Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) ikut mendukung kebijakan PPh final bagi pedagang online yang akan diterapkan Kementerian Keuangan. Suryadi Sasmita, Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Terkait Kebijakan PPh Final Bagi Pedagang Online mengatakan, sebagai pelaku usaha, pihaknya memberikan dukungan terhadap langkah pemerintah dalam menerapkan kebijakan pengenaan PPh final sebesar 0,5% bagi pelaku usaha online melalui skema Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 yang kita kenal sebagai PPh final bagi UMKM. Menurutnya, di era digitalisasi dan penerapan sistem inti perpajakan (Coretax), transparansi data akan semakin meningkat dan pemerintah tentu akan memiliki akses terhadap informasi pelaku usaha yang belum sepenuhnya patuh. Bagi pelaku usaha online yang omzet usaha brutonya di bawah Rp500 juta per tahun, tidak perlu khawatir, karena mereka tidak akan dikenakan PPh final ini. Kepatuhan bersama akan memperkuat fondasi ekonomi nasional yang inklusif menuju Indonesia Emas 2045. Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Rosmauli mengakui adanya rencana pengaturan pemungutan pajak terhadap pedagang dalam e-commerce. Ketentuan tersebut saat ini tengah difinalisasi oleh Kementerian Keuangan. Saat ini, ketentuan mengenai penunjukan platform e-commerce sebagai pihak yang memungut Pajak Penghasilan (PPh) memang tengah dibahas. Oleh karena itu, ia menjelaskan tujuan pemungutan pajak terhadap pedagang daring adalah untuk menjaga administrasi perpajakan dan menciptakan perlakuan yang adil dengan UMKM luring. Oleh karena itu, rencana pemerintah untuk menerapkan aturan baru yang mewajibkan platform e-commerce untuk memungut pajak atas penghasilan penjualan penjual tengah menjadi pemberitaan. Informasi tersebut dimuat dalam laporan Reuters yang berjudul “Indonesia akan membuat perusahaan e-commerce memungut pajak atas penjualan penjual”. Reuters mengabarkan, platform e-commerce akan mewajibkan pemotongan dan penyetoran pajak ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebesar 0,5% dari omzet penjualan bagi pedagang dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Tarif tersebut sama dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 sebesar 0,5% dari omzet.
Tiga Terobosan Penting Terbitnya PP 28/2025, Ada Isu Pajak
Pemerintah meyakini Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dapat memperkuat transformasi ekonomi nasional di masa mendatang. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 merupakan cerminan komitmen pemerintah dalam membangun ekosistem perizinan berusaha. Dengan penguatan regulasi dan sistem yang terintegrasi, PP ini diharapkan dapat menyederhanakan proses, mempercepat pelayanan, serta memberikan kejelasan dan kepastian bagi seluruh pelaku usaha. Ada 3 terobosan penting dalam PP 28/2025: Kepastian service level agreement (SLA) dalam penerbitan izin. Nantinya, setiap tahapan penerbitan izin mulai dari pendaftaran, penilaian kebenaran dokumen, hingga penerbitan izin memiliki batas waktu yang jelas. Penerapan fiksi positif dalam perizinan. Dengan fiksi positif, permohonan izin yang tidak direspons sesuai batas waktu dalam SLA akan otomatis diproses ke tahap berikutnya. Penyederhanaan proses berbasis deklarasi mandiri melalui online single submission (OSS) bagi usaha mikro dan kecil.
Keterangan DJP Terkait Rencana Marketplace Yang Ditunjuk Sebagai Pemungut PPh 22
Melalui Surat Keterangan Tertulis Nomor KT-14/2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22. Pemungutan pajak dilakukan atas transaksi penjualan barang oleh pedagang yang berjualan melalui Sistem Perdagangan Elektronik (PMSE). Saat ini, landasan hukum kebijakan ini masih dalam tahap finalisasi. DJP menjelaskan bahwa ketentuan ini bukan merupakan pengenaan pajak baru. “Ketentuan ini pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting) dari mekanisme pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) secara mandiri oleh pedagang online, menjadi sistem pemungutan PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk,” tulis DJP. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memudahkan pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakannya karena pajak yang terutang telah dipungut oleh pihak yang ditunjuk. Penunjukan marketplace sebagai pemungut juga merupakan upaya DJP dalam pengawasan ekonomi digital dan menutup celah shadow economy. “Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, diharapkan pemungutan PPh Pasal 22 ini dapat mendorong kepatuhan yang proporsional, serta memastikan bahwa kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata,” jelas DJP. Dalam keterangannya, Ditjen Pajak juga menegaskan bahwa UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap tidak dikenakan pajak. Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, orang pribadi yang menggunakan PPh Final sebesar 0,5% dibebaskan dari pajak atas omzet paling banyak Rp500 juta per tahun. Merujuk pada ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Menteri Keuangan berwenang menunjuk pihak lain untuk melaksanakan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak. Pihak lain yang dimaksud adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi. Ketentuan ini menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk menunjuk marketplace sebagai pemungut pajak. Terkait pemungutan PPh Pasal 22, saat ini belum ada ketentuan yang mengatur transaksi pada marketplace yang termasuk objek PPh Pasal 22. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 dan perubahannya, objek Pajak Penghasilan Pasal 22 dapat dikelompokkan sebagai berikut: impor barang dan ekspor komoditas; pembelian oleh bendaharawan; pembelian oleh BUMN; penjualan hasil produksi (semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi); penjualan kendaraan bermotor; penjualan bahan bakar dan pelumas; pembelian bahan baku keperluan industri atau ekspor, yang dapat berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan; dan penjualan barang sangat mewah.