Kepastian tersebut diberikan melalui Perdirjen Pajak No. PER-6/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 4 ayat (3) PER-6/PJ/2025, keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah diberikan paling lama 15 hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) PER-6/PJ/2025 “Jangka waktu 15 hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap… dihitung sejak bukti penerimaan surat atau bukti penerimaan secara elektronik diterbitkan,” Demikian pula keputusan penetapan Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah bagi Perusahaan Tujuan Khusus (PKP) atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK) juga akan diberikan paling lama 15 hari kerja sejak permohonan penetapan diterima secara lengkap. Jika dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya, PER-04/PJ/2021 tidak secara jelas menyebutkan jangka waktu penerbitan keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah. Sementara itu, PER-04/PJ/2021 hanya menyebutkan jangka waktu penerbitan keputusan penetapan PKP berisiko rendah bagi SPC dan KIK. Namun, jangka waktu penerbitan keputusan penetapan PKP berisiko rendah paling lama 15 hari bukanlah ketentuan baru. Ketentuan jangka waktu tersebut telah diatur dalam PMK 39/2018 s.t.d.t.d PMK 119/2024. Dengan demikian, ketentuan jangka waktu penerbitan keputusan penetapan PKP berisiko rendah dalam PER-6/PJ/2025 sudah sesuai dengan PMK 39/2018 s.t.d.t.d PMK 119/2024. Sebagai informasi, PKP berisiko rendah adalah pihak yang berhak memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran pajak di muka (restitusi dipercepat). Merujuk pada Pasal 3 PER-6/PJ/2025, terdapat 10 kelompok PKP yang dapat ditetapkan sebagai PKP berisiko rendah. Perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia (BEI). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). PKP yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama (MITA) Bea Cukai. PKP yang telah ditetapkan sebagai pelaku ekonomi bersertifikat (authorized economic operator/AEO). Pabrik atau produsen yang dalam kegiatan usahanya: (i) menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP); dan (ii) mempunyai tempat untuk melakukan kegiatan produksi. PKP yang memenuhi ketentuan sebagai wajib pajak dengan persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) huruf f PMK 39/2018. Pedagang besar farmasi yang memiliki: (i) surat keterangan distribusi farmasi atau izin pedagang besar farmasi; dan (ii) sertifikat tata cara penyaluran obat yang baik. Distributor alat kesehatan yang memiliki: (i) surat keterangan distribusi alat kesehatan atau izin distributor alat kesehatan; dan (ii) sertifikat tata cara penyaluran alat kesehatan yang baik. Perusahaan yang dimiliki langsung oleh BUMN dengan kepemilikan saham lebih dari 50%. SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu sebagaimana dimaksud dalam PMK 200/PMK.03/2015. Penetapan PKP risiko rendah dapat dilakukan berdasarkan permohonan atau secara jabatan.
Kelebihan Pembayaran Angsuran PPh Pasal 25 Kini Tak Bisa Dipindahbukuan
Wajib pajak kini tidak dapat memindahbukukan kelebihan pembayaran angsuran PPh Pasal 25. Ketentuan ini telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025. Mengacu pada kebijakan tersebut, wajib pajak yang memiliki kelebihan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 dapat memilih 2 pilihan tindakan. Kedua pilihan tersebut adalah: (i) mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang (restitusi); atau (ii) dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh. Kelebihan pembayaran angsuran PPh Pasal 25, dapat mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh,” bunyi Pasal 116 ayat (4) PER-11/PJ/2025, dikutip pada Rabu (2/7/2025). Ketentuan tersebut berbeda dengan kebijakan sebelumnya, yaitu KEP-537/PJ/2000. Sesuai dengan KEP 537/PJ/2000, kelebihan pembayaran PPh Pasal 25 dapat dialihkan menjadi PPh Pasal 25 pada bulan-bulan berikutnya. Namun, KEP-537/PJ/2000 kini telah dicabut dan diganti dengan PER11/PJ/2025. Kelebihan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 dapat terjadi karena 3 hal. Pertama, SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelumnya disampaikan setelah batas waktu yang ditentukan (wajib pajak terlambat menyampaikan SPT Tahunan). Pada ketentuan ini, besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang dibayarkan wajib pajak untuk bulan-bulan terhitung sejak batas akhir penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum SPT Tahunan disampaikan adalah sebesar angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya. Besarnya angsuran bersifat sementara. Setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan PPh dan berlaku sejak bulan batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh. Kedua, wajib pajak diberikan perpanjangan batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh. Dalam kondisi ini, besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang dibayarkan merupakan perhitungan sementara angsuran PPh Pasal 25. Hal ini berlaku untuk bulan sejak batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh sampai dengan bulan sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh. Setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan PPh. Ketiga, Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh-nya sendiri yang mengakibatkan angsuran setiap bulannya menjadi lebih besar dari angsuran sebelum pembetulan. Pada kondisi ini, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung ulang berdasarkan SPT Tahunan PPh yang telah dibetulkan. Nah, apabila perhitungan ulang besarnya angsuran PPh Pasal 25 pada ketiga kondisi tersebut mengakibatkan besarnya PPh Pasal 25 yang telah dibayarkan menjadi lebih besar dari yang seharusnya, berarti terjadi kelebihan pembayaran angsuran PPh Pasal 25. Singkat kata, Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan SPT/mendapat perpanjangan waktu penyampaian SPT/membetulkan SPT Tahunan PPh-nya sendiri, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayarkan sebelum SPT dilaporkan/dibetulkan sifatnya sementara (berdasarkan SPT tahun pajak sebelumnya/perhitungan sementara). Selanjutnya, wajib pajak menghitung ulang besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan SPT Tahunan yang dilaporkan/diperbaiki. Angsuran PPh berdasarkan perhitungan ulang tersebut menjadi jumlah angsuran yang sebenarnya. Apabila terjadi selisih antara jumlah angsuran sementara dengan angsuran yang sebenarnya, maka akan terjadi kelebihan/kekurangan pembayaran angsuran. Apabila terjadi kelebihan pembayaran, maka kelebihan tersebut dapat dikembalikan atau dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.
Penggunaan NPWP Cabang Pasca Implementasi Coretax
Merujuk Pasak 464 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024), wajib pajak yang memiliki satu atau lebih tempat kegiatan usaha, hak dan kewajiban perpajakannya dilakukan terpusat menggunakan NPWP pusat. “Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak atas satu atau lebih tempat kegiatan usaha sejak: a. Masa Pajak Januari 2025; dan b. Tahun Pajak 2025 untuk jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan, dilakukan secara terpusat menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak yang terdaftar sesuai tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak,” bunyi Pasal 464 PMK 81/22024. Administrasi dilakukan dengan NPWP pusat dan menggunakan tanda pengenal tambahan berupa Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU). Terkait hal tersebut, dalam Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor PENG-4/PJ/2024 telah disebutkan bahwa pemusatan secara jabatan telah dilakukan terhitung sejak tanggal 1 Juli 2024. Pemusatan secara jabatan dilakukan bagi PKP yang tidak menyampaikan pemberitahuan pemusatan PPN sampai dengan tanggal 30 April 2024. NPWP Cabang Masih Dapat Digunakan? Pasal 91 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 menegaskan kembali bahwa NPWP cabang masih dapat digunakan secara terbatas. NPWP cabang digunakan untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk: masa pajak sampai dengan masa pajak Desember 2024; bagian tahun pajak sampai dengan bagian tahun pajak yang berakhir pada Desember 2024; dan/atau tahun pajak sampai dengan tahun pajak 2024. Pelaksanaan hak perpajakan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan menggunakan NPWP cabang dapat dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi atau perwakilan wajib pajak badan. Kewajiban dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar sesuai dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak. Sejalan dengan ketentuan di atas, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 juga menegaskan bahwa kewajiban penyampaian/pembetulan SPT Masa PPN untuk masa pajak sebelum bulan Januari 2025 oleh PKP dengan NPWP cabang yang tidak terpusat dilakukan dengan menggunakan NPWP cabang. Pelaporan/pembetulan tersebut ditatausahakan di KPP tempat wajib pajak terdaftar. NITKU sebagai Identitas Cabang Merujuk pada Pasal 1 angka 64 PMK 81/2024, NITKU merupakan nomor identitas yang diberikan kepada tempat kegiatan usaha wajib pajak yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak. NITKU merupakan nomor identitas yang menggantikan NPWP Cabang. Menurut ketentuan Pasal 464 PMK 81/2024, pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan seperti pembayaran pajak dan pelaporan SPT menggunakan NPWP pusat. NITKU digunakan pada bukti pemotongan PPh Pasal 21, rekapitulasi peredaran PPh Badan dalam hal menggunakan tarif PPh final 55, dan pada faktur pajak apabila terdapat transaksi dengan pembeli di kawasan bebas. Cara Mendaftarkan Cabang Pasca Implementasi Coretax TKU dapat ditambahkan langsung di Coretax tanpa perlu riset petugas oleh PIC Pusat. TKU dapat berupa kantor cabang, kantor perwakilan, gudang, atau unit pemasaran, atau tempat kegiatan sejenis seperti produksi, distribusi, pemasaran, manajemen. Panduannya dapat dilihat pada artikel berikut: Cara Mendaftarkan Kantor Cabang atau TKU Baru di Coretax