Ditjen Pajak (DJP) kembali mengingatkan wajib pajak untuk segera menyampaikan SPT Tahunan 2024. DJP meminta wajib pajak tidak menunda penyampaian SPT Tahunan meskipun otoritas juga memberikan relaksasi batas waktu. Menurut DJP, SPT Tahunan dapat disampaikan secara mudah melalui DJP Online. UU KUP mengatur penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi paling lambat dilaksanakan 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak atau 31 Maret 2025. Sementara itu, untuk SPT tahunan wajib pajak badan paling lambat 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak atau 30 April 2025. Penyampaian SPT Tahunan yang terlambat bakal dikenai sanksi administrasi berupa denda. Denda terlambat melaporkan SPT Tahunan pada orang pribadi adalah senilai Rp100.000, sedangkan pada wajib pajak badan Rp1 juta. Namun, DJP melalui Keputusan Dirjen Pajak Nomor 79/PJ/2025 memberikan relaksasi perihal kewajiban pembayaran PPh Pasal 29 dan/atau penyampaian SPT Tahunan orang pribadi 2024. Relaksasi ini berlaku hingga 11 April 2025. Relaksasi ini diberikan karena batas akhir pembayaran PPh Pasal 29 dan penyampaian SPT Tahunan 2024 untuk orang pribadi bertepatan dengan libur nasional dan cuti bersama Nyepi dan Lebaran yang cukup panjang, yakni 28 Maret hingga 7 April 2025. Kondisi libur nasional dan cuti bersama dnilai berpotensi menyebabkan terjadinya keterlambatan pembayaran pajak PPh Pasal 29 dan penyampaian SPT Tahunan 2024, mengingat jumlah hari kerja pada Maret 2025 menjadi lebih sedikit.
Perintah Prabowo Semua Warga Punya Rekening Bank, Jadi Strategi Kumpulkan Pajak?
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong semua masyarakat Indonesia memiliki rekening bank mendapat tanggapan dari kalangan pengamat pajak. Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menduga, permintaan agar semua masyarakat Indonesia memiliki rekening bank tersebut kemungkinan terkait dengan upaya pemerintah untuk mengenakan pajak pada sektor informal. Hanya saja, menurutnya, hal tersebut tidak cukup pada kepemilikan rekening di bank tapi juga perlu menggunakan transaksi non tunai. “Dengan begitu ada data dari pihak ketiga yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengejar potensi penerimaan pajak dari sektor informal,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (24/3). Namun, ia mempertanyakan efektivitas kebijakan ini mengingat mayoritas pelaku usaha sektor informal tergolong dalam kategori usaha mikro dan kecil. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Fajry menjelaskan bahwa dalam industri pengolahan, 93% usaha tergolong mikro, 6% tergolong kecil, dan hanya 1% yang masuk kategori sedang atau besar. “Saya takutkan jika yang akan pemerintah lakukan adalah mengincar kelompok mikro dan kecil, semacam penjual bakso, pedagang ketoprak, pedagang pecel ayam, dan sejenisnya. Isu ini sempat ada ketika debat pilpres kemarin,” katanya. Lebih lanjut, Fajry juga menyoroti kebijakan pajak yang dinilai tidak berkeadilan. Di satu sisi, pemerintah berencana mengenakan pajak pada sektor informal yang didominasi pelaku usaha mikro dan kecil. Sementara di sisi lain, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) berencana membentuk Family Office yang memungkinkan kelompok super kaya mendapatkan keringanan pajak. “Dengan demikian, rancangannya adalah mengincar yang mikro dan kecil namun membebaskan yang super kaya. Saya kira ini sebuah policy mix yang sangat tidak berkeadilan,” imbuh Fajry. Ia juga menyoroti aspek feasibility dari kebijakan perpajakan. Menurutnya, pemungutan pajak memiliki batasan tertentu, terutama terkait dengan biaya administrasi dan kepatuhan yang harus diperhitungkan. Fajry menjelaskan, pada dasarnya pemerintah tidak bisa mengenakan pajak kepada seluruh kelompok masyarakat. Ketika pemerintah memungut pajak, maka ada biaya administrasi dan kepatuhan, baik bagi wajib pajak maupun pemerintah. “Jangan sampai pemerintah ingin memasukan semua ke dalam sistem namun lupa jika biaya yang dihasilkan jauh lebih besar dibandingkan penerimaannya. Jadinya buntung bukan untung,” katanya. Selain itu, ia menekankan, rendahnya penerimaan pajak di Indonesia lebih disebabkan oleh struktur ekonomi yang belum mendukung. Berdasarkan data BPS, upah buruh sektor formal masih berada di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sehingga kondisi sektor informal diduga lebih sulit untuk dikenakan pajak. Mengacu pada data poverty headcount ratio dengan standar penghasilan $6,8 per hari (2017 PPP), Fajry mengungkapkan bahwa pada tahun 2023, sekitar 62% penduduk Indonesia masih tergolong miskin. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Filipina (55%), Vietnam (20%), Thailand (12%), dan Malaysia (2%). “Semakin banyak orang yang berpendapatan rendah, semakin banyak pula yang tidak bisa terjaring dalam sistem pajak, dan konsekuensinya tax ratio Indonesia tetap rendah,” imbuhnya. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan perintah Presiden Prabowo yang mengimbau masyarakat untuk memiliki rekening perbankan, guna mencapai keuangan yang inklusif. Berdasarkan laporan terkait inklusi keuangan, jumlah masyarakat Indonesia yang sudah mempunyai fasilitas perbankan sekitar 89%. Berdasarkan pantauan, dari segi spasial beberapa daerah juga sudah baik, kecuali misalnya di Maluku Utara, Halmahera. “Oleh karena itu ke depan lebih didorong lagi yang terkait dengan […]