Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memperbarui templat Excel untuk faktur pajak keluaran ke versi v.1.6. Meskipun templat Excel telah diperbarui, konverter XML-nya masih menggunakan versi v1.5. Berkas templat Excel untuk faktur pajak keluaran digunakan untuk mengimpor faktur dengan satu jumlah pajak. Sebagaimana diketahui, Coretax mengadopsi skema impor menggunakan berkas Extensible Markup Language (XML). “Berkas tersebut berformat Microsoft Excel (*.xlsx) dan dapat diisi oleh wajib pajak, serta data yang dimasukkan dapat diekspor ke format berkas XML Coretax,” jelas DJP dalam Panduan Cara Memilih XML, dikutip Rabu (24 September 2025). Pembaruan templat Excel mencakup penambahan kode TD.00513 dan TD.00524 pada kolom informasi tambahan. Kolom informasi tambahan ini wajib diisi saat membuat faktur pajak dengan kode transaksi 07. Kode TD.00513 digunakan untuk pengalihan rumah tapak dan satuan rumah susun ditanggung pemerintah pada tahun anggaran 2025. Sementara itu, kode TD.00524 digunakan untuk PPN ditanggung pemerintah. Pembaruan templat Excel ini juga bertujuan untuk mengakomodasi stempel fasilitas dengan kode TD.01113. TD.01113 digunakan untuk menambahkan stempel PPN “PEMERIKSAAN DITANGGUNG PEMERINTAH” pada PMK NOMOR 13 TAHUN 2025. Selain itu, versi terbaru templat Excel faktur pajak (v1.6) telah menambahkan beberapa satuan ukuran. Satuan baru ini meliputi: UM.0034 – Meter Kubik; UM.0035 – Sentimeter Persegi; UM.0036 – Drum; UM.0037 – Karton; UM.0038 – Kwh; dan UM.0039 – Rol. Penambahan ini mengharuskan wajib pajak untuk mengunduh versi terbaru jika memerlukan informasi ini. Wajib pajak dapat menggunakan templat Excel faktur pajak terbaru di https://www.pajak.go.id/reformdjp/coretax/templatexml-dan-converter-excel ke-xml. Seperti diketahui, metode impor data merupakan cara paling efektif untuk membuat faktur pajak atau laporan dalam jumlah besar secara bersamaan. Sebelumnya, impor data pada aplikasi sebelumnya menggunakan berkas Comma-Separated Values (CSV). Namun, Coretax mengadopsi skema impor yang berbeda, menggunakan berkas dalam Extensible Markup Language (XML). Untuk menyederhanakan Pengusaha Kena Pajak (PKP), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyediakan dua berkas templat XML. Yang pertama adalah templat XML. Berkas ini dapat digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memiliki keterampilan pemrograman atau oleh pengguna sistem Perencanaan Sumber Daya Perusahaan (ERP). Yang kedua adalah konverter berkas yang mengonversi MS Excel ke XML. Berkas ini dapat digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terbiasa dengan aplikasi perkantoran (seperti Microsoft Excel, Open Office, dan sejenisnya) maupun yang tidak terbiasa dengan pemrograman.
Amnesti Pajak, Bentuk Amnesti Pajak di Tingkat Daerah
Isu amnesti pajak kembali mengemuka setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) Amnesti Pajak dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyatakan bahwa pencantuman Rancangan Undang-Undang (RUU) Amnesti Pajak dalam Prolegnas 2025 merupakan proses administrasi yang wajar dalam penyusunan Prolegnas oleh DPR. Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berpendapat bahwa kebijakan amnesti pajak sebaiknya tidak diberikan berulang kali karena berpotensi merusak kredibilitas program tersebut. Tahukah Anda bahwa amnesti pajak tidak hanya diberikan oleh pemerintah pusat? Pemerintah daerah juga kerap menggelar program serupa—yang dikenal dengan istilah amnesti pajak. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) merupakan salah satu sektor pajak daerah yang kerap mendapatkan amnesti. Pemerintah daerah yang masih menerapkan program PKB antara lain Sumatera Barat, Jayapura, Kepulauan Bangka Belitung, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara (khusus pelajar), Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Lampung, Jawa Timur, Papua Barat, Kepulauan Riau, dan Banten. Sejumlah daerah ini bahkan menawarkan pembebasan PKB hingga Desember 2025. Selain PKB, pembebasan pajak juga kerap diberikan untuk sektor pajak lainnya, seperti Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Pemerintah daerah yang saat ini menerapkan pembebasan PBB-P2 antara lain Kota Bandung, Kota Tarakan, Kota Yogyakarta, Kabupaten Jepara, Kabupaten Nganjuk, Kota Serang, Kabupaten Majalengka, Kota Pakangka Raya, dan Kabupaten Kudus. Secara regulasi, ketentuan pembebasan pajak dapat mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, konsep pelaksanaan pembebasan pajak dapat ditemukan dalam Pasal 96 UU HKPD. Pasal ini mengatur bahwa kepala daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran pokok dan/atau denda pajak dan retribusi daerah. Meskipun sering terdengar dan beredar di berbagai publikasi, istilah “pengampunan pajak” sebenarnya tidak tercantum dalam Undang-Undang Pajak Daerah (HKPD). Pengampunan pajak merupakan istilah yang lebih populer untuk memberikan keringanan, terutama dalam bentuk penghapusan pokok dan/atau denda administrasi pajak daerah. Pelajari lebih lanjut tentang “Apa itu Pengampunan Pajak?” Dalam beberapa diskusi, istilah “pengampunan pajak” terkadang digunakan secara bergantian dengan “pengampunan pajak”, “pengampunan pajak daerah”, “pengampunan pajak pemerintah daerah”, atau “pengampunan pajak kota”. Jadi, apakah pengampunan pajak sama dengan pengampunan pajak? Definisi pengampunan pajak tercantum dalam Undang-Undang No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut, amnesti pajak adalah: “Penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tanpa dikenakan sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan.” Definisi serupa tentang amnesti pajak terdapat dalam Glosarium Pajak Internasional IBFD, yang mendefinisikan amnesti pajak sebagai: “Kesempatan yang diberikan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan penghasilan atau hartanya dan membayar pajak yang sebelumnya belum dibayar. Amnesti pajak biasanya juga memberikan pengurangan atau penghapusan bunga/denda dan pembebasan dari tuntutan pidana.” Sementara itu, Borgne dan Baer (2008) mendefinisikan amnesti pajak sebagai kesempatan dari pemerintah, dalam jangka waktu tertentu, bagi wajib pajak tertentu untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan atas penghapusan kewajiban perpajakan (termasuk bunga dan denda) dan pembebasan dari tuntutan pidana. Penghapusan kewajiban ini berkaitan dengan masa pajak sebelumnya. Di sisi lain, Alm dan Beck (1991) mendefinisikan amnesti pajak sebagai kesempatan yang diberikan kepada masyarakat […]
DJP Tengah Mengkaji Pengenaan PPh Final Atas Penjualan Emas Melalui Platform Digital
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang melakukan kajian mendalam mengenai kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Final atas keuntungan penjualan emas. Kajian ini disampaikan oleh Joko Galungan, Kepala Subdirektorat Pajak Penghasilan Badan pada Direktorat PP2 (Pajak Penghasilan Daerah) DJP, dalam seminar dalam rangka Pajak Goes To Campus yang digelar Tax Centre FIA Universitas Indonesia (Kamis, 18/09/2025). Joko menjelaskan bahwa kajian ini merupakan hasil observasi terhadap potensi monetisasi emas. Berdasarkan data yang diperoleh Joko, diketahui terdapat sekitar 1.800 ton emas yang tersimpan “di bawah bantal” di masyarakat, dengan estimasi nilai mencapai Rp3.700 triliun. Dari jumlah tersebut, kurang dari 10% yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), yaitu sekitar 126 ton atau setara dengan Rp260 triliun. Lebih lanjut, Joko menyatakan bahwa Indonesia, sebagai produsen emas utama, hanya menyimpan 78,6 ton emas di Bank Indonesia. Angka ini jauh di bawah Singapura yang menyimpan 204 ton, meskipun bukan produsen emas. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar emas di Indonesia tidak dimonetisasi di dalam negeri. Joko juga menyoroti pasar informal yang sangat dominan, di mana transaksi jual beli tidak tercatat, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kesulitan memungut pajak atas keuntungan modal. “Selama informal, pajak tidak akan dipungut,” tegasnya. Pertumbuhan transaksi emas digital juga meningkat pesat, diperkirakan mencapai Rp50 triliun pada tahun 2024, namun masih belum dilaporkan. Mengingat situasi ini, kebijakan Pajak Penghasilan Final dianggap sebagai solusi ideal untuk pendapatan tidak teratur atau terkait perdagangan, karena menyederhanakan proses perpajakan. Saat ini, banyak investor emas mengeluhkan rumitnya penghitungan pajak keuntungan modal, seperti kesulitan mengingat tanggal pembelian, jumlah, dan tarif yang berlaku, yang pada akhirnya membuat mereka enggan melaporkan emas mereka dalam SPT. Selain itu, regulasi yang belum lengkap dan kurangnya otomatisasi juga menjadi kendala. Skema perpajakan yang saat ini sedang dikaji oleh DJP mencakup pemungutan Pajak Penghasilan Final atas platform perdagangan emas terdaftar. Dengan tarif yang lebih sesuai dan proses yang lebih sederhana, DJP berharap masyarakat yang saat ini bertransaksi di pasar informal akan beralih ke pasar formal. Kebijakan ini juga diharapkan dapat mendorong masuknya emas batangan bank dan dimonetisasi untuk mendukung berbagai kegiatan ekonomi, seperti pembelian properti atau kendaraan, yang pada akhirnya akan dicatat oleh Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan simulasi awal, Joko memperkirakan potensi penerimaan pajak dari emas yang belum berada di pasar formal sebesar Rp4,63 triliun hingga Rp55,62 triliun. Angka ini bergantung pada seberapa besar pasar emas informal yang bertransisi menjadi pasar formal. Joko juga menyatakan bahwa penetapan tarif merupakan faktor krusial, mengingat imbal hasil setelah pajak dapat memengaruhi keputusan investor dalam memilih instrumen investasi. Kajian ini merupakan langkah strategis untuk menangkap potensi pajak dari sektor emas, seiring dengan perubahan lanskap bisnis dan perilaku konsumen yang kini lebih mengutamakan transaksi praktis dan digital. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkomitmen untuk menyeimbangkan kebutuhan negara dan kepentingan para pemangku kepentingan, dengan harapan kebijakan ini akan membawa terobosan dalam penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi.
