Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum memberikan kepastian terkait rencana pelaksanaan program Tax Amnesty Jilid III. Kepala Subdirektorat Pelayanan Perpajakan Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Tirta mengatakan, keputusan kebijakan tersebut sepenuhnya berada di ranah Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Selain itu, arah kebijakan perpajakan termasuk potensi pelaksanaan Tax Amnesty Jilid III juga akan mengikuti arahan dari Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. “Terkait dengan bagaimana ke depan, kira-kira kebijakan perpajakannya tentu nanti akan berdasarkan pada kebutuhan dan juga arah dari pimpinan tertinggi di Indonesia, dari bapak presiden, ibu Menkeu gitu ya. Kita tunggu saja nanti seperti apa ke depannya,” ujar Tirta dalam acara HUT KE-9 Tax Center Gunadarma, Kamis (23/1). Tirta menegaskan, DJP akan tetap fokus pada tugas utamanya sebagai pelaksana administrasi perpajakan. Berbeda dengan BKF yang meramu regulasi atau kebijakan. “Nanti kita sama-sama lihat saja seperti apa, karena memang pada prinsipnya sebetulnya DJP ini adalah otoritas yang mengadministrasikan perpajakan,” katanya. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan, mengungkapkan bahwa pemerintah sedang mempersiapkan program tax amnesty lanjutan. Hal ini sebagai salah satu mekanisme untuk memulihkan kekayaan negara yang berada di dalam maupun luar negeri. “Terkait tax amnesty, sedang dirumuskan. Kita tahu ada tax amnesty pertama dan kedua,” ujar Budi. Menurut Budi, rancangan program tersebut saat ini sedang digodok oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan. Sumber: https://nasional.kontan.co.id/news/djp-tunggu-arahan-prabowo-dan-sri-mulyani-soal-rencana-tax-amnesty-jilid-iii
Aturan Pajak Minimum Global Terbit, Ini Syarat Korporasi yang Bakal Kena
Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi menerapkan pajak minimum global atau global anti-base erosion rules alias GloBE yang merupakan pajak tambahan yang dikembangkan oleh OECD. Kebijakan GloBE tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/2024. Dalam aturan dijelaskan, jenis-jenis korporasi yang akan menjadi objek GloBE. Pasal 2 ayat (1) menjelaskan GloBE akan dikenai untuk grup perusahaan multinasional yang memiliki setidaknya satu korporasi atau bentuk usaha tetap yang tidak berada di negara atau yurisdiksi korporasi induk utamanya. Hanya saja tidak semua perusahaan multinasional yang akan menjadi objek ketentuan pajak minimum global. GloBE hanya berlaku untuk korporasi yang peredaran bruto tahunan grup perusahaan multinasionalnya paling sedikit 750 juta euro atau sekitar Rp12,6 triliun (asumsi kurs Rp16.800 per euro). Selain itu, Pasal 3 ayat (1) menjelaskan terdapat pengeculian enam jenis korporasi grup perusahaan multinasional yang dikenai GloBE yaitu badan pemerintah, organisasi internasional, organisasi nirlaba, korporasi dana pensiun, korporasi dana investasi induk utama, dan korporasi dana investasi real estat induk utama. Sementara itu, Pasal 4 ayat (2) menetapkan pajak minimum global dikenakan berdasarkan income inclusion rules (IIR), undertaxed payment rules (UTPR), dan/atau domestic minimum top-up tax (DMTT). IRR sendiri merupakan ketentuan yang mengharuskan korporasi induk membayar pajak atas pendapatan yang diperoleh anak korporasinya di negara/yurisdiksi lain. Pasal 14 ayat (2) menjelaskan pajak tambahan berdasarkan IRR dikenakan ke korporasi induk utama, korporasi induk antara, dan/atau korporasi induk yang dimiliki sebagian. Hanya saja, pajak tambahan berdasarkan IRR itu dikecualikan untuk korporasi induk/induk antara yang menerapkan qualified IRR atau sudah seusai ketentuan GloBE. Sementara itu, UTPR merupakan ketentuan pembayaran lintas batas yang tidak dikenai pajak secara memadai. Pasal 17 ayat (1) menetapkan pajak tambahan berdasarkan UTPR dikenai kepada korporasi konstituen di Indonesia yang merupakan bagian grup perusahaan multinasional. Sedangkan DMTT adalah ketentuan pengenaan pajak tambahan terhadap pendapatan korporasi dari grup perusahaan multinasional karena tidak mencapai pajak minimum global 15%. Pasal 6 ayat (6) dijelaskan pajak tambahan berdasarkan DMTT dihitung dengan cara mengalikan persentase pajak tambahan dengan laba ekses (excess profit) dan ditambahkan dengan pajak tambahan adisional kini (additional current top-up tax). Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyampaikan penerapan pajak minimum global menegaskan komitmen pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang lebih sehat dan kompetitif. Melalui kebijakan ini, pajak tidak lagi menjadi faktor utama dalam menentukan negara tujuan investasi. “Dengan adanya ketentuan ini, praktik penghindaran pajak seperti melalui tax haven dapat dicegah. Kesepakatan ini kita sambut baik karena sangat positif dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (16/1/2025). Adapun penerapan ketentuan pajak minimum global merupakan bagian dari kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, serta didukung oleh lebih dari 140 negara. Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250116/259/1832328/aturan-pajak-minimum-global-terbit-ini-syarat-korporasi-yang-bakal-kena