Sejalan dengan implementasi coretax system, penerbitan faktur pajak kini harus dilengkapi dengan pencantuman kode barang kena pajak (BKP)/jasa kena pajak (JKP). Buat apa sih? Ditjen Pajak (DJP) menjelaskan, pencantuman kode barang bertujuan untuk membantu wajib pajak mengklasifikasikan barang dan jasa yang dijual atau dibeli, sehingga meminimalisir risiko kesalahan dan meningkatkan akurasi pencatatan. Pengisian kode barang/jasa silakan disesuaikan dengan transaksi yang dilakukan. Namun, jika tidak ditemukan kode yg sesuai, dapat menggunakan kode 000000-Barang/Jasa lalu melengkapi detail BKP pada kolom nama. Sebagai informasi, kode barang yang tersedia pada coretax system mengacu pada HS Code yang dierbitkan oleh Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) dan tercantum dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). Penggunakan kode barang pada faktur pajak disesuaikan dengan HS Code tersebut sebagai bentuk standardisasi dalam klasifikasi barang. Dalam pemilihan kode barang saat penerbitan faktur pajak, wajib pajak bisa tetap menyesuaikan dengan jenis/spesifikasi BKP. Sebenarnya, saat ini belum terdapat ketentuan yang mengatur secara spesifik mengenai kode barang/jasa. Wajib pajak dapat merujuk pada referensi kode barang (dapat di-download pada saat peng-input-an detal transaksi faktur pajak atau HS Code yang dapat diakses pada laman resmi DJBC.
Perhatikan! Perubahan Kode dan Format Nomor Seri Faktur Pajak di Coretax sesuai PER 11/2025
Jakarta – Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/Pj/2025 (PER-11/2025) yang belum lama diterbitkan mengubah kode dan format Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP). Perubahan ini menyesuaikan penggunaan sistem perpajakan baru (Coretax). Apa saja perubahannya? Berikut Pajak.com telah rangkum untuk Anda. Perubahan Kode dan Format Nomor Seri Faktur Pajak Pada aturan sebelumnya, kode dan format NSFP terdiri dari 16 digit. PER-11/2025 mengubah format NSFP terdiri atas 17 digit, yaitu: Dua digit kode transaksi; Dua digit kode status; dan 13 digit Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). 10 Kode Transaksi Faktur Pajak sesuai PER-11/2025 PER-11/2025 menetapkan 10 kode transaksi faktur pajak, yakni: Kode 01: Digunakan untuk penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN)/Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP); Kode 02: Digunakan untuk penyerahan BKP/JKP kepada pemungut PPN instansi pemerintah atas PPN/PPnBM yang dipungut oleh instansi pemerintah; Kode 03: Digunakan untuk penyerahan BKP/JKP kepada pemungut PPN lainnya (selain instansi pemerintah) atas PPN/PPnBM yang dipungut oleh pemungut PPN lainnya; Kode 04: Digunakan untuk penyerahan BKP/JKP dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menggunakan nilai lain sesuai Pasal 8A ayat (1) Undang-Undang (UU) PPN; Kode 05: Digunakan untuk penyerahan BKP/JKP terhadap PPN yang dipungut dengan besaran tertentu sesuai Pasal 9A ayat (1), termasuk penggunaan sendiri atau cuma-cuma; Kode 06: Digunakan untuk penyerahan BKP kepada turis asing yang memberitahukan dan menunjukkan paspor luar negeri kepada PKP toko retail yang berpartisipasi dalam skema pengembalian PPN kepada turis asing, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang PPN tersebut dipungut oleh PKP toko retail yang melakukan penyerahan BKP; Kode 07: Digunakan untuk penyerahan BKP/JKP atas PPN/PPnBM yang mendapatkan fasilitas tidak dipungut atau ditanggung pemerintah (DTP); Kode 08: Digunakan untuk penyerahan BKP/JKP yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN/PPnBM; Kode 09: Digunakan untuk penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sesuai dengan Pasal 16D UU PPN; dan Kode 10: Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP selain jenis penyerahan pada kode transaksi 01 sampai dengan 09, antara lain penyerahan yang menggunakan tarif selain tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/perhatikan-perubahan-kode-dan-format-nomor-seri-faktur-pajak-di-coretax-sesuai-per-11-2025/
PER-11/2025: Ketentuan Pembulatan Angka dalam Dasar Pengenaan Pajak
Pajak.com, Jakarta – Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/Pj/2025 (PER-11/2025) menetapkan ketentuan pembulatan angka dalam Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Sebagaimana diketahui, DPP merupakan nilai yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang dipotong dan/atau dipungut pihak lain atau dibayar atau disetor sendiri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. So, bagaimana ketentuan pembulatan angka dalam DPP? Mari simak ulasan Pajak.com berikut ini. Ketentuan Pembulatan Angka Merujuk Pasal 129 PER-11/PJ/2025, pembulatan ke dalam rupiah penuh dilakukan untuk: 1. Nilai DPP dan Pajak Penghasilan (PPh) pada: Bukti potong PPh Pasal 21/26; Bukti potong unifikasi; Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 21/26, dan SPT Masa PPh Unifikasi. 2. Nilai DPP, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada: Faktur pajak; Dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak; dan SPT Masa PPN Pasal 129 ayat (3). Pembulatan ke dalam rupiah penuh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: Kurang dari 0,50, maka bilangan tersebut dibulatkan ke bawah; atau Sama dengan atau lebih dari 0,50, maka bilangan tersebut dibulatkan ke atas. Khusus untuk pengisian SPT tahunan badan dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS), jumlah penghasilan kena pajak PPh dalam SPT tahunan dimaksud dibulatkan hingga 2 digit nilai desimal. Merujuk Pasal 129 ayat (5) PER-11/2025, pembulatan hingga 2 digit nilai desimal dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: Kurang dari 0,005, maka bilangan tersebut dibulatkan ke bawah; atau Sama dengan atau lebih dari 0,005, maka bilangan tersebut dibulatkan ke atas. Terkait dengan pengisian SPT tahunan orang pribadi dan SPT tahunan badan yang menggunakan mata uang rupiah, UU PPh telah mengatur penghasilan kena pajak dalam SPT Tahunan dibulatkan ke bawah dalam ribuan penuh. Contoh Pembulatan Angka Berikut ini dua contoh pembulatan angka sesuai dengan PER-11/2025: Contoh I: Seorang pegawai tetap menerima penghasilan bruto senilai Rp10.500.100,49. Dalam kasus ini, penghasilan bruto selaku DPP dalam bukti potong PPh Pasal 21/26 dibulatkan menjadi senilai Rp10.500.100,00. Contoh II Bila penghasilan bruto yang diterima pegawai adalah senilai Rp10.500,100,50, maka penghasilan bruto tersebut dibulatkan menjadi senilai Rp10.500.101,00 dan diisikan sebagai dasar pengenaan pajak dalam bukti potong PPh Pasal 21/26. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/per-11-2025-ketentuan-pembulatan-angka-dalam-dasar-pengenaan-pajak/
Kode Billing PPh Final UMKM Pakai 411128-420, Tak Perlu NPWP Lawan
Wajib pajak pelaku UMKM bisa melakukan penyetoran PPh final senilai 0,5% dari penghasilan bruto tiap bulan melalui coretax system. Jika sudah setor PPh final maka UMKM dianggap sudah lapor pajak. Pembuatan kode billing PPh final UMKM 0,5% untuk setor sendiri dibuat pada coretax system melalui menu pembayaran, lalu masuk ke layanan mandiri kode billing. Kode akun pajak (KAP) yang dipakai adalah 411128 dan kode jenis setoran (KJS) 420 untuk PPh final UMKM setor sendiri. Tidak diperlukan NPWP lawan transaksi pada saat pembuatan kode billing. Ingat, wajib pajak orang pribadi UMKM yang menjalankan kewajiban perpajakannya dengan tarif PPh final 0,5% tidak perlu lagi melaporkan SPT Masa setiap bulannya. Wajib pajak yang sudah menyetorkan pajaknya dengan mekanisme setor sendiri dianggap sudah menyampaikan SPT PPh sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) yang tercantum pada surat setoran pajak (SSP). Terkait SPT Masa, apabila termasuk UMKM maka jika sudah bayar PPh 0,5% tidak perlu pelaporan lagi. Cukup laporkan SPT Tahunannya saja berdasarkan pencatatan peredaran bruto. Meski tidak perlu lapor SPT Masa, pelaku UMKM tetap diimbau menjalankan pencatatan omzet bulanan. Pencatatan itulah yang bisa menjadi dasar pelaporan SPT Tahunannya nanti. Selanjutnya, soal pencatatan oleh wajib pajak orang pribadi UMKM ini, tidak ada format khususnya. Pelaku UMKM dibebaskan menggunakan format yang diinginkan.
Puncak Musim Haji 2025 Telah Tiba, Bagaimana Aspek Perpajakannya?
Jakarta – Puncak musim haji tahun 2025 telah tiba. Ribuan jemaah haji Indonesia memadati Tanah Suci untuk menjalankan rukun Islam kelima yang hanya diwajibkan bagi umat Islam yang mampu secara fisik dan finansial. Bersamaan dengan itu, banyak masyarakat yang mempertanyakan bagaimana aspek perpajakan dalam pelaksanaan ibadah haji ini. Berikut ini penjelasan lengkapnya. Pemerintah melalui Kementerian Agama telah menetapkan total kuota haji Indonesia tahun ini sebanyak 221.000 orang, terdiri dari 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus. Sejak 1 Mei 2025, pemberangkatan jemaah dari 14 embarkasi nasional telah dilakukan secara bertahap. Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1446 Hijriah/2025 Masehi (Keppres 6/2025) yang menjadi dasar bagi pembiayaan perjalanan ibadah haji tahun ini. Sebagai contoh, biaya perjalanan ibadah haji (bipih) untuk embarkasi Jakarta ditetapkan sebesar Rp58.875.751,00 yang mencakup biaya penerbangan, sebagian akomodasi di Makkah dan Madinah, serta biaya hidup (living cost). Perjalanan Ibadah Haji Kena PPN? Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.03/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Jasa Keagamaan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai/PPN (PMK 92/2020). Dalam aturan tersebut, jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan oleh pemerintah maupun biro perjalanan wisata termasuk jasa yang tidak dikenai PPN. Ini artinya, biaya perjalanan ibadah haji yang dibayarkan oleh jemaah, baik haji reguler maupun haji khusus, tidak dikenakan PPN. Kebijakan ini memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi jemaah, karena tidak ada tambahan beban PPN pada biaya perjalanan ibadah haji. Namun, jika biro perjalanan wisata juga menawarkan paket perjalanan ke tempat lain selain ibadah haji dalam satu paket perjalanan, maka biaya perjalanan ke tempat lain tersebut dapat dikenakan PPN. Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PMK 11/2025), jika tagihan paket perjalanan dirinci, maka tarif PPN untuk perjalanan ke tempat lain adalah 1,1 persen dari harga jual paket perjalanan ke tempat lain. Namun, apabila tagihan tidak dirinci, maka tarif PPN terutang sebesar 0,55 persen dari harga jual keseluruhan paket perjalanan. Sebagai ilustrasi, biro perjalanan wisata Ar Rahman menawarkan paket umrah dan perjalanan wisata ke Turki selama 10 hari. Perincian biaya untuk perjalanan umrah Rp30.000.000, sedangkan perjalanan ke Turki Rp20.000.000. Dalam hal ini, perjalanan umrah senilai Rp30.000.000 tidak dikenakan PPN, sedangkan perjalanan wisata ke Turki dikenakan PPN sebesar 1,1 persen atau Rp220.000. Dengan demikian, penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan pemerintah atau biro perjalanan wisata tidak dikenakan PPN, sehingga biaya perjalanan haji bagi jemaah tetap lebih terjangkau. Hal ini diharapkan dapat membantu masyarakat melaksanakan ibadah haji dengan lebih ringan, sekaligus menjadi stimulus bagi pertumbuhan bisnis biro perjalanan ibadah dan wisata yang sehat dan tertib administrasi perpajakan. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/puncak-musim-haji-2025-telah-tiba-bagaimana-aspek-perpajakannya/
Cakupan WPOP yang Wajib Potong PPh atas Sewa Kini Diperluas
JAKARTA, DDTCNews – Peraturan Dirjen Pajak No. PER-11/PJ/2025 kini memperluas cakupan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang berkewajiban memotong PPh Pasal 23 atas sewa dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah/bangunan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (2/6/2025). Merujuk pada pasal 16 ayat (2), wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang harus memotong PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa adalah orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas dan/atau yang menjalankan usaha. “Wajib pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (i) orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas; dan/atau (ii) orang pribadi yang menjalankan usaha, yang menyelenggarakan pembukuan,” bunyi pasal 16 ayat (2) PER-11/PJ/2025. Dalam aturan sebelumnya, wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas sewa dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah/bangunan diatur dalam KEP-50/PJ/1994 dan KEP-50/PJ/1996. Dalam kedua kepdirjen tersebut, orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas sewa dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah/bangunan adalah, pertama, akuntan, arsitek, dokter, notaris, dan PPAT yang melakukan pekerjaan bebas. PPAT tidak ditunjuk sebagai pemotong bila PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan. Kedua, wajib pajak orang pribadi dalam negeri juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2) bila menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. Dengan berlakunya PER-11/PJ/2025 terhitung sejak 22 Mei 2025, KEP-50/PJ/1994 dan KEP50/PJ/1996 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sebagai informasi, pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah/bangunan harus dibuatkan bukti potong unifikasi oleh pihak pemotong. Sesuai dengan Pasal 23 UU PPh, tarif PPh Pasal 23 atas sewa adalah sebesar 2% dari jumlah bruto sewa. Adapun penghasilan berupa sewa tanah dan bangunan dikenai PPh final sebesar 10% atas jumlah bruto sewa. Selain soal cakupan wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang berkewajiban memotong PPh atas sewa, ada pula ulasan terkait wajib pajak yang tidak wajib menyampaikan SPT serta SPT yang dianggap tidak terdapat lebih bayar. Selain itu, terdapat pula pembahasan mengenai wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) dan revisi peraturan tentang impor barang bawaan penumpang dari luar negeri. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1811140/cakupan-wpop-yang-wajib-potong-pph-atas-sewa-kini-diperluas
Form SPT Tahunan Jadi Seragam, Detail Harta yang Diisi Makin Banyak
Terbitnya Peraturan Dirjen Pajak PER-11/PJ/2025 turut mengubah banyak ketentuan administratif perpajakan. Salah satunya, jenis formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan wajib pajak orang pribadi yang diseragamkan, dari 3 jenis menjadi 1 jenis. Topik tentang penyederhanaan jenis dan tampilan baru SPT Tahunan ini menjadi salah satu topik yang mendapat atensi wajib pajak dalam sepekan terakhir. Sesuai dengan PER-11/PJ/2025, wajib pajak orang pribadi, baik karyawan maupun nonkaryawan, kini harus melaporkan penghitungan dan pembayaran PPh terutangnya menggunakan formulir SPT Tahunan yang sama sesuai dengan format dalam Lampiran G perdirjen tersebut. “SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi … dibuat sesuai contoh format; dan diisi sesuai petunjuk pengisian, sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G … Peraturan Direktur Jenderal ini,” bunyi Pasal 83 ayat (2) PER-11/PJ/2025. Merujuk pada Pasal 83 ayat (1) PER-11/PJ/2025, SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi terdiri atas induk dan 5 rangkap lampiran. Pengisian induk SPT Tahunan diawali dengan mengisi identitas wajib pajak pada Bagian A dan menjawab beragam pertanyaan dan isian dalam Bagian B hingga hingga Bagian I. Lampiran yang wajib diisi oleh seluruh wajib pajak orang pribadi hanyalah Lampiran 1 Bagian A terkait harta pada akhir tahun dan Lampiran 1 Bagian C terkait daftar tanggungan. Sebagai informasi, berdasarkan ketentuan sebelumnya, wajib pajak orang pribadi harus melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan dan pembayaran PPh menggunakan SPT Tahunan 1770, 1770 S, atau 1770 SS. Formulir 1770 digunakan wajib pajak yang memiliki penghasilan dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, formulir 1770 S untuk wajib pajak karyawan, dan formulir 1770 S untuk wajib pajak karyawan dengan penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60 juta per tahun. Selain itu, PER-11/PJ/2025 juga menambah jenis informasi terkait dengan harta yang harus dilaporkan oleh wajib pajak orang pribadi dalam SPT Tahunannya. Wajib pajak orang pribadi kini harus melaporkan harta dalam 7 tabel, yakni kas dan setara kas, piutang, investasi/sekuritas, harta bergerak, harta tidak bergerak, harta lainnya, dan ikhtisar harta. “Yang dimaksud dengan harta merupakan akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Indonesia,” bunyi Lampiran G PER-11/PJ/2025. Ketujuh tabel di atas dapat ditemukan oleh wajib pajak pada Lampiran 1 Bagian A (Harta pada Akhir Tahun Pajak) SPT Tahunan. Lampiran 1 Bagian A merupakan lampiran yang harus diisi oleh semua wajib pajak orang pribadi tanpa terkecuali. Selain 2 informasi di atas, ada beberapa bahasan lain yang masih berkaitan dengan ketentuan dalam PER-11/PJ/2025 dan PER-8/PJ/2025 yang menarik untuk diulas. Di antaranya, bertambahnya lampiran SPT Tahunan badan, syarat pengurangan angsuran PPh Pasal 25, tata cara perubahan metode pembukuan, hingga perpanjangan waktu pelaporan SPT Tahunan.
Sambut Iduladha, Ini Ketentuan Pajak atas Transaksi Hewan Kurban
Jakarta – Menyambut Hari Raya Iduladha 1446 H yang jatuh pada Jumat (6/6/25) antusiasme masyarakat Indonesia untuk membeli hewan kurban seperti sapi, kambing, dan domba meningkat tajam. Namun, di tengah tingginya transaksi jual-beli hewan kurban, masih banyak masyarakat yang bertanya-tanya terkait apakah pembelian hewan kurban dikenakan pajak? Simak penjelasannya yang telah dirangkum Pajak.com berikut ini. Menurut ketentuan perpajakan di Indonesia, hewan ternak termasuk barang kena pajak (BKP) tertentu yang bersifat strategis, yang atas impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.010/2015 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.010/2017. Dalam beleid tersebut, hewan ternak yang mendapat fasilitas pembebasan PPN harus memenuhi beberapa syarat yaitu sehat, memiliki organ dan kemampuan reproduksi yang baik, berumur antara 2 hingga 4 tahun, serta bebas dari cacat genetik maupun fisik seperti cacat mata, kaki, kuku abnormal, kelainan tulang punggung, atau cacat tubuh lainnya. Pemenuhan syarat tersebut harus dibuktikan dengan sertifikat kesehatan dari otoritas veteriner setempat. Untuk hewan ternak impor, sertifikat kesehatan diterbitkan oleh otoritas veteriner negara asal, sementara untuk hewan ternak dalam negeri, sertifikat diterbitkan oleh otoritas veteriner di kabupaten/kota atau provinsi asal hewan ternak. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) yang menegaskan bahwa hewan ternak tergolong BKP strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pasal 6 PP 49/2022 menjelaskan bahwa ternak menjadi salah satu BKP tertentu yang atas impor atau penyerahannya dibebaskan dari PPN. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pembelian hewan kurban yang juga merupakan hewan ternak tidak terutang PPN. Fasilitas ini memberikan kemudahan bagi masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah kurban, karena tidak ada tambahan beban PPN saat melakukan transaksi pembelian. Namun demikian, bagi penjual hewan ternak yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap diwajibkan untuk membuat faktur pajak elektronik dengan kode faktur 08. Kode faktur ini digunakan untuk transaksi penyerahan atau impor BKP atau jasa kena pajak (JKP) yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Sebagai ilustrasi, pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Ar Rahman membeli 10 ekor sapi senilai Rp300 juta dari PT ABC, yang merupakan PKP yang bergerak dalam budidaya dan penjualan hewan ternak. Dalam transaksi ini, DKM Ar Rahman hanya perlu membayar Rp300 juta tanpa tambahan PPN. PT ABC wajib menerbitkan faktur pajak elektronik dengan kode faktur 08 sebagai bukti transaksi yang sah. Sumber: https://www.pajak.com/pajak/sambut-iduladha-ini-ketentuan-pajak-atas-transaksi-hewan-kurban/
SPT Tahunan Era Coretax, Koreksi Fiskal Diperinci per Akun Lapkeu
SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan kini tidak memiliki lampiran khusus untuk melakukan koreksi fiskal atas penghasilan neto komersial. Merujuk pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER 11/PJ/2025, koreksi fiskal positif maupun negatif langsung dilakukan pada bagian laporan laba rugi dalam lampiran rekonsiliasi laporan keuangan, yakni Lampiran 3A-1 hingga 3A-3 pada SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan Lampiran 1A hingga 1L pada SPT Tahunan wajib pajak badan. “Laporan laba rugi termasuk: penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final; penghasilan yang tidak termasuk objek pajak; penyesuaian fiskal positif atas penghasilan dan biaya komersial; penyesuaian fiskal negatif atas penghasilan dan biaya komersial; penghasilan neto fiskal sebelum fasilitas pajak,” bunyi Lampiran H PER-11/PJ/2025, dikutip pada Kamis (5/6/2025). Merujuk pada format Lampiran 3A-1 hingga 3A-3 pada SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan Lampiran 1A hingga 1L pada SPT Tahunan wajib pajak badan, koreksi fiskal positif dan negatif harus diperinci dalam kolom penyesuaian fiskal positif dan kolom penyesuaian fiskal negatif untuk setiap akun laporan laba rugi. Koreksi fiskal positif adalah penyesuaian penghasilan neto komersial yang bersifat menambah penghasilan komersial atau mengurangi biaya komersial, sedangkan koreksi fiskal negatif adalah penyesuaian yang bersifat mengurangi penghasilan komersial atau menambah biaya komersial. Koreksi fiskal positif dan negatif dalam Lampiran 3A-1 hingga 3A-3 SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan Lampiran 1A hingga 1L SPT Tahunan wajib pajak badan dilakukan setelah wajib pajak menghitung objek pajak tidak final. Adapun yang dimaksud dengan objek pajak tidak final adalah nilai akun laporan laba rugi yang sudah dikurangi dengan penghasilan nonobjek pajak dan penghasilan yang dikenai PPh final. Setelah menetapkan nilai koreksi fiskal pada setiap akun, wajib pajak juga harus mengisi kolom baru bernama kode penyesuaian fiskal. Kolom ini harus diisi dengan kode penyesuaian fiskal yang tersedia, mulai dari FPO-01 hingga FPO-12 untuk koreksi fiskal positif dan FNE-01 hingga FNE-04 untuk koreksi fiskal negatif. “Wajib pajak dapat mengisi lebih dari 1 kode penyesuaian fiskal dalam satu akun laporan laba rugi dalam lampiran ini,” bunyi Lampiran H PER-11/PJ/2025. Sebagai informasi, Lampiran 3A-1 hingga 3A-3 SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan Lampiran 1A hingga 1L SPT Tahunan wajib pajak badan merupakan lampiran yang berisi informasi atas rekonsiliasi laporan keuangan wajib pajak yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilankena pajak. Wajib pajak orang pribadi harus mengisi Lampiran 3A-1 hingga 3A-3 bila wajib pajak dimaksud menyelenggarakan pembukuan. Bagi wajib pajak badan, Lampiran 1A hingga 1L wajib diisi oleh seluruh wajib pajak badan sesuai sektornya masing-masing PER-11/PJ/2025 telah ditetapkan pada 22 Mei 2025 dan langsung berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ada PER-11/PJ/2025, Jumlah Lampiran SPT Tahunan Badan Kini Bertambah
JAKARTA, DDTCNews – Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 turut mengatur penambahan jumlah lampiran SPT Tahunan wajib pajak badan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (5/6/2025). Merujuk pada Pasal 85 ayat (1) huruf b PER-11/PJ/2025, terdapat 22 jenis lampiran SPT Tahunan yang berpotensi harus diisi apabila wajib pajak badan memenuhi kriteria untuk mengisi lampiran dimaksud. “SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1): dibuat sesuai dengan contoh format; dan diisi sesuai petunjuk pengisian…,” bunyi Pasal 85 ayat (2) PER-11/PJ/2025. Lampiran-lampiran dimaksud terdiri atas: Lampiran 1A hingga 1L mengenai rekonsiliasi laporan keuangan sesuai dengan sektor usaha wajib pajak; Lampiran 2 – Daftar Kepemilikan; Lampiran 3 – Daftar Pajak Penghasilan yang Dipotong/Dipungut oleh Pihak Lain; Lampiran 4 – Penghasilan yang Dikenakan Pajak Penghasilan yang Bersifat Final dan Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak; Lampiran 5 – Rekapitulasi Peredaran Bruto; Lampiran 6 – Angsuran Pajak Penghasilan Tahun Pajak Berjalan; Lampiran 7 – Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal; Lampiran 8 – Penghitungan Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berdasarkan Pasal 31E Ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan; Lampiran 9 – Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal; Lampiran 10A – Daftar Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa; Lampiran 10B – Pernyataan Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa; Lampiran 10C – Pernyataan Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven Country; Lampiran 10D – Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal; Lampiran 11A – Rincian Biaya Tertentu; Lampiran 11B – Penghitungan Biaya Pinjaman yang Dapat Dibebankan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan; Lampiran 11C – Laporan Utang Swasta Luar Negeri; Lampiran 12A – Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 26 Ayat (4); Lampiran 12B – Pemberitahuan Penanaman Kembali Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak bagi Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap; Lampiran 13A – Daftar Fasilitas Penanaman Modal; Lampiran 13B – Daftar Tambahan Pengurangan Penghasilan Bruto; Lampiran 13C – Daftar Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan; dan Lampiran 14 – Penggunaan Sisa Lebih untuk Pembangunan dan Pengadaan Sarana dan Prasarana. Lampiran SPT Tahunan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari induk SPT Tahunan. Terdapat lampiran yang memang wajib disampaikan oleh semua wajib pajak badan, tetapi ada pula lampiran yang hanya wajib disampaikan jika memenuhi kriteria tertentu. Contoh lampiran yang wajib diisi oleh wajib pajak badan adalah Lampiran 1A hingga Lampiran 1L. Wajib pajak badan perlu memilih sesuai dengan sektornya masing-masing. “Setiap wajib pajak badan wajib mengisi salah satu formulir lampiran rekonsiliasi laporan keuangan sesuai dengan jenis sektor usaha masing-masing,” bunyi Lampiran H PER-11/PJ/2025. Melalui Lampiran 1A hingga 1L, wajib pajak badan bakal diminta untuk melaporkan laporan laba rugi dan neraca, penghasilan yang dikenai PPh final, penghasilan yang bukan objek pajak, penyesuaian fiskal positif dan negatif, serta penghasilan neto fiskal sebelum fasilitas pajak. PER-11/PJ/2025 telah ditetapkan pada 22 Mei 2025 dan dinyatakan langsung berlaku sejak tanggal ditetapkan. Sumber: https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1811226/ada-per-11pj2025-jumlah-lampiran-spt-tahunan-badan-kini-bertambah
