Pajak.com, Jakarta – Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2024 tentang Penagihan Kepabeanan dan Cukai (PMK 115/2024) ini menjelaskan langkah-langkah terkait penagihan utang kepabeanan dan cukai, salah satunya adalah penyitaan surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal. Kebijakan ini memperkuat wewenang jurusita kepabeanan dan cukai, yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan penagihan utang, terutama pada aset berharga yang terlibat dalam pasar modal. Pajak.com akan mengulas prosedur penyitaan surat berharga di pasar modal untuk Anda berdasarkan PMK 115/2024. Objek Sita di Pasar Modal Jurusita, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 PMK 115/2024, berperan melaksanakan penagihan dengan berbagai tindakan, termasuk pemberitahuan surat paksa, penyitaan, dan bahkan penyanderaan, jika diperlukan. Salah satu aspek penting yang diatur dalam PMK yang akan berlaku pada 30 Januari 2025 ini adalah mekanisme penyitaan surat berharga milik penanggung utang yang diperdagangkan di pasar modal. Penyitaan surat berharga di pasar modal sesuai dengan PMK 115/2024 mencakup berbagai instrumen keuangan, termasuk obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa. Instrumen-instrumen ini dianggap sebagai objek sita yang dapat digunakan untuk melunasi utang kepabeanan dan cukai yang belum dibayar. Prosedur Penyitaan Jurusita memiliki wewenang untuk menyita semua jenis surat berharga yang dimiliki oleh penanggung utang, dengan tujuan agar hasil penyitaan dapat mencukupi nilai utang yang harus dilunasi. Proses penyitaan ini tidak dapat dilakukan sembarangan, melainkan diawali dengan pemblokiran surat berharga tersebut. Pemblokiran dimulai ketika jurusita, dengan wewenangnya, meminta informasi mengenai nomor rekening keuangan dan saldo harta kekayaan penanggung utang dari lembaga jasa keuangan sektor pasar modal. “Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal wajib memberitahukan nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Utang paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan,” bunyi Pasal 44 ayat (3) PMK 115/2024, dikutip Pajak.com, Rabu (29/01). Setelah menerima informasi tersebut, jurusita mengajukan permintaan resmi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan pemblokiran. Permintaan ini harus disertai dengan dokumen pendukung seperti salinan surat paksa dan surat perintah pelaksanaan penyitaan. Selanjutnya, lembaga jasa keuangan yang terkait dengan sektor pasar modal pun diwajibkan merespons dengan membuat berita acara pemblokiran yang mencakup detail tentang nomor rekening dan waktu pelaksanaan pemblokiran. Pencabutan Pemblokiran Namun, PMK 115/2024 juga memberikan ruang bagi penanggung utang untuk menghindari penyitaan. Pemblokiran dapat dicabut jika penanggung utang mampu melunasi utangnya atau memberikan jaminan berupa barang lain yang nilainya setara dengan utang yang belum dilunasi. Adapun barang lain yang nilainya setara dengan utang yang belum dilunasi bisa merupakan milik penanggung utang, termasuk milik istri atau suami dan anak yang masih dalam tanggungan penanggung utang, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta. Selain itu, barang atau harta tersebut tidak sedang dijaminkan atas pelunasan utang tertentu. Syarat lainnya, barang tersebut harus mudah dijual atau dicairkan. Di sisi lain, apabila utang tetap tidak dilunasi setelah pemblokiran, jurusita memiliki wewenang untuk melanjutkan ke tahap penyitaan surat berharga, yang bertujuan untuk mencairkan nilai aset hingga mencukupi pelunasan utang dan biaya penagihan. PMK ini memastikan adanya keterlibatan pihak-pihak terkait dalam setiap tahap proses penyitaan, mulai dari penanggung utang hingga lembaga jasa keuangan dan OJK, yang menjadikan transparansi dalam proses ini sebagai salah satu prioritas utama. Langkah ini merupakan upaya pemerintah […]
Belum Bisa Tambahkan “Role” Akses di “Core Tax”? Berikut Langkah-Langkah dari DJP
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerima banyak pengaduan terkait kendala teknis penggunaan core tax melalui kanal X (@kring_pajak). Beberapa Wajib Pajak mengeluhkan kegagalan penambahan role akses. DJP pun menyarankan Wajib Pajak untuk mengikuti langkah-langkah berikut ini. ”Role access masih belum bisa. Saya sudah mengikuti panduan dengan klik “Ambil Data Terbaru dari DG AHU”, mengganti Deed of Establishment Document Number 1 menjadi nomor: 13. (Kemudian) tambah ”Pihak Terkait”. Dan setiap hari seperti ini, trouble. Tolong,” tulis warganet, dikutip Pajak.com, (31/1). Adapun AHU merupakan akronim dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Langkah Atasi Kendala Penambahan “Role” Akses di “Core Tax” DJP menyampaikan permohonan maaf atas kendala Wajib Pajak tersebut. DJP mengidentifikasi bahwa kendala tersebut memerlukan pembaruan data pengurus. Oleh sebab itu, ikuti langkah-langkah berikut ini: Silakan klik ”Profil Wajib Pajak”; Pilih ”Informasi Umum”; Klik ”Edit”, scroll ke ”Bagian Informasi Umum”. Klik “Ambil Data Terbaru dari DG AHU”; Jika muncul notifikasi data tidak ditemukan, klik tombol “Ambil Data Terbaru dari DG AHU”. Lakukan berulang kali, sampai kolom data yang terblokir (berwarna abu-abu) dapat terbuka untuk diisi secara manual; dan Isi bagian “Deed of Establishment Document” dengan Nomor Akta Pendirian. ”Apabila sudah dilakukan langkah di atas, namun tetap mengalami kendala yang sama, silakan laporkan kendala tersebut melalui KPP (Kantor Pelayanan Pajak) atau telepon Kring Pajak di 1500200, live chat di http://pajak.go.id, atau e-mail pengaduan di pengaduan@pajak.go.id,” imbuh DJP. Cara Menambahkan ”Role” Akses di ”Core Tax Mengutip buku “Panduan Ringkas Coretax DJP”, Pajak.com menguraikan cara menambahkan role akses di core tax sebagai berikut: Wajib Pajak yang akan ditunjuk sebagai wakil/kuasa harus sudah didaftarkan sebagai ”Pihak Terkait” dengan kategori ”Related Person/Orang Terkait”; Wajib Pajak yang ditunjuk sebagai ”Penanggung Jawab” masuk ke akun orang pribadi core tax, kemudian memilih Wajib Pajak badan atau instansi pemerintah yang akan menunjuk wakil/kuasa; Setelah masuk dalam status impersonating, pilih menu “Wakil/Kuasa Saya” dari panel di sebelah kiri; Layar akan menunjukkan daftar Orang Terkait yang dapat ditunjuk sebagai wakil/kuasa; Klik “Tetapkan Role” untuk setiap Orang Terkait, dan tetapkan peran (role) sesuai kebijakan internal dari Wajib Pajak badan atau instansi pemerintah. Adapun jenis role yang dapat ditetapkan adalah: – Drafter: melakukan pengisian dan pembuatan dokumen perpajakan; – Signer: melakukan penandatanganan dokumen perpajakan. Selesai. Orang Terkait yang ditunjuk sebagai wakil/kuasa Wajib Pajak sudah dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan sesuai role yang ditetapkan Penanggung jawab melalui proses impersonating. DJP menyebut, dalam hal wakil/kuasa sedang login dalam core tax ketika penetapan role dilakukan, maka wakil/kuasa tersebut harus keluar (logout) terlebih dahulu. Kemudian login kembali agar penetapan role dapat mulai berlaku. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/belum-bisa-tambahkan-role-akses-di-core-tax-ikuti-langkah-dari-djp-ini/
Alasan Dicabutnya Suket PP 55
Surat Keterangan (SuKet) adalah surat yang menerangkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang memiliki penghasilan bruto tidak melebihi Rp4,8 Milyar dalam setahun. Namun Kantor Pajak dapat melakukan pembatalan dan pencabutan atas SuKet tersebut apabila terdapat data yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak sudah tidak memenuhi kriteria sesuai ketentuan yang berlaku.
PMK 79 Tahun 2023, Tata Cara Penilaian Harta Berwujud Untuk Tujuan Perpajakan
Sesuai PMK 79/2023, DJP dapat menguji atau meninjau ulang besaran nilai harta berwujud melalui mekanisme penilaian untuk satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, ataupun tahun pajak. Selain itu, penilaian juga dapat dilakukan melalui dua cara yaitu penilaian kantor atau penilaian lapangan. Dalam pelaksanaannya, penilaian kantor dapat dilakukan oleh DJP dalam hal adanya pengawasan, pemeriksaan, prosedur persetujuan bersama, kesepakatan harga transfer, penyelesaian keberatan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, penagihan, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan di bidang perpajakan. Serupa dengan penilaian kantor, dalam konteks penilaian lapangan juga dilakukan dalam pelaksanaan pemeriksaan hingga penyidikan di bidang perpajakan hanya saja dikecualikan dalam pelaksanaan pengawasan. Salah satu objek penilaian yang masuk dalam ruang lingkup PMK 79/2023 ini yaitu terkait penghasilan dari transaksi pengalihan tanah dan/atau bangunan. Oleh karena itu, apabila di kemudian hari DJP menguji atau meninjau ulang melalui mekanisme penilaian terkait besaran nilai transaksi pengalihan tanah dan bangunan yang ditetapkan oleh perusahaan Anda maka hal ini tentu perlu menjadi perhatian lebih lanjut. Hasil penilaian tersebut nantinya juga dapat digunakan oleh DJP sebagai dasar penghitungan pajak terutang perusahan Anda. Pemahaman mengenai mekanisme penilaian yang dilakukan oleh DJP tentu menjadi penting untuk diperhatikan guna meminimalisir risiko yang mungkin timbul di kemudian hari, khususnya terkait besaran nilai transaksi pengalihan tanah dan bangunan yang ditetapkan oleh perusahaan Anda. Mekanisme penilaian meliputi: 1. Penyiapan bahan penilaian; 2. Pengumpulan data objek dan data pendukung penilaian; 3. Analisis data objek dan data pendukung penilaian; 4. Penerapan pendekatan penilaian yang sesuai dengan objek penilaian; dan 5. Penyusunan laporan penilaian.
Berlaku 30 Januari, PMK 115/2024 Pertegas Ketentuan Penagihan Utang Kepabeanan dan Cukai
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2024 (PMK 115/2024), yang mengatur tentang penagihan utang kepabeanan dan cukai. Peraturan ini, yang diundangkan pada 31 Desember 2024 dan akan mulai berlaku pada 30 Januari 2025, diharapkan dapat meningkatkan tata kelola penagihan utang di sektor kepabeanan dan cukai. Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Bea Cukai) Budi Prasetiyo mengungkapkan, tujuan utama dari penerbitan PMK ini adalah untuk memperluas cakupan objek penagihan serta menyederhanakan prosedur birokrasi, termasuk pemblokiran dan penyitaan harta. Ia juga memastikan bahwa peraturan ini disusun untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan utang kepabeanan dan cukai. Kebijakan ini juga sejalan dengan Undang-Undang Kepabeanan, Undang-Undang Cukai, dan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UUPPSP), serta diselaraskan dengan peraturan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait penagihan pajak. “Aturan ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum sekaligus mempermudah proses penagihan, sehingga mampu mendukung optimalisasi penerimaan negara,” kata Budi melalui keterangan resmi, dikutip Pajak.com, Jumat (24/01). PMK 115/2024 mengatur tiga aspek utama, yakni prinsip penagihan, pelaksanaan penagihan, dan ketentuan pendukung. Dalam hal prinsip penagihan, cakupan objek penagihan diperluas, serta ada pengaturan terkait tugas dan wewenang juru sita dan pembagian subjek utang. Sementara itu, dalam pelaksanaan penagihan, terdapat perubahan jangka waktu penerbitan surat teguran dan perluasan wilayah penagihan yang melibatkan Kantor Pelayanan Utama (KPU) serta Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC). Kewenangan tambahan juga diberikan kepada Direktur Jenderal Bea Cukai untuk melimpahkan beberapa tanggung jawab penagihan. Terkait ketentuan pendukung, salah satu poin pentingnya adalah integrasi sistem penagihan secara elektronik melalui CEISA 4.0. Sistem ini akan memudahkan pengelolaan penagihan dan meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan teknologi digital. Selain itu, PMK ini juga memperkenalkan mekanisme pemblokiran layanan publik tertentu untuk memperketat pengawasan terhadap utang kepabeanan dan cukai, sekaligus penetapan masa kedaluwarsa terhadap kewajiban membayar. “Dengan terbitnya PMK ini, pemerintah berupaya menciptakan efisiensi prosedur dengan pengelolaan penagihan secara elektronik melalui CEISA 4.0. Selain itu, PMK ini juga memungkinkan pengawasan dan monitoring yang lebih terintegrasi melalui pemberian kewenangan tambahan kepada Kepala Kanwil Bea Cukai untuk menunjuk juru sita, dan memantau pelaksanaan penagihan di masing-masing daerah,” jelasnya. Budi menambahkan, Bea Cukai memegang peran strategis dalam memastikan implementasi PMK ini berjalan dengan lancar. Selain mendukung dunia usaha dengan memberikan kepastian hukum, peraturan ini juga bertujuan untuk menjaga kelancaran arus perdagangan dan melindungi masyarakat dari potensi penyalahgunaan maupun manipulasi dalam penagihan utang. Bea Cukai juga menargetkan untuk menciptakan sistem penagihan yang lebih terstruktur dan berdampak positif pada pelayanan publik serta pembangunan nasional. “Dengan implementasi PMK ini, diharapkan dapat tercipta keseimbangan antara kepentingan negara, pelaku usaha, dan masyarakat,” imbuhnya. Budi mengimbau semua pemangku kepentingan dan masyarakat untuk mendukung kebijakan ini. “Kami berharap dukungan penuh dari semua pihak untuk menyukseskan implementasi PMK Nomor 115 Tahun 2024, demi menciptakan tata kelola penagihan yang transparan, akuntabel, dan efisien,” tutupnya. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/berlaku-30-januari-pmk-115-2024-pertegas-ketentuan-penagihan-utang-kepabeanan-dan-cukai/
Ketentuan Ulang Mengenai Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak
Pemerintah kembali mengatur ulang ketentuan mengenai tata cara penghapusan piutang pajak melalui PMK 117/2024. Kementerian Keuangan mengatur penghapusan piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP). Piutang pajak tersebut merupakan piutang yang tercantum dalam: Surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB); Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT); Surat ketetapan pajak pajak bumi dan bangunan (SKP PBB); Surat tagihan pajak (STP); Surat tagihan pajak pajak bumi dan bangunan (STP PBB); Surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT); Surat ketetapan pajak (SKP); Surat ketetapan pajak tambahan; dan/atau Surat keputusan persetujuan bersama, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah. Piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi tersebut bisa dihapuskan sepanjang memenuhi ketentuan seperti: Hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa; penanggung Pajak meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan; penanggung pajak tidak dapat ditemukan dan tidak terdapat harta kekayaan yang dapat digunakan untuk membayar utang pajak; hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Perlu diketahui, penghapusan piutang pajak tersebut merupakan kewenangan menteri keuangan. Namun, untuk saldo piutang pajak dalam 1 ketetapan sampai dengan Rp100 juta dapat dihapuskan oleh dirjen pajak atas nama menteri keuangan.
Buat Bukti Potong, Kendala NIK Tidak Ditemukan
Kendala saat membuat bukti pemotongan pajak (bupot) PPh Pasal 21 untuk karyawan (e-Bupot BP21) berupa munculnya notifikasi tidak ditemukannya NIK saat perekaman. Terkait dengan kendala itu, maka wajib pajak disarankan untuk memastikan kembali bahwa tidak ada kesalahan dalam penginputan NIK. Apabila telah memastikan bahwa NIK yang dimasukkan sudah benar, tetapi tetap mengalami kendala maka perlu melakukan solusi berikut ini, tergantung pada kondisi dari pegawai yang akan dibuatkan Bupot. 1. Memastikan pegawai telah melakukan pemadanan NIK menjadi NPWP. Dengan demikian, NIK dari pegawai yang bersangkutan menjadi NPWP 16 digit. 2. Bagi Wajib Pajak istri/wanita kawin dengan kewajiban perpajakan gabung dengan suami (NPWP gabung suami) maka pastikan NIK istri sudah masuk ke dalam data unit keluarga pada akun Coretax DJP suami/kepala keluarga. 3. Pegawai yang NIK-nya tidak muncul pada saat pembuatan e-Bupot BP21 untuk melakukan pendaftaran akun Coretax DJP terlebih dahulu.
DJP Mengingatkan 4 Hal Penting Sebelum Lapor SPT Tahun Ini
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membagikan pengumuman penting perihal pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun 2024 yang akan dilaksanakan tahun ini. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Dwi Astuti menegaskan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan wajib pajak orang pribadi dan badan. Pertama, pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2024 dan sebelumnya, termasuk pembetulannya, baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, dilakukan melalui aplikasi DJP Online (https://djponline.pajak.go.id); atau aplikasi pelaporan SPT Tahunan Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) yang dapat diakses melalui tautan yang disediakan oleh PJAP masing-masing. Daftar PJAP yang telah ditunjuk oleh DJP dapat dilihat pada https://pajak.go.id/index-pjap. “Kedua, Pelaporan SPT Tahunan PPh mulai Tahun Pajak 2025 dilakukan melalui aplikasi CoretaxDJP (https://coretaxdjp.pajak.go.id),” ungkap Dwi, dalam pernyataan resmi, dikutip Rabu (22/1/2025). Ketiga, wajib pajak diharapkan dapat melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh-nya sesuai dengan batas waktu yang telah diatur dalam ketentuan yang berlaku. “Wajib Pajak Orang Pribadi paling lama tiga bulan setelah akhir tahun pajak; dan Wajib Pajak Badan paling lama empat bulan setelah akhir tahun pajak,” tegas Dwi. Keempat, salam hal wajib pajak memerlukan informasi terkait pelaporan SPT Tahunan PPh, wajib pajak dapat menghubungi kantor pajak terdekat atau Kring Pajak 1500200, akun X @kring_pajak, atau live chat pada https://pajak.go.id. Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250122080604-4-605007/djp-ingatkan-4-hal-penting-ini-sebelum-lapor-spt-tahun-ini
DJP Masih Menunggu Arahan Prabowo dan Sri Mulyani Terkait Rencana Tax Amnesty Jilid III
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum memberikan kepastian terkait rencana pelaksanaan program Tax Amnesty Jilid III. Kepala Subdirektorat Pelayanan Perpajakan Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Tirta mengatakan, keputusan kebijakan tersebut sepenuhnya berada di ranah Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Selain itu, arah kebijakan perpajakan termasuk potensi pelaksanaan Tax Amnesty Jilid III juga akan mengikuti arahan dari Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. “Terkait dengan bagaimana ke depan, kira-kira kebijakan perpajakannya tentu nanti akan berdasarkan pada kebutuhan dan juga arah dari pimpinan tertinggi di Indonesia, dari bapak presiden, ibu Menkeu gitu ya. Kita tunggu saja nanti seperti apa ke depannya,” ujar Tirta dalam acara HUT KE-9 Tax Center Gunadarma, Kamis (23/1). Tirta menegaskan, DJP akan tetap fokus pada tugas utamanya sebagai pelaksana administrasi perpajakan. Berbeda dengan BKF yang meramu regulasi atau kebijakan. “Nanti kita sama-sama lihat saja seperti apa, karena memang pada prinsipnya sebetulnya DJP ini adalah otoritas yang mengadministrasikan perpajakan,” katanya. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang mempersiapkan program tax amnesty lanjutan. Hal ini sebagai salah satu mekanisme untuk memulihkan kekayaan negara yang berada di dalam maupun luar negeri. “Terkait tax amnesty, sedang dirumuskan. Kita tahu ada tax amnesty pertama dan kedua,” ujar Budi. Menurut Budi, rancangan program tersebut saat ini sedang digodok oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan. Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/djp-tunggu-arahan-prabowo-dan-sri-mulyani-soal-rencana-tax-amnesty-jilid-iii
Aturan Pajak Minimum Global Terbit, Ini Syarat Korporasi yang Bakal Kena
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi menerapkan pajak minimum global atau global anti-base erosion rules alias GloBE yang merupakan pajak tambahan yang dikembangkan oleh OECD. Kebijakan GloBE tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/2024. Dalam aturan dijelaskan, jenis-jenis korporasi yang akan menjadi objek GloBE. Pasal 2 ayat (1) menjelaskan GloBE akan dikenai untuk grup perusahaan multinasional yang memiliki setidaknya satu korporasi atau bentuk usaha tetap yang tidak berada di negara atau yurisdiksi korporasi induk utamanya. Hanya saja tidak semua perusahaan multinasional yang akan menjadi objek ketentuan pajak minimum global. GloBE hanya berlaku untuk korporasi yang peredaran bruto tahunan grup perusahaan multinasionalnya paling sedikit 750 juta euro atau sekitar Rp12,6 triliun (asumsi kurs Rp16.800 per euro). Selain itu, Pasal 3 ayat (1) menjelaskan terdapat pengeculian enam jenis korporasi grup perusahaan multinasional yang dikenai GloBE yaitu badan pemerintah, organisasi internasional, organisasi nirlaba, korporasi dana pensiun, korporasi dana investasi induk utama, dan korporasi dana investasi real estat induk utama. Sementara itu, Pasal 4 ayat (2) menetapkan pajak minimum global dikenakan berdasarkan income inclusion rules (IIR), undertaxed payment rules (UTPR), dan/atau domestic minimum top-up tax (DMTT). IRR sendiri merupakan ketentuan yang mengharuskan korporasi induk membayar pajak atas pendapatan yang diperoleh anak korporasinya di negara/yurisdiksi lain. Pasal 14 ayat (2) menjelaskan pajak tambahan berdasarkan IRR dikenakan ke korporasi induk utama, korporasi induk antara, dan/atau korporasi induk yang dimiliki sebagian. Hanya saja, pajak tambahan berdasarkan IRR itu dikecualikan untuk korporasi induk/induk antara yang menerapkan qualified IRR atau sudah seusai ketentuan GloBE. Sementara itu, UTPR merupakan ketentuan pembayaran lintas batas yang tidak dikenai pajak secara memadai. Pasal 17 ayat (1) menetapkan pajak tambahan berdasarkan UTPR dikenai kepada korporasi konstituen di Indonesia yang merupakan bagian grup perusahaan multinasional. Sedangkan DMTT adalah ketentuan pengenaan pajak tambahan terhadap pendapatan korporasi dari grup perusahaan multinasional karena tidak mencapai pajak minimum global 15%. Pasal 6 ayat (6) dijelaskan pajak tambahan berdasarkan DMTT dihitung dengan cara mengalikan persentase pajak tambahan dengan laba ekses (excess profit) dan ditambahkan dengan pajak tambahan adisional kini (additional current top-up tax). Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyampaikan penerapan pajak minimum global menegaskan komitmen pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif. Melalui kebijakan ini, pajak tidak lagi menjadi faktor utama dalam menentukan negara tujuan investasi. “Dengan adanya ketentuan ini, praktik penghindaran pajak seperti melalui tax haven dapat dicegah. Kesepakatan ini kita sambut baik karena sangat positif dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (16/1/2025). Adapun penerapan ketentuan pajak minimum global merupakan bagian dari kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, serta didukung oleh lebih dari 140 negara. Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250116/259/1832328/aturan-pajak-minimum-global-terbit-ini-syarat-korporasi-yang-bakal-kena