Malang – Pemerintah Kota (Pemkot) Malang tengah memproses perubahan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), khususnya terkait Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk sektor makanan dan minuman atau yang dikenal sebagai pajak restoran. Salah satu poin krusial dalam revisi ini adalah rencana menaikkan ambang batas omzet kena pajak dari Rp5 juta menjadi Rp10 juta per bulan. Wali Kota Malang Wahyu Hidayat mengungkapkan, perubahan ini merupakan hasil evaluasi atas kondisi ekonomi terkini, serta bentuk kepedulian terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Kota Malang. “Perda lama mengatur kewajiban pajak bagi usaha makan minum dengan omzet Rp5 juta per bulan, tapi ini belum pernah diterapkan. Saya minta untuk dievaluasi karena terlalu memberatkan pelaku UMKM,” kata Wahyu di Malang, Jawa Timur, dikutip Pajak.com, Rabu (14/5/2025). Wahyu menegaskan, sebelum perubahan diterapkan, Pemkot Malang melakukan pemetaan terhadap potensi pajak dari sektor kuliner, termasuk usaha yang beroperasi pada malam hari. Pendataan ini, menurutnya, bukan untuk memajaki pedagang kecil, melainkan agar mereka bisa mendapatkan pembebasan pajak. “Ini hanya pendataan. Kami ingin tahu ada berapa pelaku usaha yang omzetnya di bawah Rp10 juta agar mereka tidak dikenakan pajak. Bahkan yang Rp10 juta pun belum tentu akan langsung diberlakukan pajak. Semua tergantung situasi ekonomi di lapangan,” tegasnya. Ia menambahkan, pendataan tersebut sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat terkait kabar bahwa seluruh pelaku usaha kuliner, termasuk pedagang malam, akan dikenai pajak. Wahyu memastikan, Pemkot Malang tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan empati dalam optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Saya bisa memilih untuk tidak menjalankan aturan tersebut jika kondisi ekonomi masyarakat belum memungkinkan. Kalau Rp10 juta masih berat, bisa saja dinaikkan lagi ambang batasnya, misalnya Rp15 juta, dan tetap tidak dijalankan,” imbuh Wahyu. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang Handi Priyanto menambahkan, Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) revisi Perda 4/2023 saat ini tengah dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) DPRD. Sembari menunggu pengesahan, pihaknya sudah melakukan pendataan terhadap usaha makanan dan minuman yang omzetnya di bawah Rp10 juta. “Pendataan ini tujuannya agar saat perda baru disahkan, mereka yang berhak langsung bisa dibebaskan dari pajak restoran. Jadi bukan untuk memajaki, justru untuk melindungi pelaku UMKM,” jelas Handi. Menurut data sementara tersebut, sekitar 900 lokasi usaha tercatat berpotensi mendapatkan pembebasan pajak. Namun, Handi menegaskan verifikasi lebih lanjut akan dilakukan untuk memastikan kesesuaian data dengan kondisi sebenarnya di lapangan. “Kalau tidak diverifikasi, bisa saja datanya tidak valid. Maka dari itu kami turun langsung agar UMKM benar-benar mendapatkan perlindungan sesuai kebijakan baru,” tambahnya. Sebagai informasi, Pemkot Malang memiliki program unggulan Dasa Bhakti Ngalam Laris yang bertujuan meningkatkan pemberdayaan ekonomi lokal. Untuk itu, Pemkot Malang berkeyakinan perubahan ambang batas omzet kena pajak ini dapat mendorong pertumbuhan sektor UMKM, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian kota. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/kabar-baik-umkm-malang-beromzet-di-bawah-rp10-juta-diusulkan-bebas-pajak/
DJP Diminta Laporkan Sanksi yang Dihapus Akibat Kendala Coretax
Ditjen Pajak (DJP) diminta untuk menghitung dan melaporkan nilai penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat kendala implementasi coretax administration system. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (15/5/2025). DJP memberikan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat kendala coretax system berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-67/PJ/2025. Menurut Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, DJP perlu transparan mengenai nilai relaksasi yang diberikan kepada wajib pajak tersebut. “Saya nanti Pak [Dirjen Pajak Suryo Utomo], minta tolong dibuatkan data seberapa besar sebenarnya penghapusan sanksi dan potensi yang hilang, kalau sudah selesai [kendala dalam penerapan coretax system],” katanya dalam rapat dengar pendapat bersama dirjen pajak. Misbakhun menilai DJP sudah semestinya memberikan penghapusan sanksi administratif atas kendala yang dihadapi wajib pajak dalam mengakses coretax system. Secara bersamaan, berbagai kendala dalam penerapan coretax system juga perlu segera diselesaikan agar tidak menghambat pelayanan dan upaya pengumpulan penerimaan negara. Coretax system mengalami berbagai kendala sejak awal penerapannya pada 1 Januari 2025. Kendala ini menyebabkan wajib pajak kesulitan melakukan hak dan kewajibannya seperti membayar dan melaporkan pajaknya. Dalam situasi tersebut, DJP memberikan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak akibat implementasi coretax system.
Deductible Expense: Antara Aturan dan Realita Pemeriksaan
Pemeriksaan pajak sering kali dimulai dengan pertanyaan mendasar: apakah suatu biaya layak untuk dikurangkan sebagai pengurang penghasilan atau tidak? Walaupun Undang-Undang Pajak Penghasilan memberikan pedoman yang jelas, kenyataannya, penilaian terhadap biaya yang dapat dikurangkan tidak selalu berjalan mulus antara wajib pajak dan otoritas pajak. Dalam praktiknya, banyak pengeluaran yang dianggap merupakan pengeluaran dalam rangka 3M (memelihara, menagih, mendapatkan penghasilan) oleh wajib pajak, tetapi terkadang dipertanyakan atau ditolak oleh fiskus. Hal ini membuka ruang untuk interpretasi, dan oleh karena itu, pendekatan yang proporsional dan konstruktif sangat dibutuhkan dalam pemeriksaan pajak. Konsep Deductible Expense dalam Ketentuan Perpajakan Menurut Pasal 6 ayat (1) UU PPh, biaya yang dapat dikurangkan adalah biaya yang digunakan untuk 3M. Aturan ini memberikan landasan utama bagi siapa saja yang ingin mengajukan biaya sebagai pengurang penghasilan. Namun, Pasal 9 UU PPh juga mengatur jenis biaya yang tidak dapat dikurangkan, seperti: Pembagian laba kepada pemegang saham; Biaya pribadi pemilik atau pihak yang berkepentingan; Pembentukan dana cadangan kecuali yang memenuhi persyaratan tertentu; Pajak penghasilan, denda dan sanksi administratif. Meskipun aturan ini jelas, dalam praktiknya, interpretasi terhadap pengeluaran yang boleh dikurangkan sering kali berbeda antara fiskus dan wajib pajak. Pengalaman Lapangan: Tantangan dalam Penentuan Deductible Expense Beberapa jenis pengeluaran yang sering menjadi sorotan dalam pemeriksaan pajak antara lain: 1. Biaya Promosi dan Sponsorship Biaya ini umumnya dikeluarkan untuk mendukung strategi pemasaran dan perluasan pasar. Wajib pajak diharuskan dapat menunjukkan keterkaitan biaya promosi dengan kegiatan usaha serta dampaknya terhadap penghasilan. Diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010. Untuk dapat dikurangkan, pengeluaran ini harus dicatat dalam Daftar Nominatif yang dilampirkan saat pelaporan SPT Tahunan. Jika tidak dipenuhi, biaya ini tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. 2. Biaya Entertain, Representasi, dan Relasi Bisnis Pengeluaran untuk menjamu klien atau melakukan perjalanan dinas guna membangun relasi bisnis merupakan bagian dari aktivitas komersial bagi sebuah perusahaan. Namun, biaya seperti ini hanya dapat dikurangkan jika memenuhi prinsip kewajaran dan dibatasi oleh ketentuan tertentu. Mengacu pada Surat Edaran Nomor SE-27/PJ.22/1986. Pengeluaran ini harus dibuktikan secara formal dan materil serta dilaporkan dalam bentuk daftar nominatif dalam SPT Tahunan, mencakup informasi seperti tanggal, tempat, jenis pengeluaran, serta pihak relasi usaha terkait. 3.Biaya Corporate Social Responsibility (CSR) Kegiatan CSR sering menjadi bagian dari strategi jangka panjang perusahaan dalam menjaga hubungan dengan masyarakat dan menjaga citra baik perusahaan. Namun, dalam konteks perpajakan, hanya CSR yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan atau yang terkait langsung dengan kegiatan usaha yang dapat diakui sebagai biaya yang dapat dikurangkan. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 mengatur batasan atas CSR yang berkaitan dengan sumbangan untuk penanggulangan bencana, penelitian, pendidikan, pembinaan olahraga, dan pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan, dengan syarat sesuai peraturan perundang-undangan. Pengeluaran CSR yang bersifat sukarela dan tidak didasarkan pada kewajiban regulasi biasanya tidak memenuhi kriteria deductible expense. Keseimbangan antara Administrasi dan Substansi Pemeriksaan terhadap deductible expense adalah proses yang memerlukan pemahaman mendalam atas konteks kegiatan usaha wajib pajak dan kebijakan fiskal. Dengan mengedepankan prinsip proporsionalitas dan keterbukaan, proses ini bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas kepatuhan dan hubungan antara wajib pajak dan fiskus. Dibutuhkan komunikasi yang terbuka antara fiskus dan wajib pajak untuk memahami latar belakang pengeluaran dan […]
WP Bebas Sanksi Telat Lapor SPT Masa PPN Maret 2025 hingga 10 Mei
Wajib pajak masih bisa melakukan pelaporan SPT PPN untuk masa Maret 2025 hingga 10 Mei 2025 tanpa terkena sanksi. Normalnya, batas waktu penyampaian SPT Masa PPN Masa Maret 2025 paling lambat pada 30 April 2025. Namun, DJP memberikan kelonggaran dalam rangka implementasi coretax administration system. Untuk sanksi administratif atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN masa pajak Maret 2025, yang disampaikan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian sampai dengan 10 Mei 2025, dilakukan penghapusan dengan tidak menerbitkan STP [Surat Tagihan Pajak]. Ketentuan penghapusan sanksi keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN telah diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-67/PJ/2025. Ketentuan tersebut mengatur 2 aspek penghapusan sanksi administrasi. Pertama, wajib pajak diberikan penghapusan sanksi administratif yang terutang atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak. Kedua, ada penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pelaporan pajak atau penyampaian SPT dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya. Sementara itu, diktum keempat menyatakan sanksi administratif dihapuskan atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN untuk masa pajak Maret 2025 yang disampaikan setelah jatuh tempo hingga 10 Mei 2025.
Pajak UMKM Tetap 0,5% Sampai Akhir Tahun
Pemerintah masih menggodok aturan teknis untuk memperpanjang masa pemberlakuan insentif tarif pajak penghasilan atau PPh final 0,5% bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sampai akhir tahun ini. Sebagaimana diketahui, aturan itu sebelumnya telah diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP 55/2022. Dalam beleid itu, insentif PPh Final UMKM 0,5% yang berlaku sejak 2018, seharusnya sudah selesai menikmati insentif pada 2025. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, selama masa penyusunan regulasi tersebut, pelaku UMKM masih tetap dapat menggunakan tarif PPh Final sebesar 0,5% sepanjang tahun ini. “Saat ini sedang disiapkan oleh pemerintah, tetapi sepanjang PP nya sedang disiapkan sebenarnya UMKM untuk 2025 pun masih boleh menggunakan tarif 0,5%,” tegas Febrio saat konferensi pers APBN di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (2/5/2025). Ia menekankan, relaksasi bagi para UMKM yang masih bisa menikmati tarif PPh Final 0,5% ini ditujukan supaya keberlangsungan usaha mereka tidak mengalami gangguan dan dapat terus berjalan sebagaimana mestinya. “Sehingga ini tidak mengganggu kelanjutan usaha UMKM,” ucap Febrio. Sebelumnya, Menteri UMKM Maman Abdurrahman juga telah mengungkapkan, sudah mencapai kesepahaman dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang perpanjangan insentif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% untuk UMKM. “Pembicaraan di level teknis sudah ada kesepahaman tinggal nanti saya tindaklanjuti dengan Ibu SMI,” kata Maman saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (28/11/2024). Secara prinsip, Maman mengatakan, Kementerian UMKM dan Kementerian Keuangan sudah memiliki semangat untuk meringankan beban para pelaku UMKM di tengah kondisi tekanan ekonomi saat ini melalui kebijakan insentif fiskal tersebut. Oleh sebab itu, berbagai kebijakan yang diperuntukkan untuk membantu aktivitas UMKM kata dia akan diutamakan kedua belah pihak. Namun, Maman menekankan, kebijakan itu belum ada perincian sebab ia belum mengadakan pertemuan resmi dengan Sri Mulyani. “Jadi nanti concern-nya bagaimana kebijakan yang dikeluarkan tidak memberatkan teman-teman UMKM,” ungkap Maman. Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20250502084249-4-630340/pajak-umkm-tetap-05-sampai-akhir-tahun
PMK 15/2025 Atur Pembahasan Temuan Sementara, Ini Definisi dan Ketentuannya
Pajak.com, Jakarta – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 mengatur adanya pembahasan temuan sementara dalam proses pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan. Apa itu pembahasan temuan sementara? Dan, bagaimana ketentuannya? Berikut Pajak.com telah merangkumnya untuk Anda. Definisi Pembahasan Temuan Sementara Pembahasan temuan sementara adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan sementara pemeriksaan. Pembahasan dilakukan untuk memberikan keyakinan bahwa temuan telah didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Sebagai informasi, pembahasan temuan sementara tidak diatur dalam regulasi sebelumnya. Ketentuan Pembahasan Temuan Sementara Pada Pasal 17 PMK Nomor 15 Tahun 2015, ketentuan pembahasan temuan sementara adalah sebagai berikut: Pembahasan temuan sementara dilakukan melalui penyampaian panggilan kepada Wajib Pajak dilampiri dengan daftar temuan sementara; Pembahasan temuan sementara dilakukan paling lambat satu bulan sebelum jangka waktu pengujian berakhir; Dalam pelaksanaan pembahasan temuan sementara, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk: Memberikan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (12); Memperlihatkan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk data elektronik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); Memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen termasuk, data elektronik, yang dipinjam atau diminta berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) yang berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (11); dan/atau; Menghadirkan saksi, ahli, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh Wajib Pajak. Adapun buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan dan/atau ditambahkan dan hasil pembahasan temuan sementara dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pemeriksa pajak dan Wajib Pajak/wakil/kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa yang menghadiri pembahasan temuan sementara. Dalam hal Wajib Pajak/wakil/kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa menolak menandatangani berita acara, pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan tersebut pada berita acara. Dalam hal Wajib Pajak/wakil/kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak menghadiri panggilan pembahasan temuan sementara sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, pemeriksa membuat catatan mengenai ketidakhadiran tersebut pada berita acara pembahasan temuan sementara. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/pmk-15-2025-atur-pembahasan-temuan-sementara-ini-definisi-dan-ketentuannya/
Begini Cara Kerja Deposit Pajak di Sistem Coretax
Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperbarui sistem layanan perpajakan demi menyederhanakan administrasi dan meningkatkan kepatuhan. Salah satu terobosan terbaru dari sistem Coretax adalah fitur deposit pajak. Deposit pajak sendiri adalah mekanisme penyetoran dana terlebih dahulu oleh Wajib Pajak ke sistem Coretax, yang kemudian bisa digunakan untuk membayar tagihan pajak (billing) saat melaporkan SPT Masa atau SPT Tahunan. Fitur ini diharapkan mempermudah pengelolaan arus kas dan menghindari keterlambatan pelaporan hanya karena kendala teknis seperti belum bisa membuat billing. Begini Cara Kerja Deposit Pajak Agar bisa menggunakan fitur ini, Wajib Pajak terlebih dahulu membuat billing menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) 411168 dan Kode Jenis Setoran (KJS) 100, dua kode baru yang sebelumnya tidak ada di sistem Billing DJP lama. Pilihan Masa Pajaknya otomatis terisi Januari–Desember 2025, yang berarti saldo deposit bisa digunakan sepanjang tahun. Pembuatan billing dilakukan langsung melalui akun Coretax DJP di menu Pembayaran lalu Layanan Mandiri Kode Billing. Namun perlu dicatat, masa aktif billing ini hanya satu minggu sejak dibuat. Artinya, jika tidak segera disetorkan dalam jangka waktu tersebut, billing akan kedaluwarsa dan Wajib Pajak harus membuat ulang. Bila mengalami kendala, Wajib Pajak juga bisa datang langsung ke kantor pajak untuk dibantu. Setelah billing dibuat, pembayaran dilakukan melalui kantor pos, bank, atau m–banking. Bukti bayar yang divalidasi dengan NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) akan secara otomatis masuk ke akun Coretax dan tercatat sebagai saldo di akun deposit. Untuk memeriksa apakah dana sudah masuk, Wajib Pajak cukup membuka menu Buku Besar di akun Coretax dan mengecek akun Kredit Pajak Tersisa. Nominal yang muncul adalah dana deposit yang siap digunakan untuk membayar pajak di kemudian hari. Sebelumnya, proses pelaporan pajak harus dilakukan dengan pembuatan billing setelah mengetahui nominal kurang bayar. Kini, dengan saldo yang sudah ada, pelaporan jadi lebih cepat dan ringkas. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/begini-cara-kerja-deposit-pajak-di-sistem-coretax/
Revisi PMK, Kantor Konsultan Pajak Bakal Diwajibkan Punya Izin
Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) akan mewajibkan kantor konsultan pajak untuk memiliki izin kantor. PPPK dalam sosialisasi yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengatakan kewajiban untuk memiliki izin kantor sudah berlaku atas profesi keuangan lainnya. Oleh karena itu, kewajiban yang sama juga akan diberlakukan atas konsultan pajak. Kewajiban untuk memiliki izin kantor akan diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK) baru yang merevisi PMK 111/2014 s.t.d.d PMK 175/2022 tentang Konsultan Pajak. Perlu dicatat, kewajiban untuk memiliki izin kantor timbul bila konsultan pajak memberikan jasa konsultasi perpajakan melalui kantor. Bila seorang konsultan pajak memberikan jasa kepada wajib pajak secara perorangan tanpa melalui kantor, konsultan tersebut hanya memerlukan izin profesi saja. Kalau izin profesi itu melekat kepada dirinya sendiri. Ada yang perorangan tanpa melalui kantor, itu diperkenankan. Lalu, ada yang memberikan jasa melalui kantor, itu izinnya ada 2 yakni izin yang melekat pada diri dan izin untuk kantornya. Sebagai informasi, saat ini kewajiban bagi konsultan pajak untuk memiliki izin praktik sebelum memberikan jasa konsultasi perpajakan telah diatur dalam PMK 111/2014 s.t.d.d PMK 175/2022. Izin praktik terdiri dari 3 tingkat, yakni A, B, dan C. Izin praktik tingkat A diberikan bila konsultan sudah lulus ujian sertifikasi konsultan pajak (USKP) A dan memperoleh sertifikat konsultan pajak tingkat A. Sertifikat tingkat A menunjukkan bahwa konsultan pajak memiliki keahlian untuk memberikan jasa kepada wajib pajak orang pribadi, kecuali wajib pajak yang berdomisili di negara yang memiliki persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) dengan Indonesia. Selanjutnya, izin praktik tingkat B diberikan kepada konsultan yang sudah lulus USKP B dan memiliki sertifikat konsultan pajak tingkat B. Dengan sertifikat ini, konsultan pajak dapat memberikan jasanya kepada wajib pajak orang pribadi dan badan selain wajib pajak penanaman modal asing (PMA), bentuk usaha tetap (BUT), dan wajib pajak yang berdomisili di negara yang memiliki P3B dengan Indonesia. Adapun izin praktik tingkat C diberikan kepada konsultan pajak yang sudah lulus USKP C dan memiliki sertifikat konsultan pajak tingkat C. Bila sudah memiliki sertifikat tingkat C, konsultan pajak dianggap memiliki keahlian untuk memberikan jasa kepada semua wajib pajak tanpa terkecuali.
Beli Emas Batangan, Konsumen Akhir Tak Kena PPh Pasal 22 dan PPN
Pembelian emas batangan oleh masyarakat atau konsumen akhir terbebas dari pengenaan PPh Pasal 22 dan PPN. Ketentuan PPh Pasal 22 tidak dipungut atas emas batangan yang dijual kepada konsumen akhir itu tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/2023. Konsumen akhir adalah pembeli yang mengonsumsi secara langsung barang yang dibeli. Pembeli tidak menggunakan barang yang dibeli dimaksud untuk kegiatan usaha. Konsumen akhir tidak perlu menunjukan surat keterangan bebas (SKB) agar terbebas dari pemungut PPh Pasal 22. Terkait dengan PPN, penyerahan emas batangan juga tidak dipungut PPN sesuai Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) 49/2022. PP dimaksud menegaskan bahwa penyerahan emas batangan selain untuk kepentingan cadangan devisa negara tidak dipungut PPN. Sementara itu, yang dimaksud dengan emas batangan dalam PP 49/2022 ialah emas yang berbentuk batangan dengan kadar emas minimal 99,99%. Adapun kadar emas batangan tersebut dibuktikan dengan sertifikat. Untuk diperhatikan, penerima emas batangan tidak perlu memiliki surat keterangan tidak dipungut (SKTD) untuk memperoleh fasilitas PPN tidak dipungut. Sebagai informasi, harga emas global dan emas Antam tercatat melonjak dalam beberapa hari terakhir. Banyak masyarakat yang mengantre di Butik Antam guna membeli emas batangan. Per hari ini, harga emas Antam sudah mencapai 1,97 juta per gram
Harga Emas Meroket, Kantor Pajak Ini Edukasi Kewajiban Perpajakan Pengusaha Emas
Denpasar – Harga emas kian meroket di tengah ketidakpastian perekonomian global. Kondisi ini juga diikuti dengan tingginya penjualan emas, baik perhiasan maupun logam mulia. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Denpasar Barat menggelar acara edukasi perpajakan kepada puluhan pengusaha emas, di KPP Pratama Denpasar Barat. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2023. Kepala KPP Pratama Denpasar Barat Aris Riantori Faisal mengucapkan terima kasih kepada puluhan pengusaha emas yang menghadiri undangan ini. Ia menyebut bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari edukasi yang telah di gelar KPP Pratama Denpasar Barat sebelumnya. “Saya sangat senang dapat berdiskusi bersama-sama untuk membahas kewajiban perpajakan bagi pengusaha emas,” ungkap Aris dalam keterangan tertulis, dikutip Pajak.com, (16/5). Ia mengingatkan bahwa kewajiban perpajakan pengusaha emas telah diatur dalam PMK Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pajak Penghasilan dan/atau Pajak Pertambahan Nilai atas Penjualan/Penyerahan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, serta Jasa yang terkait dengan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, dan/atau Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, yang Dilakukan oleh Pabrikan Emas Perhiasan, Pedagang Emas Perhiasan, dan/atau Pengusaha Emas Batangan. Dengan demikian, Aris berharap, edukasi ini dapat memberi pengetahuan secara lebih komprehensif dan intensif mengenai aturan yang berlaku sejak 28 April 2023 itu. “Aturan baru ini mewajibkan pedagang emas perhiasan dan atau emas batangan menjadi pengusaha kena pajak atau PKP. Kewajiban yang sama berlaku bagi pabrikan emas perhiasan. Secara teknis, disampaikan oleh para narasumber kami,” jelasnya. Teknis mengenai PMK Nomor 48 Tahun 2023 disampaikan oleh Penyuluh Pajak KPP Pratama Denpasar Barat Dikyasis Rachman; Kepala Seksi Pengawasan II I Gede Jana; dan Pemeriksa Pajak Umar Sahdat Hikmatullah. Narasumber menjelaskan secara detail mengenai kewajiban perpajakan bagi pengusaha emas, mulai dari penghitungan pajak hingga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan. Narasumber juga membeberkan proses bisnis pengawasan bagi PKP pengusaha emas, termasuk perihal pemeriksaan pajak. Kewajiban Pajak bagi Pengusaha Emas Berdasarkan catatan Pajak.com yang dihimpun dari penjelasan resmi DJP, isi pokok PMK Nomor 48 Tahun 2023 adalah sebagai berikut: PKP pabrikan emas perhiasan wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan besaran tertentu sebesar 1,1 persen dari harga jual untuk penyerahan kepada pabrikan emas perhiasan lainnya dan pedagang emas perhiasan, atau 1,65 persen dari harga jual untuk penyerahan kepada konsumen akhir; PKP pedagang emas perhiasan wajib memungut PPN dengan besaran tertentu sebesar 1,1 persen dari harga jual dalam hal PKP memiliki faktur pajak/dokumen tertentu lengkap atas perolehan/impor emas perhiasan, atau 1,65 persen dari harga jual dalam hal tidak memilikinya; dan Pengusaha emas batangan wajib memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,25 persen dari harga jual, kecuali penjualan emas batangan kepada konsumen akhir. Tarif ini turun jika dibandingkan pengaturan sebelumnya dalam PMK Nomor 34 Tahun 2017. Pada aturan terdahulu itu, penjualan emas batangan dipungut PPh Pasal 22 sebesar 0,45 persen dari harga jual. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/harga-emas-meroket-kantor-pajak-ini-edukasi-kewajiban-perpajakan-pengusaha-emas/
