Penting! Cara Proteksi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak di Era “Core Tax”

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum lama ini mengumumkan pembaruan penerbitan Surat Teguran secara otomatis dalam core tax. Otomasi tersebut sesuai dengan tujuan core tax sebagai sistem yang mempermudah sekaligus memperkuat pengawasan kepatuhan perpajakan. Untuk itu, Senior Manager Divisi Corporate Provisio Consulting Wini Novita menyarankan Wajib Pajak untuk menyiapkan proteksi dalam meminimalisasi risiko pengawasan melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) atau “Surat Cinta” dan pemeriksaan pajak di era core tax.

Peluncuran core tax oleh Presiden Prabowo Subianto pada 31 Desember 2024 lalu menandai babak baru Reformasi Perpajakan Indonesia. Kemudian, pemerintah menyempurnakan regulasi penyesuaian implementasi core tax melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Dalam wawancara eksklusif dengan Pajak.comWini menyoroti implikasi penerapan core tax yang bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, core tax dapat menghadirkan simplifikasi bagi Wajib Pajak menunaikan administrasi perpajakan. Di sisi lain, core tax diandalkan mampu meningkatkan transparansi sebagai upaya pengawasan dari DJP. Pasalnya, core tax dapat memantau pelaporan pajak secara lebih real-time dan mendeteksi potensi ketidaksesuaian pelaporan pajak dari Wajib Pajak. Dengan begitu, Wajib Pajak harus lebih teliti dalam memastikan bahwa data yang dilaporkan adalah benar dan lengkap.

“Pemerintah dapat memantau proses pelaporan dan pembayaran pajak, yang berarti kepatuhan kewajiban pajak masing-masing Wajib Pajak akan lebih diawasi. Pengelolaan data dan rekonsiliasi, karena sistem core tax akan mengintegrasikan data transaksi Wajib Pajak secara real-time, seperti data invoice, faktur pajak, pembayaran, dan laporan pajak. Wajib Pajak harus menyampaikan data-data tersebut dengan akurat dan lengkap untuk memastikan kelancaran pelaporan,” jelasnya, di Kantor Provisio Consulting, Jalan Widya Chandra X Nomor 7, Senayan, Jakarta, dikutip Pajak.com (17/3).

Pengawasan pajak yang lebih ketat ini memberi peluang bagi Wajib Pajak untuk lebih cepat mengetahui dan memperbaiki kesalahan dalam menghitung, membayar, hingga melaporkan pajaknya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa.

 

Urgensi “Core Tax”

Wini mengingatkan kembali kompleksitas administrasi perpajakan selama ini—sebelum core tax berlakumulai dari beragamnya jenis pajak dan tarif, baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); perubahan regulasi di setiap jenis pajak; kerumitan pelaporan SPT Tahunan PPh, SPT Masa, pembuatan e-Faktur untuk PPN; hingga proses pembayaran pajaknya melalui aplikasi e-Billing. Alhasil, pembayaran pajak yang tidak tepat waktu mengakibatkan timbulnya risiko denda atau bunga.

“Diharapkan core tax efektif dalam meningkatkan efisiensi administrasi bagi Wajib Pajak, mengurangi beban administratif, dan membantu meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan memanfaatkan teknologi yang terintegrasi, proses perhitungan, pelaporan, dan pembayaran pajak menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih transparan, yang dapat meningkatkan efisiensi operasional bisnis. Namun, untuk memastikan manfaat maksimal, diperlukan adaptasi yang baik dari Wajib Pajak, pelatihan yang memadai, dan dukungan infrastruktur yang cukup,” ujarnya.

Berdasarkan pengalaman Wini mendampingi Wajib Pajak selama sekitar 15 tahun, tantangan Wajib Pajak selama ini berlanjut pada proses pengembalian pajak (restitusi). Menurutnya, proses pemeriksaan atas pengajuan restitusi oleh DJP kerap memerlukan waktu yang lama dan rumit. Sementara ada pula aturan yang sangat ketat terkait dokumen yang harus disertakan, seperti bukti pembayaran dan laporan pendukung.

“Pemeriksaan pajak oleh DJP juga memerlukan waktu yang lama, dan dalam beberapa kasus, Wajib Pajak harus melalui tahapan pemeriksaan yang membingungkan, dengan kemungkinan adanya klarifikasi dan komunikasi berulang-ulang yang menghambat proses pengembalian pajak,” ungkap Wini.

Dengan kerumitan sistem sebelumnya, ia optimistis core tax membawa perubahan besar dalam menyederhanakan seluruh proses administrasi perpajakan. Di lain pihak, Wini menyarankan Wajib Pajak badan untuk melakukan pembaruan sistem information technology (IT) serta melatih sumber daya manusia (SDM) dalam merespons kecanggihan core tax demi menjaga kepatuhan dan meningkatkan efisiensi bisnis. Sementara bagi perusahaan yang masih menggunakan sistem manual atau semi-otomatis, diimbau agar melakukan investasi tambahan untuk membangun infrastruktur sistem baru.

“Dengan persiapan tersebut, core tax diharapkan dapat meningkatkan efisiensi bisnis dan mengurangi beban administratif, memungkinkan perusahaan untuk lebih fokus pada pengembangan bisnis dan kepatuhan pajak yang lebih baik,” tambah Wini.

 

Proteksi Risiko SP2DK di Era ”Core Tax”

Ia pun menganalisis, integrasi dan segala kemudahan pada core tax ini berimplikasi pada pengurangan penerbitan SP2DK. Meski begitu, ada risiko yang dihadapkan kepada sebagian Wajib Pajak.

Seperti diketahui, sesuai Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, SP2DK merupakan hak DJP untuk meminta penjelasan atau keterangan dari Wajib Pajak terkait dengan data yang dianggap tidak sesuai dengan yang tercatat dalam administrasi perpajakan.

“Bagi sebagian Wajib Pajak yang menggunakan SP2DK sebagai sarana untuk mengklarifikasi atau memperbaiki data sebelum pemeriksaan, perubahan ini bisa jadi dirasa kurang menguntungkan. Tanpa adanya tahapan klarifikasi seperti SP2DK, Wajib Pajak akan lebih berhati-hati lagi untuk selalu menjaga akurasi dan ketepatan data mereka setiap saat,” ujar Wini.

Dengan demikian, core tax berpotensi menjadi tantangan bagi Wajib Pajak yang selama ini memanfaatkan SP2DK untuk mengoreksi ketidaksesuaian atau kesalahan pelaporan pajak, sebelum dilakukan pemeriksaan pajak lebih lanjut. Secara umum, pemeriksaan pajak memiliki potensi risiko, seperti tambahan pajak, sanksi administrasi berupa denda dan bunga, hingga dihadapkan pada sengketa pajak meliputi keberatan, banding, gugatan, peninjauan kembali.

“Namun, secara keseluruhan, core tax lebih menguntungkan bagi Wajib Pajak yang aktif dan disiplin dalam memantau kewajiban perpajakannya,” imbuh Wini.

Pemeriksaan Pajak di Era ”Core Tax”

Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang memperoleh sertifikasi Brevet A, B, dan C ini memproyeksi bahwa proses pemeriksaan pajak di era core tax idealnya jauh lebih cepat, efektif, dan efisien. Pasalnya, DJP bisa mengakses data transaksi dan pelaporan Wajib Pajak dengan terstruktur dan akurat, ditambah lagi adanya otomatisasi serta integrasi data.

“Dengan core tax yang memungkinkan data pajak lebih transparan dan detail, diharapkan Wajib Pajak dapat lebih mudah mengakses hasil pemeriksaan dan mengetahui dengan jelas alasan koreksi di balik ketetapan pajak yang diterbitkan oleh DJP. Terpenting, mengurangi potensi kesalahan pelaporan yang dapat berimplikasi timbulnya denda atau sanksi,” ujar Wini.

Secara parsial, pemeriksaan diharapkan dapat lebih terarah dengan berlandaskan risiko. Pasalnya, Wini mengingatkan, core tax membantu DJP mengidentifikasi Wajib Pajak yang berisiko tinggi atau Wajib Pajak yang patuh.

“Dengan ini diharapkan agar pemeriksaan lebih terfokus dan tidak membebani Wajib Pajak yang patuh. Sistem yang lebih jelas, transparan, dan terintegrasi, core tax didambakan mampu mewujudkan proses pemeriksaan yang lebih adil dan objektif,” ujar Wini.

Teropong Penyelesaian Sengketa Pajak di Era ”Core Tax”

Berfondasikan kecanggihan teknologi dan implementasi yang tepat, semestinya core tax andal dalam menurunkan sengketa pajak. Sebaliknya, ketidaksesuaian penggunaan core tax justru akan memicu peningkatan potensi sengketa pajak. Oleh karena itu, pemegang izin Kuasa Hukum Pajak ini menekankan bahwa keberhasilan core tax dalam meminimalisasi sengketa pajak sangat bergantung pada pengelolaan, pelatihan, dan kualitas sarana infrastruktur yang mendukungnya.

Secara spesifik, ia menyoroti peran konsultan pajak dalam memberikan advis kepada Wajib Pajak untuk mematuhi PMK Nomor 81 Tahun 2024 untuk mencegah sengketa pajak. Dengan layanan administrasi perpajakan yang simpel melalui core tax, konsultan pajak harus adaptif menguasai sistem perpajakan dan audit internal berbasis teknologi, meningkatkan keterampilan dalam mengelola data pajak digital, serta memberikan bantuan hukum apabila diperlukan.

“Konsultan pajak harus terus memberikan edukasi kepada Wajib Pajak dalam mengelola risiko pajak, serta mempersiapkan dokumen dan prosedur pajak yang lebih efisien. Dengan persiapan yang matang, konsultan pajak dapat membantu Wajib Pajak menghadapi perubahan ini secara efektif dan mengoptimalkan manfaat yang diperoleh dari sistem core tax,” seru Wini.

Wini meyakini bahwa core tax dapat memperkuat peran konsultan pajak dalam memberikan strategi perencanaan pajak, manajemen risiko pajak, dan penyelesaian sengketa pajak. Menurutnya, konsultan pajak tetap dapat berperan strategis—menjadi solusi bagi Wajib Pajak dalam menghadapi tantangan yang tidak dapat diselesaikan oleh teknologi.

“Menurut kami, benar bahwa core tax memberikan kemudahan dalam administrasi perpajakan dengan otomatisasi, seperti pengisian SPT yang pre-populated, namun hal ini justru dapat memperkuat peran konsultan pajak dalam strategi perencanaan pajak, manajemen risiko pajak, dan penyelesaian sengketa pajak. Core tax seharusnya tidak mendegradasi peran konsultan pajak, tetapi justru memberikan ruang bagi konsultan pajak untuk fokus pada value-added services yang lebih tinggi dan layanan konsultasi strategis bagi Wajib Pajak,” urai Wini.

Secara paralel, ia berharap, edukasi implementasi PMK Nomor 81 Tahun 2024 dapat lebih intensif dilakukan kepada seluruh lapisan masyarakat. Wini mendorong sinergitas antara DJP melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan seluruh ekosistem perpajakan dalam memitigasi kesenjangan pemahaman implementasi aturan yang berlaku mulai 1 Januari 2025 tersebut.

Mengakhiri wawancara, Wini pun memerinci 7 ruang lingkup dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024 yang perlu dipahami secara komprehensif oleh Wajib Pajak maupun konsultan pajak. Pertama, tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dan penerbitan, penandatanganan, serta pengiriman keputusan dan dokumen elektronik. Kedua, tata cara pendaftaran Wajib Pajak, pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan pendaftaran objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Ketiga, tata cara pembayaran dan penyetoran pajak, pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, imbalan bunga, serta pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Keempat, tata cara penyampaian dan pengolahan SPT tahunan/masa. Kelima, tata cara pemberian pelayanan administrasi perpajakan. Keenam, ketentuan teknis pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan. Ketujuh, contoh format dokumen dan contoh penghitungan, pemungutan, dan/ atau pelaporan.

“Kami melihat bahwa Wajib Pajak, terutama pengusaha kecil dan menengah, perlu mempersiapkan diri untuk beralih ke sistem perpajakan elektronik, menyesuaikan proses bisnis mereka, dan memastikan bahwa mereka dapat mematuhi kewajiban pajak dengan benar untuk menghindari sanksi perpajakan. Untuk itu, diperlukan pemahaman yang baik tentang PMK Nomor 81 Tahun 2024, pelatihan yang cukup, serta dukungan teknologi yang memadai untuk menghadapi tantangan tersebut,” pungkas Wini.

 

Sumber: https://www.pajak.com/pajak/penting-cara-proteksi-risiko-sp2dk-dan-pemeriksaan-pajak-di-era-core-tax/

Leave a Reply

Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu? :)