dipungut; PPnBM yang dipungut; kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak Faktur pajak dianggap memenuhi syarat material apabila memuat keterangan yang benar dan sebenarnya mengenai penyerahan BKP dan/atau JKP, ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, ekspor JKP, impor BKP, atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Syarat Material Pengkreditan Pajak Masukan Selanjutnya, Pajak Masukan yang dikreditkan harus memenuhi syarat material. Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk memenuhi syarat material. Pertama, Pajak Masukan yang dikreditkan adalah pengeluaran yang berkaitan dengan kegiatan usaha. Pengeluaran yang berkaitan langsung dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan pengelolaan. Kedua, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan penyerahan yang dikenai PPN. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, namun tetap ada kemungkinan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran yang dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang dikenai PPN. Batas Waktu Pengkreditan Pajak Masukan Pada dasarnya, pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama. Apabila belum dikreditkan, pajak masukan masih dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya, maksimal 3 masa pajak setelah berakhirnya masa pajak saat faktur pajak dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (9) UU PPN. Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan Merujuk Pasal 9 ayat (8) UU PPN, pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan yaitu pajak masukan atas: perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU PPN atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP; dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN. Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Dikukuhkan Sebagai PKP Melalui relaksasi pengkreditan pajak masukan yang diberikan lewat UU Cipta Kerja, pajak masukan yang diperoleh sebelum wajib pajak dikukuhkan sebagai PKP dapat dikreditkan sebesar 80% dari pajak keluaran yang seharusnya dipungut. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 9 ayat (9a) UU PPN. Pajak Masukan Bagi PKP Belum Berproduksi Setelah UU Cipta […]