Indonesia Hadapi Tarif Impor 32 Persen

Presiden AS Donald Trump resmi mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang akan berdampak signifikan terhadap Indonesia. Dalam surat yang dikirim langsung kepada Presiden Prabowo Subianto, Trump mengumumkan bahwa mulai 1 Agustus 2025, semua produk Indonesia yang masuk ke AS akan dikenakan tarif sebesar 32 persen. Langkah ini disebut sebagai upaya untuk memperbaiki defisit perdagangan AS yang selama ini dinilai tidak seimbang. Dalam suratnya, Trump menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan konsekuensi dari tarif, nontarif, dan hambatan perdagangan Indonesia yang dinilai tidak timbal balik. Ia menegaskan bahwa tarif 32 persen tersebut bahkan di bawah tarif ideal untuk menutup kesenjangan perdagangan. “Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap semua produk Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat, terpisah dari tarif sektoral lainnya. Barang yang diangkut dengan tujuan menghindari tarif yang lebih tinggi akan tetap dikenakan tarif yang lebih tinggi,” tulis Trump. Namun, Trump menawarkan pengecualian tarif jika perusahaan Indonesia memutuskan untuk memproduksi langsung di AS. Pemerintah AS dilaporkan siap melonggarkan persyaratan perizinan usaha hanya dalam beberapa minggu sebagai insentif investasi langsung. Trump juga menyatakan bahwa jika Indonesia menaikkan tarifnya sebagai tanggapan, setiap kenaikan akan langsung ditambahkan ke angka 32 persen. Ia memperingatkan bahwa defisit perdagangan yang sedang berlangsung dianggap sebagai ancaman tidak hanya bagi perekonomian tetapi juga bagi keamanan nasional AS. “Harap dipahami bahwa tarif ini diperlukan untuk memperbaiki kebijakan tarif dan nontarif serta hambatan perdagangan dari Indonesia selama bertahun-tahun yang telah menciptakan defisit perdagangan yang tidak berkelanjutan dengan Amerika Serikat,” jelas Trump. Namun, Trump tetap terbuka untuk negosiasi. Ia menyatakan bahwa tarif dapat disesuaikan, baik diturunkan atau dinaikkan, tergantung pada sikap Indonesia di masa mendatang, terutama jika pasar domestik dibuka lebih luas untuk produk dan perusahaan AS yang telah dibatasi. “Tarif ini dapat disesuaikan, baik dinaikkan atau diturunkan, tergantung pada hubungan kita dengan negara Anda,” pungkas Trump. Selain Indonesia, ada 13 negara lain yang masuk dalam daftar penerima surat dan kenaikan tarif. Jepang dan Korea Selatan, dua sekutu dekat AS, sudah dikenai tarif sebesar 25 persen. Thailand dikenai tarif sebesar 36 persen, Malaysia 25 persen, dan Afrika Selatan 30 persen. Negara ASEAN lainnya yang terkena dampak termasuk Kamboja sebesar 36 persen, Laos dan Myanmar masing-masing sebesar 40 persen. Bangladesh dan Serbia dikenai tarif sebesar 35 persen, Kazakhstan dan Tunisia sebesar 25 persen, dan Bosnia dan Herzegovina sebesar 30 persen.

Ketentuan Pemotongan PPh Final UMKM

Berdasarkan ketentuan perpajakan, UMKM dengan omzet tahunan tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dapat menerapkan tarif PPh final sebesar 0,5% atas penghasilan yang diperolehnya. Umumnya, UMKM membayar sendiri PPh final. Namun, ketentuan tersebut memperjelas dan mengatur bahwa wajib pajak yang bertindak sebagai pemotong pajak tetap harus memotong PPh final jika bertransaksi dengan UMKM yang menggunakan PPh final. Merujuk Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023 (PMK 164/2023) tentang PPh Final bagi UMKM dilunasi dengan cara: disetor sendiri oleh wajib pajak; atau dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan. Pemotong pajak yang bertindak sebagai pembeli atau pengguna jasa dikenakan potongan PPh sebesar 0,5%. Agar dapat dipotong sebesar 0,5%, UMKM harus menyerahkan surat keterangan kepada pemotong pajak. Surat keterangan tersebut merupakan surat yang menyatakan bahwa wajib pajak memenuhi kriteria sebagai wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022). Dalam pelaksanaan pemotongan PPh Final atas UMKM, pihak pemotong pajak wajib menerbitkan bukti pemotongan dan menyampaikannya kepada wajib pajak yang dipotong. Sejalan dengan mekanisme PPh Potput lainnya, pemotongan PPh Final sebesar 0,5% atas penghasilan dari usaha wajib pajak UMKM menggunakan BPPU (Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi) yang dibuat melalui e-Bupot Unifikasi pada aplikasi Coretax. BPPU dibuat dengan kode objek pajak yang digunakan adalah 28-423-03. Atas pajak yang telah dipotong, sesuai ketentuan Pasal 94 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024, pemotong wajib melakukan penyetoran paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir bersamaan dengan PPh Terpadu lainnya. Setelah itu, pemotongan tersebut wajib dilaporkan pula pada SPT Masa PPh Terpadu. SPT Masa PPh Terpadu wajib dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Pembelian Barang Dengan Cashback, Apakah Perlu Menerbitkan Faktur Pajak?

Cashback berupa uang atas pembelian barang tidak dikenakan PPN sehingga tidak perlu menerbitkan faktur pajak. Ttidak ada kewajiban penerbitan faktur pajak atas penyerahan cashback, baik dari pihak pembeli maupun penjual. Apabila cashback ini diberikan dalam bentuk hadiah berupa uang dan/atau pengurangan kewajiban oleh penjual kepada pembeli, maka tidak dikenakan PPN dan penjual tidak perlu menerbitkan faktur pajak. Pendapatan cashback dikenakan Pajak Penghasilan jika cashback yang diberikan kepada pembeli memenuhi persyaratan tertentu, sehingga dikategorikan sebagai penghargaan. Persyaratan ini mencakup pemenuhan persyaratan tertentu, penyediaan ruang dan/atau peralatan tertentu, atau penerimaan kompensasi sehubungan dengan transaksi penjualan. Jika demikian (persyaratan tertentu terpenuhi), pendapatan cashback dianggap sebagai penghargaan dan dikenakan Pajak Penghasilan. Jika penerima penghargaan adalah wajib pajak orang pribadi dalam negeri, maka akan dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2018, syarat-syarat tertentu yang terjadi dalam transaksi jual beli adalah keadaan atau peristiwa yang dapat mengakibatkan timbulnya ganti rugi dari penjual kepada pembeli sehubungan dengan transaksi jual beli tersebut berdasarkan perjanjian tertulis dan/atau tidak tertulis. Syarat-syarat tersebut antara lain memenuhi persyaratan tertentu; menyediakan tempat dan/atau perlengkapan tertentu; atau memperoleh ganti rugi sehubungan dengan transaksi jual beli tersebut.

Ketentuan Untuk Faktur Pajak Pedagang Eceran

Pedagang eceran merupakan pelaku usaha yang dalam kegiatan usahanya menyalurkan barang/jasa kepada konsumen akhir. Konsumen akhir yang dimaksud adalah pembeli yang secara langsung mengonsumsi/memanfaatkan barang/jasa tersebut. Selain itu, konsumen dianggap sebagai konsumen akhir apabila tidak memanfaatkan barang tersebut untuk kegiatan usahanya. Melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER 11/2025), ditegaskan bahwa pedagang eceran tidak ditetapkan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU). Setiap KLU dapat dikategorikan sebagai pedagang eceran, sepanjang memenuhi kriteria yang telah disebutkan sebelumnya. PKP dengan ciri pedagang eceran dapat membuat faktur pajak yang berbeda dengan ketentuan faktur pajak pada umumnya. PKP pedagang eceran dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli dan nama serta tanda tangan penjual. Berdasarkan Pasal 52 ayat (2) PER 11/2025, faktur pajak pedagang eceran atau yang juga dikenal dengan ‘faktur pajak digunggung’ paling sedikit memuat informasi tentang: nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan BKP/JKP; jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; PPN/PPnBM yang dipungut; dan kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak. Faktur pajak yang diterbitkan oleh pengecer dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Jika terjadi kekeliruan, penggantian atau pembetulan faktur pajak dilakukan sesuai dengan kebiasaan usaha pedagang eceran. Terdapat penyerahan BKP dan/atau JKP yang tidak boleh menggunakan faktur pajak pedagang eceran. Jenis BKP dan JKP tersebut adalah sebagai berikut: angkutan darat berupa kendaraan bermotor; angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht, angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara; tanah dan/atau bangunan; senjata api dan/atau peluru senjata api; jasa penyewaan angkutan darat berupa kendaraan bermotor; jasa penyewaan angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht; jasa penyewaan angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara; dan jasa penyewaan tanah dan/atau bangunan.

DJP Luncurkan Aplikasi Genta Untuk Mengunduh Data Faktur Pajak dan Bukti Potong

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi meluncurkan aplikasi bernama Generate Data Coretax (Genta). Melalui aplikasi Genta, wajib pajak dapat meminta data dari hasil pemrosesan aplikasi sistem administrasi coretax. Aplikasi ini hanya dapat diakses oleh wajib pajak yang telah memiliki EFIN dan terdaftar sebagai pengguna DJP Online. Data terbaru dapat diakses H+1 setelah mengajukan permintaan data. Pengajuan permohonan dapat dilakukan mulai pukul 08.00 WIB. Wajib pajak dapat mengunduh data dokumen pajak dengan memasukkan jenis dokumen, masa, dan tahun pajak sesuai kebutuhan. Aplikasi Genta dikembangkan untuk memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam meminta dan mengunduh data faktur pajak serta bukti potong PPh Pasal 21/26. Secara rinci, dokumen pajak yang dapat diminta dan diunduh melalui aplikasi Genta antara lain faktur pajak keluaran pengembalian, faktur pajak masukan pengembalian, faktur pajak keluaran, faktur pajak masukan, bukti potong PPh Pasal 21, dan bukti potong PPh Pasal 26. Kemudian, aplikasi Genta juga dapat membantu mengunduh data dokumen bukti potong bulanan, bukti potong formulir 1721 A1, dan bukti potong formulir 1721-A2.

Sepakati Perluas Peluang Kerja Sama Pertukaran Data Dirjen Pajak dan Dubes Tiongkok

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menggelar pertemuan dengan Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok/RRT (Tiongkok) Wang Lutong, di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta Selatan. Dalam pertemuan ini, keduanya sepakat untuk memperluas peluang kerja sama pertukaran data guna mengoptimalkan penerimaan pajak. Bimo menyampaikan, pertemuan ini menjadi langkah penting DJP untuk menjalin komunikasi yang lebih intensif dengan Tiongkok—sebagai salah satu mitra penting Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan jumlah investor Tiongkok di Indonesia yang terus meningkat. Mengutip data Kementerian Penanaman Modal dan Badan Koordinasi Hilir Penanaman Modal (BKPM), Tiongkok menempati peringkat kedua sebagai negara dengan realisasi investasi terbesar di Indonesia sebesar 2 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada 2024. “Saya harapkan mereka adalah Wajib Pajak yang patuh. Kepatuhan Wajib Pajak dari Tiongkok diharapkan dapat mengarahkan kepatuhan perpajakan dari Wajib Pajak lainnya,” ujarnya dalam keterangan tertulis. Ia mengungkapkan, saat ini DJP tengah menjalankan Program Reformasi Perpajakan Jilid III untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Salah satunya dengan menerapkan Coretax. Sistem ini mengintegrasikan seluruh proses bisnis perpajakan agar lebih efektif dan efisien, baik bagi Wajib Pajak maupun pegawai DJP. “DJP ingin memperluas kapasitas, termasuk memperluas basis pajak yang akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak. DJP menerima banyak data dan berharap data tersebut dapat bermanfaat bagi kepentingan penerimaan pajak,” kata Bimo. Wang Lutong menyampaikan hal senada. Ia mengapresiasi sambutan hangat dari seluruh jajaran DJP, dan berharap dapat kembali menggelar pertemuan di forum lain. Pertemuan yang sedang berlangsung ini diharapkan dapat mempererat komunikasi dan meningkatkan kerja sama antara Tiongkok dan DJP. Wang Lutong berpandangan bahwa Indonesia menghadapi banyak tantangan dalam menghimpun penerimaan pajak, seperti demografi yang luas dan jumlah penduduk yang besar. Tantangan tersebut sejatinya serupa dengan yang dihadapi Tiongkok. Oleh karena itu, Wang Lutong sepakat untuk meningkatkan peluang yang lebih besar dalam hal pertukaran data antara Tiongkok dan DJP. Secara singkat, Indonesia melakukan pertukaran data dengan negara/yurisdiksi mitra melalui skema Automatic Exchange of Information (AEoI). Direktorat Perpajakan Internasional DJP menjelaskan bahwa tujuan AEoI adalah untuk meningkatkan transparansi perpajakan dan memerangi penghindaran pajak. Indonesia menerapkan AEoI setelah pemerintah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) on Automatic Exchange of Financial Account Information pada 3 Juni 2015. Setelah itu, diterbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2017 s.t.d.t.d PMK Nomor 19 Tahun 2018. Payung hukum tersebut memungkinkan Indonesia dan otoritas pajak negara peserta untuk melakukan pertukaran informasi keuangan Wajib Pajak secara berkala dan sistematis. Informasi yang dipertukarkan terkait dengan jenis penghasilan, meliputi dividen, bunga, royalti, gaji, dan dana pensiun; serta informasi lainnya seperti perubahan tempat tinggal, kepemilikan properti tidak bergerak, dan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Perbaikan Coretax Dipercepat

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus meningkatkan hambatan dalam sistem Administrasi Coretax untuk mendukung kegiatan administrasi pajak yang baik Pajak dan fiscus. Mengamati pengembangan dan kontrol sumber daya manusia dengan Mukhammad Faisal Artjan mengatakan peningkatan Coretax menjadi salah satu rencana kerja utama Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto. “Ada peningkatan administratif, Coretax yang telah ramai, kami terus berusaha menjadi lebih halus,” katanya dalam pelantikan Dewan Pusat AKP2I. Untuk informasi, DJP sudah memiliki peta jalan untuk meningkatkan aplikasi, database, dan infrastruktur CORETAX. Di peta jalan, DJP berkomitmen untuk menyelesaikan peningkatan bug dalam aplikasi Coretax selambat -lambatnya Juli 2025. Peningkatan infrastruktur CORETAX juga ditargetkan akan selesai pada Juli 2025, sementara migrasi data dari sistem lama ke Coretax ditargetkan akan selesai pada Desember 2025. Selain meningkatkan Coretax, Faisal mengatakan bahwa Bimo juga memiliki rencana kerja lain seperti memperluas basis pajak, meninjau insentif pajak yang telah dicairkan, dan membuat agensi lebih inklusif. DJP juga akan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan untuk diskusi dan memberikan masukan kepada DJP. Ini dianggap sangat bermanfaat untuk kemajuan dan peningkatan otoritas pajak. “Kepemimpinan, terutama Direktur Jenderal, ingin DJP menjadi lebih inklusif. Kemarin dia berdialog dengan beberapa universitas di dalam dan luar negeri. Di masa depan beberapa asosiasi dan kerja sama dengan pejabat penegak hukum,” jelas Faisal. Tidak hanya itu, Faisal mengatakan bahwa DJP ingin bekerja bersama secara profesional dengan mitra strategis, terutama Asosiasi Konsultan Pajak di Indonesia. Dia berharap bahwa konsultan pajak dan petugas pajak keduanya berperan dalam membangun dan meningkatkan kepatuhan pembayar pajak.

Kode Otorisasi DJP Memiliki Tanggal Kedaluwarsa

Kode otorisasi yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak berlaku selama 2 tahun sejak tanggal kode otorisasi diterbitkan. Ketentuan mengenai masa berlaku kode otorisasi DJP diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025. Kode otorisasi merupakan alat verifikasi dan autentikasi yang digunakan oleh wajib pajak untuk melakukan tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Apabila kode otorisasi wajib pajak akan atau telah kedaluwarsa, maka dapat diajukan kembali kepada Direktorat Jenderal Pajak. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kode otorisasi baru kepada Direktorat Jenderal Pajak dengan alasan masa berlaku kode otorisasi akan atau telah kedaluwarsa. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan kode otorisasi baru melalui coretax. Jika terlacak, permohonan kode otorisasi dapat diajukan melalui modul (menu) Portal Saya dan submenu Permohonan Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik. Lihat Cara Mengajukan Kode Otorisasi DJP Melalui Coretax. Atas permohonan kode otorisasi baru, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) akan memberikan kode otorisasi baru dengan menerbitkan surat penerbitan kode otorisasi. Masa berlaku kode otorisasi lama dinyatakan berakhir pada saat kode otorisasi baru diberikan. Sebagai informasi, wajib pajak memerlukan kode otorisasi untuk menandatangani dokumen elektronik yang dikirimkan melalui coretax. Wajib pajak akan menerima kode otorisasi saat pertama kali mengaktifkan akun coretax. Selain masa berlaku yang telah berakhir, wajib pajak juga dapat mengajukan permintaan kode otorisasi baru apabila lupa atau karena alasan lain. Kode otorisasi DJP merupakan frasa sandi yang terdiri dari 8 karakter yang dibuat sendiri oleh wajib pajak. Simak Apa Itu Kode Otorisasi DJP? Selain kode otorisasi, wajib pajak juga dapat menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik sebagai tanda tangan digital. Apabila wajib pajak memilih untuk menggunakan sertifikat elektronik, wajib pajak harus mendaftarkannya terlebih dahulu di sistem Coretax.

Ketentuan Perpajakan yang Harus Diketahui Jika Ingin Kerja di Luar Negeri

Warga Negara Indonesia (WNI) yang berencana bekerja atau tinggal di luar negeri dalam jangka waktu lama perlu memahami ketentuan perpajakan yang berlaku. Salah satu hal krusial yang harus diketahui adalah kemungkinan perubahan status pajak dari subjek pajak dalam negeri menjadi subjek pajak luar negeri (SPLN). Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.03/2021 yang telah diubah dengan PMK Nomor 81 Tahun 2024, seorang warga negara Indonesia dapat berstatus SPLN apabila telah tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan memenuhi beberapa persyaratan administratif dan substantif. Syarat utama yang harus dipenuhi untuk memperoleh status SPLN, yaitu: Memiliki tempat tinggal tetap di luar negeri. Pusat kegiatan utama yang menunjukkan ikatan pribadi, ekonomi, dan sosial juga harus berada di luar negeri. Bukti yang dapat diajukan antara lain kontrak kerja luar negeri, keberadaan keluarga inti di luar negeri, atau keanggotaan dalam organisasi lokal yang diakui. Orang tersebut harus memiliki kebiasaan atau rutinitas sehari-hari di luar negeri. Telah ditetapkan sebagai subjek pajak oleh negara atau yurisdiksi lain. Selain itu, harus menyelesaikan seluruh kewajiban perpajakan di Indonesia dan memiliki Surat Keterangan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyatakan bahwa WNI tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai SPLN. Bagi WNI yang tengah mempersiapkan diri untuk pindah ke luar negeri, seperti halnya seseorang bernama Taat yang diterima bekerja di perusahaan minyak di Arab Saudi, Direktorat Jenderal Pajak menyarankan untuk mengajukan permohonan status non-efektif Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terlebih dahulu. Sebab, status SPLN baru bisa diperoleh setelah benar-benar berada di luar negeri selama lebih dari 183 hari. Setelah mencapai masa tinggal tersebut, WNI tersebut dapat mengajukan permohonan resmi sebagai SPLN. Proses ini penting dilakukan agar tidak menimbulkan kendala dalam kewajiban pelaporan atau pembayaran pajak di kemudian hari. SPLN tidak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) di Indonesia, dan akan menjalankan kewajiban perpajakan sesuai dengan sistem yang berlaku di negara tempat tinggal barunya. Namun, jika tetap menerima penghasilan dari Indonesia, maka tetap akan dikenakan pajak di Indonesia sesuai ketentuan perpajakan untuk SPLN. Apabila sewaktu-waktu kembali ke Indonesia, status perpajakannya akan berubah kembali menjadi subjek pajak dalam negeri. Secara otomatis, status NPWP yang sebelumnya tidak berlaku akan kembali aktif setelah WNI tersebut menyampaikan SPT Tahunan di Indonesia. Dengan pemahaman yang baik mengenai peraturan perpajakan lintas batas ini, WNI yang berencana untuk tinggal di luar negeri dapat memastikan kepatuhan pajaknya tetap terjaga dan terhindar dari risiko administratif.

PER-8/PJ/2025 mencabut 3 Perdirjen terkait Penyusutan Harta Berwujud

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencabut 3 ketentuan teknis terkait penyusutan harta berwujud melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025. Ketiga ketentuan yang dicabut tersebut meliputi Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2012, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2014, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2014. Pencabutan ini dapat dilihat dari Pasal 147 angka 9, angka 11, dan angka 12 PER-8/PJ/2025. “Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku: … PER 21/PJ/2012;… PER-20/PJ/2014;…. PER-10/PJ/2014… dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, bunyi Pasal 147 angka 9, angka 11, dan angka 12 PER-8/PJ/2025. Sementara itu, PER-8/PJ/2025 berlaku mulai 21 Mei 2025. Dengan demikian, terhitung mulai 21 Mei 2025, ketiga peraturan direktorat jenderal tersebut resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Secara lebih rinci, PER 21/PJ/2012 sebelumnya mengatur tata cara pengajuan dan penetapan masa manfaat sebenarnya atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu. Selanjutnya, PER-10/PJ/2014 sebelumnya mengatur tata cara pengajuan dan penetapan saat dimulainya penyusutan harta berwujud yang dapat dilakukan pada bulan pemakaian atau bulan produksi. Sebelumnya, PER-20/PJ/2014 mengatur tata cara pengajuan dan penetapan masa manfaat sebenarnya atas aset berwujud nonbangunan untuk tujuan penyusutan. Pencabutan tiga peraturan direktorat jenderal tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mendasarinya yang sudah tidak berlaku lagi. PER-21/PJ/2012 dan PER-10/PJ/2014 merupakan peraturan pelaksanaan dari PMK 249/2008 sampai dengan PMK 126/2012. PMK 249/2008 sampai dengan PMK 126/2012 telah dicabut dan diganti dengan PMK 72/2023 yang mengatur tentang penyusutan aset berwujud dan/atau amortisasi aset tidak berwujud. PMK 72/2023 mulai berlaku sejak 12 Juli 2023. Sementara itu, PER-20/PJ/2014 merupakan peraturan pelaksanaan dari PMK 96/2009. Nah, PMK 96/2009 tersebut juga telah dicabut dan diganti dengan PMK 72/2023.