Pajak.com, Jakarta – Mengajukan Surat Keterangan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen merupakan langkah penting bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ingin memperoleh keringanan pajak. Namun, proses pengajuan surat keterangan tersebut membutuhkan pemahaman yang tepat agar dapat memanfaatkan fasilitas ini secara maksimal. Banyak pelaku UMKM mungkin masih merasa kesulitan dalam mengajukannya secara daring melalui aplikasi Coretax, karena platform ini terbilang baru. Oleh karena itu, Pajak.com akan membahas cara-cara mengajukan surat keterangan PPh Final 0,5 persen dengan mudah dan langkah-langkah yang perlu diikuti oleh pelaku UMKM melalui aplikasi Coretax, sehingga prosesnya bisa lebih lancar dan efektif. Apa Itu Surat Keterangan PPh Final PP 55/2022? Surat Keterangan PPh Final merupakan dokumen yang sangat penting bagi Wajib Pajak UMKM yang ingin memanfaatkan fasilitas tarif PPh Final sebesar 0,5 persen sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022). Surat ini diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan berfungsi sebagai bukti bahwa Wajib Pajak tersebut dikenai PPh berdasarkan ketentuan yang berlaku. Fasilitas ini ditujukan untuk mendukung pertumbuhan UMKM dan mendorong partisipasi mereka dalam perekonomian nasional. Namun, pemerintah menegaskan bahwa UMKM yang bertransaksi dengan pemotong atau pemungut pajak wajib mengajukan Surat Keterangan untuk bisa mendapatkan tarif PPh Final yang lebih ringan. Aturan ini tercantum dalam Pasal 63 ayat (1) PP 55/2022, di mana Wajib Pajak yang bertransaksi dengan pihak pemotong atau pemungut pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menerbitkan Surat Keterangan PPh Final. Sebagai catatan, surat keterangan ini berlaku efektif sejak tanggal diterbitkan hingga berakhirnya jangka waktu pemanfaatan skema PPh Final UMKM yang telah ditentukan. Jangka waktu pemanfaatan berbeda-beda tergantung pada bentuk badan usaha, yaitu 3 tahun pajak untuk Wajib Pajak badan berbentuk Perseroan Terbatas (PT), 4 tahun pajak untuk Wajib Pajak badan berbentuk Commanditaire Vennootschap (CV), firma, koperasi, atau perseroan perorangan, dan 7 tahun pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi. Namun, masa berlaku surat keterangan ini dapat berakhir lebih awal jika Wajib Pajak memilih untuk dikenai PPh sesuai ketentuan umum di luar skema PPh Final UMKM. Selain itu, surat keterangan juga akan kadaluarsa lebih cepat jika Wajib Pajak tidak lagi memenuhi syarat sebagai penerima fasilitas PPh Final, seperti melebihi batasan omzet atau peredaran bruto yang ditentukan dalam peraturan. Oleh karena itu, penting bagi Wajib Pajak untuk memastikan bahwa mereka selalu memenuhi persyaratan yang ada untuk terus dapat memanfaatkan tarif PPh Final yang lebih ringan. Cara Ajukan Surat Keterangan dengan Coretax Sebelumnya, pengajuan Surat Keterangan untuk mendapatkan fasilitas PPh Final 0,5 persen dilakukan melalui laman resmi DJP Online. Namun, dengan hadirnya aplikasi Coretax, Wajib Pajak kini dapat memanfaatkannya untuk membuat proses pengajuan menjadi lebih efisien dan efektif. DJP menegaskan bahwa Coretax memungkinkan Wajib Pajak UMKM untuk mengajukan Surat Keterangan PPh Final secara daring tanpa harus datang langsung ke kantor pajak. Berikut ini adalah langkah-langkah mengajukan Surat Keterangan PPh Final melalui aplikasi Coretax: Akses portal Coretax. Buka laman portal Coretax dan isikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta masukkan kata sandi yang telah dibuat saat pendaftaran. Pilih bahasa yang diinginkan, lalu klik tombol “Login”. Pilih peran […]
Batas Omzet PPh Final UMKM dan PKP Dituding
Ambang batas (threshold) omzet PPh final UMKM dan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) yang sama-sama senilai Rp4,8 miliar dipandang sebagai salah satu penyebab utama dari timbulnya compliance gap dan policy gap dalam sistem pajak Indonesia. Merujuk pada laporan World Bank bertajuk Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia, threshold PPh final UMKM dan PKP mendorong pelaku usaha untuk menjaga omzetnya sehingga tidak melebihi Rp4,8 miliar. Fenomena ini dikenal sebagai bunching effect. World Bank menyebut policy gap timbul mengingat wajib pajak dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar tidak wajib menyetorkan PPh badan dan PPN. Wajib pajak dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar hanya wajib membayar PPh final sebesar 0,5% dari omzet serta terbebas dari kewajiban memungut dan menyetor PPN. Sementara itu, compliance gap timbul karena wajib pajak dengan omzet Rp4,8 miliar tidak wajib untuk melakukan pembukuan dan relatif jarang diawasi. Pada gilirannya, kondisi ini meningkatkan ketidakpatuhan. Untuk menekan policy gap dan compliance gap, pemerintah dipandang perlu menurunkan threshold atau menetapkan regulasi yang mencegah bunching. Dalam laporan sebelumnya, World Bank telah meminta Indonesia untuk menurunkan threshold PPh final UMKM dan PKP dari Rp4,8 miliar menjadi tinggal Rp500 juta. Threshold senilai Rp500 juta tersebut lebih sesuai dengan rata-rata threshold di negara berpenghasilan menengah.
Rumah Ibadah Kena Pajak? Begini Ketentuan dan Aturan Lengkapnya
Jakarta – Berbicara tentang rumah ibadah, banyak yang mungkin tidak menyadari bahwa bangunan suci ini juga berkaitan dengan persoalan pajak. Meskipun rumah ibadah seperti masjid, gereja, pura, dan wihara umumnya digunakan untuk kegiatan keagamaan dan sosial, tetap ada aturan perpajakan yang mengatur aset dan kegiatan yang dimiliki oleh lembaga keagamaan ini. Bagaimana sejatinya ketentuan pajak rumah ibadah? Berikut Pajak.com ulas secara lengkap merujuk peraturan perpajakan yang berlaku. PPN di Rumah Ibadah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada prinsipnya dikenakan atas barang dan jasa yang memenuhi syarat sebagai Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Namun, rumah ibadah tidak serta merta dikenakan PPN atas semua jasanya. Dalam konteks pengenaan PPN pada rumah ibadah, jasa yang disediakan lembaga keagamaan seperti pelayanan keagamaan biasanya dikecualikan dari pajak, salah satunya saat proses pembangunan rumah ibadah. Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71 Tahun 2022 (PMK 71/2022), jasa konstruksi yang digunakan untuk membangun tempat ibadah termasuk dalam JKP yang dibebaskan dari PPN. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 huruf a Peraturan Pemerintah (PP) 49/2022, yang menyatakan bahwa jasa konstruksi yang diserahkan untuk pembangunan rumah ibadah tidak dikenakan PPN. Artinya, pembangunan tempat ibadah dapat dilakukan tanpa beban tambahan berupa pajak, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kegiatan keagamaan dan sosial. Pembebasan ini berlaku tanpa memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN, yang mempermudah proses pembangunan rumah ibadah. Selain pembebasan PPN atas jasa konstruksi untuk pembangunan rumah ibadah, ada juga sejumlah jasa keagamaan yang secara khusus dikecualikan dari pengenaan PPN sesuai dengan PMK 71/2022. Jasa keagamaan ini meliputi pelayanan rumah ibadah, pemberian khotbah, ceramah, atau dakwah, serta penyelenggaraan acara atau kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan. Hal ini berarti bahwa kegiatan seperti penggunaan fasilitas rumah ibadah untuk beribadah, pengajaran agama, dan pelaksanaan upacara keagamaan tidak dikenakan PPN. Dus, jasa perjalanan ibadah seperti haji, umrah, serta perjalanan ke tempat-tempat suci di luar negeri termasuk dalam kategori yang dibebaskan dari PPN. Misalnya, perjalanan haji dan umrah ke Makkah dan Madinah bagi umat Islam, serta perjalanan ke tempat suci seperti Vatikan, Yerusalem, atau Bodh Gaya untuk umat agama lainnya. Pajak Listrik dan PBB pada Rumah Ibadah Selain pengenaan PPN pada rumah ibadah, bagaimana dengan aspek pajak daerah seperti pajak listrik dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)? Pajak-pajak ini sering menjadi pertanyaan terkait beban fiskal yang mungkin ditanggung oleh rumah ibadah. Dalam hal konsumsi listrik, misalnya, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas konsumsi tenaga listrik tidak berlaku untuk rumah ibadah. Hal ini diatur dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), yang menyatakan bahwa konsumsi listrik di rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya dikecualikan dari objek pajak ini. Artinya, rumah ibadah seperti masjid, gereja, atau pura tidak dibebani pajak atas konsumsi tenaga listrik yang digunakan. Selain pajak listrik, rumah ibadah juga mendapat pengecualian dalam hal Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, perolehan hak atas tanah dan bangunan yang digunakan untuk kepentingan ibadah seperti […]