Isi Dokumen Tagihan yang Wajib Dibuat Pedagang di “Marketplace” yang Diatur PMK 37/2025

Isi Dokumen Tagihan yang Wajib Dibuat Pedagang di “Marketplace”   Dokumen tagihan paling sedikit berisi: Nomor dan tanggal dokumen tagihan; Nama pihak lain; Nama akun pedagang dalam negeri; Identitas pembeli barang dan/atau jasa berupa nama dan alamat; Jenis barang dan/atau jasa, jumlah harga jual, dan potongan harga; dan Nilai PPh Pasal 22 bagi pedagang dalam negeri masing-masing. Pembatalan Dokumen Tagihan Pajak Dalam hal terdapat keadaan yang mengharuskan koreksi atau pembatalan faktur, pedagang di marketplace wajib membuat dokumen koreksi atau pembatalan yang merujuk pada faktur yang telah dikoreksi atau dibatalkan tersebut. Dokumen koreksi atau pembatalan yang dimaksud dibuat melalui komunikasi elektronik atau sistem elektronik lain yang disediakan oleh marketplace dan digunakan untuk transaksi PMSE. Nomor dokumen koreksi atau nomor dokumen pembatalan faktur sebagaimana dimaksud diisi menggunakan nomor yang dihasilkan melalui komunikasi elektronik yang disediakan oleh marketplace. Sedangkan, dokumen koreksi atau dokumen pembatalan faktur merupakan dokumen yang dianggap sebagai bukti pemungutan PPh Pasal 22, sebagaimana tercantum dalam dokumen koreksi. Dokumen ini dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh tahun berjalan bagi pedagang atau dapat dimasukkan sebagai bagian dari pembayaran PPh final. Sebagaimana diketahui, PMK 37/2025 belum diimplementasikan. Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, menegaskan bahwa peraturan ini akan diimplementasikan secara bertahap sesuai dengan kesiapan sistem marketplace. “Kami sudah berkomunikasi dengan marketplace, kami sosialisasikan dan mereka juga butuh penyesuaian di sistemnya. Ketika mereka sudah siap untuk implementasi, mungkin dalam sebulan sampai dua bulan ke depan baru kami tetapkan mereka sebagai pemungut PMSE,” ungkap Hestu dalam Media Briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, (15/7/25).

Sesuai dengan PMK 37/2025, berikut dokumen penagihan yang harus disiapkan oleh pedagang di marketplace

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 (PMK 37/2025) memberikan kerangka hukum bagi marketplace untuk menunjuk mereka memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari pedagang. PMK ini mewajibkan pedagang di marketplace untuk menyiapkan dokumen penagihan pajak. Pedagang di dalam negeri wajib menyiapkan dokumen penagihan atas penjualan barang dan/atau jasa melalui mekanisme PMSE [Sistem Perdagangan Elektronik], berupa dokumen penagihan atas nama pedagang di dalam negeri yang dihasilkan melalui sarana komunikasi elektronik yang disediakan oleh pihak lain. Dokumen tagihan paling sedikit berisi: Nomor dan tanggal dokumen tagihan; Nama pihak lain; Nama akun pedagang dalam negeri; Identitas pembeli barang dan/atau jasa berupa nama dan alamat; Jenis barang dan/atau jasa, jumlah harga jual, dan potongan harga; dan Nilai PPh Pasal 22 bagi pedagang dalam negeri masing-masing. Dalam hal terdapat keadaan yang menyebabkan terjadinya pembetulan atau pembatalan dokumen tagihan, pedagang di marketplace wajib membuat dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan yang merujuk pada dokumen tagihan yang dibetulkan atau dibatalkan. Adapun Dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan sebagaimana dimaksud dihasilkan melalui sarana komunikasi elektronik atau sistem elektronik lainnya yang disediakan oleh marketplace dan digunakan untuk transaksi PMSE. Keterangan nomor dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan sebagaimana dimaksud diisi dengan menggunakan nomor yang dihasilkan melalui sarana komunikasi elektronik yang disediakan oleh marketplace.  Sementara itu, dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan merupakan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan PPh Pasal 22 yang tercantum dalam dokumen pembetulan sebagaimana dimaksud—dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi pedagang atau dapat menjadi bagian dari pelunasan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Sebagaimana diketahui, PMK 37/2025 belum diimplementasikan. Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama menekankan, regulasi ini diterapkan secara bertahap sesuai dengan kesiapan sistem dari marketplace. Ketika sudah siap untuk implementasi, mungkin dalam sebulan sampai dua bulan ke depan baru DJP tetapkan sebagai pemungut PMSE.

Peraturan Menteri (PMK) Baru! Sistem Alat Pengaman Senjata TNI Kini Bebas PPN

Pemerintah telah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sistem alat pengaman senjata bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang bertugas dalam operasi militer. Pembebasan PPN ini diatur melalui Peraturan Menteri (PMK) 45/2025. Berdasarkan pertimbangannya, pemerintah memberikan fasilitas ini untuk mengoptimalkan pelaksanaan operasi pertahanan negara. “Perlu diberikan fasilitas pembebasan PPN atas barang perlengkapan operasional TNI khusus yang bersifat strategis berupa sistem alat pengaman senjata bagi prajurit TNI yang sedang bertugas dalam operasi militer,” demikian bunyi pertimbangan dalam PMK 45/2025. PMK 45/2025 merupakan revisi dari PMK 157/2023. Revisi ini dilakukan karena PMK 157/2023 belum mengatur fasilitas pembebasan PPN atas sistem alat pengamanan senjata bagi prajurit TNI yang terlibat dalam operasi pertahanan negara. Untuk itu, pemerintah merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 157/2023 dengan menambahkan berbagai jenis sistem alat pengamanan senjata yang dibebaskan dari PPN. Rinciannya tercantum dalam Lampiran I PMK 157/2023 sebagaimana telah diubah dengan PMK 45/2025. PMK 45/2025 berlaku sejak tanggal diundangkan, 24 Juli 2025. Selain sistem alat pengamanan senjata bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI), berdasarkan PMK 157/2023, berbagai barang strategis untuk keperluan pertahanan negara juga dapat dibebaskan dari PPN. Barang-barang tersebut antara lain senjata, amunisi, helm dan jaket atau rompi antipeluru, kendaraan darat khusus, radar, dan suku cadangnya. Terdapat pula komponen atau bahan yang belum diproduksi di dalam negeri yang digunakan dalam pembuatan senjata, amunisi, kendaraan darat khusus, radar, dan suku cadangnya. Pembebasan PPN juga diberikan atas peralatan dan suku cadang yang digunakan untuk menyediakan data batas wilayah, peta topografi, peta hidrografi, dan foto udara wilayah Indonesia dalam rangka mendukung pertahanan negara. Namun, pembebasan PPN ini terbatas pada impor dan/atau penyerahan yang dilakukan oleh sejumlah pihak tertentu. Pihak-pihak tersebut antara lain Kementerian Pertahanan, Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang industri pertahanan nasional, dan pihak yang ditunjuk. Selain itu, pembebasan juga diberikan kepada lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya. Pembebasan PPN atas Barang dan Jasa Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara diberikan melalui surat keterangan bebas. Oleh karena itu, pihak yang ingin mengajukan permohonan pembebasan PPN wajib menyampaikan surat keterangan bebas PPN.

Perhitungan PPN Atas Kendaraan Bermotor Bekas

Pasal 16 PMK 11/2025 menjelaskan bahwa pengalihan kendaraan bermotor bekas oleh pengusaha dikenakan PPN. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang mengalihkan kendaraan bermotor bekas wajib memungut dan menyetor PPN terutang atas pengalihan kendaraan bermotor bekas tersebut dengan tarif tertentu. Tarif PPN untuk kendaraan bekas ditetapkan sebesar 1,1% dari harga jual. Tarif tertentu diperoleh dengan mengalikan 10% dengan 1 1/12 tarif Pajak Pertambahan Nilai. Jika penjual juga mengalihkan barang atau jasa kena pajak selain kendaraan bermotor bekas, pengalihan tersebut dikenakan tarif PPN umum. Misalnya, PT Ashtara mengirimkan kendaraan bekas dan menyediakan jasa perbaikan kendaraan. Kendaraan bekas dikenakan tarif PPN tertentu sebesar 1,1%, sedangkan jasa perbaikan dikenakan tarif PPN sebesar 11% (dikalikan dengan 1 1/12 dari tarif PPN 12%). Pengkreditan Pajak Masukan Saat menyerahkan kendaraan bermotor bekas, Pajak Masukan penjual terkait penyerahan kendaraan bekas tersebut tidak dapat dikreditkan. Namun, PPN pembeli tetap dapat dikreditkan selama memenuhi persyaratan Undang-Undang PPN. Contoh Penghitungan PPN Kendaraan Bekas PT Sejahtera Mobil adalah perusahaan yang bergerak di bidang distribusi mobil bekas dan juga menyediakan jasa perbaikan mobil. Pada tanggal 17 Agustus 2025, PT Sejahtera Mobil menyerahkan sebuah Ertiga bekas kepada PT Citra Consulting seharga Rp189.500.000. Karena PT Citra Consulting akan melakukan perjalanan jauh, PT Citra Consulting meminta PT Sejahtera Mobil untuk melakukan perbaikan pada mobil yang dibeli. Total tagihan perbaikan tersebut adalah Rp6.000.000. Berapa besar PPN yang terutang? Sesuai ketentuan PMK 11/2025, perhitungan PPN terutang yang dipungut oleh PT Sejahtera Mobil adalah sebagai berikut: Nilai jual atas penyerahan kendaraan bermotor bekas = Rp189.500.000 PPN terutang =  PPN besaran tertentu x harga jual =  1,1% x Rp189.500.000 =  Rp2.084.500 Nilai penggantian atas penyerahan jasa perbaikan mobil = Rp6.000.000 PPN terutang = 12% x (11/12 x Rp6.000.000) = 12% x Rp5.500.000 = Rp660.000 Jadi, PPN yang terutang yang sebesar Rp2.744.500

Pengusaha Kena Pajak Diimbau Terbitkan Faktur Pajak Pengganti Jika Lupa Centeng Uang Muka

Wajib pajak dihimbau membuat faktur pajak pengganti jika lupa mencentang kotak “Uang Muka” saat membuat faktur pajak untuk uang muka. Terkait transaksi yang seharusnya berupa uang muka, tetapi faktur pajak yang Anda buat tidak memiliki tanda centang uang muka, silakan buat faktur pajak pengganti. Konsekuensi jika lupa mencentang kotak “Uang Muka”, yaitu akan menimbulkan masalah saat membuat faktur pajak pelunasan. Hal ini dikarenakan wajib pajak akan diminta memasukkan nomor faktur pajak uang muka yang telah dibuat sebelumnya. Saat membuat faktur pajak pelunasan dan mencentang kotak pembayaran, wajib pajak akan diminta memasukkan nomor faktur pajak uang muka sebelumnya. Nantinya, jumlah yang tersisa setelah uang muka dibayarkan akan muncul secara otomatis. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-11/PJ/2025 juga mengatur tata cara pengisian informasi faktur pajak. Salah satunya adalah pengisian informasi faktur pajak untuk penerimaan uang muka. Jika pembayaran yang diterima berupa uang muka, cicilan, atau angsuran, Faktur Pajak di Muka wajib mencantumkan keterangan, misalnya, “uang muka” pada kolom “Nama Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP)”. Misalnya, uang muka sebesar Rp1 juta diterima untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual Rp5 juta. Oleh karena itu, kolom “Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak” diisi dengan “Uang Muka sebesar Rp1.000.000,00 untuk pembelian komputer merek ABC dengan harga jual Rp5.000.000,00”.

Cara Mengajukan Permohonan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 melalui Coretax

Pusat kontak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kring Pajak, mengingatkan wajib pajak bahwa pengajuan permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 akibat perubahan kegiatan usaha atau kegiatan wajib pajak kini dapat dilakukan melalui Coretax DJP. Permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 akibat perubahan kegiatan usaha atau kegiatan wajib pajak juga diatur dalam Pasal 119 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-11/PJ/2025. “Permohonan dapat diajukan secara daring melalui Coretax DJP atau secara langsung/melalui pos atau melalui perusahaan pengiriman atau jasa kurir dengan bukti pengiriman ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang terdaftar,” tulis Kring Pajak di media sosial pada Kamis (24 Juli 2025). Kring Pajak juga menjelaskan langkah-langkah pengajuan permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 melalui Coretax DJP. Pertama, akses coretaxdjp.pajak.go.id. Masukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK/NPWP), kata sandi, dan kode captcha. Kemudian, klik Masuk. Pada menu utama Coretax DGT, klik menu Layanan Wajib Pajak dan pilih Layanan Administrasi. Kemudian, klik Buat Permintaan Layanan Administrasi. Anda akan melihat daftar jenis layanan wajib pajak yang dapat dipilih. Kemudian, gulir ke bawah daftar jenis layanan wajib pajak. Pilih layanan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 AS.18. Anda kemudian akan melihat dua menu layanan administratif: LA.18-01 Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 dan LA.18-02 Respons Wajib Pajak terhadap Notifikasi Dinamis Angsuran PPh Pasal 25. Wajib pajak dapat mengeklik sub-layanan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 LA.18-01, lalu mengisi dokumen dan data yang diperlukan untuk mengajukan permohonan pengurangan angsuran. “Apabila wajib pajak ingin mengajukan permohonan tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP), format dan petunjuk pengisian permohonan dapat dilihat pada lampiran surat K PER-11/PJ/2025,” jelas KPP.

Prosedur Pembuatan SKJLN Terkait Impor BKP untuk Pemanfaatan JKP

Pasal 1 angka 42 PER-8/2025 menjelaskan bahwa surat keterangan pemanfaatan Barang Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, yang biasa disebut Surat Keterangan Jasa Luar Negeri (SKJLN), adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa wajib pajak memanfaatkan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Pasal 131 ayat (1) PER-8/2025 juga menjelaskan bahwa surat keterangan pemanfaatan JKP merupakan persyaratan utama yang wajib dipenuhi wajib pajak sebelum mengimpor Barang Kena Pajak (BKP) untuk keperluan pemanfaatan JKP dari luar negeri. Dengan SKJLN, impor barang semata-mata untuk keperluan pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean dibebaskan dari PPN. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak untuk setiap kegiatan impor BKP dengan syarat: telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk 2 tahun pajak terakhir; dan telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir, yang sudah menjadi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Apabila permohonan diajukan secara elektronik dan memenuhi persyaratan, Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan surat keterangan pemanfaatan JKP secara otomatis setelah bukti penerimaan diterbitkan. Sementara itu, untuk permohonan yang diajukan secara non-elektronik dengan mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Pajak (KP2KP), Direktorat Jenderal Pajak wajib menerbitkan surat keterangan pemanfaatan JKP paling lama satu hari kerja. Apabila permohonan diajukan melalui pos, jasa titipan, atau kurir ke KPP tempat wajib pajak terdaftar, batas waktu penerbitan surat keterangan pemanfaatan JKP paling lama lima hari kerja sejak bukti penerimaan surat permohonan diterbitkan.

NIK Isteri berstatus Deregistered di Sistem Coretax, Saat NPWP Telah Digabung Dengan Suami

Saat membuat surat keterangan potong pajak (bupot) untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 melalui sistem Coretax setelah menggabungkan NPWP suami saya dengan miliknya, ketika mencoba menggunakan NIK istri saya, sistem Coretax menampilkan status tidak terdaftar, sehingga tidak dapat diproses. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) PER-7/PJ/2025, perempuan yang telah menikah dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) namun ingin menggabungkan hak dan kewajiban perpajakannya dengan suami, wajib mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai wajib pajak nonaktif. Ketika NPWP perempuan yang telah menikah menjadi nonaktif, Nomor Induk Keluarga (NIK) tetap aktif dan digunakan untuk mengisi SPT. Selanjutnya, perempuan yang telah menikah tersebut wajib ditambahkan sebagai tanggungan dalam data satuan keluarga (DUK) suaminya. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2020. Dalam PER-4/PJ/2020, perempuan yang telah menikah diwajibkan untuk membatalkan NPWP jika ingin menggabungkan hak dan kewajiban perpajakannya dengan suami. Selanjutnya, ketentuan pengisian SPT PPh Pasal 21 diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025. Sesuai dengan PER-11/PJ/2025, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan atas penghasilan yang berkaitan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi dalam negeri. Pihak yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang. Selain itu, pemotong pajak wajib membuat Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Pasal 21, menyampaikan SPT PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak, dan melaporkan SPT PPh Pasal 21 kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan menggunakan SPT PPh Pasal 21. Untuk membuat SPT PPh Pasal 21, penerima penghasilan wajib memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP/NIK) kepada pemotong pajak. NPWP/NIK ini akan digunakan oleh pemotong pajak untuk membuat SPT PPh Pasal 21 bagi penerima penghasilan. Ketentuan ini juga berlaku bagi perempuan yang telah menikah dan menggabungkan NPWP dengan NPWP suami. Perempuan yang telah menikah dan menggabungkan NPWP dengan NPWP suami tetap wajib membuat SPT PPh Pasal 21 dengan menggunakan NPWP/NIK pribadi, bukan NPWP suami. Dalam kasus Anda, SPT PPh Pasal 21 Anda terdaftar dengan benar menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) Anda. Namun, rabat gagal dibuat dengan informasi yang telah dihapus. Hal ini mungkin karena NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) Anda telah dihapus. Untuk mengatasi masalah ini, Kalisa dapat mengajukan permohonan pengaktifan kembali status NPWP yang telah dihapus dengan mengirimkan tiket ke Meja Layanan TI (Melati). Permohonan dapat diajukan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat atau dengan menghubungi Kring Pajak (Pusat Panggilan Pajak) di 1500200. Selanjutnya, untuk memudahkan proses pengajuan tiket Melati, Ibu Kalisa dapat menyiapkan informasi berikut: 1. NIK/NPWP; 2. Nama Wajib Pajak; 3. Keterangan kesalahan yang jelas; 4. Notifikasi kesalahan yang muncul; 5. Tangkapan layar yang menunjukkan kesalahan tersebut. 6. Upaya apa yang telah dilakukan. Setelah reaktivasi, status NIK istri di sistem Coretax akan berubah menjadi ‘tidak aktif (SPDN)’. Status ini berarti ia tidak aktif sebagai wajib pajak dan tidak diwajibkan menyampaikan SPT terpisah. Dengan status ini, bukti pemotongan pajak penghasilan dapat dibuat. Jika rekapitulasi telah dibuat, pemotong pajak dapat melakukan koreksi menggunakan NIK yang telah direaktivasi.

Kripto Jadi Instrumen Keuangan, Peraturan Perpajakan Segera Direvisi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan merevisi peraturan perpajakan aset kripto, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024. Hal ini menjadi sorotan media nasional hari ini, Kamis (24 Juli 2025). Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan bahwa revisi PMK 81/2024 diperlukan karena PMK tersebut masih mengkategorikan aset kripto sebagai komoditas. “Sebelumnya, kami mengatur aset kripto sebagai komoditas. Kemudian, ketika aset kripto beralih menjadi instrumen keuangan, kami harus menyesuaikan peraturannya,” ujar Wijayanto. Merujuk pada Pasal 1 angka 199 PMK 81/2024, aset kripto didefinisikan sebagai komoditas tidak berwujud berupa aset digital, yang menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar terdistribusi untuk mengatur pembentukan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak ketiga. Perlu dicatat bahwa definisi di atas ditetapkan ketika aset kripto masih diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), unit eselon I di bawah Kementerian Perdagangan. Saat ini, definisi dalam PMK 81/2024 tidak lagi sejalan dengan definisi aset kripto dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 27/2024. Dalam POJK tersebut, aset kripto dikategorikan sebagai aset keuangan digital. Sebagai informasi, PMK 81/2024 memuat peraturan mengenai pengalihan aset kripto yang dikenakan PPN dan penghasilan dari transaksi aset kripto yang dikenakan Pajak Penghasilan. Secara umum, transfer aset kripto dikenakan PPN sebesar 0,11% jika dilakukan melalui bursa terdaftar. Jika transfer dilakukan melalui bursa tidak terdaftar, tarif PPN meningkat menjadi 0,22%. Penjualan aset kripto juga dikenakan PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% jika dilakukan melalui bursa terdaftar. Jika penjualan dilakukan melalui bursa tidak terdaftar, PPh Pasal 22 final meningkat menjadi 0,2%. Kontan Daily melaporkan bahwa aset kripto telah menjadi instrumen investasi yang populer. Menurut data coinmarketcap.com pada Rabu (23 Juli 2025) pukul 21.16 WIB, kapitalisasi pasar aset kripto mencapai US$3,86 triliun, naik dari US$3,26 triliun pada 1 Januari 2025. Sementara itu, nilai perdagangan aset kripto global mencapai US$193,69 miliar, naik dari US$115,22 miliar pada 1 Januari 2025. Di dalam negeri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total nilai transaksi kripto sebesar Rp49,57 triliun pada Mei 2025. Angka ini meningkat 39,20% dibandingkan April 2025. Secara akumulasi dari Januari hingga Mei 2025, nilai transaksi aset kripto di Indonesia mencapai Rp194,48 triliun. Nilai transaksi tersebut didukung oleh peningkatan jumlah pengguna aset kripto sebesar 14,39%, mencapai 14,78 juta pada Mei 2025 dari 12,92 juta pada Januari 2025. Pengamat Pasar Kripto Ibrahim Assuaibi menilai pengenaan pajak atas aset kripto wajar, terutama mengingat kinerja industri kripto dalam negeri yang terus meningkat. Dibandingkan dengan pasar modal dan derivatif, kripto memiliki basis pengguna yang besar. “Transaksi pembelian tetap berjalan, meskipun ada pengenaan pajak,” jelasnya. Sementara itu, CEO Tokocrypto Calvin Kizana menjelaskan bahwa transaksi kripto sebelumnya dikenakan PPh final dan PPN karena merupakan komoditas digital. Namun, berdasarkan peraturan baru, aset kripto akan diperlakukan seperti instrumen keuangan lainnya, seperti saham atau reksa dana. Ini berarti ia memperkirakan bahwa pengenaan pajak kripto di masa mendatang hanya akan berupa PPh final, tanpa PPN.

DJP Luncurkan Taxpayers’ Charter

Direktorat Jenderal Pajak secara resmi meluncurkan Piagam Wajib Pajak. Piagam ini menguraikan delapan hak dan delapan kewajiban wajib pajak. Bimo menjelaskan bahwa piagam ini disusun untuk memastikan hak dan kewajiban wajib pajak lebih terbuka, transparan, dan memiliki kepastian hukum. Piagam ini juga mengikuti praktik terbaik internasional. “Hal ini menunjukkan komitmen Direktorat Jenderal Pajak untuk melayani, memberikan kepastian hukum, dan membangun hubungan yang lebih setara antara otoritas pajak dan masyarakat,” ujar Bimo saat peluncuran pada Selasa (22 Juli 2025) di Aula Cakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat DJP. 8 hak wajib pajak yang tercantum dalam Taxpayers’ Charter yakni: Hak untuk memperoleh informasi dan edukasi di bidang perpajakan Hak untuk mendapatkan pelayanan di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tanpa dipungut biaya Hak untuk mendapatkan perlakuan secara adil, setara, dihormati, dan dihargai dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Hak untuk membayar tidak lebih dari jumlah pajak yang terutang. Hak untuk mengajukan upaya hukum atas sengketa perpajakan serta hak untuk memilih penyelesaian secara administratif dalam rangka mencegah timbulnya sengketa perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Hak atas kerahasiaan dan keamanan data wajib pajak. Hak untuk diwakili oleh kuasa dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Hak untuk menyampaikan pengaduan dan melaporkan pelanggaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.   Sementara itu, 8 kewajiban wajib pajak yaitu: Kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Kewajiban untuk bersikap jujur dan transparan dalam pemenuhan kewajiban sebagai wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai dengan menjunjung tinggi etika, sopan santun, dan moralitas dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan. Kewajiban untuk bersikap kooperatif dalam menyampaikan data, informasi, dan hal lain sebagai dasar dalam kegiatan pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum di bidang perpajakan. Kewajiban untuk menggunakan fasilitas atau kemudahan di bidang perpajakan secara jujur, tepat guna, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Kewajiban untuk melakukan dan menyimpan pembukuan atau pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Kewajiban untuk menunjuk kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan bagi wajib pajak yang menunjuk kuasa. Kewajiban untuk tidak memberikan gratifikasi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu? :)